Beberapa Persoalan Dasar dalam Kajian Politik Arus Bawah
Beberapa Persoalan Dasar dalam Kajian Politik Arus Bawah
Pengkajian politik arus bawah, tak pelak lagi, mengharuskan ba nyak asumsi teoretis yang dikembangkan dari paradigma-pradigma dominan ditinjau kembali. Pertama, pengkajian yang positivistis dan empiristis (pluralis maupun Marxis) jelas tidak mencukupi untuk men jelaskan dan menangkap gejala-gejala sosial yang sering tidak transpa ran atau muncul ke permukaan. Karenanya, pendekatan yang lebih interpretifl” menjadi penting di sini. Pendekatan-pendekatan yang me nekankan pentingnya analisis simbolis seperti etnometodologi, inter aksi simbolik (symbolic interactionism), semiotik, hermeneutik, dan sebagainya” amat diperlukan dalam upaya melakukan rekonstruksi realitas yang tak selamanya bisa diterangkan dengan pendekatan em piris. Apalagi bila kita sadari bahwa realitas sosial senantiasa adalah realitas interpretif, atau yang oleh Giddens
disebut sebagai double bermeneutics, 12 maka pendewaan terhadap empirisme merupakan kekeliruan epistemologis yang akan menghasilkan analisis
sepihak (one side) saja.
M. Adas menyoroti hubungan antara masyarakat bawah dengan negara. Lihat misalnya “Moral Economy’ or ‘Contest State’?: Elite Demands and the Origins of Peasant Protest in Southeast Asia,” Journal of Social History, 13, 14, 1981; “From Footdragging to Flight: The Evasive History of Peasant Avoidance Protest in South and Southeast Asia,” dalam J. Scott, dan B. Kerkvlist (eds.), Everyday. Forms of Peasant Resistance in Southeast Asia, London: Frank Cass, 1986. Karya J. Scott yang populer adalah The Moral Economy of the Peasant: Subsistance and Rebellion in Southeast Asia, New Haven: Yale University Press, 1976; dan Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, New Haven: Yale University Press, 1985. S. Popkin mencoba membuat counter argumen bagi tesis Scott dalam The Rational Peasant, Berkeley: University of California Press, 1977. dalam J. Gaventa Power and Powerness: Quiescene and Rebellion in an Appalachin Valley, Chicago: University of Illinois, 1980, membuat studi kasus perlawanan buruh di Amerika, sedang studi E. Genovese mengungkapkan perlawanan para budak di Amerika dalam Roll Jordan Roll: The World the Slave Made, New York: Vintage, 1979. A. Stoler melakukan studi tentang para pekerja perkebunan di Sumatera dalam Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt 1870-1979, New Haven: Yale University Press, 1985; dan “Plantation Politics and Protest On Sumatra’s East Coast,” dalam J. Scott dan B. Kerkvliet, op.cit., 1986. Sementara B. Kerkvliet melakukan kajian politik arus bawah di Filipina dalam The Huk Rebellion, Berkeley: University of California, 1977, dan Everyday Politics in the Philippines: Class and Status Relations in A Central Luzon Village, Forthcomping.
10 Geertz, op.cit., 1973, 1983; Gibbon, op.cit., 1987. 11 Habermas, op.cit., 1979, 1981, 1987; Gadamer, op.cit., 1975; Bordieu, op.cit., 1977. 12 A. Giddens, op.cit., 1987.
