Keterlibatan Politik Kaum Intelektual
Keterlibatan Politik Kaum Intelektual
Telah diketahui secara luas bahwa kalangan intelektual Indonesia secara historis memainkan peran yang penting dalam pembentukkan politik Indonesia modern. Semenjak awal abad kedua puluh, mereka menjadi pemimpin dalam gerakan nasionalis yang menjadi satu cara utama melawan kolonialisme. Tokoh-tokoh intelektual seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan Natsir, misalnya, adalah di antara tokoh- tokoh politik utama selama perjuangan untuk kemerdekaan dan setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan di tahun 1945.
Selama periode yang disebut demokrasi liberal (1945-1959), mereka yang dari generasi intelektual pertama tidak hanya aktif dengan memberikan nasihat-nasihat intelektual untuk program dan kebijaksana an sosial, ekonomi dan politik, namun mereka juga terlibat dalam aktivitas-
20 Satu informasi mengenai kondisi kelas menengah Indonesia dan peran politiknya dapat dilihat dalam R. Tanter dan K. Young (eds.) ... The Pollitics of Middle Class Indonesia, Clayton, Victoria: Monash University, 1990. Masih terdapat perdebatan yang tajam mengenai istilah kelas menengah yang dipakai dalam masyarakat Indonesia. Tanpa mempertimbangkan suatu definisi yang belum pasti, saya akan memakainya secara longgar dengan menunjuk pada kelas-kelas sosial yang posisinya mungkin memainkan peran sebagai penengah antara elite dan massa. Istilah konvensional dari borjuasi kecil masuk ke dalam kategori Kelas menengah di Indonesia.
Di Balik Pemilihan Umum 63
aktivitas politik secara nyata. Soekarno menjadi presiden per tama negeri ini, Hatta menjadi wakil presiden pertama dan sekaligus perdana menteri. Demikian juga Sjahrir, Natsir dan beberapa intelektual utama dari generasi pertama lainnya. Sebagai tinjauan ulang, mungkin dapat dinyatakan bahwa latar belakang mereka sebagai intelektual telah mewarnai nuansa politik di dalam suatu masa yang sangat demokratis, meskipun kadangkala tidak
efisien secara politik. 21 Peran politik intelektual masih saja menentukan, meskipun di bawah
pemerintahan otoriter Soekarno. Pada saat itu, di samping masih aktifnya kalangan intelektual generasi pertama, juga muncul suatu generasi baru yang latar belakang pendidikan dan sosialnya lebih beragam dibandingkan sebelumnya, termasuk di sini para mahasiswa, yang memainkan peran sangat penting di dalam melicinkan jalan bagi Orde Baru untuk sampai pada kekuasaan di tahun 1965. Beberapa dari kalangan intelektual dalam periode tersebut menjadi pimpinan partai politik dan organisasi yang ada, sementara beberapa di antara mereka tetap berada di luar politik yang resmi, meskipun tetap memiliki pengaruh politik yang kuat. Akan tetapi, dalam masa kejayaan yang dikenal sebagai politik aliran di tahun 1950- an, mereka tidak dapat melepaskan diri dari konflik politik yang berbasis
ideologi. 22 Kalangan intelektual dengan kecenderungan sosialis atau Marxis yang kental akan berafiliasi dengan partai komunis yang ada (PKI)
21 Dalam kenyataannya periode tersebut didominasi oleh kaum politisi intelektual. Orang-orang seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Natsir dikenal balk sebagai intelektual maupun politisi kaliber hebat. Hakikat demokrasi politik In donesia sebelum rezim Soekarno adalah jelas, misalnya kemungkinan untuk terlibat dalam kontroversi dan konflik politik tanpa adanya ketakutan akan pem balasan dari negara atau rival politik yang ada di kekuasaan. Bahkan pemilihan umum pertama di tahun 1955 secara luas dipertimbangkan sebagai pemilihan yang paling demokratis yang tidak pernah terjadi pada era pasca kemerdekaan.
22 Inti aliran “politik aliran” secara umum dicirikan sebagai pertentangan politik berdasarkan aliran politik yang lazim dalam masyarakat Indonesia pasca kolonial. Aliran ideologi ini berakar dalam agama, budaya politik, dan “isme-isme” modern seperti liberalisme, komunisme, sosialisme dan sebagainya. Untuk analisis yang mendalam, lihat
C. Geertz, “The Javanese Village” dalam G. Skinner. (e.d)., Local, Etnic, and National Loyalties in Village Indonesia: A Symposium, New Haven: Yale University, 1959, hal. 37-41; dan B. Anderson, “The Idea of Power in Javanese Culture” dalam Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1990, hal. 56-57.
