Kritik Atas Model Otoriter Birokratik

Kritik Atas Model Otoriter Birokratik

Model negara OB tak syak lagi telah berkembang menjadi salah satu penghampiran yang paling populer tentang sistem politik dan negara beberapa negara Dunia Ketiga. Untuk sebagian besar, ini disebabkan oleh klaim teoretis model tersebut yang mampu menawarkan kerangka teori tentang negara yang melewati batas-batas politik di wilayah asalnya, Amerika Latin. Terutama apabila negara-negara tersebut juga terlibat dengan masalah-masalah industrialisasi dan pembangunan ekonomi. Jadi, para penganut model negara OB juga berlaku di wilayah-wilayah lain yang memiliki pengalaman pembangunan lewat jalan kapitalis. Terutama di negara-negara Asia, seperti Taiwan, Korea Selatan, Thailand, Filipina, Singapura, dan Indonesia, di mana modernisasi dimengerti dalam kerangka akumulasi kapital, pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan akselerasi industrialisasi yang maju, maka gejala-gejala politik yang lama seperti yang terjadi di Amerika Latin pun akan muncul pula. Di negara- negara tersebut, proses modernisasi me mang telah mampu menciptakan suatu tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup berarti. Namun semuanya masih belum menjamin bahwa proses demokratisasi politik juga akan tercapai. Selanjutnya, penganut model OB akan mengatakan bahwa kemungkinan negara-negara akan terjatuh pada kekuasaan otoriter atau mengalami terjadinya proses diksolasi politik di tingkat bawah. Bahkan, kemungkinan terbentuknya rezim-rezim militer yang bekerja sama dengan kaum teknokrat dan birokrat pun cukup terbuka seperti halnya di beberapa negara Amerika Latin.

24 Demokrasi dan Civil Society

Walaupun klaim-klaim teoretis tersebut mungkin beralasan, tetapi model negara OB ini tetap mengundang kritik-kritik tajam, baik dari lawan maupun simpatisannya. Pada kenyataannya, dari para simpatisan model OB sendiri telah muncul serangkaian otokritik yang dimaksud kah untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan serta kelemahan-kelemahan asumsi dasarnya. Para ilmuwan seperti Cardoso, Collier, Cotler, Hirschman, Kaufman, Serra, Malloy, Stepan, dan bahkan O’Donnell sendiri menyadari sepenuhnya beberapa kelemahan model yang dimaksudkan untuk menjelaskan gejala-gejala politik di negara-negara berkembang. Oleh karenanya, mereka telah berusaha pula untuk me revisi dan memperluas model OB lewat berbagai kritik teori dan studi -studi kasus.

Kritik terhadap model ini adalah kecenderungan ekonomisme yang kuat. Cardoso, 24 mengatakan bahwa kecenderungan ekonomisme ini

menjadi sebab mengapa model OB gagal membedakan antara negara kapitalis dengan berbagai macam rezim yang mungkin bisa berada di dalamnya. Dalam

pandangan Cardoso, kemungkinan adanya beberapa macam rezim dalam negara kapitalis bisa dibayangkan, misalnya rezim-rezim demokratis, otoriter, korporatis, dan bahkan mungkin rezim fasis. Model negara OB yang ekonomistik tidak akan mampu melihat hal ini, karena ia menggunakan konsep-konsep yang linear, hubungan sebab akibat yang tunggal mengenai hubungan antara negara dan rezim. Model ini “menganggap bahwa untuk setiap “tahap” akumulasi terdapat satu jenis rezim yang cocok.” 25 Pada kenyataannya, lanjut Cardoso, munculnya rezim

OB tidaklah secara eksklusif berkaitan dengan motif-motif ekonomi. Jika semua negara kapitalis di wilayah pinggiran dianggap negara OB, maka tampaknya akan sulit untuk memasukkan negara seperti Venezuela dan Costa Rica, yang jelas demokratis, di dalam kategori itu. Jadi bagi Cardoso apa yang disebut sebagai negara OB sebetulnya hanyalah salah satu tipe rezim dalam suatu negara kapitalis yang cirinya antara lain adalah konsentrasi kekuasaan di tangan cabang-cabang eksekutif. Adalah karena “semakin kuatnya pihak eksekutif dan makin berpengaruhnya kapasitas teknik pihak eksekutif (sebagai pencerminan rasionalitas formal) yang menandai rezim-

24 Lihat kritik FH. Cardoso, dalam “On the Characterization of the Authoritarian Regimes in Latin Amerika,” dalam D. Collier, The New Authoritarian, op.cit. 25 FH. Cardoso On the Characterization, op.cit., hal.39.

