Penghampiran Kontekstual

Penghampiran Kontekstual

Dalam menyiasati permasalahan cendekiawan dan peran-peran terdapat dua cara penghampiran yang masing-masing sebetulnya bisa saling melengkapi. Yang pertama adalah penghampiran idealistik yang secara genealogis bisa dirunut ke belakang sampai Plato, diteruskan oleh Kant, yang kemudian umumnya diikuti oleh pendekatan mainstream dalam ilmu sosial. Yang kedua, adalah penghampiran kontekstual/struktural seperti yang pernah dikembangkan oleh Gramsci. Penghampiran pertama memandang cendekiawan dari ciri-ciri intrinsik kerja yang seharusnya dilakukan mereka, sementara yang kedua melihatnya dari perkaitan sosial dimana kegiatan yang diberi kategori kecendekiawan (dan dengan demikian kaum cendekiawan yang mewakilinya) mendapa tempat dalam keseluruhan hubungan sosial pada umumnya. 22

Cara pandang idealistik umumnya melihat cendekiawan berikut posisi dan perannya dalam masyarakat dalam kerangka normatif dan umumnya ahistoris. la cenderung melihat kelompok strategis ini sebagai suatu kelompok yang homogen dengan kesadaran dan tingkat kerekatan sosial yang tinggi. Akibatnya, pendekatan semacam ini kurang peka terhadap pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam kelompok itu send sebagai akibat dari proses pembentukan sosial modern dan, karenanya pemahaman yang ditawarkan sering lepas dari situasi konkret yang ada.

Sebaliknya, penghampiran kontekstual/struktural mencoba menyiasati kelompok cendekiawan dalam matriks pembentukan sosial dalam konjungtur historis tertentu. Oleh karenanya cendekiawan dipandang dalam kaitannya dengan asal kelas sosialnya (social class origin) yan lebih luas, meskipun tetap menolak pendapat reduksionis yang menyiratkan bahwa

Luhmann dan kaum fungsionalis lain. Tentang kritik terhadap yang terakhir ini, lihat J. Habermas, Theory of communicative Action Vol. II, Boston: Beacon Press, 1987; A. Arato, dan J. Cohen (eds.), Civil Society, op. cit., 1993.

22 A. Gramsci, Selections from the Prison Notebooks. Trans., Q. Hoare dan GN. Smith. New York: International Publisher, (1971), 1987, hal. 8. s

220 Demokrasi dan Civil Society

cendekiawan selalu merupakan instrumen dari kelas. Konsekuensi lebih lanjut adalah bahwa cendekiawan tidaklah merupakan kelas tersendiri, apalagi yang berciri homogen berhubung dapat diasumsikan bahwa setiap kelompok dalam masyarakat, memiliki sejenis cendekiawan tersendiri. Oleh sebab itu, kecendekiawanan tidak lagi hanya dimengerti secara elitis dimana dia dimonopoli oleh kaum filsuf seniman, atau kaum terpelajar, seperti umumnya diklaim. Di masyarat modern, mereka yang terlibat dalam kerja-kerja teknis pun (mulai di teknokrat sampai dengan buruh-

buruh di pabrik-pabrik), memiliki angota-anggota yang berfungsi sebagai cendekiawan. Mereka ini, yang muncul sebagai akibat diferensiasi sosial modern, disebut Gramsci sebagai kaum cendekiawan baru yang turut pula berkiprah dalam proses transformasi sosial-budaya dan politik.

Pemahaman tentang cendekiawan secara kontekstual/struktural semacam ini sudah barang tentu akan menganalisis kaum cendekiawan dari fungsinya dalam masyarakat secara lebih dinamis dan fleksibel. Ia akan lebih menitikberatkan pada kerja-kerja kongkret apa yang dituntut merealisasikan oleh kaum cendekiawan dalam formasi sosial dan kelompok sosial tertentu, yang akan mampu mempengaruhi proses politik, ekonomi dan sosial-budaya yang sedang terjadi.

Bertolak dari kerangka pendekatan di atas, dapat dikatakan bahwa wacana cendekiawan dan perannya dalam masyarakat Indonesia secara historis struktural masih dikuasai oleh kelompok kelas menengah, utamanya dari lapisan terdidik dan profesional yang berada di wilayah perkotaan. Walaupun di sana sini terjadi perbincangan yang melibatkan kalangan cendekiawan dari kalangan lain, misalnya cendekiawan yang berasal dari wilayah pedesaan; lingkupnya masih terbatas pada mereka yany juga memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi dan berasal dari kelas elite.