64 Demokrasi dan Civil Society
atau partai-partai yang brforientasi sosialis lainnya seperti PSI dan Murba. Mereka yang memiliki ideologi nasionalis-sekuler yang kuat bergabung atau mendukung partai nasionalis seperti PNI. Akhirnya, kalangan intelektual dengan orientasi keagamaan biasanya memberikan dukungan mereka pada keberadaan partai-partai politik dengan basis keagamaan seperti Masyumi, NU, Parkindo dan sebagainya. 23 Sementara itu, kalangan intelektual
independen, sedikit dalam jumlah serta kurang dikenal, juga aktif terlibat dalam praktik dan diskursus sosial dan politik melalui media massa dan kelompok studi. Kalangan intelektual ini umumnya kritis terhadap kecenderungan otoriter Soekarno dalam menangani politik Indonesia dan berhubungan dengan memburuknya secara cepat kehidupan sosial dan ekonomi di seluruh negeri. 24
Setelah pembentukkan Orde Baru, kehidupan intelektual di Indone sia telah menciptakan suatu bentuk yang sangat berbeda, khususnya sejauh ,berkaitan dengan peran politik mereka. Lenyap sudah posisi kesejarahan mereka sebagai salah satu agen utama dari praktik dan diskursus sosial- politik. Sebaliknya, posisi mereka saat ini telah digantikan oleh kalangan teknokrat, yang telah muncul sangat berkuasa di bawah rezim Orde Baru sebagai satu faksi yang penting di dalam elite politik bersama dengan kalangan birokrat militer dan sipil dan juga masyarakat kelas kapitalis. Jika pun ada, kalangan intelektual, khususnya mereka yang secara terbuka mengkritik pemerintah, berada dalam posisi yang defensif dan secara berkesinambungan di bawah tekanan politik negara.
23 Pengelompokan intelektual beriring dengan garis partai politik terjadi khususnya dalam era kejatuhan Soekarno pada awal 1960-an. Dengan demikian terdapat organisasi bawahan semacam itu yang dibentuk oleh partai-partai politik untuk mengakomodasi keintelektualan mereka seperti HSMI, CGMI, PMII, HSNI, GMNI, di samping organisasi independen seperti HMI. Kalangan intelektual independen jarang sekali membentuk suatu organisasi tertentu, dan sebaliknya mereka memilih untuk menyatakan aspirasi politiknya melalui pernyataan terbuka seperti Manifes Kebudayaan yang terkenal yang langsung diarahkan ke tindakan-tindakan represif rezim Soekarno terhadap kebebasan berekspresi dari kalangan intelektual dan seniman nonkomunis. Pam “Manikebuis” pada gilirannya menjadi pelopor gerakan anti-Soekarno di tahun 1960-an.
24 Ini berasal dari kalangan intelektual di mana Orde Baru asalnya mendapat dukungan. Beberapa dari mereka mendukung pembentukan Sekber Golkar, suatu organisasi dari kelompok fungsional yang berbeda dan tidak bergabung pada partai politik mana pun. Selanjutnya menjadi Golkar saat ini. Beberapa intelektual yang kecewa pada kinerja politik Golkar keluar dan menjadi para pengkritiknya.
Di Balik Pemilihan Umum 65
Dalam perkembangan yang terakhir, beberapa dari kalangan intelektual independen terus melanjutkan perjuangan mereka di luar jaringan politik
formal. Beberapa dari mereka telah membentuk atau bergabung dengan kalangan LSM yang memiliki kegiatan masih berkaitan dengan aspirasi politik mereka. Kegiatan ini meliputi pembelaan hak asasi, program pengembangan masyarakat, program pendidikan, pelestarian lingkungan, dan gerakan koperasi. Beberapa intelektual terkenal terus aktif di dunia pers, meskipun mereka seringkali frustrasi karena adanya sensor negara
atau sensor-diri pers. 25 Ada juga kalangan intelektual yang bekerja di universitas dan lembaga-
lembaga pendidikan dan penelitian lainnya. Posisi mereka agak sedikit berbeda dengan mereka yang berada di LSM atau mass media dalam hul mereka kurang memiliki kesempatan untuk terlibat dalam tindakan- tindakan dan diskursus-diskursus publik. Khususnya mereka yang ada di lembaga-lembaga dan universitas-universitas negeri, kesempatan ini bahkan semakin kecil. Suatu kenyataan bahwa mereka termasuk organisasi KOPRI sudah cukup untuk membuat mereka mengekang diri mereka sendiri untuk terlalu aktif dalam praktik-praktik dan diskursus -dikursus
politik yang mungkin akan bertentangan dengan negara. 26 Sebagai salah satu elemen kelas menengah, kalangan intelektual
diharapkan dapat memainkan peranan utama untuk memperkuat kemandirian mereka dalam menghadapi intervensi negara yang kuat, dan membantu dalam mengembangkannya menjadi suatu basis bagi masyara-
25 Peranan yang dimainkan oleh mass media dalam memberdayakan civil society memerlukan suatu analisis khusus yang tidak bisa dipenuhi dalam tulisan ini. Pers Indonesia masih tetap belum dapat menikmati kebebasan sebagaimana didapat selama tahun-tahun awal Orde Baru. Meskipun demikian, kita masih dapat menemui analisis kritis di media massa mengenai politik Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Surat kabar Nasional seperti Kompas, Suara Pembaruan, Media Indonesia dan majalah seperti Tempo dan Editor kadangkala menyajikan tulisan-tulisan kritis atau berita yang tidak selalu bersesuaian dengan garis posisi pemerintah atau dipertimbangkan peka secara politik.
