Hambatan dalam Pemberdayaan Civil society

Hambatan dalam Pemberdayaan Civil society

Yang penting dicermati adalah masih banyaknya kendala, baik internal maupun eksternal, yang dihadapi NU dalam proses pembentukan dan pemberdayaan civil society, agar perbaikan-perbaikan di masa yang datang bisa dilakukan. Kendala internal muncul sebagai hasil dinamika internal organisasi menyangkut permasalahan-sekitar: 1) perbedaan tafsiran tentang kerangka-kerangka normatif, 2) struktur kelembagaan organisasi, dan 3) masalah kepemimpinan. Sementara itu, kendala oksternal muncul dari hasil hubungan dialektis antara NU dengan kekuatan-kekuatan di luarnya. Dalam hal ini, negara dan struktur politik ekonomi mikro adalah

Prospek dan Tantangan NU dalam Pemberdayaan Civil Society 247

faktor-faktor dominan yang bisa berpengaruh negatif bagi kiprah NU, saat ini dan di masa depan. Di samping itu, dinamika gerakan dan kekuatan- kekuatan Islam di luar NU ikut berdampak bagi perkembangan NU, begitu pula interaksinya dengan organisasi sosial dan politik yang ada di negeri ini.

Perbedaan interpretasi tentang kerangka normatif, sekecil apa pun, akan selalu ada di dalam batang tubuh NU dan ini pada gilirannya ikut mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan revitalisasi Khitah. Misalnya saja pertikaian antara mereka yang menekankan aspek etis dan moral dalam penafsiran ajaran agama dalam kaitannya dengan proses perubahan sosial berpotensi disintegratif bagi NU. Ini akan kelihatan paling tidak dalam soal persepsi tentang apa yang dianggap sebagai Isla mi atau tidak suatu tindakan, atau ketika NU berhadapan dengan permasalahan- permasalahan yang berada pada kawasan abu-abu (grey areas).

Dalam pada itu, struktur kelembagaan yang bersifat cair dan cenderung tumpang tindih (overlapping) di sana sini merupakan persatuan yang akan senantiasa dihadapi oleh organisasi sosial keagamaan ini. Memang, di saw

pihak sifat-sifat di atas bisa menjadi potensi pengembangan civil society yang menekankan adanya kemandirian pluralisme. Ia merupakan potensi karena dengan kecairan itulah, sulit bagi NU untuk menjadi organisasi monolitik dan sentralistik. Kemandirian lembaga-lembaga yang dimiliki NU bisa tetap terpelihara dan tentu saja amat penting bagi pemberdayaan civil society di masa depan.

Tetapi di pihak lain, sifat cair dan tumpang-tindih (overlapping) bisa dan akan menjadi kendala yang serius apabila tidak terkontrol dengan baik. Ini hanya akan bisa teratasi apabila NU secara sadar mengadopsi manajemen modern dalam pengelolaan kelembagaan Kecairan dan overlapping yang tidak terkontrol dan tidak terkelola secara rasional akan menjadi salah satu sumber ketidaksinkronan dan bahkan anarki dalam organisasi. Sayang sekali, harus diakui bahwa dalam penerapan manajemen modern ini, NU sampai kini masih tertinggal dibanding misalnya dengan organisasi seperti Muhammadiyah.

Mengenai persoalan kepemimpinan, maka tampaknya NU sam sepuluh tahun belakangan ini masih belum berhasil mengarahkan potensi konflik di kalangan elitnya kepada hal-hal yang lebih produktif.

248 Demokrasi dan Civil Society

Sudah bukan rahasia lagi bahwa konflik internal antara kelompok elite berorientasi politik dan elite yang berorientasi kultural masih tetap berlangsung dan acap kali mengakibatkan terganggunya pelaksan agenda yang sudah disepakati. Kasus tuntutan mengadakan Mukta Luar Biasa (MLB) yang terjadi belakangan ini, bisa dilihat sebagai buah dari masih belum teratasinya konflik dua kutub orientasi dalam elite itu, yang berakibat buruk bagi pelaksanaan program-program NU pasca Muktamar Cipasung. Hal ini pasti akan semakin parah apabila kekua eksternal yang tidak menyukai strategi pemberdayaan civil society memanfaatkan situasi ini.

