Negara dan Civil Society
Negara dan Civil Society
Munculnya negara Orde Baru pada pertengahan dasawarsa 1960-an menyusul jatuhnya rezim Soekarno, menandai perkembangan baru dan berbeda dari pembentukan negara dalam masa Indonesia pascakolonial. 4 Secara ideologis, berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpinnya Soe- karno yang dicirikan dengan komitmen-komitmen sosialis radikal dan
populis, 5 Orde Baru tidak lagi mempertahankan dua komitmen tersebut sebagai penampilan politiknya yang penting. Meskipun gagasan seperti nasionalisme dan keadilan sosial tetap dipelihara, tetapi gagasan tersebut eenderung dipahami dengan cara yang agak berbeda. Sudah barang tentu nasionalisme tidak lagi dimengerti dalam konteks radikal antikapitalisme sebagaimana pada masa Soekarno, tetapi lebih kurang,sebagai suatu kesadaran diri atas kedaulatan nasional di dalam masyarakat Internasional. Dengan demikian, pengertian nasionalisme telah dicabut dari kecendurungan sosialis radikal sebagaimana sebelumnya, karena kecenderungan seperti itu akan meletakkan industri dalam posisi yang sulit di dalam pembagian kerja internasional. Sementara Orde Baru tetap mempertahankan gagasan populer seperti kemandirian dan kedaulatan nasional, tetapi ini sudah pasti tidak dijalankan untuk melaksanakan kebijakan isolasionis sebelumnya. Sebaliknya, Orde Baru mengembangkan suatu kebijakan yang lebih akomodatif bagi keberadaannya di dalam sistem internasional. Sebagai contoh, daripada mengisolasi Indonesia clari sistem kapitalis dunia, lebih baik mendekatkan hubungan dengan sistem
4 Pembahasan mengenai hakikat Orde Baru dapat ditemukan dalam Richard Robison, Indonesia The Rise of Capital, Allen Unwin, Sydney; 1986; dan dengan perspektif berbeda dalam K.D. Jackson, “Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia,” dalam K.D. Jackson and Lucian Pye (eds.), Political Power and Communication in Indonesia, University of California Press, Berkeley, 1978.
5 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca, 1962; dan “The Dynamics of Guided Democracy,” dalam Ruth McVey, Indonesia, HRAF, New Haven, 1963.
Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia 143
tersebut, yang justru diperlukan untuk melangkah menuju mo dernisasi dan pembangunan ekonomi negara di masa mendatang. 6
Dengan demikian, salah satu ciri negara Orde Baru, mengutip istilah Cardoso, adalah strategi pembangunan bergantung yang berkait (strategy of associated dependent development) untuk modernisasi. 7 Ciri lain adalah kemampuannya untuk menggerakkan elite strategis yang merupakan tulang punggung negara. Negara dalam era Demokrasi Liberal dan juga Demokrasi Terpimpin telah gagal melakukan ini, bahkan terus-menerus menghadapi situasi krisis yang tidak habis-habisnya di antara dan di dalam
negara maupun civil society. 8 Hanya dalam periode yang sangat singkat di bawah Soekarno, negara menikmati stabilitas yang relatif, walaupun situasi
ini lebih disebabkan oleh kepemimpinan karismatik oekarno daripada keterpaduan elite-elite yang berkuasa.
