Politik Arus Bawah dan Studi Pembangunan

Politik Arus Bawah dan Studi Pembangunan

Dari paparan singkat di atas, kiranya bisa dilihat perkaitan antara studi pembangunan dengan kajian ,grassroots politics itu. Bila pem- bangunan di anggap sebagai salah satu upaya pembebasan manusia dari keterbelakangan (Poleksosbud), maka tak pelak lagi target utama proses tersebut adalah mereka yang selama ini tertinggal. Ini berarti secara normatif titik sentral studi pembangunan harus pula pada upaya pem- bebasan mereka dari ketertinggalan dan keterbelakangan tersebut. Akibatnya, studi pembangunan diharapkan melakukan keberpihakan yang jelas jika ia ingin mempunyai dampak yang luas dan tidak hanya menjadi perpanjangan tangan kekuatan-kekuatan eksploitatif. Kata-kata Barrington Moore, Jr yang dikutip di awal tulisan ini bukan saja mempunyai relevansi teoretis, tetapi juga normatif. Studi pembangunan dengan demikian juga merupakan suatu praxis politik karena ia terlibat dalam proses rekayasa sosial dalam bentuk memberi masukan-masukan untuk pengambilan- pengambilan keputusan yang dampaknya menyang kut kepentingan masyarakat dan negara.

Kiranya jelas bahwa penelitian yang mendalam dan luas mengenai fenomena politik arus bawah ini merupakan salah satu elemen penting dalam keseluruhan dari apa yang kita sebut sebagai studi pembangunan itu. Pada tingkat pragmatis, sumbangannya terletak pada kemampuan- nya memberikan masukan kepada para pengambil keputusan mengenai berbagai permasalahan pembangunan yang ada di tingkat bawah serta alternatif pemecahan yang mungkin diberikan. Yang termasuk isu sen tral di sini adalah bagaimana diskursus (discourse) pembangunan, modernisasi,

22 Lihat I. Wallerstein, “How Do We Know Class Struggle When We See it?,” Insurgent Sociologist, 7, 1977. Saya mencoba mendiskusikan masalah yang sama dalam A. So, dan M. Hikam, “Class’ in the Writings of Wallerstein dan Thompson,” Sociological Perspective, akan terbit

Politik Arus Bawah dan Studi Pembangunan 115

industrialisasi, dan sebagainya disebarkan kepada masyarakat, lalu ditanggapi oleh masyarakat. 23

Pada tingkat epistemologis, ia diharapkan merupakan kritik ter hadap gejala elitisme yang merasuki hampir semua bidang ilmu sosial, termasuk di dalamnya studi pembangunan itu sendiri. Yang terakhir ini termasuk kecenderungan melihat proses modernisasi dan pembangunan sebagai suatu paket sudah jadi dari atas, yang bisa langsung diterapkan secara universa1. 24 Jadi kajian politik arus bawah harus mampu menam pilkan pandangan dari dalam (insight) masyarakat. Termasuk di sini, kehidupan, aktivitas, pengalaman mereka, serta upaya mereka memper tahankan

norma-norma kehidupan dari proses yang disebut Habermas 25 sebagai kolonialisasi pandangan dunia (life world) mereka.

Secara etis, studi pembangunan yang diperlukan oleh negara ber- kembang, termasuk di Indonesia adalah studi yang berwawasan kerak- yatan. Ini berarti harus berani melakukan terobosan-terobosan terhadap kaidah-kaidah, slogan-slogan, dan jargon-jargon ilmiah yang bersifat elitis serta antikerakyatan. Selama ini baik kajian studi pembangunan yang diilhami oleh model liberal-pluralis maupun sosialis Marxis pada umumnya dipenuhi sifat elitis tersebut. Jika pada model yang pertama pembangunan digunakan sebagai sarana pengejaran dari apa yang terjadi di Barat dengan penekanan berlebihan pada proses akumulasi kapital, maka pada yang kedua penekanannya adalah pada antiindi vidual dan mengarah pada semakin berkuasanya negara. Kita perlu menyambut beberapa upaya menengahi dua kecenderungan ekstrem tersebut, meskipun tampaknya upaya-upaya tersebut masih memerlu kan waktu yang lama untuk menghadapi ujian

