Civil Society Model Eropa Timur

Civil Society Model Eropa Timur

Strategi demokratisasi lewat penguatan (empowerment) civil society, mendapat tempat cukup penting dalam wacana politik setelah ia dianggap berhasil diterapkan di negara-negara Eropa Timur dan bekas Uni Soviet. Untuk sebagian besar, strategi ini dipopulerkan oleh penggunaan term civil society dalam berbagai tulisan, pidato, dan pernyataan politik yang dilontarkan oleh para pemimpin gerakan prodemokrasi seperti Vaclav Havel dan Adam Michnik. 13

Di dalam wacana dan gerakan prodemokrasi di kawasan itu, sistem politik totaliter di bawah rezim komunis disejajarkan dengan kekuatan demokratis yang terdapat dalam masyarakat dengan tujuan memulihkan kemandirian individu sebagai warga negara (citizens), jaminan hak-hak asasi manusia, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, serta keadilan yang merata, termasuk dalam masalah pembagian sumber daya ekonomi. Sistem politik di bawah rezim totaliter komunis telah dianggap gagal memenuhi janji, baik secara moral maupun institusional, dan karenanya tak mungkin untuk dipertahankan lagi. Bagi kelompok pro demokrasi, maka sistem politik yang mempunyai legitimasi kuat adalah yang mampu memberi pelayanan kepada masyarakat serta mereka yang memerlukannya, dan bukan sebaliknya. Sistem politik yang demikian, menurut Havel, tak mungkin diwujudkan tanpa landas tumpu moral karena politik sebenarnya:

Adalah sebuah tanggung jawab, yang diekspresikan lewat tindakan ia adalah tanggung jawab... karena ia memiliki dasar metafisik: ia tumbuh dari kesadaran atau kepastian subsadar bahwa kematian kita tidak menghentikan apa pun, karena segala hal yang kita perbuat tetap terekam dan dinilai di tempat lain, di tempat yang berada “di atas” kita, dalam apa yang saya namakan “ingatan tentang yang ADA” (the memory of Being), yaitu suatu aspek integral dari keteraturan rahasia mengenai kosmos, alam, dan kehidupan, yang bagi mereka yang beriman disebut Tuhan, terhadap siapa semua penilaian tergantung. 14

13 Lihat V. Havel, Disturbing the Peace. New York: Vintage Book, 1991; Open Letters: Selected Writing 1965-1990. New York: Vintage Book, 1991; Summer Meditation. New York: Vintage Book, 1992; “The Power of the Powerless.” Dalam J. Vladislav, (ed.). Vaclav Havel or Living in Truth. London: Faber and Faber, 1986. Tentang Michnik, lihat Goldfarb, J., Beyond., op.cit, 1989

14 V. Havel, Summer, op.cit, hal.6.

88 Demokrasi dan Civil Society

Dengan pemahaman politik yang memiliki dasar filosofis transen- dental demikian itulah, maka sistem politik yang hanya berdasar atas rasionalitas instrumental, baik yang mendasari sistem sosialisrne ataupun liberalisme, akan dicermati secara kritis. Sistem sosial dan politik yang diperjuangkan oleh Havel adalah yang tegak dibangun di atas landas tumpu moral yang berakar pada Yang Transenden, suatu hal yang mengingatkan kita pada pemahaman filsafat Voegelin. Di sinilah terjadinya perbedaan dasar pemahaman tentang civil society antara Havel di satu pihak dengan Hegel, Marx dan para pengikutnya di pihak lain. Pada kedua yang terakhir ini landas tumpu civil society adalah ekonomi atau apa yang disebut dengan the realm of needs and necessity, 15 semen tara pada yang pertama landasannya politik yang ditopang oleh etika yang bisa dipertanggungjawabkan secara transendental.