Negara Birokratik Otoriter dan Redemokratisasi 25

rezim (OB) tersebut.” 26 Dalam rezim seperti ini, biasanya militer memiliki kekuatan veto terhadap keputusan-keputusan politik, namun ia tidak selalu

memiliki pengaruh yang besar dalam pengambilan keputusan keputusan ekonomi. Akibatnya, bentrokan-bentrokan antara militer dan kelompok eksekutif yang lain menjadi sulit dielakkan. Kelanggengan sebuah rezim OB lebih banyak tergantung pada pilihan-pilihan jenis pendelegasian otoritas militer kepada cabang-cabang eksekutif lain.

Cardoso memang sependapat dengan argumen O’Donnell, bahwa hubungan antara negara dan civil society tidaklah lewat perwakilan demokratis, namun lewat kooptasi. Jadi, “mereka yang mengontrol aparat-aparat negara menyeleksi berbagai macam orang untuk ikut berperan serta dalam proses pengambilan keputusan, suatu proses seleksi yang akan melebar bahkan mencakup sektor masyarakat yang paling kuat maupun sektor masyarakat kelas bawah.” 27 Lebih jauh, kelompok kepentingan dalam rezim OB tidaklah mendapat legitimasi sebagaimana layaknya wakil-wakil rakyat. Tetapi justru para birokratlah yang dipercayai untuk memegang tampuk pimpinan dalam aparatur negara, yang pada gilirannya akan menentukan siapa saja yang bisa berperan serta atau siapa yang tidak. Cardoso di sini tampaknya ber pandangan sama dengan O’Donnell terutama mengenai kontrol negara terhadap civil society lewat mekanisme korporatisasi. Tetapi, ternyata Cardoso tidak sependapat dengan O’Donnell mengenai eliminasi total terhadap sektor massa di bawah rezim-rezim OB. Menurut Cardoso, kelompok militer cenderung membiarkan mobilisasi massa sampai pada tingkat tertentu untuk memperkecil pengaruh partai politik. Dengan demikian, anggapan bahwa organisasi buruh atau sektor massa di- singkirkan di bawah rezim OB tidak sepenuhnya benar.

Oleh karena aktivitas politik dari sektor massa masih ada (walaupun relatif kecil), maka kapasitas kontrol dari rezim OB juga akan bervariasi.

Hal tersebut akan sangat tergantung pada beberapa faktor. Di antaranya adalah situasi pada saat rezim itu mulai berkuasa, tingkat kelemahan civil society, dan faktor-faktor teknis yang mungkin meningkatkan atau mengendurkan kapasitas kontrol tersebut. Ada atau tidaknya krisis-krisis dalam rezim OB sangat ditentukan oleh kapasitas kontrol ini. Mekanisme

26 Ibid., hal. 41. 27 Ibid., hal. 43.

26 Demokrasi dan Civil Society

-mekanisme represif yang senantiasa berkembang dalam rezim ini, justru merupakan pertanda adanya faktor destabilisasi yang potensial dan yang memperkecil kemampuan rezim tersebut untuk menyerap seluruh terhadapnya.

Kritik atas penjelasan O’Donnell yang ekonomistik tentang negara OB juga dilancarkan oleh Hirschman 28 dan Jose Serra. 29 Mereka berdua mengatakan bahwa pada hakikatnya, faktor-faktor ekonomi bukanlah yang mendorong terbentuknya negara OB. Kenyataan menunjukkan bahwa proses perluasan (deepening) industrialisasi yang terjadi setelah kejenuhan strategi ISI sama sekali tidak bertanggung jawab atas munculnya negara OB. Pada kasus seperti Brazil, misalnya, Serra menunjukkan bahwa pada tahap perluasan dalam ekonomi Brazil pada 1950, justru bukan negara OB yang secara aktif memotori proses industrialisasi yang ditujukan kepada ekspor. Juga tidak benar bahwa yang membawa negara OB di Brazil pada dekade 60-an adalah proses perluasan industrialisasi itu. Tetapi proses terakhir ini baru menjadi penting pada dekade 70-an, sepuluh tahun setelah berdirinya negara OB di sana.

