Kontradiksi Internal dan Peluang untuk Demokratisasi
Kontradiksi Internal dan Peluang untuk Demokratisasi
Model perpolitikan yang diterapkan oleh Orde Baru di atas, bukanlah tanpa kelemahan yang dapat membawa kepada proses keterbukaan (opening) bagi demokrasi dan timbulnya gerakan demokrasi dalam masyarakat. Kelemahan itu sebenarnya adalah produk berbagal kontradiksi internal yang dikandung dalam model itu sendiri yang pada akhirnya mengacaukan keberadaannya. Kontradiksi yang pertama terletak di jantung model tersebut, yaitu akumulasi dan sentralisasi kekuasaan politik di tangan Presiden. Kecenderungan ini dalam jangka panjang berakibat pada personalisasi kekuasaan dan mitos dari pemimpin yang tidak pernah salah (infalliable ). Meskipun sentralisme bisa saja efektif dalam jangka pendek, tetapi harga yang harus dibayar cukup tinggi yaitu melemahnya kohesivitas kelas elite dan berkembangnya perpecahan intern. Yang terakhir ini berkembang di antara anggota elite pemerintahan karena perebutan akses kepada pemimpin menjadi semakin sering dan kuat. Puncaknya adalah, keutuhan kaum elite, yang notabene merupakan sumber kekuatan sistem, secara perlahan-lahan rontok dan meletus pada saat munculnya situasi krisis. Dalam kasus Orde Baru, isi atau rontoknya persatuan kelompok elite muncul secara kasatmata seperti terbukti dengan adanya perpecahan dalam kalangan militer dengan kalangan teknokrat demikian pula dalam tubuh DPP Golkar.
Sumber kontradiksi yang lain berasal dari format politik yang dipakai untuk depolitisasi masyarakat. Meskipun format politik tersebut cukup efektif dalam memperkuat kekuasaan dan pengaruh pemerintah dalam waktu relatif lama, tapi sebenarnya ia juga bertanggung jawab dalam
Reformasi dan Rekomendasi melalui Civil Society 263
mengurangi kemampuan bertahan kekuasaan itu sendiri. Karena pada saat yang sama, format politik itu yang anti politik itu justru menggerogoti sumber pertahanan dan pelestarian sistem secara keseluruhan. Proses depolitisasi, dalam jangka panjang, ternyata tidak hanya memperlemah massa tetapi juga mengurangi kekuatan elite penguasa sendiri karena meningkatnya perpecahan internal. Sementara itu, personalisasi kekuasaan telah menciptakan tumbuhnya klik dan konspirasi politik di antara kalangan elite penguasa yang secara perlahan-lahan menghancurkan ikatan kesatuannya. Dengan perlahan tapi pasti, usaha untuk mempertahankan sistem semakin sulit dilakukan karena sirkulasi anggota kelas elite berubah berdasarkan favoritisme dan nepotisme, bukan kemampuan (meritolerasi). Kondisi ini memang tidak terlalu kelihatan ketika rezim masih mampu untuk “membeli” kelompok elite yang terpecah dengan hadiah seperti konsesi-konsesi ekonomi, monopoli, dan transaksi-transaksi yang besar. Akan tetapi, pada masa krisis seperti sekarang perpecahan dan konspirasi politik di kalangan elite pemerintahan muncul secara transparan yang pada akhirnya menyebabkan legitimasi rezim terancam.
Lebih jauh, depolitisasi melemahkan sistem secara pasti karena ia menghilangkan kemungkinan untuk menciptakan mekanisme pengawasan yang efektif yang diperlukannya untuk mempertahankan diri. Dengan memperlemah institusi-institusi politik seperti DPR, partai politik, dan kelompok sosial serta organisasi-organisasi dalam masyarakat, maka pada akhirnya tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat menjadi penyeimbang yang dibutuhkan untuk menghindari tekanan keras aparat pemerintah. Korupsi yang makin merajalela serta praktik kolusi maupun birokrasi yang berlebih-lebihan di hampir semua aspek kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada gilirannya akan menghancurkan kemampuan sistem untuk mengantisipasi dan memecahkan krisis yang datang, baik dari faktor intern maupun ekstern.