Civil society secara institusional bisa diartikan sebagai pengelom- pokan dari anggota-anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri

yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasya- rakatan pada umumnya. 16 Termasuk di dalamnya adalah jaringan-jaringan,

pengelompokan-pengelompokan sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga (household), organisasi-organisasi sukarela (termasuk partai po- litik), sampai dengan orgenisasi-organisasi yang mungkin pada awalnya dibentuk oleh negara, tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu sebagai perantara dari negara di satu pihak dan individu dan masyarakat di pihak lain. Namun demikian, civil society harus dibedakan dengan suku, klan, atau jaringan-jaringan klientelisme, karena variabel yang utama

di dalamnya adalah sifat otonomi (kemandirian), publik dan civic. Hal ini menyiratkan keharusan adanya kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta kesem patan yang sama dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan di depan umum.

15 Lihat F. Hegel, The Philosophy of Right. Trans. TM Knox. London: Oxford University Press, 1967. hal. 189 passim. Marx masih mempertahankan ide ini, walaupun lebih ditekankan dalam kelas borjuis. K. Marx. Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1834). Cambridge: Cambridge University Press, 1967. Gramsci sebenamya mencoba untuk melangkah lebih jauh dengan me nempatkan civil society dalam suprastruktur. Meskipun demikian, ia pun pada analisa terakhir mempertahankan landas tumpu ekonomi sebagaimana Marx. Lihat A. Gramsci, Selections from the Prison Notebooks. Trans. Q. Hoare dan G. Smith. New York: International Publisher, (1971) 1987, hal.12-3, lihat Pendahuluan.

16 M. Henningsen, Democracy. op.cit., hal.14.

Demokratisasi Melalui Pemberdayaan Civil Society 89

Dan paparan singkat ini, maka cukup jelas kiranya bahwa civil society dalam dirinya telah menyiratkan kemandirian dan kematangan politis sehingga ia tidak perlu, seperti dalam konsepsi Hegel, sepenuhnya ditundukkan oleh negara atau, seperti konsepsi Marx, hanya merupakan alat kelas tertentu, yang dalam hal ini adalah kelas borjuis. Justru civil society dalam pengertian yang digunakan di sini adalah merupakan suatu entitas yang keberadaannya menerobos batas-batas kelas serta memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan pengimbang (balancing force) dari kecenderungan-kecenderungan intervensionis negara, dan pada saat yang sama mampu melahirkan pula kekuatan kritis reflektif (reflective forces) di dalam masyarakat yang mencegah atau mengurangi derajat konflik-konflik internal sebagai akibat dari proses formasi sosial modern. Yang terakhir ini, terutama perlu untuk mencegah akibat-akibat

negatif dari sistem ekonomi pasar serta institusionalisasi politik yang dapat mengakibatkan terjadinya proses formalisme dan kekakuan birokratis. 17

Dalam pada itu, civil society yang reflektif (reflective civil society) ini pun mengisyaratkan pentingnya wacana publik dan, oleh karena itu sekaligus, keberadaan sebuah ruang publik yang bebas (a free public sphere). Menggunakan

18 pandangan filosofis Hannah Arendt 19 dan jugs Juergen Habermas, maka kedua elemen tersebut merupakan esensi bagi civil society, karena di sanalah

tindakan politik yang sebenarnya dan bermakna bisa benar-benar terwujud. Pada ruang publik yang bebaslah, secara normatif, individu-individu dalam

posisinya yang setara, dapat melakukan transaksi-transaksi wacana (discursive

17 Dengan demikian, civil society mengandaikan pula sebuah political society di dalamnya. Ini berbeda sekali dengan konsep-konsep civil society yang dikenal dalam konsepsi Hegelian dan Mandan. Yang pertama melihatnya sebagai sebuah wilayah pribadi, di mana orang secara egoistik memperjuangkan dan mempertahankan kepentingan sendiri tanpa menghiraukan yang lain. Pada Marx, walaupun ia dengan tepat menekankan dimensi politik civil society, tetapi tetap melihat pembentukannya ditentukan oleh moda produksi (mode of production) dan perjuangan kelas. Dengan demikian, Marx telah mengabaikan peran yang dimainkan oleh rumah tangga; organisasi bebas, media massa dan sebagainya, dalam proses penguatan civil society. Untuk kritik analisa kelas terhadap civil society, lihat J. Cohen, Class and Civil Society: The Limits of Marxian Critical Theory. Amherst: University of Massachusetts Press, 1983; J. Keane, Democracy and Civil Society. London: Verso., 1988. hal.

