Arus Bawah Tersumbat
Arus Bawah Tersumbat
Situasi politik di tingkat arus bawah di bawah Orde Baru dicirikan dengan ketidakhadiran partisipasi politik aktif dalam arti sebenarnya. Di daerah pedesaan khususnya, hanya aktivitas politik terbuka dan absah adalah pemilihan umum dan aktivitas politik lokal seperti pemilihan lurah. Di daerah-daerah industri dan perkotaan, aktivitas politik masya rakat kelas pekerja telah dibatasi dan di bawah kontrol kuat negara. Bahkan di saat terlihat munculnya kesadaran politik di kalangan petani dan buruh, seperti digambarkan oleh protes terbuka mereka baru-baru ini, kita mungkin tidak dapat mengharapkan bahwa ini akan secara otomatis mengkristalisasikan gerakan-gerakan mereka ke dalam suatu kekuatan politik arus bawah yang kuat yang mungkin mengakhiri isolasi politik mereka.
Disepakati oleh beberapa arsitek Orde Baru bahwa penggiatan politik di tingkat arus bawah akan bertentangan dengan seluruh pem bangunan sosial-politik dan ekonomi negeri ini. Kenyataannya, ini menjadi sikap politik di Indonesia bahwa suatu penggiatan seperti itu hanya menimbulkan instabilitas permanen dan mengganggu pemba ngunan ekonomi. Asumsi ini didukung oleh kemapanan relatif secara sosial dan politik di wilayah pedesaan dalam 20 tahun terakhir ini, yang telah memberikan prestasi terhadap proses pembangunan yang ber I berkelanjutan.
Meskipun demikian, beberapa pengamat politik meragukan kemujaraban dari kebijakan seperti itu bagi pembangunan politik jangka panjang. Memang benar bahwa untuk waktu yang singkat, Orde Baru dapat mengasingkan masyarakat arus bawah tanpa mempengaruhi secara serius bekerjanya seluruh sistem politik. Namun, seperti banyak pcngalaman di negara-negara Dunia Ketiga lainnya memperlihatkan bahwa perombakan masyarakat yang cepat akibat dari pertumbuhan ekonomi, teknologi komunikasi modern, dan pendidikan yang lebih tinggi pada akhirnya akan meningkatkan tuntutan atas akses yang lebih di dalam proses-proses pembuatan kebijakan, yang berarti lebih adanya partisipasi. Akibatnya,
70 Demokrasi dan Civil Society
tidak hanya isolasi politik masyarakat bawah tidak dapat dipertahankan untuk jangka panjang, tetapi juga akan mcnghancurkan infrastruktur sosial dan ekonomi yang ada yang telah dibangun oleh rezim dengan biaya moral dan material yang mahal.
Sampai saat ini, sebagaimana banyak rezim kapitalis pinggiran, rezim Orde Baru telah memilih strategi meminimalkan keterlibatan politik sektor masyarakat dalam rangka mempertahankan percepatan akumulasi modal. Di bawah kebijakan “massa mengambang”, proses depolitisasi telah mengambil bentuk pembatasan aktivitas formal partai politik hanya sampai di tingkat distrik. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini tidak berlaku bagi partai yang berkuasa, Golongan Karya (Golkar). Bagi daerah pedesaan, tidak secara keseluruhan bebas dari operasi politik Golkar, melalui aparatur negara di tingkat lokal dan regional, yang biasanya menjadi pejabat-pejabatnya.
Sebagai tambahan, negara juga menjalankan pengawasan politik di tingkat arus bawah melalui berbagai pengaturan kerja sama, kooptasi dan mobilisasi yang diorganisir. Sebagai contoh, pembentukkan kelurah- an, Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT), organisasi pemuda, PKK, Kelompencapir, dan organisasi lainnya yang secara ektif di gunakan oleh negara untuk pengawasan kegiatan politik, di samping fungsi mereka sebagai jaringan lokal aktivitas sosial dan ekonomi. Di daerah perkotaan, peran Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sangat penting dalam mempertahankan tatanan politik para pekerja.
