Beberapa Implikasi Teoretis

Beberapa Implikasi Teoretis

Kepatuhan sosial dan perlawanan telah diteliti dari berbagai perspektif, dan ini terutama dapat dibagi dalam dua kelompok pemikiran, yakni mereka yang memberikan keunggulan pada kemutlakan struktur dan mereka yang menekankan pada moral, agen, dan kesadaran sebagai titik pijaknya. Tulisan ini menganjurkan proses dialektik dari struktur dan agen, serta kesadaran sebagai suatu pendekatan untuk memahami secara mendalam proses kepatuhan sosial dan perlawanan. Tulisan ini juga menganjurkan eksplanasi dinamis yang didasarkan pada hubungan antara para pelaku yang cakap, dengan batasan-batasan struktural didalam menentukan tindakan-tindakan sosial. Selain itu, tulisan ini menghindari kecenderungan

Perlawanan Sosial 179

deterministik dan obyektivitas yang mewarnai pendekatan strukturalisme dan fungsionalisme. Namun tulisan ini juga melampaui pendekatan fenomenologi dan hermeneutik yang menekankan subyektivitas, gagasan- gagasan tindakan manusia yang voluntaristik. Teori strukturasi dari Giddens, teori kepatuhan dan perlawanan sosial atas dasar otoritas moral dari Moore, serta analisis sejarah dari Thompson adalah pendekatan-pendekatan yang berjalan di atas dalam kecenderungan seperti itu.

Atas dasar perspektif yang dialektik tersebut, akan dibuat upaya-upaya untuk mengklarifikasi asal-usul sosial, kepatuhan sosial dan kemungkinan perlawanan di dalam suatu masyarakat tertentu, peranan agen dalam proses- proses tersebut, ide tentang kesadaran, hubungan- hubungan kekuasaan antara elite dengan kelas yang dikuasai, dan yang terakhir tapi tak kurang pentingnya, tipologi dan bentuk-bentuk perlawanan. Penolakan terhadap penjelasan-penjelasan statis dan mekanistis, baik dari Marxisme-klasik maupun paradigma struktural-fungsionalisme dan positivisme-empiris, memungkinkan kita untuk memasukkan peran penting yang dimainkan otoritas moral dalam menjelaskan dasar sosial dari kepatuhan dan perlawanan. Selanjutnya, ini memungkinkan bagi kita untuk memperoleh pemahaman yang longgar mengenai mengapa masyarakat mempertahankan kepatuhannya pada saat mereka kekurangan dan kelangkaan. Selain itu, kita juga dapat bergerak melampaui teori hegemoni dari Gramsci yang menjelaskan kontrol terhadap kelas yang dikuasai melalui ideologi. Ini disebabkan adanya kenyataan bahwa terdapat kemerdekaan dari kelas yang dikuasai dalam memelihara ideologinya sendiri serta kemampuan untuk mengartikan kesadaran mereka sendiri. Pada akhirnya, penjelasan dialektik mampu untuk melihat berbagai tipe perlawanan, mulai dari apa yang disebut Scott sebagai “bentuk-bentuk perlawanan setiap hari” (everyday forms of resistance) sampai dengan protes-protes terbuka dan konfrontatif dari kelas yang dikuasai. Ini akan memungkinkan kita untuk memahami kelas yang dikuasai sebagai “Para pemrakarsa yang terus-menerus” (continuous initiatives), mengambil istilah gerakan-gerakan perlawanan dari Stern, baik itu di masa-masa damai maupun pergolakan. 38

38 Steve Stern, “New Approaches to the Study of Peasant Rebellion and Consciousness: Implications of the Andean Experience,” dalam Steve Stern (ed.), Resistance, Rebellion and Consciousness in the Andean Peasant World: 18th to 40th Century, Madison. University of Wisconsin Press, 1987.

180 Demokrasi dan Civil Society

Jauh dari sifat yang reaksioner, masyarakat kelas yang dikuasai sangat aktif dan terus-menerus mengevaluasi pengalaman mereka sendiri. Apakah perlawanan mereka mengambil bentuk tindakan yang tersembunyi (samar- samar) atau terbuka, ini sebagian besar tergantung pada kemampuan mereka sendiri untuk mengantisipasi situasi-situasi yang ada dan tidak hanya sekadar menanggapi terhadap kekuatan-kekuatan dari luar.

Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah mempertimbangkan kembali peran dari sistem budaya dan nilai yang tertanam dalam sistem budaya sosial. Budaya dan nilai-nilai menjadi “medan perjuangan,” mengambil istilah Terdiman, sebagaimana juga medan dari hubungan

hubungan produksi. 39 Keduanya tidak seperti kalangan Marxis lain menganggap, hanya sebagai suatu epiphenomenon dari hubungan produksi, tetapi juga merupakan suatu entitas yang harus dipahami dalam gerak mereka sendiri. Simbol-simbol budaya seperti seni, mode, humor, gosip dan sebagainya, mungkin menjadi “senjata Si Lemah” yang sangat kuat, di samping tindakan-tindakan seperti pemogokan, unjuk rasa, sabotase, pencopetan, kelambatan, pencurian dan sebagainya. Simbol-simbol budaya tersebut dapat memainkan peran sebagai suatu sumber ideologi kelas masyarakat tertindas, sebagaimana telah ditunjukkan oleh penemuan- penemuan dalam penelitian di Dunia Ketiga. Mengingkari kenyataan ini dan menggambarkannya hanya sebagai ideologi dan nonrevolusioner, maka ini hanya mengabaikan satu elemen penting perlawanan sosial.

Penyajian yang dituangkan dalam tulisan ini bukanlah berarti telah lengkap. Sebagai misal, tulisan ini belum membicarakan masalah-masalah disiplin dan persoalan subyektivitas pada masyarakat modern. 40 Hal ini menjadi penting jika kita ingin meluaskan pengertian kita melampau hegemoni Gramscian, karena ini berkaitan dengan proses di mana subyek dibangun atau didefinisikan, dan bagaimana kekuasaan disipliner tertanam dalam lembaga-lembaga modern seperti negara, birokrasi dan bahkan keluarga, bertanggung jawab dalam menciptakan suatu kepatuhan melalui kekuasaan disipliner mereka. Dalam hal ini, penting untuk mengklarifikasi konsep kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat hanya diterjemahkan dalam arti

39 Richard Terdiman, Discourse/Counter-Discourse: The Theory an Practice of Symbolic Resistance in Nineteenth-Century France, Ithaca, Cornell University Press, 1987. 40 M. Foucault, Language, Counter-Memory, Practice, Ithaca, Cornell University Press, 1977; and Power/Knowledge: Selected Interview and Other Writings, New York: Pantheon, 1980.

Perlawanan Sosial 181

yang negatif, sebagaimana yang dilakukan tradisi plural-liberal maupun Marxis, tetapi harus juga dilihat dalam arti yang positif, yakni dalam soal kemampuannya membangun subyek-tivitas. Dalam ide kekuasaan Foucaultian dikatakan bahwa tidaklah lagi memadai mempertimbangkan kekuasaan hanyalah di dalam kapasitasnya yang negatif, tetapi lebih penting melihatnya dari kemampuan positifnya dalam mendefinisikan subyek. Sebagai contoh, Foucault skeptis terhadap negatifnya kekuasaan. Ia mengatakan: “Jika kekuasaan adalah sesuatu yang selalu represif, dan kekuasaan tidak berbuat apa pun kecuali mengatakan tidak, apakah kamu pikir orang akan mematuhinya?” Karena itu, ia menambahkan bahwa “apa yang membuat kekuasaan memiliki kebaikan, apa yang menyebabkan ia diterima, adalah karena kenyataan bahwa kekuasaan tidak hanya membebani kita sebagai kekuatan yang mengatakan tidak, tetapi ia melewati dan menghasilkan sesuatu yang menyebabkan kesenangan, bentuk-bentuk pengetahuan, menghasilkan diskursus.” Kita harus mempertimbangkan kembali soal kekuasaan dengan cara yang berbeda, ia “butuh dipertimbangkan sebagai suatu jaringan produktif yang mengelola seluruh lembaga sosial, lebih daripada sebagai suatu contoh negatif di mana fungsi kekuasaan adalah represif.” 41

Konseptualisasi kembali kekuasaan ini akan memungkinkan kita untuk bergerak melampaui gagasan kekuasaan tiga dimensi yang diperkenalkan oleh Lukes, yang berupaya untuk rnenguraikan hubungan- hubungan kekuasaan dengan cara yang lebih canggih dibandingkan apa yang dikerjakan pendekatan liberal-pluralis. 42 Walaupun demikian, penjelasannya terhadap kekuasaan masih tidak memadai karena ia masih mensubordinasikan kekuasaan ke dalam hubungan-hubungan produksi, dan memfokuskan negatifnya gagasan kekuasaan. Kekuasaan dalam gagasan Lukesian dilihat sebagai akumulasi dan penguatan kehendak terhadap orang lain. Karenanya, ia gagal untuk melihat dinamika dan produktivitas hakikat kekuasaan. Jika ada, pendekatan ini masih mempertahankan pandangan liberal-pluralis yang paling utama mengenai kekuasaan, yakni sebagai suatu kemampuan untuk memaksa orang lain

41 Foucault (1980), ibid., hal. 119. 42 Steven Lukes, Power: A Radical View, London, MacMillan, 1974; John Openta,

Power and Powerlesness: Qiuescence and Rebellion in an Appalachian Valey’, Chicago, University of Illionis Press, 1980.