Kritik Hirschman menyatakan bahwa ekonomisme ala O’Donnell adalah semacam reduksionisme yang mengesampingkan peran penting yang dimainkan oleh kekuatan-kekuatan ideologi dan politik di dalam proses terbentuknya negara OB. Di dalam pengkajian kritisnya mengenai Amerika Latin, Hirschman berpendapat bahwa tak satu pun dari rezim- rezim otoriter di wilayah tersebut ditegakkan demi strategi pertumbuhan ekonomi. Mengikuti ulasan Serra, ia juga menyatakan bahwa proses perluasan industrialisasi bukanlah leitmotif kelompok militer dan teknokrat untuk mendirikan negara OB. 30

28 Kritik A.O. Hirschman, dituangkan dalam tulisannya “The Turn to Authoritarianism in Latin America and The Search for Its Economic Determinants,” dalam D. Collier, The New Authoritarianism, op.cit.

29 Lihat artikel J. Serra, “There Mistaken Theses Regarding the Connection Between Industrialization and The Authoritarianism,” dalam D. Collier The New Authoritarianism, op.cit. 30 A.O. Hirschman, The Turn, op.cit.

Negara Birokratik Otoriter dan Redemokratisasi 27

Kecenderungan kuat O’Donnell untuk memberikan tempat utama pada faktor ekonomi juga diserang oleh Kaufman. 31 Dalam pandang annya

konsep-konsep O’Donnell hanya akan membawa pada harapan mekanistik bahwa “faktor-faktor ekonomi dalam setiap keadaan akan menghasilkan

hasil-hasil politik yang sama. Lebih buruk lagi, negara -negara yang dikaji diharapkan akan menempuh jalan yang lurus menuju hasil OB yang telah

diperkirakan sebelumnya.” 32 Menurut studi-studi empiris yang dilakukan Kaufman di beberapa negara Amerika Latin, asumsi demikian tidak cukup

didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Ia menunjukkan misalnya kasus Uruguay, di mana jumlah yang cukup besar massa kritis yang terdiri dari para teknokrat tampaknya tidak diperlukan lebih dulu bagi munculnya negara OB di sana. Sama halnya dengan Cardoso, Kaufman juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang seragam antara tipe-tipe rezim tertentu dengan tahap-tahap industrialisasi, yaitu misalnya bahwa rezim populis adalah sebagai pendahulu pada tahap awal industrialisasi sebelum disusul oleh rezim OB. Ada tumpang tindih (overlap) antara populisme dengan proses industrialisasi di mana yang pertama menciptakan tekanan-tekanan terhadap negara yang pada gilirannya memaksa yang terakhir ini me nuju otoriterisme. Kaufman sependapat dengan Hirschman dan Serra bahwa rezim OB tidak secara langsung punya kaitan dengan proses deepening. Menurutnya,

kenyataan menunjukkan bahwa kecil sekali adanya konsensus di dalam rezim itu sendiri mengenai perlunya suatu strategi pembangunan yang khas, dengan komitmen-komitmen terhadap stabilitas jangka pendek yang umumnya menjadi perhatian lebih utama. Lebih jauh upaya-upaya represif yang paling kuat tampaknya lebih berkaitan dengan tujuan-tujuan stabilitas ketimbang kepada antagonisme jangka panjang yang dihasilkan oleh perubahan- perubahan dalam struktur industri. 33

31 Lihat artikel R. Kaufman, “Industrial Change and Authoritarian Rule in Latin America: A Concrete Review of the Bureaucratic Authoritarian Model,” dalam D. Collier, The New Authoritarianism, op.cit.

32 R. Kaufman, Industrial Change, op.cit., hal. 247. 33 Ibid., hal. 248.

28 Demokrasi dan Civil Society

Akhirnya, studi-studi Kaufman juga lebih melahirkan beberapa per- tanyaan serius tentang isu ketergantungan negara OB terhadap dukungan- dukungan luar, dalam rangka mempertahankan tujuan-tujuan jangka panjangnya. Meskipun pada dasarnya ia setuju dengan asumsi dasar bahwa negara OB mencari dan memperoleh bantuan finansial dan teknologi dan kapital internasional, tetapi ia ingin menekankan adanya faktor-faktor dinamis dalam negara OB yang membuatnya mampu mempertahankan dominasinya dengan memperkecil ketergantungannya terhadap pengaruh-

pengaruh asing itu. Dalam hal ini, faktor-faktor nonpolitik memainkan peranan penting, misalnya: besar-kecilnya negara, kekuatan-kekuatan pasar di dalam negeri, sumber daya alam, keuntungan geografis, dan sebagainya. Singkatnya, dinamika negara OB tidak harus hanya dilihat dari hubungannya dengan dukungan eksternal, tetapi juga dengan ciri-ciri khusus dalam negeri. Akibatnya, penjelasan teoritis yang dikembangkan dari model negara OB hanya akan bermanfaat sejauh ia memberikan perhatian yang cukup terhadap kesejahteraan tiap-tiap negara, termasuk di antaranya proses-proses penyatuannya dengan sistem dunia dan industrialisasi.