Sementara itu, kendala eksternal yang berupa ambisi kontrol pengawasan serta interfensi negara akan berpengaruh besar terha

gerak langkah yang diambil NU di masa datang. Negara yang ingin mempertahankan dominasinya lewat berbagai jaringan korporatis dan hegemoni dalam wacana berbangsa dan bernegara, tentu akan memandang upaya-upaya pemberdayaan yang dilakukan NU sebagai pesaing. Sebab apabila NU bersama kekuatan demokratis lain dalam masyarakat berhasil merealisasikan pemberdayaan masyarakat, niscaya akan terjadi proses penyeimbangan kekuatan antara negara dan masya kat yang pada gilirannya, akan mengurangi dominasi yang dinikmati oleh pihak warga negara (citizens), yang dipercayai sebagai titik tolak penting dalam upaya perbaikan ke arah sebuah sistem politik demokratis, memperoleh hak- hak dasar yang selama ini masih belum terealisir.

Pengaruh dinamika gerakan dan organisasi Islam Indonesia terhadap NU, terutama terkait dengan meningkatnya gairah revivalisme keagamaan selama beberapa tahun terakhir. Respon kekuatan-kekuatan Islam di luar NU terhadap gejala ini, amat menentukan apakah mereka akan bisa diajak menopang upaya pemberdayaan civil society. Bila gairah revivalisme ini ternyata ditanggapi dengan kiprah-kiprah yang mempersubur sektaianisme dan fundamentalisme, maka jelas akan bertolak belakang dengan wawasan egalitarianisme (ukhuwwah basyariyyah), toleransi beragama, dan kebersamaan berbangsa (ukhuwwah wathoniyyah) yang diperjuangkan NU lewat revivalisasi Khitah 1926.

Perlu Telaah Kritis

Karenanya, mencermati dan melakukan antisipasi terhadap kendala- kendala di atas menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemimpin

Prospek dan Tantangan NU dalam Pemberdayaan Civil Society 249

warga Nahdliyin, baik saat ini maupun di masa depan. Adalah tugas elemen- elemen strategis dalam NU, terutama generasi mudanya, untuk melakukan penelaahan yang kritis dan tajam atas permasalahan-permasalahan dasar yang kini sedang dihadapi oleh NU dalam mengusahakan kemandiriannya.

Potensi yang dimiliki NU untuk mengembangkan dan memberdayakan civil society di Indonesia masih memerlukan penggalian dan pengembangan- pengambangan terus menerus, agar bisa diaktualisasikan di dalam realitas sosial. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan krinampuan dan kinerja badan-badan dan lembaga-lembaga otonom milik NU berikut lajnah-lajnah dan kelompok-kelompok pendukung y.mg lain. Menurut hemat saya, yang amat mendesak adalah meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga strategis seperti Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengambangan Sumber Daya Manusia) dan RMI (Rabithah Maahid’al Islamiyah) supaya dapat dipakai sebagai ujung tombak bagi perjuangan pengembangan dan pemberdayaan civil society bersamasana dengan pihak lain.

Hal ini menuntut peningkatan kualitas sumber daya NU yang secara kuantitatif amat menjanjikan itu. Pada tataran ide, mereka harus lebih meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya proses revitalisasi Khitah yang sedang dilakukan oleh NU agar dapat turut serta menyumbangkan tenaga dan pikiran. Kajian-kajian, seminar dan dialog yang menyangkut dasar-dasar pemikiran dan program-program pelaksanaan Khitah perlu terus diintensifkan. Pada dataran praksis, kader-kader dalam NU harus dipersiapkan untuk mampu terlibat disegala lapansasi kehidupan. Bila hal ini tidak terjadi, maka kehendak untuk melakukan revitalisasi Khitah hanya akan terhenti pada tingkat retorik, dan NU lain akan kehilangan momentum yang saat ini sedang berada di tangannya.