26 Ini bukan berarti kalangan intelektual yang bekerja pada lembaga- l e m b a g a negara kurang kritis. Sebaliknya, beberapa intelektual terkemuka di Indonesia saat ini bekerja dengan negara dalam posisi yang berbeda seperti profesor, dosen, peneliti dan lainnya. Meskipun benar bahwa mereka dibatasi oleh peraturan negara dan kurang mampu untuk melakukan gerakan seperti rekan mereka di LSM atau media massa.
66 Demokrasi dan Civil Society
kat sipil. Namun, dalam situasi saat ini, kemampuan kepemimpinan seperti itu belum terlihat jelas. Masih terdapat kecenderungan yang kuat di antara anggota kelas menengah untuk menggunakan pendekatan birokrasi dalam menangani masalah-masalah mereka yang pada giliran nva membuat mereka semakin bergantung pada negara. Dalam banyak kasus, situasi ini disebabkan oleh keengganan negara untuk memberikan lebih banyak kebebasan bagi masyarakat kelas menengah untuk mengembangkan
inisiatif karena ketakutan negara akan kehilangan kontrol atas diri mereka. 27 Dalam 20 tahun terakhir ini, gerakan-gerakan politik yang dipelopori
oleh kaum intelektual untuk mempertahankan tatanan yang demokratis hanya melahirkan hasil-hasil yang sangat minimal. Sebagai misalnya, gerakan mahasiswa yang dulu diharapkan menjadi suatu alat politlk yang efektif bagi masyarakat sebagaimana di masa lalu, berakhir dengan kekecewaan karena mereka dibungkam secara efektif oleh negara melalui cara-cara represif dan regulasi. 28 Setelah kegagalan protes-protes
mahasiswa di tahun 1974 dan 1978, aktivitas mereka telah dibatasi oleh negara menjadi kegiatan-kegiatan nonpolitik seperti aktivitas olah raga,
27 Banyak kasus birokratisasi semacam itu dapat ditunjukkan. Organisasi -organisasi yang disponsori oleh negara seperti HIPMI, KADIN, FKPPI dan lainnya memperlihatkan ketergantungan kelas menengah pada perlindungan negara. Juga munculnya sejumlah anggota keluarga elite yang memasuki dunia usaha dan politik memiliki kecenderungan untuk menghambat pertumbuhan yang lebih sejati dan alamiah dari wirausaha dan kepemimpinan politik dalam masyarakat. Inti dari politisi karbitan (half-baked politicians) dan orang kaya baru (the new rich people) adalah beberapa contoh untuk menunjukkan feno mena tersebut.
28 Ini adalah takdir dari gerakan mahasiswa tahun 1974, Peristiwa Malari dan protes mahasiswa tahun 1978. Yang pertama ditumpas oleh militer dan beberapa aktivisnya di penjarakan atau dipaksa untuk mengakui keterlibatannya dalam aktivitas yang serupa. Yang belakangan berhasil dicegah sebelum ber kembang menjadi kekuatan politik yang series melalui peraturan pemerintah yang melarang mahasiswa menggunakan kampus untuk kegiatan politik. Kebijak an pemerintah yang paling efektif untuk mengawasi aktivitas mahasiswa adalah apa yang dikenal sebagai program Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Kebijakan ini praktis telah menghentikan keterlibatan politik mahasiswa secara langsung di seluruh wilayah sejak tahun 1978. Beberapa upaya untuk mencabut kebijakan NKK tidak diterima oleh pemerintah. Penting untuk dicatat bahwa Peristiwa Malari sebagian berhasil dalam memaksa pemerintah untuk merevisi beberapa kebijakannya dalam soal penanaman modal luar negeri, dan menjadi lebih peka terhadap masalah pemerataan pendapatan.