58, passim. 18 H. Arendt, The Human Condition. New York: Basic. Books, 1967. 19 J. Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. I. Boston: Beacon Press,

1981; Structural Transformation of the Public Sphere. Cam bridge: MIT Press, 1992.

90 Demokrasi dan Civil Society

transactions) dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Secara teoretis, ia dapat diartikan sebagai ruang di mana anggota masyarakat sebaga warga negara mempunyai akses sepenuhnya terhadap semua kegiatan publik. Mereka berhak melakukan kegiatan-kegiatan secara merdeka di dalamnya termasuk menyampaikan pendapat secara lisan atau tertulis. Ruang publik, secara institusional termasuk media massa, tempat-tempat

pertemuan umum, parlemen, dan sekolah-sekolah 20 .

Tuntutan akan terciptanya sebuah civil society yang mandiri dan perluasan ruang publik bebas sebagai elemen utama di dalamnya itulah yang merupakan dua hal pokok yang menjadi tujuan gerakan-gerakan prodemokrasi di Eropa Timur. Para cendekiawan, buruh, petani, dan elemen-elemen masyarakat lain yang berkepentingan dengan demo krasi sepakat bahwa di dalam suatu masyarakat “pascatotaliter” 21 tidak mungkin kedua elemen pokok itu bisa ditumbuhkan secara murni. Dengan adanya pemusatan kekuasaan berlebihan pada negara sebagai perpanjangan tangan partai (komunis), maka posisi warga negara seba gai individu-individu mandiri menjadi marginal. Demikian pula kontrol yang ketat oleh negara atas alat-alat produksi, media massa, organisasi politik kemasyarakatan dan lembaga keagamaan, telah mematikan esensi demokrasi, yaitu wacana sosial, politik, ekonomi yang bebas. Pada tingkat kultural, penyeragaman nilai, budaya, dan ekspresi telah menjadi gejala kultural yang umum ditujukan untuk melayani sistem pascatotaliter itu sendiri. Akibat langsung dari kontrol kultural, ini adalah gejala-gejala kemandulan budaya dan kegersangan kehidupan. 22

20 J. Habermas, “The Public Sphere.” New German Critique, 3, Fall. 1974. 21 Konsep “pascatotaliterisme” (post-totalitarianism)

digunakan untuk membedakannya dengan totaliterisme di bawah Stalin dan Fasisme Hitler dan Mussolini. Pada pascatotaliterisme ini, kekejaman-kekejaman fisik sebagai alat represi politik tak lagi mencolok, walaupun tak berarti hilang sama sekali. Namun digantikan upaya ideologis dan kultural yang secara sistematis melakukan penetrasi ke dalam masyarakat dengan tujuan menundukkannya di bawah dominasi negara. Konsep seperti ini digunakan terutama oleh Vaclav Havel. Lihat tulisannya Power, op.cit., 1986. Tetapi Goldfarb memahami konsep ini secara berbeda yaitu pada situasi peralihan setelah totaliterisme, di mana kondisi-kondisi masyarakat totaliter masih belum hilang, tetapi di sana-sini telah terdapat perlawanan dan wacana antitotaliterisme. Lihat Beyond Glasnost, op.cit., Ch. IV.