Bab 12

Reformasi dan Redemokratisasi Melalui Pengembangan Civil Society Mencermati Peran ISM Di Indonesia

Latar Belakang

Seandainya kita bertanya kata-kata apakah yang paling populer dalam wacana politik di Indonesia akhir-akhir ini, tak pelak lagi, yang

akan segera muncul adalah “krisis” dan “reformasi”. 1 Ibarat sebuah mimpi buruk, krisis sekonyong-konyong menghentak rakyat Indonesia

dari tidur nyenyak dan setelah bangun, bayang-bayangnya masih melekat dalam benak. Krisis yang menghantam negeri ini jelas agak sulit dipahami, khususnya oleh mereka yang percaya pada mitos yang disebut “keajaiban ekonomi Asia” (the Asian Economic Miracle), yang di dalamnya Indonesia adalah salah satu contohnya. Berdasarkan pengamatan terhadap keadaan yang saat ini terjadi, kepercayaan seperti itu menjadi ironis, apalagi jika Indonesia dianggap negara yang penampilannya meyakinkan. Bank dunia, misalnya, pada bulan September 1997 saat usia krisis telah menginjak

* Versi perbaikan dari “Demokratisasi, Isu HAM, dan Peran LSM di Indonesia di Bidang Politik,” yang merupakan salah satu bab buku Indonesia: nemokratisasi di Era Globalisasi, (Jakarta: INFID, 1999), hal. 31-52. Perbaikan-perbaikan dan perubahan, baik dalam terjemahan dan penambahan catatan kaki, dilakukan penulis atas izin dan sepengetahuan INFID. Penulis berterima kasih kepada kolega-kolega di INFID, khususnya kepada Sdr. Binny Buchori, Edi Cahyono, Sugeng Bahagio, Maria Anik Wusari, dan Yulia Siswaningsih. Seperti biasanya, seluruh tanggung jawab atas isi tulisan ini sepenuhnya pada penulis.

1 Tulisan ini dibuat pada awal Mei 1998, hanya dua minggu sebelum gcrakan Reformasi yang dimotori mahasiswa mengakhiri kekuasaan rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Reformasi dan Rekomendasi melalui Civil Society 251

dua bulan, justru mengumumkan bahwa “Indonesia berhasil mencapai pembangunan dalam dekade yang lalu dan diteti sebagai negara yang kinerja ekonominya terbaik di Asean’. Dengan alasan yang berbeda, pada Maret 1998 pernyataan serupa diulang dengan mengatakan bahwa “Indonesia, secara menakjubkan tad hasil melakukan diversifikasi ekonominya dan mempromosikan swasta yang kompetitif (unggulan) melalui manajemen makro ekonomi yang andal”. Bank Dunia berpendapat bahwa dinamisme seperti antara lain terjadi karena “sebahagian besar program pemerintah ngenai liberalisasi perdagangan dan keuangan telah mendorong dinya peningkatan investasi modal asing dan deregulasi”.

Seolah-olah hendak membuktikan betapa kelirunya evaluasi Bank Dunia, kinerja ekonomi Indonesia sejak saat itu justru telah menu drastis. Untuk pertama kali sejak didirikannya rezim Orde Baru, Indonesia menyaksikan sebuah krisis ekonomi yang sangat fundamental: lembaga keuangannya runtuh, barang-barang modalnya mendekati kehancuran nilai rupiahnya terpuruk, dan pertumbuhan ekonominya mengalami stagnasi. Krisis itu telah meruntuhkan kinerja ekonomi makro di negeri ini, terbukti dengan terjadinya stagnasi di dunia industri: PHK besar-besaran di sektor industri pengolahan, kurangnya lapangan kcrja sektor industri nonformal, dan maraknya keresahan sosial dimana-mana karena langkanya bahan sembako (sembilan bahan pokok). Karena demikian seriusnya krisis ekonomi ini dan luasnya dampak yang ditimbulkan, sangatlah sulit untuk menjelaskan dengan tuntas mengenainya, baik penyebab ataupun berbagai implikasinya, hanya semata dari sudut pandang ekonomi, sebab pada kenyataannya faktor politik sangat menonjol perannya.