Kapasitas organisasi seperti ini dalam sumbangannya untuk mempertahankan “ketertiban dan keamanan” politik tidak dapat diabaikan. Dalam penelitian saya di Jawa Barat, saya menemukan organisasi desa seperti itu menjadi penting untuk rekrutmen, kontrol dan peng wasan politik, dan juga sebagai pendidikan politik bagi masyarakat desa. Sebagai tambahan, mereka juga menjadi alat yang efektif untuk membuat dan memobilisasi pendapat umum pada isu-isu politik, ekonomi dan sosial tertentu di tingkat lokal. Di masyarakat di mana hubungan sosial berdasarkan patron- klien masih kuat, posisi para pimpinan organisasi seperti ini sangat penting dalam membentuk soal-soal publik, termasuk politik, dalam masyarakat.
Di daerah perkotaan, kondisi politik arus bawah tidak terlalu berbeda dengan wilayah pedesaan, meskipun buruh di pusat industri memiliki
Di Balik Pemilihan Umum 71
lebih banyak kesempatan untuk tampil dalam politik yang kadangkala melampaui batas-batas yang dijaga oleh negara. Dengan demikian, buruh di kota-kota industri seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan dan kota lainnya seringkali menjadi berita utama di media massa karena perjuangan mereka dalam memper tahankan hak-haknya. Meskipun lebih aman untuk mengatakan bahwa gerakan-gerakan protes buruh belum mencapai suatu tahap di mana mereka dapat membuat suatu akibat yang besar pada konstalasi politik yang ada. Jika ada, gerakan-gerakan buruh umumnya dicirikan oleh organisasi mereka yang semrawut, sporadis dan dukungan buruh yang hangat-hangat tahi ayam, kepemimpinan yang tidak berpengalaman dan terpecah-pecah secara tajam, dan ketidakjelasan arah dan tujuan nya. Adalah tidak mengherankan bahwa di banyak kasus pemogokan buruh dan protes yang lain, mereka dengan mudah dibungkam , baik oleh negara maupun perusahaan di mana mereka bekerja, baik melalui cara-cara persuasif atau represif. Jarang sekali, jika memang ada, ge rakan buruh berhasil mencapai tuntutan-tuntutan mereka dipenuhi seperti upah yang layak, perlindungan kerja dan kesehatan yang baik, tempat tinggal yang memadai, atau bahkan hak untuk memiliki suatu serikat buruh lokal.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi para buruh terutama datang dari peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan perburuhan. Per- aturan-peraturan tersebut diciptakan sedemikian rupa, yang sebernarnya membuat ketidakmungkinan bagi masyarakat kelas pekerja untuk memiliki sebuah serikat buruh yang mandiri. Menurut laporan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), hak dasar buruh Indonesia untuk berorganisasi masih tidak diakui. Di seluruh wilayah Indonesia, kira-kira dari 27.000 perusahaan dengan buruh lebih dari 25 (prasyarat minimum , untuk mendirikan serikat pekerja), hanya 10.000 yang telah mendirikan suatu unit lokal Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. 32
Bahkan jika buruh membentuk satu unit lokal SPSI, organisasi 4rperti itu masih tetap menghadapi masalah yang lain. Yaitu keterlibatan para majikan dalam serikat buruh tersebut, yang diabsahkan oleh kebijakan perburuhan nasional di bawah prinsip-prinsip hubungan perburuhan
32 Kongres Kebudayaan Nasional di Jakarta 1990 diwarnai pertikaian yang tajam. Peserta kongres kebanyakan para teknokrat dan intelektual pro pemerintahan. Kongres itu sendiri disutradarai oleh negara yakni Mendikbud, sehingga budayawan terkemuka seperti Abdurrahman Wahid dan Emha Ainun Najib tidak mau hadir.