Seperti diketahui, negara Orde Baru mendasarkan struktur kekuasa- annya pada aliansi longgar antara birokrasi (militer dan sipil), kelompok borjuis nasional dan teknokrat. Di samping itu, negara juga memperoleh dukungan kuat dari sistem kapitalis internasional dalam bentuk bantuan
finansial dan teknologi. 9 Pada kenyataannya, melalui bantuan inilah, negara merencanakan dan menjalankan program pembangunan ekono mi. Karena
itu, hakikat kekuasaan negara di bawah Orde Baru cenderung menjadi sentralistik dan kebijakannya sering dijalankan melalui strategi atas-bawah (top-down). Walaupun demikian, negara di sini tidak hanya bertindak sebagai alat dari panitia suatu elite yang berkuasa sebagai mana yang dipahami dalam
terminologi Marxis. 10 Tapi sebaliknya, sampai tingkat tertentu, negara
6 LihatS I. Wallerstein, The Modern World System, 3 Vol., Cambridge Uni versity Press, London, 1974, 1980, 1988. 7 Fernando Cardoso, “Associated-Dependent Development: Theoretical and Practical Implications,” dalam Alfred Stepan (ed.), Authoritarian Brazil: Origins Policies and Futures, Yale University Press, New Haven, 1973.
8 Lihat R. Robison, “Toward a Class Analysis of the Indonesian Military Bureaucratic State,” Indonesia, 25, 1978; lihat juga J.A.C. Mackie, “The Political Economy of Guided Democracy,” Australian Outlook, 13, 1959.
9 R. Robison, Indonesia, op.cit. 10 Pandangan ini diwakili oleh apa yang disebut mazhab Marxis instrumentalis. Lihat Ralph Miliband, The State in Capitalist Society: An Analysis of the Western System of Power, Monthly Review, New York, 1969; untuk kritik terhadap pandangan ini, lihat Nicos Poulantzas, Political Power and Social Classes, New Left Book, London, 1973.
144 Demokrasi dan Civil Society
Orde Baru menikmati otonominya berhadap -hadapan dengan kelas elite, dan memiliki kemampuan yang kadangkala berbeda dengan kepentingan- kepentingan elite tersebut. Dalam banyak kasus, negara bahkan beroposisi terhadap elite, dan pada gilirannya mampu memaksa elite tersebut patuh pada negara. Selain itu, negara dapat juga berperan sebagai mediator manakala terjadi konflik kepentingan di antara fraksi-fraksi kelas di dalam elite atau di antara elite dengan kelas-kelas yang tertindas. Dalam hal ini, negara dapat melindungi kepentingannya, berkoinpromi dengan elite atau kelas-kelas yang tertindas. 11
Bukanlah hal yang berlebihan jika dikatakan bahwa dalam dua puluh tahun terakhir ini Orde Baru telah menikmati tingkat stabilitas ekonomi yang tinggi, dan juga mampu mendorong pembangunan ekonomi. Situasi ini tidak pernah terjadi semenjak kemerdekaan Indonesia pada 1945. Birokrasi negara, terutama dalam lembaga eksekutif, makin berkembang sebagai aparat efektif yang memiliki kemampuan me ngelola dan menangani mobilisasi politik untuk mendukung kebijakan negara. Lebih dari itu, negara juga telah berhasil mengontrol civil society melalui berbagai cara korporatis, dan mendapatkan konsensus politik tilrlalui hegemoni ideologi. Di bawah Orde Baru, seluruh organisasi sosial dan politik secara ketat dikontrol melalui sejumlah regulasi, sehingga membuat mereka tidak mungkin menjadi ancaman yang berbahaya terhadap
negara. 12 Sejauh ini, negara telah berhasil me ngurangi jumlah partai politik yang ada, dari 10 pada tahun 1971 menjadi hanya tiga partai di tahun 1973, yakni Golkar, PDI dan PPP. Kemudian, dalam upayanya untuk meminimalisasi konflik-konflik po litik dan ideologi, negara juga melarang mereka memakai ideologi lain, kecuali Pancasila sebagai basis
diskursus politik mereka. 13 Dengan demikian, secara umum, masa “politik aliran” yang telah mendominasi politik Indonesia sampai awal dasawarsa 1970-an, sudah dianggap berakhir. 14 Alasan dibalik pernyataan ini adalah
11 R. Robison, Indonesia, op.cit. 12 Sebagai contoh, Undang-Undang Kepartaian No. 3/1975 yang secara eksplisit
melarang partai-partai politik yang ada untuk mempunyai wakil -wakilnya, baik di tingkat kecamatan maupun desa.