22 Dalam hal ini, Havel misalnya mengatakan “sementara hidup pada dasarnya bergerak menuju keberagaman, perbedaan, penciptaan diri dan or ganisasi diri yang independen, atau pendeknya, menuju pemenuhan kebe basannya, maka sistem pascatotaliter menghendaki konformitas, keseragaman, dan disiplin.” V. Havel, Power. op.cit, hal. 43.

Demokratisasi Melalui Pemberdayaan Civil Society 91

Untuk mencapai terwujudnya civil society tersebut, perjuangan demokrasi di Eropa Timur telah diarahkan sekaligus pada dua tujuan: melepaskan warga negara dari sistem pascatotaliter dan membentuk sistem sosial, politik dan ekonomi baru yang lebih mampu untuk memberikan kemungkinan bagi pengembangan sebuah civil society yang mandiri. Pada saat yang sama, seluruh metode yang digunakan untuk perjuangan tersebut tentu saja harus konsisten dengan tujuan- tujuan itu sendiri, karena pemisahan antara metoda dan tujuan, seperti pandangan Machiavelli, tidak dapat diterima karena ia berarti mengikuti apa yang telah dipraktikkan oleh rezim komunis selama ini. Jadi, baik pemilihan metode lewat gerakan sosial (mobilisasi kaum petani dan buruh, pemogokan-pemogokan, protes-protes, dan demonstrasi), mau pun strategi gerakan kultural (lewat

film, diskusi-diskusi kebudayaan, dan karya sastra) dipraktikkan dalam semangat etis tanggung jawab sosial. Hal ini pada gilirannya membuat gerakan-gerakan prodemokrasi, seperti tampak di Ceko dan Polandia, berhasil menciptakan jaringan yang sangat luas, mencakup lembaga- lembaga agama, kelas pekerja, petani, cendekiawan, dan bahkan kelompok- kelompok pembangkang di luar negeri. 23

Cerita sukses mereka, tentu saja, bukan berarti meniadakan ba- nyaknya persoalan yang harus dihadapi oleh gerakan prodemokrasi itu dari dulu sampai sekarang. Keberhasilan menumbangkan sistem totaliter, misalnya, tidak berarti jalan lempang bagi restrukturisasi politik dan sosial. Seperti yang diakui sendiri oleh Havel, justru rekonstruksi masyarakat

23 Tentu saja terdapat variasi dalam pencapaian demokrasi di Eropa Timur. Polandia, misalnya lebih menekankan aspek gerakan Massa, sementara Cekoslowakia, dengan “Velvet Revolution”-nya, lebih menekankan pada aspek gerakan kultural. Munculnya Charter 77 yang kemudian berubah menjadi Civic Forum, misalnya, menunjukkan proses gradual dari gerakan tak terorganisir menjadi gerakan yang terorganisir sebelum pada akhirnya melahirkan revolusi damai. Di Polandia, gerakan Solidaritas sejak pagi-pagi telah menunjukkan sifat gerakan massanya, terutama di bawah pimpinan Walesa dengan pemogokan buruh yang monumental di Gdansk pada 1980. Untuk beberapa analisa gerakan di Polandia, lihat misalnya A. Touraine, Solidarity: The Analysis of a Social Movement 1980-1981. New York: Cambridge University Press, 1981; A. Bomberg, Poland: Genesis of

a Revolution. New York: Random House, 1983; D. Singer, The Road to Gdansk. New York: Monthly Review Press, 1981; dan J. Goldfarb, Beyond Glasnost. op.cit., 1989. Untuk diskusi mengenai Velvet Revolution di Cekoslowakia, lihat T. Draper, “A New History of the Velvet Revolution.” The New York Review of Books. 14 Januari 1993, hal. 14-20.; “The End of Czechoslovakia.” The New York Review of Books., 28 Januari, 1993, hal. 20-6