72 Demokrasi dan Civil Society
trilateral. Dengan demikian, menurut Hubungan Industrial Pancasila (HIP), falsafah hubungan buruh di Indonesia, inti konversional dari hubungan yang berlawanan antara buruh dan majikan tidak dapat dijalankan. Sebaliknya, hubungan tersebut dilihat sebagai mitra antara dua pihak, dan sebagai tambahan, negara menjadi wasit (me diator) dalam kasus di mana ada konflik di antara kedua pihak tersebut. Di bawah prinsip seperti ini memungkinkan selama proses pem bentukkan serikat buruh, kalangan majikan terlibat dan menentukan hasil -hasilnya . 33
Sementara itu, usaha dari beberapa kalangan buruh dan aktivis politik untuk membentuk suatu serikat buruh yang terpisah di luar SPSI telah ditolak dan kadangkala dihadapi dengan jawaban yang keras dari
negara. 34 Yang belakangan ini terbukti dalam kasus Serikat Buruh Mer- deka Setiakawan (SBMS). Dimotori oleh beberapa tokoh utama aktivis hak-hak asasi, serikat buruh ini dibentuk pada tanggal 14 November 1990 dan diupayakan untuk menjalankan strategi yang digunakan oleh Gerakan Solidaritas di Polandia, yakni pendirian serikat buruh bebas di luar organisasi resmi SPSI. Upaya ini terhempas karena penolakan pemerintah atas upaya tersebut, mengingat ini dilihat berlawanan de ngan peraturan yang ada yang hanya mengakui satu payung nasional serikat pekerja, yakni SPSI. Negara juga mengambil suatu tindakan cepat terhadap para aktivis SBMS. Para pemimpinnya seluruhnya diinterogasi dan bahkan satu di antara mereka diculik oleh orang yang tidak dikenal Di beberapa wilayah, banyak anggota SBMS diserang secara brutal. Tanggapan keras ini tidak diragukan lagi memberikan suatu peringatan yang jelas terhadap berbagai usaha di masa depan untuk meluaskan partisipasi politik buruh melalui serikat buruh bebas. 35
Meskipun ada kelemahan yang nyata dari politik arus bawah, kita tidak boleh berkecil hati untuk memahami peran mereka di masa mendatang dalam perkembangan civil society dan demokratisasi di Indonesia. Sebaliknya, masih tetap penting untuk mengamati dinamikanya dengan meneliti
33 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), “The Shackling of the Workers’ Right to Organize”, Indonesian Human Rights Forum, No. 1, Juli-September 1991, hal. 1.
34 Ini berdasarkan peraturan Kementerian Tenaga Kerja No. 1109, 1985 yang secara luas digunakan oleh pemilik perusahaan untuk mencampuri pembentukan unit lokal SPSI. 35 YLBH, The Shackling, op.cit., 1991, hal. 4; C. Brown, Political, op.cit., 1991, hal. 47.
Di Balik Pemilihan Umum 73
apa yang secara populer disebut sebagai politik sehari-hari di antara masyarakat bawah. Banyak penelitian pada topik ini telah memperlihatkan bahwa masyarakat bawah telah berjuang secara terus-menerus dan bertahan melawan eksploitasi sosial-ekonomi dan penindasan politik melalui cara-cara yang tidak jelas dan langsung. Ini pada gilirannya telah menyumbangkan terhadap dinamika gerakan demokrasi dalam masyarakat dan sampai tahap tertentu mengancam keabsahan rezim otoriter. 36
Di Indonesia, di mana buruh dan tani secara praktis telah disingkirkan dari politik arus-utama, kegiatan-kegiatan politik yang paling penuh semangat dan tetap adalah di bawah permukaan dari penga laman hidup sehari-hari masyarakat dan tempat kerja. Pengalaman ini mencakup cara di mana masyarakat yang tersubordinasi dapat di mengerti, mensosialisasi dan menginternalisasi sistem politik yang ada; upaya-upaya mereka untuk mengatasinya di dalam pengalaman hidup mereka; dan jenis strategi yang mereka pakai di dalam berbagai sentuhan dengan eksploitasi dan penindasan yang berasal dari lembaga-lembaga dan kelompok masyarakat yang lebih berkuasa. Dalam kaitannya dengan proses demokratisasi, penting untuk meneliti lebih jauh sampai tingkat mana politik sehari-hari ini dapat dikaitkan dan dikembangkan dalam konteks yang lebih luas melampaui tempat mereka dan apa kekuatan dan kelemahan mereka di dalam mendukung perkembangan civil society.