Bersamaan dengan itu, dinamika politik masyarakat Indonesia mengalami pergerakan yang cepat. Setelah terjadinya kemerosotan aktivisme politik beberapa waktu, menyusul terjadinya penindasan terhadap pendukung Megawati tanggal 27 Juli 1996, kembali gelombang demok marak di seluruh tanah air. Bagaikan mengulangi peristiwa yang terjadi di hari-hari terakhir Soekarno di awal enam puluhan, gerakan prodenmokrasi saat ini juga dipelopori oleh mahasiswa yang melancarkan proteti kepada pemerintah karena dianggap tak mampu mengatasi krisis dan dampak negatifnya terhadap kehidupan rakyat. Seperti pada masa- masa sebelumnya, tuntutan utama para mahasiswa tersebut tak lain adalah reformasi fundamental, khususnya di bidang politik. Hal ini terutatna

252 Demokrasi dan Civil Society

dikarenakan telah meluasnya pandangan bahwa inti persoalan ada di bidang politik, yakni tidak adanya pemerintah yang dapat dipercaya legitimate) dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi rakyat, termasuk pemecahan krisis ekonomi. 2

Jika kita perhatikan, sebenarnya tuntutan reformasi politik telah diikutsertakan jauh sebelum terjadinya krisis ekonomi. Dalam kurun waktu antara 1989-1994, misalnya, gelombang gerakan prodemokrasi di Indonesia sudah mulai tampak dalam peta politik Indonesia. Ini dapat dilihat dari pemunculan kembali protes kaum buruh, pembentukan anisasi prodemokrasi, pembentukan kelompok pemantau Pemilu, pembentukan kelompok pembela HAM di luar Komnas-HAM yang dibuat oleh pemerintah, pengembangan LSM dan organisasi sosial yang mengabdikan diri pada persoalan pemberdayaan kekuatan arus bawah, dan terakhir yang tidak kalah penting adalah revitalisasi kelompok intelektual independen yang aktif melibatkan diri dalam percaturan dan kegiatan yang berkaitan

dengan upaya demokratisasi. 3 Seandainya berbagai gerakan tersebut diberi cukup kebebasan, sudah barang tentu akan terbentuk suatu kondisi yang kuat dan kondusif bagi dinamika politik pada saat itu dan dapat memperkuat gairah berdemokrasi serta meningkatkan kepedulian politik rakyat Indonesia.

Sayangnya, gerakan demokrasi tersebut tidak berkembang seperti harapan di atas. Berbagai distorsi telah terjadi terhadap beberapa kejadian dalam awal tahun sembilan puluhan yang berdampak luas bagi perjuangan berikutnya. Pembreidelan tiga media cetak, yaitu TEMPO, Editor, dan DeTIK, serta pelarangan aktivitas serikat buruh alternatif seperti SBMSK

2 Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam wacana Reformasi, salah satu slogan yang dipakai oleh para mahasiswa dalam demonstrasi melawan kekuatan Orde Baru dan Soeharto sepintas mirip dengan yang dipakai ketika mahasiswa menuntut mundumya Soekamo, yaitu “turunkan harga.” Hanya saja, dalam kasus Orde Baru, ada perluasan makna yang dilakukan melalui permainan kata. Kata “harga” di sini bukan saja dalam artian harfiah, tetapi juga — dan saya kira lebih enting - dalam artian “Soeharto sekeluarga,” yang dianggap representasi dan praktik-praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

3 Munculnya Kelompok Petisi 50, Forum Demokrasi, terbentuknya serikat lerikat buruh bebas seperti SBSMK, SBSI , dan munculnya apa yang dikenal dengan fenomena Megawati dalam percaturan partai PDI adalah kasus-kasus penting yang dapat dijadikan contoh. Lihat, Muhammad AS Hikam, The State, Grass-roots Politics and Civil society: A Study of Social Movements in Indonesia’s New Order, 1989-1994 , disertasi Ph.D, University of Hawaii at Manoa, Honolulu, 1995.