Tidak diragukan lagi bahwa kontradiksi-kontradiksi struktural seperti itu merupakan sumber utama terjadinya kehancuran sistem politik otoriter. Orde Baru tidak terkecuali dalam hal ini, dimana ia menjadi rentan terhadap gejolak-gejolak pada saat krisis menghantamnya. Sebagian dari sumber gejolak itu adalah perpecahan dalam kelompok elite penguasa yang kemudian mempengaruhi kemampuan untuk merespon dengan cepat dan tepat dinamika politik dalam masyarakat. Kita mungkin masih ingat kasus
264 Demokrasi dan Civil Society
Marsinah, gerakan buruh SBSI di Medan, Waduk Nipah, pembunuhan di Santa Cruz, Peristiwa 27 Juli dan kampanye pemilihan Mega Bintang dan lain-lain. Semuanya menujukkan kecenderungan yang tinggi dari pemerintah untuk menerapkan represi karena kurang menyatunya strategi dalam menangani tekanan politik. Mungkin saja gerakan mahasiswa akhir- akhir ini akan berakhir dengan digunakannya kekuatan dan ini dibuktikan dengan dikesampingkannya dialog antara pemerintah dan mahasiswa. Presiden secara pribadi telah mengizinkan penggunaan tekanan yang
represif oleh pejabat di lapangan dalam menangani “demonstrasi mahasiswa yang tidak aturan”. Lebih mengkhawatirkan lagi adalah Dekrit MPR No. V/ 1998 yang memberikan kepada Presiden kekuasaan darurat untuk mempertahankan hasil pembangunan. Statement euphemisme ini
adalah suatu provisi untuk penggunaan tekanan yang represif terhadap semua ancaman atas hal-hal yang sudah teratur.
Selain kontradiksi struktural, sifat hegemoni yang selalu mendapat tantangan (contestable) ikut menyumbang bagi menurunnya daya tahan sistem politik Orde Baru. Jadi pidato dan seminar dan praktik-praktik pembangunan ekonomi, demokrasi Pancasila, peranan sosial dan politik dari kalangan militer, politik massa mengambang dan hak-hak asasi manusia yang berdasarkan nilai-nilai Asia dan Indonesia sebenarnya selalu mendapat tantangan balik dari pihak-pihak yang tidak setuju. Hasilnya
adalah penolakan yang sifatnya simbolik dan terus menerus berlangsung oleh kelompok masyarakat tertentu untuk melawan hegemoni negara yang mungkin akan menghilangkan legitimasi ideologi yang terakhir. Tantangan yang hegemonis seperti itu dapat berbentuk lain dari hanya dalam bentuk hal-hal yang tidak langsung dan simbolis seperti adanya kata-kata “plesetan” atau lelucon-lelucon dan rumor sampai hal-hal yang langsung dan terbuka yang menantang pemerintah secara terbuka. Hal ini tampak pada demo mahasiswa, pemogokan para pekerja, didirikannya partai alternatif dan serikat pekerja dan penolakan untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik pemerintah yang dilarang. Gerakan anti hegemoni ini menurut Ariel Heryanto, seorang tokoh aelektual dan bekas pengajar di Universitas Satya Wacana di Salatiga, terdiri atas apa yang ia sebut “oposisi kelas menengah” terhadap Orde Baru yang telah muncul sejak tahun 80-an.
Tak pelak lagi, semua persoalan di atas telah menciptakan retakan- retakan pada tembok sistem politik Orde Baru. Retakan-retakan inilah
Reformasi dan Rekomendasi melalui Civil Society 265
yang merupakan pembuka ruang politik serta kesempatan bagi kelompok prodemokrasi untuk meneruskan perjuangannya. Keretakan ini bisa saja
membesar oleh hadirnya faktor-faktor lain, terutama perkembangan logis ekonomi kapitalis yang juga mempunyai kepentingan agar debirokratisasi terbuka dan berkurangnya pengawasan pemerintah. Selanjutnya, tekanan masyarakat internasional bisa mendorong rezim untuk lebih memperhatikan isu-isu global seperti lingkungan, HAM, dan demokratisasi. Faktor-faktor ini, menurut hemat saya, tampaknya telah membawa suatu pengaruh positif yang dapat dilihat pada bermunculannya gerakan buruh dan kontribusi LSM dalam wacana politik dan praktik-praktiknya di Indonesia. Banyak LSM yang mengabdikan diri sebagai bagian dari gerakan sosial baru yang aktivitasnya berkaitan dengan issu global seperti hak-hak asasi manusia, lingkungan, persamaan hak gender, dan pemberdayaan civil society.