182 Demokrasi dan Civil Society

melakukan sesuatu yang sebetulnya mereka tidak mau lakukan. Walaupun sampai derajat tertentu Lukes memberikan tempat bagi orang lain untuk bicara di dalam hubungan-hubungan kekuasaan, namun kemampuan mereka untuk mempengaruhi masih tetap terbatas di dalam batas-batas kekuasaan. Sebaliknya, Foucault mengartikan kekuasaan sebagai cara- cara yang beroperasi dalam unsur subyektivitas, produksi dan reproduksi kebenaran, serta dalam formasi pengetahuan.

Isu penting lainnya yang juga harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan perlawanan adalah, diskursus-diskursus sosial (social discourses) dan praktik-praktik diskursif (discursive practices) sebagai bagian dari perjuangan. Diskursus diartikan Terdiman, sebagai “kompleksitas isyarat dan

tindakan-tindakan yang mengatur keberadaan dan reproduksi sosial.” 43 Jadi, diskursus adalah “berbagai isu pokok yang diberikan kepada anggota dalam kelompok atau formasi sosial, yang menengahi antara rasa memiliki

kelompok internal dengan kelompok lainnya.” 44 Di dalam dan melalui diskursus ini maka perjuangan dapat terjadi. Foucaoult menyatakan, “diskursus tidaklah hanya sekadar mengekspresikan perjuangan atau sistem dominasi, tetapi untuk apa dan dengan cara apa seseorang berjuang. Ini adalah kekuasaan di mana seseorang meluaskan pengaruhnya.” 45 Proses

praktik-praktik diskursif adalah cara-cara memproduksi dan mereproduksi diskursus. Dan ini diwujudkan “dalam proses-proses teknis, institusi- institusi, pola-pola tingkah laku yang umum, bentuk-bentuk transmisi dan difusi, dan bentuk-bentuk pedagogi, yang secara serentak menentukan dan

memelihara mereka.” 46 Tidak diragukan lagi bahwa perlawanan melibatkan perjuangan di

dalam praktik-praktik diskursif dalam masyarakat. Diskursus yang dominan selalu menekan pembicaraan-pembicaraan lainnya melalui pengetahuan dan institusi-institusi sosial. Tetapi, diskursus yang dominan tidak dapat sepenuhnya terlindungi dari suasana persaingan. Kontra-diskursus (counter-discourse) dari apa yang disebut Foucault sebagai “pengetahuan yang tersembunyi” selalu mengancam diskursus yang dominan melalui gangguan dan perlawanan untuk menundukannya. Karenanya, penting

43 Terdiman, op.cit. 44 Ibid., hal. 54. 45 Ibid., hal. 55. 46 Foucault (1977), op.cit., hal. 200.

Perlawanan Sosial 183

untuk menganalisis perlawanan yang berkaitan dengan gagasan dari praktik-praktik diskursif melalui bahasa dan pengetahuan yang dimiliki kelas yang dikuasai. Analisis bahasa di sini menjadi penting karena bahasa tidak hanya dapat dilihat sebagai suatu cara berkomunikasi makhluk sosial, tetapi bahasa juga dapat menciptakan makhluk sosial. Dalam alur pemikiran Heideggerian, bahasalah yang menciptakan kita. Bahasa tidak dapat lagi dipahami sebagai suatu media perwakilan, tetapi justru media itu sendiri. Di dalam bahasa tersebut, perjuangan memperebutkan tempat berlangsung antara kelas yang mendominasi dengan kelas yang didominasi. Setiap analisis yang berkaitan dengan perlawanan harus menaruh perhatian secara sungguh-sungguh pada praktik-praktik diskursif dalam masyarakat, yang pada dasarnya mencerminkan ketegangan yang berkesinambungan antara diskursus yang mendominasi dengan yang didominasi. Dari analisis ini, ada kemungkinan untuk meluaskan pemahaman kita mengenai bagaimana hegemoni dan kontra-hegemoni berlangsung dan juga bagaimana proses- proses disipliner terjadi.

Pada akhirnya, suatu upaya harus dibuat untuk menjadikan analisis kita sebagai usaha akhir yang terbuka, di dalam menjelaskan gerakan perlawanan. Sukar untuk menggunakan deskripsi teleologi Marxian yang melihat perkembangan masyarakat mengikuti perjuangan yang berkesinambungan dalam rangka menuju masyarakat tanpa kelas. Usaha akhir yang terbuka ini akan memungkinkan kita untuk menilai dan mengerti perlawanan di dalam bentuknya yang sederhana, seperti bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari. Membatasi pemahaman kita hanya pada tindakan- tindakan yang radikal, terbuka dan revolusioner, hanya akan melahirkan ketidakadilan terhadap upaya-upaya yang “biasa saja tetapi terus berjuang” dari kelas yang dikuasai (kelas tertindas). 47

47 Scott (1985) op.cit., hal. xvi.

184 Demokrasi dan Civil Society