13 Pluralitas aliran ideologis dianggap sebagai faktor paling penting yang menghalangi stabilitas politik Indonesia di bawah sistem liberal dan Demokrasi Terpimpin Soekarno. 14 Lihat Herbert Feith & Lance Castle (ed.), Indonesia Political Thinking, 1945-1965, Cornell University Press, Ithaca, 1970. Istilah “aliran” pada mulanya digunakan oleh Clifford
Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia 145
bahwa negara tidak lagi berupaya untuk bersikap netral dalam meredakan instabilitas politik yang diakibatkan konflik ideologi yang mungkin terjadi di antara partai- partai politik. Proses pembangunan ekonomi, yang sering diungkapkan dengan begitu retorik, memerlukan satu derajat yang tinggi dari sta bilitas politik dan keamanan dalam masyarakat. 15 Pluralitas ideologi dilihat sebagai konsep Barat dan merupakan sumber pertentangan politik, karena kecenderungannya untuk dimanipulasi bagi kepentingan kelompok- kelompok yang saling bertentangan. Persatuan ideologi di bawah Pancasila — dikenal sebagai proses “pengasastunggalan” — dimaksudkan untuk membuat konflik-konflik ideologi dalam politik Indonesia di masa-masa mendatang sebagai irrelevan dan usang. De ngan persatuan atau unifikasi ideologi seperti ini, kelompok-kelompok politik yang ada diikat untuk berkompetisi satu sama lain dengan dasar program-program politik mereka yang riil dan bukan atas dasar retorika politik. 16
Sejauh menyangkut format politik baru, kelihatannya hanya partai yang berkuasa, Golkar, yang sangat siap untuk itu, dan karenanya, mampu mengambil keuntungan dari struktur politik yang baru tersebut. Golkar yang berasal dari kelompok fungsional, pada awal dasawarsa 1960-an, telah mengubah dirinya dalam sekejap setelah keruntuhan Demokrasi Terpimpin, untuk menjadi mesin politik Orde Baru. Ke anggotaannya
umumnya terdiri dari pegawai pemerintah dan para profesional di mana mereka dikelompokkan dalam berbagai organisasi profesional. Yang belakangan ini meliputi asosiasi petani, serikat buruh, asosiasi pengusaha atau industriawan, asosiasi guru dan banyak organi sasi sosial lainnya yang secara sukarela maupun tidak, berafiliasi dengan Golkar. Pendek kata, Golkar telah menjadi suatu aparat negara yang efektif dalam pengelolaan korporasi yang ditujukan untuk memobilisasi civil society dalam rangka meraih dukungan politik massa.” Melalui peranan Golkar, “Strategi inklusioner”
Geertz untuk mendenotasikan kecenderungan kecenderungan ideologis dan kultural yang berbeda-beda di antara pelbagai kelompok politik di Indonesia, khususnya Jawa
15 Jenis pandangan “developmentalis” ini dibela oleh Ali Moertopo, salah seorang yang dianggap sebagai arsitek terpenting Orde Baru. Lihat Akselerasi dan Modernisasi Pembangunan 25 Tabun, CSIS, Jakarta, 1973.
16 Ibid. 17 Tentang isu korporatisme di negara-negara sedang berkembang, lihat misalnya
Philippe Schmitter, “Still the Century of Corporatism?” dalam Fred Pike & Thomas Strich, The New Corporatism, University of Notre Dame Press, Notre Dame, 1974.