Dari diskusi di atas, terlihat semakin jelas bahwa demokrasi dalam Orde Baru di Indonesia akhirnya akan ditentukan oleh hubungan dialektis antara dinamisme dalam elite pemerintahan dan kapasitas dari aktor demokrasi dalam masyarakat. Dengan kata lain, elite pemerintahan sebagai kekuasaan yang dominan tidak akan mengendorkan pengaruhnya tanpa tekanan yang kuat dari bawah meskipun ia telah mengalami banyak tekanan, baik internal maupun eksternal. Persoalannya adalah sampai sejauh manakah elemen-elemen demokrasi dan aktor-aktor tersebut dapat membentuk gerakan yang kuat dan terorganisasi yang bertujuan untuk membangun sistem politik alternatif di masa depan. Tanpa gerakan demikian, sangatlah sulit untuk tidak mengatakan tidak mungkin menantang kekuasaan yang dominan bahkan dalam keadaan krisis seperti sekarang ini.
Tanpa mengesampingkan krisis yang ada sekarang, terutama retaknya tembok sistem politik Orde Baru dan tuntutan reformasi yang makin luas, jalan ke arah demokrasi di Indonesia telah hampir mendekati akhir
atau akan berjalan mulus. 6 Situasi krisis sekarang ini sudah tentu memberi kesempatan bagi kelompok prodemokrasi untuk lebih meningkatkan tekanannya kepada pemerintah. Akan tetapi, sangatlah dini untuk mengharapkan bahwa hal ini akan secara otomatis mengarah kepada matinya rezim otoriter. Mungkin akan hanya secara taktis mengundurkan
6 Tentu saja tidak berarti bahwa proses demokratisasi akan berjalan lancar. Kita masih akan menyaksikan pergulatan-pergulatan selanjutnya pada masa pascareformasi antara kekuatan-kekuatan prostatusquo dan reformis.
266 Demokrasi dan Civil Society
diri sejenak sampai saatnya mencapai suatu tingkat kesembuhan dan proses konsolidasi dimulai lagi. Memang benar bahwa kesembuhan dan konsolidasi akan tergantung pada kemampuan elite pemerintah
dalam membangun kembali rasa kebersatuan di antara faksi-faksi serta mendapatkannya kembali setelah mengalami setback yang serius. Tetapi adalah juga benar bahwa tanpa arahan demokrasi yang jelas dan dukungan yang kuat dari masyarakat, kembalinya otoritarianisme di Indonesia hanyalah soal waktu, kendatipun mungkin akan ada semacam penyesuaian pada tingkat negara dan masyarakat. Akan tetapi perubahan yang besar ke arah politik dan masyarakat demokratis pada masa sesudah kembalinya sistem politik lama masih harus diperjuangkan karena mudah bagi sistem politik otoriter untuk kembali hidup dalam masyarakat yang di depolitisasi.
Jadi kewajiban kaum prodemokrasi yang akan datang adalah membangun gerakan demokrasi yang kuat dan terorganisasi, mencakup semua unsur dalam masyarakat yang benar-benar bersama-sama bersama dalam suatu panggung politik yang demokratis di Indonesia dan bukan hanya bersifat sporadis dalam bentuk visi-visi politik, platform dan agenda. Sudah barang tentu, perbedaan tidaklah selalu buruk dalam dirinya sendiri apalagi mengingat bahwa demokrasi selalu mengacu pada keberadaan bermacam-macam ide dan praktik lainnya. Akan tetapi, tanpa dasar pemikiran yang sama kelompok-kelompok politik tersebut akan menemui kesulitan dan tak dapat mengandalkan kekuatan demokrasi untuk menekan pemerintah. Seperti yang telah dikemukakan di depan, depolitisasi selama kurun waktu tiga dekade ini telah menghancurkan semua usaha untuk menciptakan semacam front politik yang bertujuan mempersatukan unsur-unsur dalam masyarakat agar dapat mengimbangi dominasi pemerintah. Hal ini bukan mengecilkan usaha membentuk kelompok demokrasi seperti Kelompok Petisi 50, Forum Demokrasi, FPKR, MARI, dan yang paling baru Gema Madani dalam usahanya menjembatani aliansi politik dari bermacam-macam kelompok politik, social, dan ideologi. Akan tetapi masih harus kita lihat apakah kelompok ini akan muncul sebagai katalisator dari pembentukan front demokrasi nasional. Fakta yang menyedihkan ialah bahwa aktivitas mereka masih terbatas di Jakarta dan keanggotaan mereka juga terdiri atas kalangan kecil dari para aktivis, sedangkan pengaruh politis mereka masih terbatas hanya sebagai simbol dan tidak realistis.