Setelah memaparkan beberapa catatan kritis terhadap model OB ini, penulis akan mencoba mengevaluasi kekuatan dan kelemahannya

sebagai pisau analisis dalam memahami sifat, karakter, dan perkembangan negara-negara Dunia Ketiga. Pertama-tama, tampaknya model ini cukup memberikan pandangan-pandangan teoretis yang luwes dan dinamis mengenai sifat-sifat negara-negara di Dunia Ketiga melebihi kerangka- kerangka perspektif instrumentalisme dan strukturalisme yang diajukan oleh sebagian para Marxian. Ia juga berusaha meninggalkan pandangan- pandangan kubu liberal-pluralis yang umumnya mengabaikan peranan negara dalam menentukan aktivitas politik, ekonomi dan sosial di Dunia Ketiga. Lebih penting lagi, model ini memberikan perhatian yang cukup terhadap peran sistem kapitalis dunia dalam membentuk dan mempengaruhi terwujudnya negara dalam kerangka proses akumulasi kapital dalam skala global. Dengan demikian, ia juga meninggalkan teori ketergantungan 34 yang cenderung mengabaikan dinamika internal dari

34 A.G. Frank, “Latin America: Underdevelopment or Revolution?: Essay in the Development of Underdevelopment and the Immediate Enemy,” New York: Monthly Review, 1969.

Negara Birokratik Otoriter dan Redemokratisasi 29

negara-negara pinggiran dan berusaha menjelaskan tumbuhnya negara dalam kerangka perkembangan dan konflik antarkelas sosial. Model ini juga menaruh perhatian besar terhadap mekanisme-mekanisme korporatisasi yang digunakan oleh negara dalam dominasinya terhadap civil society. Khususnya, peran militer dan teknokrat amat diperhatikan dalam menentukan proses-proses pengambilan keputusan politik, ekonomi, dan sosial di Dunia Ketiga, dan bagaimana aliansi antara keduanya serta kapital nasional dan internasional diciptakan. Dengan demikian, perkaitan dialektis antara kekuatan-kekuatan internal dan eksternal diperhitungkan dengan cukup cermat. Meskipun ada ke cenderungan ekonomisme dalam model ini, tetapi tampaknya akhir -akhir ini ada keinginan kuat dari para pendukungnya untuk mengatasi persoalan tersebut dengan kritik-kritik

dan reformulasi terhadap asumsi -asumsi dasarnya. Kelemahan model ini adalah masih kecilnya kemampuan yang

dimilikinya untuk bisa menjelaskan permasalahan negara-negara di luar Amerika Latin. Mereka yang akan menggunakan model ini untuk menjelaskan kasus-kasus di Asia dan Afrika, mau tak mau masih harus melakukan banyak revisi terhadap asumsi-asumsi dasarnya. Hal ini terutama disebabkan oleh asal-usul model OB yang berangkat dari pengalaman negara-negara di kawasan Amerika Latin yang jelas punya perbedaan kesejarahan yang mencolok dengan wajah Asia dan Afrika. Memang beberapa upaya telah dilakukan untuk menerapkan model ini di negara- negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan Filipina. Tetapi masih harus dilihat secara kritis apakah model ini mampu memberikan penjelasan- penjelasan yang cukup terpadu dan menyeluruh yang pada akhirnya nanti akan dapat menyumbangkan pemahaman yang lebih mendalam dan bukan hanya pemaksaan model terhadap pernyataan yang ada. Untuk sementara, tampaknya harus diakui bahwa model negara OB masih dalam tahap perkembangan awal dan masih me merlukan banyak perbaikan.