110 Demokrasi dan Civil Society
Selain permasalahan epistemologis di atas, kajian mengenai politik arus bawah juga seyogyanya bergerak melewati (beyond) parokialisme disipliner ilmu politik. Artinya, ia mampu “bekerja sama” dengan, dan punya empati terhadap disiplin lain seperti sosiologi, ekonomi, antropologi, linguistik, dan sejarah. Tanpa kepekaan interdisipliner tersebut maka kajian hanya akan menghasilkan analisis steril dan gagal untuk menangkap nuansa-nuansa yang lebih kompleks. Politik, dengan demikian tidak
hanya dimengerti secara formal dan kaku, tetapi lebih lugas sebagai daya upaya anggota masyarakat untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan mereka, upaya untuk bertahan meng hadapi kelompok yang lebih kuat secara ekonomi, sosial, dan ideologis, termasuk upaya mereka mempertahankan pandangan hidup berupa ekspresi budaya dan nilai- nilai/norma-norma yang ada. Dari pema haman ini, maka jelas bahwa pengertian politik menjadi luas dan mencakup: bukan saja tindakan politik yang formal dan institusional (pemilu, voting, dan seterusnya), tetapi juga yang bersifat nonformal, termasuk perjuangan mereka dalam kehidupan sehari-hari bergulat dengan kemiskinan dan mempertahankan norma- norma dan nilai serta pandangan dunia mereka. Jadi di sini politik tidak hanya berurusan dengan akumulasi dan manipulasi kekuasaan, tetapi juga permasalahan distribusi sumber daya (resources) secara adil. 13
Salah satu konsekuensi penting dari terobosan pemahaman yang demikian adalah reorientasi terhadap konsep pelaku (agent) atau aktor dalam proses politik. Masyarakat bawah haruslah dimengerti sebagai agen dan aktor politik yang sadar dan memiliki kemampuan tertentu untuk
memahami dan bertindak atas setiap peristiwa yang ada di sekitarnya. 14 Wawasan seperti ini bertolak belakang dengan paradigma- paradigma dominan yang mendasari teori-teori fungsional-struktural parsonian maupun strukturalis Marxian. Dua yang terakhir tersebut pada intinya memandang manusia hanya sebagai, meminjam istilah Giddens, “tawanan budaya,” atau meminjam Athusser, “pembawa beban sejarah.” Manusia sebagai agen dan aktor yang sadar, menjadi “menghilang” begitu saja,
13 Penafsiran kembali pengertian politik ini juga ditekankan oleh Juergen Habermas dalam Theory and Practice, op.cit., 1973. 14 Untuk mengikuti perdebatan mengenai agensi dan struktur, lihat A. Giddens, op.cit., 1979, 1987, khususnya Bab 4 dan 9. Juga kritik E.P. Thompson terhadap strukturalisme dalam The Poverty of Theory, London: Merlin, 1978.
Politik Arus Bawah dan Studi Pembangunan 111
dalam cengkeraman struktur (ekonomi, po litik, ideologi) dan determinasi “hukum” sejarah. 15 Kekakuan seperti inilah yang membuat kebanyakan analisis politik dan ilmu sosial lain nya menjadi kering dan kehilangan dimensi dan warna kemanusia annya. Analisis tersebut lebih tepat disebut sebagai imitasi kasar dari ilmu-ilmu alam (natural sciences) yang dicoba diterapkan untuk me mahami proses-proses sosial.
Oleh karena itu, pengkajian politik yang mampu memahami gejolak arus bawah akan dengan sendirinya bergerak melewati (beyond) dan menembus pemahaman-pemahaman deterministik semacam struktural isme. Pemahaman yang dialektis antara subjek dan realitas struktural merupakan
salah satu jalan pemecahan. 16 Ia mengakui kemampuan subjek sebagai aktor yang bisa bertindak (politik, ekonomi, budaya) tetapi tidak berarti pengingkaran adanya batas-batas struktural yang mungkin menghambat atau mendorong mereka. Struktur dan subjek adalah dua komponen yang bergerak bersama-sama secara dialogis dan di dalam gerak tersebut manusia sebagai aktor mencoba mengantisipasi permasalahannya.