Reformasi dan Rekomendasi melalui Civil Society 267
Agenda untuk membentuk front demokrasi nasional harus dimulai dengan menentukan dasar-dasar normatif yang melandasi pembentukan front tersebut. Langkah ini sangat strategis karena walaupun mereka saina-sama menyatakan komitmen terhadap konstitusi dan Pancasila, tetapi dalam kenyataan banyak perbedaan visi politis di antara unsurunsur demokrasi tersebut. Mereka yang menganut aliran visi politik sekular, umpamanya, menginginkan pembentukan sebuah masyarakat politis di mana konsep kewarganegaraan berikut hak-hak dasar yang tidak bisa dipisahkan menjadi dasar norma-normanya. Mereka tidak menolak peran agama dalam kehidupan masyarakat ataupun pribadi aim tetapi mereka tidak setuju apabila agama digunakan sebagai ideologi politik yang, pada masa lampau, terbukti merusak (kehidupan politik). Namun, di sisi lain banyak juga pemimpin atau tokoh- tokoh masyarakat yang menolak visi politik sekular itu dan lebih menekankan pada politik yang landasannya kuat. Misalnya, banyak intelektual, aktivis dan tokoh masyarakat Muslim yang berpendapat bahwa karena Islam tidak mengenal pemisahan tegas antara agama dan politik, maka adalah salah untuk mendukung tesis sekular di atas. Sebaliknya Islam dilihat sebagai suatu sistem yang utuh dan mencakup seluruh segi kehidupan yang dipakai sebagai dasar alternatif untuk menciptakan masyarakat demokrasi di Indonesia. Versi lain mengatakan, bahwa meskipun negara Islam dalam membentuk formalnya tidaklah lagi merupakan alternatif politis yang pas, tapi lain halnya dengan upaya membentuk “masyarakat Islam.” Oleh sebab itu para pengikut pandangan ini akan berjuang untuk “meng-Islamkan” masyarakat politik melalui pembentukan masyarakat berdasarkan syariat Islam.
Adanya beberapa perbedaan dasar normatif di atas jelas menghalangi munculnya platform demokrasi bersama, tetapi sebaliknya membuka perpecahan internal dalam gerakan demokrasi yang masih lemah tersebut. Seperti kita lihat, pemerintah dengan licik telah mendukung sebagian kelompok Islam dan bekerja sama dengan mereka melalui kebijakan- kebijakan yang dapat melemahkan unsur-unsur demokrasi dalam masyarakat. Masalah ini begitu serius, sehingga tak kurang dari Abdurrahman Wahid - yang akrab dengan panggilan Gus Dur - memberikan peringatan tentang akan adanya kecenderungan sektarianisme dalam masyarakat. Apa yang dia maksud adalah justifikasi pemakaian agama dan unit unsur primodial sebagai alat untuk mencapai tujuan politik oleh pribadi-pribadi dan kalangan tertentu dalam masyarakat, khususnya di kalangan kaum Muslimin yang
268 Demokrasi dan Civil Society
didukung oleh kelompok elite dalam pemerintahan. Fenomena ini telah menyebabkan terjadinya kemunduran politik Indonesia kembali ke zaman “politik aliran” pada tahun 50-an, pada saat ideologi merupakan penentu tertinggi dalam perpolitikan nasional. Hasilnya adalah kehancuran total gerakan demokrasi dan munculnya rezim otoriter.