92 Demokrasi dan Civil Society

pasca revolusi dipenuhi oleh kontradiksi-kontradiksi, ironi- ironi dan permasalahan-permasalahan sosial-politik yang tak terba yangkan

sebelumnya. 24 Konflik etnik dan agama, misalnya, merupakan hasil sampingan dari terbongkarnya sistem totaliter. Komunisme totaliter, demikian kata Adam Michnik, kini digantikan dengan bertumbuhnya xenophobia, chauvinisme, populisme berlebihan sebagai hasil dari frustrasi-frustrasi berkepanjangan pada masa sebelumnya. 25

Demikian pula dengan upaya-upaya rekonstruksi sosial, ekonomi dan politik yang terjadi, telah menampilkan kontradiksi-kontradiksi yang selama ini teredam di bawah permukaan. Munculnya para borjuis baru yang berasal dari elite partai komunis yang terluput dari proses reformasi, telah mengancam sendi-sendi sistem demokrasi yang sedang ditegakkan. Pada saat yang sama, upaya-upaya untuk melakukan pem bersihan ke dalam, di antara para elite partai, telah membawa ekses -ekses berupa balas dendam politik yang bukan tak jarang berlangsung secara berlebih- lebihan, yang pada gilirannya juga menggerogoti proses demokratisasi itu sendiri. 26 Keinginan untuk melakukan pemulihan kondisi ekonomi dengan menggunakan pemecahan-pemecahan yang ditarik dari model pasar bebas, telah menghasilkan para pendukung dan pengkritiknya yang apabila tidak

dapat dikendalikan akan merupakan basis-basis konflik yang baru. 27

24 Havel sendiri sampai menamakan kesulitan masa pascarevolusi sebagai “mimpi buruk pascakomunis.” Lihat V. Havel, The Post-Communist Nightmare.” The New York Review of Books, 27 Mei, 1993, hal. 8-10.

25 A. Michnik, “The Two Faces of Europe,” dalam Writing on the East: Selected Essays on Eastern Europe. The New York Review of Books, 4990, hal. 1-5. 26 V. Havel, Summer., op.cit., hal. 21-59; Post-communist., op.cit., hal. 8. 27 Dalam pengalaman Cekoslowakia, konflik antara para pendukung dan pengkritik

sistem ekonomi bebas semakin mempertajam perbedaan antara wilayah Ceko dan Slowakia yang pada akhirnya mendorong terjadinya pemisahan kedua wilayah otonom itu sebagai republik bebas. Di Polandia, pertentangan antara kedua kubu itu pun menyebabkan kemacetan-kemacetan politik. Kemenangan kaum komunis dalam pemilihan umum terakhir, menunjukkan masih kuatnya oposisi terhadap sistem pasar bebas di negara-negara bekas komunis. Pengalaman Rusia di bawah Yeltsin dalam usaha melakukan terobosan terobosan ekonomi melalui pasar bebas juga menghadapi hambatan-hambatan dari kelompok garis keras partai komunis. Pertikaian tentang sistem ekonomi ini mempunyai andil besar bagi pecahnya pertikaian terbuka antara Yeltsin dan Khasbulatov yang berakhir, dengan kemenangan yang pertama.

Demokratisasi Melalui Pemberdayaan Civil Society 93

Terlepas dari berbagai permasalahan internal yang sedang dan mungkin masih akan terus dihadapi oleh negara-negara demokratis baru di Rusia dan Eropa Timur, dalam pandangan saya, daya tarik perjuangan prodemokrasi mereka untuk Dunia Ketiga tetap besar. Gerakan-gerakan prodemokrasi di Asia, Amerika Latin dan Afrika pada umumnya bisa belajar dari pengalaman ini dan menggunakan beberapa pendekatan dan strategi mereka untuk dipraktikkan di negara-negara itu, tentu dengan senantiasa mengingat kondisi-kondisi khas yang ada. Di sinilah, barangkali, pendekatan penguatan civil society akan relevan bagi situasi di Indonesia yang sedang bergulat dengan upaya-upaya demokratisasi pada tahun- tahun terakhir ini.