Dengan pengakuan atas kemampuan agen tadi, tidak berarti kita harus terjebak pada pemahaman teleologis yang mengandaikan proses sejarah manusia sebagai suatu perjalanan menuju suatu telos, suatu tujuan akhir yang dibayangkan. Kecenderungan Hegelian yang sampai kini masih menghantui epistemologi Barat, baik yang Marxis maupun non-Marxis, ini melihat proses sejarah sebagai suatu perjalanan menuju tujuan yang ideal: kaum Marxis mempunyai cita-cita masyarakat tanpa kelas, sedang para
15 L. Althusser, op.cit., 1968. 16 Upaya untuk melakukan pendekatan semacam ini dicoba antara lain oleh Giddens dengan teori Strukturasi (Structuration Theory). Lihat pemaparan teori tersebut oleh Giddens dalam The Constitution of Society, 1984. Demikian juga W.F. Wertheim, dalam Evolution and Revolution: The Rising Waves of Emancipation, Harmondswor: Penguin, 1974, juga ingin mengisyaratkan hal yang sama. Ia mengatakan: I Still do not consider myself a Marxist in the accepted sense. My approach is not exclusively based on analysis in terms of warring political clases. I attempt to combine certain aspects of the structural approach... with more dynamic type of analysis in which social conflicts are incorporated as essential elements of any social texture, (hal. 12) cetak miring dari penulis. Pernyataan Wertheim ini muncul sehubungan dengan ketidakpuasannya terhadap paradigma struktural fungsional yang dominan dalam sosiologi Barat yang menurutnya terlampau deterministik dan mengabaikan dialektika. Baginya, struktural-fungsional “terlampau statis untuk mampu memahami dinamika proses-proses sosial” (hal. 88). Untuk itu, ia mengajukan pendekatan Counterpoint yang menurutnya mampu memberikan alat analisis yang lebih dinamis.
112 Demokrasi dan Civil Society
utopis non-Marxis mengidealkan kebebasan indivi dual yang sempurna. Kalau pemahaman ini diikuti, maka kemungkinan besar pengkajian kita
atas politik arus bawah pun menjadi romantik dan malahan utopis. 17 Kita dengan mudah mengulangi kesalahan pengikut Weberian yang memilah gerak sejarah atas jenjang-jenjang, dari yang paling: “primitif ” tradisional menuju tingkat modernitas yang rasional. Atau kita terjebak dalam jargon Marxian yang melihat perjalanan sejarah dari masyarakat “primitif ” menuju telos yang bernama masyarakat tanpa kelas. 18
Pada hemat saya, walaupun pembagian faset-faset sejarah itu pen- ting (mengingat dialektik antara subjek dan struktur yang berbeda dalam konjungtur sejarah yang berbeda pula), tetapi saya lebih cen derung melihatnya sebagai suatu proses yang open ended, terbuka. Misalnya, terhadap suatu gerakan millenarian dan gerakan protes yang terorganisir secara rapi oleh suatu organisasi sosial/politik memang perlu dibedakan, tetapi bukan sebagai suatu jenjang kontinum yang linear. Sebab ini mengandaikan adanya tingkat “rasionalitas” yang se ngaja atau tidak, dipaksakan keberadaannya yang pada gilirannya meng akibatkan pemahaman atas proses sosial yang unilinear. Kesinambungan sejarah memang harus diakui adanya, tetapi tidak dalam pengertian teleologis dan reduksionis tersebut, tetapi dalam kerangka dialektis antarsubjek dan struktur yang terbuka.
Akibat lain dari perspektif dialektis tersebut adalah berkaitan de ngan lokasi sejarah politik arus bawah. Aktivitas politik suatu masya rakat yang sekecil apa pun bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, terlepas dari proses
yang lebih besar di luar batas-batas kultural dan geografisnya. Sebaliknya, ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kejadian-kejadian dan
perubahan-perubahan di sekitarnya. Oleh sebab itu, faktor-faktor politik-
17 Kritik yang paling gencar terhadap sifat teleologis epistemologi Barat dilancarkan oleh penganut post-modernisme, yang dipelopori antara lain oleh M. Foucault, J. Derrida, E. Said untuk menyebut sebagian kecil. Untuk me mahami post-modernisme, lihat misalnya F. Lyotard, The Post-Modern Condition: A Report on Knowledge, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1988; M. Foucault, The Order of Things: An Archeology of Human Sciences, New York: Pantheon Books, 1972. Khususnya dalam ilmu politik, lihat M. Shapiro, Language and Polities, New Haven: Yale University Press, 1981; dan The Politics of Representation: Writing in Biography, Photography, and Policy Analysis, Madison: University of Wisconsin Press, 1988.