23 Dalam hal ini penerapan teori Gramsci tentang hegemoni dan counter hegemoni banyak dipakai. Meskipun untuk beberapa hal teori tersebut masih mengundang banyak kritik, tetapi daya tarik teori ini tetap besar. Lihat A. Gramsci, Selection from the Prison Notebook, eds. Q. Hoare dan N. Smith, New York: International Publisher, 1978. Untuk pemikiran politik Gramsci, lihat misalnya J. Femia, Gramsci’s Political Thought. London: Clarendon Press, 1981; W. Adamson, Hegemoni and Revolution: A Study of Antonio Gramsci’s Political and Cultural Theory, Berkeley: University of California, 1982. Aplikasi pendekatan Gramscian bisa dilihat dalam R. Terdiman, Discourse/Counter-discourse: The Theory and Practice of Symbolic Resistance in Nineteenth Century France, Ithaca: Cornell University Press, 1987.

24 Kritik terhadap model pembangunan seperti ini telah banyak dilakukan. Lihat W.F. Wertheim, op.cit., 1974. 25 J. Habermas, op.cit., 1987.

116 Demokrasi dan Civil Society

sejarah agar dapat berhasil. Yang mencolok adalah bahwa percobaan- percobaan tersebut pada umumnya menyadari pentingnya faktor-faktor internal dan khas, yang tidak begitu saja bisa direduksi oleh pemahaman- pemahaman dominan di atas. Percobaan-percobaan seperti di Sri Lanka (Sarvodaya), Tanzania (Ujamaa), dan sebagainya dengan tegas menekankan penting nya faktor-faktor indigeneous atau lokal dalam keseluruhan proses pembangunan mereka. Salah satu yang penting adalah penekanan pada pengaruh nilai yang berasal dari bawah (agama, tradisi) yang dicoba dikembangkan dalam rangka mengantisipasi berbagai perubahan pada tingkat nasional maupun internasional.

Percobaan-percobaan negara berkembang yang menggunakan model- model pembangunan liberal pluralis dan sosialis Marxis, seperti sama - sama kita ketahui, telah menghasilkan kontradiksi-kontradiksi tersendiri yang pada gilirannya menimbulkan berbagai permasalahan politik, so- sial, ekonomi, dan budaya, terutama bagi mayoritas masyarakat bawah.

Munculnya rezim-rezim represif di negara-negara berkembang, 26 baik yang berkiblat pada kapitalisme maupun sosialisme, mendorong lahir nya

gerakan-gerakan massa (terorganisir atau tidak), serta semakin me lebarnya jurang antara negara kaya (Utara) dan miskin (Selatan) hanya sedikit dari banyak bukti yang menunjukkan bahwa permasalahan permasalahan pembangunan masih jauh dari memuaskan, apalagi selesai.

Dalam upaya mencari strategi pembangunan yang mampu men jawab tantangan-tantangan itulah saya kira kajian-kajian yang serius, mendalam, dan luas atas politik masyarakat bawah diharapkan dapat memberikan sumbangannya. Kalaupun tidak bisa menjawab secara tuntas, setidaknya akan mencoba menampilkan gagasan-gagasan yang dikembangkan dan diangkat dari aspirasi dan rekonstruksi realitas sosial masyarakat bawah. Bagaimanapun kecil peran mereka dalam proses pembangunan itu, tetap harus ada pengakuan bahwa mereka bukanlah sekadar benda-benda mati tetapi agen-agen yang sadar. Kejadian-kejadi an terakhir yang saya sebut di muka tadi, barangkali merupakan petun juk bagaimana akibat dari suatu

26 Lihat misalnya munculnya apa yang disebut negara otoriter birokratik di Amerika Latin dan Asia. Diskusi mengenai kasus ini bisa ditemukan dalam karya- karya G. O’Donnell. Misalnya, Modernization and Bureaucratic Authoritarianism: Studies in South American Politics, Berkeley: IIS University of California Berkeley, 1973 .

Politik Arus Bawah dan Studi Pembangunan 117

model yang mengabaikan peran serta massa rakyat. Ini juga yang telah mengakibatkan gerakan massa sempat mengguncang beberapa negara di

Asia, Amerika Latin, dan Afrika yang dalam proses modernisasi mereka, sengaja atau tidak, telah menghambat partisipasi massa.