146 Demokrasi dan Civil Society
(inclusionary strategy) dari perangkat korporatis negara telah diberlakukan. 18 Strategi ini dijalankan terutama melalui berbaga tipe kooptasi organisasi-
organisasi sosial dan juga para pemimpinnya ke dalam mesin politik. Bersamaan dengan pengelolaan korporatis negara terhadap orga-
nisasi-organisasi politik dalam masyarakat, terdapat juga suatu strategi melemahkan partisipasi politik “arus bawah.” 19 Ini disebut kebijakan “inassa mengambang”, yang diberlakukan pada awal dasawarsa 1970- an. 20 Kebijakan ini ditujukan untuk mencegah daerah pedesaan menjadi
aktif s ecara politis, sebagaimana terjadi pada dasawarsa 1950-an dan awal dasawarsa 1960-an. Politisasi daerah pedesaan dikecam oleh Orde Baru
sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap kerusuhan politik di masa lalu. Mengingat mayoritas masyarakat Indonesia berada di wilayah pedesaan, maka perlu bagi negara untuk mengatasinya serta mengecilkan keterlibatan langsung mereka dalam dunia politik. Pengalaman pahit selama dasawarsa 1960-an selalu diingat oleh negara untuk membenarkan proses penyingkiran masyarakat pedesaan ini. Jarang sekali diungkapkan bahwa kemiskinan masyarakat dan distribusi pandapatan yang timpang di wilayah pedesaan adalah faktor paling panting, yang banyak menyumbang terjadinya konflik sosial dan politik di kalangan masyarakat.
Dengan demikian, pengasingan wilayah pedesaan dari dunia politik praktis adalah salah satu upaya transformasi politik yang paling
fundamental yang dijalankan untuk menjamin stabilitas politik Orde Baru. Dengan mengendalikan mayoritas masyarakat dari keterlibatan politik langsung, maka negara dapat dengan mudah rnengontrol pesoalan politik di wilayah pedesaan, dan juga untuk memobilisasi lingkungan politik dari bawah. Yang terakhir ini terutama dilakukan melalui aparat negara, mulai dari tingkat kecamatan sampai ke pedesaan, yang tugasnya, di samping
18 Istilah ini dipakai mengikuti klasifikasi Stepan mengenai perangkat korporatis. Strategi inklusionari digunakan oleh negara untuk menginkorporasi kelompok-kelompok yang menonjol di sektor masyarakat ke dalam model ekonomi dan politik yang ada. Lihat, The State and Society: Peru in Comparative Perspective, Princeton University Press, Princeton, N.Y., 1978, khususnya hal. 74-75.
19 Ali Moertopo, Akselerasi op.cit. Untuk kritik terhadap strategi “massa mengambang” berkaitan dengan Islam, lihat Deliar Noer, “Islam dan Politik: Muyoritas atau Minoritas?,” Prisma, No. 5, XVII, 1988.
20 . Ali Moertopo, Akselerasi, op.cit.
Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia 147
mengurusi persoalan administratif, adalah luga mendukung Golkar dan memperkuat kekuasaan politiknya.
Setelah membahas cara bagaimana negara Orde Baru memobilisasi dukungan politik melalui perangkat korporatis negara, di bawah ini akan dijelaskan hegemoni ideologi negara yang ditujukan pada civil society dalam upayanya memperoleh dukungan politik mereka. Tidak pernah dalam sejarah Indonesia sebelumnya, negara mampu meng gunakan hegemoni ideologi seefektif yang dilakukan Orde Baru. Seba gaimana disebutkan di bagian depan tulisan ini, negara dapat menggunakan ideologi nasional Pancasila sebagai satu-satunya dasar bagi organisasi-organisasi sosial dan politik. Proses hegemoni ideologi ini tidak hanya ditempuh melalui cara- cara legalistik, tetapi juga melalui sistem pendidikan. Penataran P4 (Pendidikan Penghayatan dan Peng amalan Pancasila) adalah program yang disponsori negara untuk men didik seluruh lapisan masyarakat memahami ideologi dan interpretasi resmi negara mengenai ideologi tersebut. Salah satu tujuannya adalah untuk menjamin keseragaman pemahaman mengenai Pancasila sebagai ideologi negara. Pluralitas pemahaman selalu dilihat sebagai tantangan terhadap semangat persatuan, clan ini selalu diwaspadai