18 M. Foucault, op.cit., 1970, 1972.
Politik Arus Bawah dan Studi Pembangunan 113
ekonomi nasional dan internasional 19 selalu berperan dalam gejolak politik, termasuk yang ada dalam masyarakat bawah. Penelitian-penelitian
mengenai gerakan-gerakan perlawanan rakyat di Amerika Latin, Asia dan Afrika, misalnya, 2 ° me nunjukkan adanya hubungan yang erat antara
gerakan-gerakan tersebut dengan penetrasi kapitalisme internasional dalam bentuk-bentuknya seperti kolonialisme dan imperialisme. Pada masa pascakolonial ter utama pasca-PD II, pengaruh sistem ekonomi- politik internasional tersebut diperkirakan semakin menguat disebabkan oleh semakin berkembangnya teknologi informasi dan transportasi serta
ke-(saling)- tergantungan yang berlingkup global. 21 Bukanlah sesuatu yang berlebihan bila dikatakan bahwa mustahil bila
sebuah kajian mengenai politik arus bawah, baik yang berbentuk formal maupun nonformal, mencoba mengabaikan dimensi-dimensi nasional dan global tersebut. Bahkan, kajian-kajian sekitar topik yang kelihatannya mikro pun, mau tak mau harus mempertimbangkan impli kasi perubahan yang terjadi dalam lingkup nasional dan global tersebut.
Demikianlah, misalnya, untuk memahami peristiwa pergolakan massa seperti di Filipina, kita tidak cukup hanya dengan analisis politik internal di
19 Pengaruh global terhadap proses-proses sosial yang ada di negara berkembang, termasuk gerakan-gerakan sosial diakui baik oleh kubu liberal- pluralis maupun Marxis. Lihat misalnya T. Skocpol, State and Social Revolutions A Comparative Analysis of France, Russia and China, Cambridge: Cambridge University Press, 1979. Yang paling menonjol tentu saja adalah analisa sistem kapitalis global terhadap peristiwa-peristiwa sosial politik di dunia. Lihat I. Wallerskin, The Capitalist World-Economy, London: Cambridge University Press, 1979; Historical Capitalism, London: Verso, 1983; dan The Politics of the Capitalist World- System, Cambridge: Cambridge University Press, 1984.
20 Misalnya penelitian J. Nash, di Bolivia, We Eat Mines and the Mines Eat Us: Dependency and Exploitation in Bolivian Tin Mines, New York: Columbia University Press, 1982; penelitian A. Isaacman, et.al., di Mozambique, “Cotton in the Mother of Poverty: Peasant Resistance to Forced Cotton Production in Mozambique 1938-1961,” The International journal ofAfrican Historical Studies, 13, 1980. Untuk Asia, lihat J. Scott, op.cit., 1876, juga Z. Ibrahim, “Investigating Peasant Consciousness in Contemporary Malaysia,” dalam A. Turton, dan S. Tanabe (eds.), History and Peasant Consciousness in Southeast Asia, SENRI Ethnological Studies, 13, 1984. Pengaruh MNCs terhadap munculnya perlawanan rakyat juga telah diteliti di Malaysia. Lihat misalnya A. Ong, Spirit of Resistance and Capitalist Discipline: Factory Women in Malaysia, New York: SUNY Press, 1987.
21 Buku-buku pop seperti karya A. Toffler, The Third Wave, New York: Bantam Book, 1980 berusaha meyakinkan kita tentang pengaruh teknologi informasi terhadap pola-pola kehidupan manusia di masa depan.
114 Demokrasi dan Civil Society
negara tersebut, tetapi penting mengaitkannya juga dengan posisi politik- ekonomi negara itu di dalam jaringan sistem dunia (world-system). Demikian pula, kajian-kajian atau analisis tentang kelas sosial, ideologi (nasionalisme, egalitarianisme, sosialisme, dan seterusnya), 22 yang sering dianggap inheren
dalam gerakan massa harus pula di mengerti dalam konteks global tersebut.