Dipandang dari konteks historis-struktural, hal semacam itu terjadi antara lain karena kiprah cendekiawan modern Indonesia muncul dan diprakarsai oleh kelompok terdidik (terutama sekular) yang berpusat di kota-kota. Generasi-generasi awal cendekiawan Indonesia modern, tak pelak lagi didominasi oleh mereka yang memiliki class origin dari elite baru (the new indigenou elite) yang mendapat kesempatan memperoleh didikan

Cendekiawan dan Pemberdayaan Civil Society 221

modern (Barat). 23 Mereka inilah yang kemudian terpengaruh besar terhadap perjalanan sejarah politik bangsa karena keberhsasilan mereka

merumuskan pemikiran-pemikiran sosial ekonomi don politik modern sebagai antitesis rezim kolonial.

Dalam perjalanan sejarah sampai dengan munculnya Orde Baru, menengah kota masih tetap menjadi class origin yang dominan dari cendekiawan yang secara aktif melakukan wacana dan praksis politik. Hanya saja terjadinya proses diferensiasi sosial menyusul modernisasi yang telah dimulai segera setelah kemerdekaan, telah mulai menggeser kedudukan elemen kelompok berpendidikan Barat sebagai penentu. wacana dan praksis cendekiawan itu. Mulailah bermunculan elemen elemen lain yang terlibat dalam wacana tersebut, misalnya pada mahasiswa, seniman, wartawan dan berbagai kelompok profesional lainnya, Semenjak Orde Baru berdiri, elemen cendekiawan “baru” dalam bentuk para “ para teknokrat ikut berperan besar dalam penemuan kebijakan. kebijakan politik, ekonomi dan sosial. Demikian pula, kelompok yang oleh Gramsci disebut cendekiawan “tradisional” pun masih bertahan dan bahkan untuk tingkat tertentu berpengaruh besar akibat keterlibatan mereka dalam wacana dan praksis politik di bawah Orde Baru.

Demikianlah secara amat disederhanakan, tampak bahwa konstelasi cendekiawan Indonesia mengalami kaitan erat dengan perubahan- perubahan formasi sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Tak terlalu mengherankan apabila wacana tentang cendekiawan dan perannya tak lagi dapat dilakukan secara sederhana sebagai konsekuensi logis dari semakin kompleksnya peta cendekiawan itu sendiri. Belum lagi pengaruh negara yang telah secara aktif terlibat dan bahkan mendomina wacana sosial, politik, dan ekonomi selama lebih dari dua dasawarsa ini.

Oleh karenanya, pada hemat penulis yang menjadi permasalah mendesak saat ini bukanlah sekadar membuat peta normatif dan idealist

tentang siapa yang mesti dianggap sebagai wakil sah cendekiawan Indonesia berikut daftar peran-peran yang harus dimainkannya. Hal ini disebabkan adanya kesan dominasi salah satu kelompok cendekiawan

23 Lihat D. Rahardjo, “Peran Angkatan, Formasi Sosial dan Negara”. Prisma XIV, 8, 1985, hal. 47-62. Tentang munculnya elite baru pribumi, lihat R. van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia. Tell. ZD Noer, Jakarta: Pustaka lam, 1984.

222 Demokrasi dan Civil Society

terhadap yang lain yang mungkin memiliki paradigma dan latar belakang sosial yang berbeda. Kalau toh identifikasi itu memang diperlukan, maka pada hemat penulis ia adalah identifikasi yang transparan dan berpijak pada realitas sosial yang konkret tentang kelompok-kelompok cendekiawan di Indonesia yang secara struktural dan politik memiliki kepentingan dan keprihatinan yang kurang lebih sama tentang perjalanan proses politik dan demokratisasi di Indonesia saat ini, serta di masa depan. Demikian pula identifikasi tema-tema sentral yang relevan dan dapat dipakai bersama sebagai titik tolak dalam wacana dan praksis cendekiawan. Yang terakhir ini termasuk permasalahan penguatan civil society yang kita jadikan pokok bahasan saat ini.