Model negara OB juga masih memiliki kelemahan lain yaitu dalam analisisnya terhadap sektor massa. Menurut hemat penulis, dalam model itu belum jelas sejauh mana perlawanan yang dilakukan oleh sektor massa di bawah harus diterangkan. Memang telah cukup banyak dijelaskan mengenai mekanisme kontrol oleh negara yang kelas elite. Tetapi belum begitu tampak penjelasan mengenai upaya-upaya kelas bawah menciptakan

30 Demokrasi dan Civil Society

apa yang disebut Gramsci sebagai counter hegemoni 35 dari massa terhadap negara dan kelas elite. Padahal kajian ini penting, agar kita memperoleh

pemahaman yang tidak sepihak mengenai dinamika internal negara OB. Kalau tidak demikian, maka pemahaman kita cenderung mengabaikan dinamika lapisan bawah yang sudah pasti memiliki kemampuan perlawanan tertentu menghadapi kontrol yang ketat dari atas.

Oleh karenanya, masih diperlukan suatu pemahaman yang berorientasi ke bawah, misalnya saja mengamati bagaimana cara kelas pekerja dan petani mencoba bertahan dari kontrol tersebut, dan juga cara-cara apa yang mereka pakai (baik yang terorganisasi maupun tidak) dalam usaha mereka menyalurkan aspirasi politik, dan seterusnya. Juga penting misalnya menganalisis cara-cara mereka yang berada di lapisan bawah untuk memperbesar pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan oleh negara dengan menggunakan saluran-saluran informal. Pemakaian jalur-jalur hubungan patron-klien, menurut hemat penulis, masih sering digunakan oleh lapisan bawah dalam mempengaruhi

keputusan-keputusan politik, terutama di tingkat loka1. 36 Hubungan- hubungan patron-klien ini boleh jadi malahan mampu menerobos batas- batas blrokrasi dan organisasi politik yang membatasi ruang gerak sektor massa. Dengan demikian akan diperoleh suatu gambaran yang lebih jelas mengenai hubungan antara negara dan civil society di tingkat

bawah dan bagaimana keduanya berusaha saling mempengaruhi. 37

35 A. Gramsci, Selection from the Prison Notebooks. London: Lawrence & Wishart, 1971. Untuk pemahaman tentang pemikiran politik Antonio Gramsci, lihat karangan J. Femia, Gramsci’s Political Thought. Oxford: Clarendon Press, 1981. Untuk diskusi mengenai konsep hegemoni, lihat W. Adamson, Hegemony and Revolution: A Study of Antonio Gramsci’s Political and Cultural Theory. Berkeley: University of California, 1982.

36 Lihat misalnya studi J. Scott, Weapons of The Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press, 1985. Walaupun kecenderungan semakin menipisnya hubungan patron-klien semakin nyata, tetapi tidak berarti jalur semacam ini tidak dipergunakan lagi.

37 Untuk kajian tentang isu-isu ini, lihat misalnya, M. Burawoy, The Politics of Production: Factory Regimes Under Capitalism and Socialism. London: Verso, 1987. Juga B. Kerkvliet, Everyday Politics in the Philippines: Class and Status Relations in A Central Luzon Village. Berkeley: University of California Press, forthcoming. Meskipun kedua buku tersebut menganalisis dua wilayah yang berbeda, kota dan desa, tetapi keduanya mencoba melihat dinamika politik kelas bawah yang ternyata memiliki kompleksitasnya sendiri dan kemampuan untuk melawan penindasan, baik yang dilakukan oleh negara maupun kelas elite.

Negara Birokratik Otoriter dan Redemokratisasi 31

Yang terakhir ini membawa kita pada kritik terhadap model OB yang kurang jelas dalam masalah konflik kelas, baik di tingkat elite maupun di lapisan bawah. Kecuali Cardoso yang telah berusaha memberikan analisis yang cukup memadai mengenai kelas dominan dalam rezim OB, maka umumnya analisis model OB memperlihatkan kecenderungan yang statis terhadap kelas O’Donnell, misalnya, kurang begitu tajam menjelaskan apa yang disebut sebagai kelas borjuis atas (upper bourgeoisie): siapa yang menempati kelas itu dan terdiri dari apa saja kelas tersebut. Demikian pula dalam menjelaskan sektor massa, tersirat adanya kecederungan menganggap sektor tersebut sebagai suatu kelas yang utuh dan homogen. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya; lapisan bawah pun mengalami konflik-konflik yang ikut mempengaruhi kemampuan mereka untuk melakukan mobilisasi. Kecenderungan statis dalam analisis mengenai kelas-kelas dalam masyarakat inilah yang menurut penulis juga perlu diperbaiki.