sebagai jalan menuju kerusuhan dan konflik sosial politik. 21 Hal ini benar, sejauh berkaitan dengan pertentangan paham mengenai Pancasila antara
elemen Islam di satu pihak dan elemen nasionalis di pihak lain. Melalui ke seragaman pemahaman, tidak akan ada lagi pertentangan mengenai ideologi negara, dan lebih penting lagi, mengenai hakikat negara Indonesia. Sebagai contoh, menurut pemahaman negara Indonesia bu kanlah negara teokratik ataupun negara sekuler, pemerintah mengakui keberadaan sistem kepercayaan agama, dan wajib mendorong dan riaemajukan perkembangannya melalui dukungan dan kebijakan negara. Sebaliknya, sebagai negara non-teokratik, tidak dibolehkan ada saw pun agama yang bisa diklaim sebagai agama resmi negara. Juga diakui bahwa kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah salah satu dasar normatif di atas mana masyarakat Indonesia telah membangun dirinya sepanjang sejarah, dan karenanya atheisme ditolak. Dengan demikian, negara Indonesia tidak
21 Akhir-akhir ini muncul suatu tuntutan politik yang meningkat untuk adanya suasana politik yang lebih terbuka di Indonesia, mengikuti kampanye deregulasi ekonomi. Tuntutan untuk keterbukaan politik dikemukakan, baik oleh politisi dan intelektual dari partai yang berkuasa maupun politisi-politisi di luarnya.
148 Demokrasi dan Civil Society
dapat dianggap sebagai sebuah negara teokratik dalam pengertian yang klasik. Bangsa Indonesia lahir sebagai suatu fenomena modern, berakar dari perjuangan bangsa dan didasar kan pada kesepakatan untuk membangun suatu negara-negara (nation-state) yang modern. Ini aclalah nasionalisme modern dan demokrasi yang telah menjadi dasar ideologi, dan karenanya ide mengenai negara yang didasarkan pada agama tertentu tidak dapat diterima, karena hal ini akan menghilangkan sumbangan agama yang lain di dalam membangun Indonesia moderen. 22
Demikianlah, seraya mengakui Islam sebagai agama mayoritas, negara tidak akan mentolerir setiap upaya apa pun untuk menciptakannya sebagai suatu ideologi politik yang khas. Dengan cara ini, Islam di bawah Orde
Baru hanya bisa berfungsi sebagai salah satu di antara basis - basis normatif, seperti halnya sistem-sistem nilai lain yang ada di Indonesia. Digunakannya Islam sebagai ideologi politik hanya akan mendorong beberapa kelompok Islam untuk menentang legitimasi negara. Bukti-bukti sejarah mengenai usaha semacam itu bisa dilihat dalam pelbagai gerakan separatis yang menggunakan Islam sebagai ideologi, seperti halnya DI/TII dan usaha- usaha lain oleh apa yang kemudian dikenal sebagai kelompok Komando Jihad untuk mendirikan het niah negara Islam. 23
Hegemoni negara tidak hanya tampak dalam pengertian mengenai kunstruksi ideologis yang formal dari negara, tetapi lebih penting
lagidalam proses produksi dan reproduksi sosial. Ini khususnya menjadi jelas dalam diskursus tentang modernitas selama dua dasawarsa terakhir. Di sini, negara lagi-lagi menguasai diskursus semacam itu, khususnya sejauh menyangkut pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Bukan hanya proses pembangunan telah dikarakterisasikan oleh dukungan kuat negara, tapi juga bahwa negara kemudian menjadi penerjemah dominan proses modernisasi. Civil society tetap akan ter tinggal di belakang dalam membentuk diskursusnya sendiri, dan oleh karenanya pengaruh negara untuk mengatur proses-proses sosial, ekonomi dan politik menjadi tak
22 Maladi, “Islam and Law in Indonesia,” dalam Rita Kipp & Susan Odgers (eds.), Indonesian Religion in Transition, University of Arizona Press, Tucson, 1987. 23 Kekhawatiran mengenai munculnya radikalisme politik berbasis-agama kini bukannya makin berkurang. Dari berbagai pernyataan resmi, gagasan mengenai adanya bahaya ekstrem-kanan masih dilihat sebagai ancaman penting terhadap Pancasila dan Orde Baru.
Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia 149
tertandingi. Negara telah berkembang begitu kuat bersamaan dengan melemahnya civil society. Kontrol hegemonik negara terhadap diskursus dari proses politik mempersulit civil society untuk mengembangkan otonominya yang krusial dalam proses pembangunan politik dan penciptaan masyarakat demokratis.
Hegemoni negara khususnya diperkokoh melalui jaringan dan perangkat birokratis dan teknokratis. Ini mengingatkan kita pada gagasan mengenai otoritarianisme birokratis yang diperkenalkan oleh O’Donnell satu dasawarsa yang lalu, ketika dia menjelaskan pengalaman beberapa
negara Amerika Latin. 24 Di negara-negara ini, pertumbuhan negara juga tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan kapitalis, khususnya setelah terjadinya proses industrialisasi yang mendalam. Negara dipaksa untuk memobilisasi civil society dengan mempertaruhkan partisipasi politik massa dalam rangka mempercepat pembangunan kapitalis dengan bentuk industrialisasi berorientasi ekspor. Dengan melakukan hal ini, negara menjadi semakin tergantung pada birokrasi (baik militer maupun sipil), kaum teknokrat, dan modal asing yang sangat diperlukan untuk memelihara akumulasi modal domestik, per-tumbuhan ekonomi dan ekspansi pasar.
Peranan militer dan teknokrat menjadi sangat dominan di negara- negara ini untuk menjamin tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas politik. Kendatipun apa yang terjadi dalam negara Orde Baru tidak bisa dipahami begitu saja mengikuti kerangka O’Donnell ini, jelas bahwa aliansi antara militer dan teknokrat di Indonesia merupakan strategi politik yang mirip dengan logika strategi pembangunan bergantung (dependent development strategy) yang diterapkan di beberapa negara Amerika Latin. Birokrasi sipil, terutama ditujukan untuk mengelola berbagai aspek dari proses sosial dan politik, termasuk untuk memobilisasi suara. Kecenderungan ke arah “birokratisasi-berlebih” dalam civil society di Indonesia dewasa ini, tidak lain adalah sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan strategi semacam itu.
Dengan pembahasan di atas, menjadi jelas bahwa hubungan antara negara dan civil society dalam konjungtur masa kini dikarakterisasikan oleh
24 Guilliermo O’Donnell, Modernization and Bureaucratic Authoritari-anism: Studies in South American Politics, IIS, Berkeley, 1973.
150 Demokrasi dan Civil Society
ketergantungan yang kuat dari yang terakhir kepada yang pertama. Civil society Indonesia selalu berada dalam posisi subordinat, khususnya bagi mereka yang berada pada strata sosial bawah. Kebutuhan akan adanya suatu peranan politik yang lebih luas dalam civil society, karena itu, merupakan tantangan mendesak dalam masa depan yang dekat ini untuk memperlancar proses demokratisasi. 25 Proses itu sendiri tidak hanya terbatas dalam pengertian ditingkatkannya institusionalisasi politik, tetapi yang lebih penting lagi adalah dibukanya partisipasi politik pada tingkat “arus bawah.” Ini akan mencakup revitalisasi kemampuan organisasi-organisasi sosial vis- a-vis kekuasaan dominan dari negara dalam menciptakan praktik-praktik sosial dan politik. Persis dalam konteks inilah agama dapat memainkan peranan penting di Indonesia, yakni sebagai suatu sumber diskursus dan praktik-praktik sosial-politik yang penting dari civil society, bersama-sama dengan struktur makna lainnya.