Saya cenderung mengatakan bahwa melalui suatu penelitian seperti ini, kita akan mendapatkan pengertian yang mendalam mengenai dinamika politik arus bawah di Indonesia di bawah sistem politik
36 Ini juga benar dalam kasus pegawai negeri yang tidak termasuk dalam SPSI, karena mereka adalah anggota Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI). Posisi politik mereka ini sangat sulit dan sedikit banyak menjadi kendala bagi solidaritas kelas pekerja. Tidak ada studi yang dilakukan sejauh ini yang meneliti para pekerja di departemen negara semacam itu. Penelitian saya sendiri di Badan Usaha Milik Negara dalam bidang pertambangan hanya mengindikasikan bahwa banyak dari mereka ingin memiliki serikat pekerja yang independen dibandingkan dengan keanggotaan yang ada dalam KORPRI. Salah satu alasan terpenting adalah fakta bahwa resolusi konflik dalam kondisi saat ini sangat bergantung pada organisasi, karena status pekerja ditentukan oleh posisi hirarkis mereka menurut peraturan pegawai negeri. Ini menyebabkan pekerja berada dalam posisi yang lemah berhadapan dengan para pemimpinnya. Na mun, terlalu awal untuk menggeneralisasi dari penelitian ini, karena sejumlah besar pekerja juga merasa lebih nyaman dengan status mereka sebagai warga KORPRI karena banyak keuntungan yang mereka dapat sebagai pegawai negeri sipil.
74 Demokrasi dan Civil Society
yang berlangsung. Sebagai misal, adalah mungkin untuk mengetahui kebencian dari berbagai bagian dari masyarakat kelas bawah akibat banyak
banyak faktor seperti sosial-ekonomi yang meningkat dalam masyarakat, perasaan sakit saat menjadi korban modernisasi, ketidakpercayaan pada politisi negara, dan sebagainya. Pada saat bersamaan mendengar komentar- komentar politik mereka mengenai korupsi politik dan penyalahgunaan oleh mereka yang ada di kekuasaan. Lebih dari itu, seseorang mungkin dapat meng eksplorasi visi politik, harapan dan ketakutan mereka saat ini dan masa mendatang. Melalui keterlibatan mereka dalam aktivitas sehari- hari, dapat diharapkan untuk melihat pendekatan pragmatis mereka dalam kaitan nya dengan kejadian-kejadian politik yang terjadi di komunitas dan tempat kerja mereka yang implikasinya mungkin bergema dalam kon teks yang lebih luas.
Ini adalah pendirian saya bahwa masa depan demokrasi di Indo nesia secara jelas ditentukan oleh sejauh mana kondisi politik arus bawah dapat diperbaiki dari keadaan sekarang ini. Setiap usaha ke arah lemokratisasi di masa depan akan sia-sia tanpa asumsi dasar ini. Sayang nya, praktik dan diskursus politik dominan di Indonesia saat ini dicirikan oleh bias elitis mereka. Politik pada umumnya tetap monopoli pema haman-diri elite. Karenanya, retorika politik yang mengatakan bahwa rakyat masih bodoh atau rakyat belum siap untuk demokrasi secara umum masih tetap dipertahankan, khususnya oleh aparatur negara dan para pejabat partai politik. Pembenaran-diri ini hanya menggambarkan intensitas keinginan untuk menyingkirkan masyarakat bawah dari politik. Pada saat bersamaan, ini juga berfungsi untuk lebih jauh menekan aspirasi politik dari masyarakat bawah yang mungkin melawan mereka kalangan elite.