Reformasi dan Rekomendasi melalui Civil Society 253

dan SBSI telah membawa gerakan prodemokrasi di Indonesia terganjal oleh manuver pemerintah. Puncaknya adalah tragedi 27 Juli 1996 yang dapat disebut sebagai pukulan besar terhadap gerakan prodemokrasi, ketika ABRI tanpa malu-malu mendukung kubu Soerjadi untuk memaksa pendukung Megawati keluar dari markas besar itu merupakan bukti bahwa pemerintah tidak pernah ragu atas dipergunakannya tindakan kekerasan dan kekejaman apa pun untuk membungkam aktivis prodemokrasi agar mereka runtuh dan bubar setelah terjadi peristiwa berdarah. Lebih jauh lagi, perburuan terhadap golongan pen tang pemerintah dan kampanye melarang Partai Rakyat Demokratik (PR serta golongan oposisi, telah memaksa aktivis, untuk sementara waktu dalam posisi bertahan. Pada kenyataannya, upaya memberdayakan front demokrasi pada sebelum pemilu 1997 hanya sedikit hasilnya walaupun saya kira, perlu mendapat penghargaan. Demikian pula, kendatipun terdapat bukti-bukti terjadinya perlawanan, baik yang terselubung maupun yang transparan, di berbagai daerah terhadap mesin politik penguatut (Golkar) selama Pemilu, kenyataannya adalah bahwa partai itu ma mixt memborong suara mayoritas (74%). Pemerintah sudah barang tentu berbangga atas hasil tersebut dan segera dijadikan bukti bahwa politiknya tidak mengalami pengikisan, sebagaimana yang dikatakan para pengritiknya, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri.

Gerakan prodemokrasi yang muncul belakangan ini jelas dilatarbelakangi oleh, dan kelanjutan dari revitalisasi gerakan prodemokrasi itu. Hanya bedanya sekarang, pelaku utamanya adalah mahasiswa, kendati sah-sah saja jika ada yang berargumentasi bahwa di samping mahasiswa tersebut terdapat pula sejumlah elemen kelas menengah, misalnya, cendekiawan, pengusaha dan kaum profesional yang ikut menyuarakan kritik terhadap pemerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi. Bahkan, mereka yang ada dalam jaringan birokrasi pemerintah pun ikut bergabung dan melontarkan kritik pedas seperti yang dilakukan oleh 19 Peneliti dari LIPI dalam “surat keprihatinan” mereka pada Januari 1998. Para peneliti dari lembaga pemerintah tersebut menyesalkan timbulnya krisis ekonomi dan dampak negatifnya terutama terhadap masyarakat bawah. Mereka melihat bahwa salah satu penyebab utamanya adalah buruknya pemerintahan dan, sebagai konsekuensinya, reformasi politik merupakan keharusan dan mundurnya Presiden Soeharto merupakan prasyarat. Surat keprihatinan tersebut, tentu saja, segera menimbulkan reaksi dari

254 Demokrasi dan Civil Society

pemerintah berupa peringatan dan teguran Menteri Riset dan Teknologi, Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie, yang ketika itu sedang mempersiapkan diri menjadi calon wapres.

Pertanyaan yang harus dijawab sekarang adalah, apakah munculnya gerakan prodemokrasi yang dipelopori oleh mahasiswa itu akan dapat berkembang menjadi suatu gerakan yang mengarah kepada substansi

reformasi politik dalam politik Orde Baru?. Bila jawabannya positif, pertanyaan selanjutnya adalah peran apakah yang dapat dimainkan oleh LSM Indonesia guna mendukung gerakan prodemokrasi tersebut dalam rangka melakukan penyebaran agenda demokratisasi, ternasuk pelaksanaan Deklarasi Universal tentang HAM (DUHAM). Dalam makalah ohighat ini, saya akan mencoba mengkaji baik potensi maupun permasalahan demokratisasi di Indonesia, termasuk peran LSM dalam pemberdayaan civil society yang dianggap sebagai salah satu strategi demokratisasi di masa depan. Untuk itu suatu analisis kritis tentang dan format politik yang berlaku dalam era Orde Baru akan dilakukan, disusul kemudian dengan mendiskusikan potensi demokrasi masyarakat dengan menitikberatkan pada kekuatan civil society dan ran LSM di dalamnya..