Di Balik Pemilihan Umum 67
diskusi dan rekreasi. 29 Atas dasar itu, para mahasiswa yang memilih untuk menghindarinya, telah membentuk berbagai kelompok studi di luar kampus
mereka. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, beberapa dari kelompok studi tersebut dicurigai oleh aparatur negara sebagai terlibat secara politik dalam diskusi-diskusi yang sensitif, atau bahkan secara politik merupakan tindakan subversif. 30
Cerita tentang kehidupan intelektual di Indonesia di bawah Orde Baru semakin memburuk dengan tidak terjadinya debat kebudayaan dan filsafat
dalam waktu yang lama yang mungkin menandakan vitalitas mereka. 31 Dan bahkan kejadian-kejadian politik utama seperti runtuhnya rezim-rezim
totaliter dan komunis di Blok Timur atau gerakan-gerakan demokrasi penting di negara-negara Afrika, Amerika Latin dan Asia lainnya hanya
dibicarakan dalam lingkaran intelektual yang sangat terbatas. Beberapa diskusi atas topik-topik khusus tersebut yang dapat dijumpai dalam media massa atau dalam beberapa pembicaraan intelektual sangat tidak mendalam atau gagal untuk membuatnya relevan dengan situasi politik di Indonesia.
Dalam lima tahun terakhir, bersamaan dengan kesulitan ekonomi nasional dan meningkatnya tuntutan untuk rekonstruksi politik, kalangan intelektual berupaya untuk kembali lagi dalam panggung politik nasional. Pada waktu yang bersamaan, kelihatannya negara juga mempertimbangkan
29 Beberapa kritik percaya bahwa kondisi apatis politik saat ini di kalangan muda, antara lain, berasal dari proses depolitisasi mahasiswa. Lagipula, proses pembangunan ekonomi juga telah menciptakan sikap pragmatis dan indivi dualistik di antara mereka. Dengan demikian, istilah “mahasiswa sebagai suatu kekuatan moral” yang populer pada awal tahun 1970-an telah kehilangan makna, karena mahasiswa sekarang lebih tertarik pada keberhasilan ekonomi dan kurang responsif terhadap tanggung jawab sosial.
30 Protes-protes mahasiswa dalam kasus seperti Kedungombo, Cimacan, Badega, dan dukungan mereka terhadap protes buruh dan tani telah didokumentasikan secara baik di Indonesia dan luar negeri. Beberapa mahasiswa berani menempuh risiko ditahan atau dikeluarkan dari universitas. Meskipun sejauh ini, dampak politiknya masih tetap kecil untuk menjadi faktor yang menentukan dalam situasi politik Indonesia.
31 Kongres Kebudayaan Nasional terakhir yang diadakan di Jakarta diwarnai dengan kontroversi yang tajam di antara kalangan intelektual. Para peserta kongres kebanyakan para teknokrat dan intelektual propemerintah. Menurut berita media massa, kongresnya sendiri direkayasa oleh negara, yakni Kemen terian Pendidikan dan Kebudayaan, yang membuat kalangan intelektual seperti Abdurrahman Wahid dan Emha Ainun Najib menolak untuk terlibat di dalamnya.
68 Demokrasi dan Civil Society
pentingnya melibatkan mereka untuk menggalang dukungan di masyarakat untuk menangani tekanan-tekanan ekonomi dan politik. Ini tidak mengherankan bila negara telah mulai memberi lebih banyak perhatian pada komentar-komentar kalangan intelektual mengenai berbagai isu ekonomi dan politik seperti monopoli, konglomerasi, birokratisasi dan keterbukaan politik. Dan bahkan negara tampaknya bersama-sama kalangan intelektual dalam beberapa garis strategis seperti pendalaman antagonisme sosial dalam masyarakat, bahayanya monopoli oleh beberapa konglomerat dan keluarga elite, dmi lebih terbaru juga adalah masalah-masalah lingkungan akibat industrialisasi dan penggundulan hutan.
Beberapa contoh dapat diberikan di sini. Negara telah mengakui secara terbuka masalah bahaya politik yang terus-menerus yang berakar dari hubungan yang timpang antara “pribumi” vs “nonpribumi”, terutama masyarakat Cina. Pembicaraan ini secara mengejutkan berasal dari kalangan militer, yang selama ini menolak berbicara mengenai isu ini. Dan juga pertemuan penting antara Presiden Soeharto dan para kong- lomerat yang kebanyakan adalah warga negara Indonesia keturunan Cina, di peternakan Tapos, banyak pengamat melihatnya sebagai suatu bukti bahwa negara telah memperhatikan secara serius isu monopoli oleh para konglomerat.
Meskipun ada perkembangan positif, hal demikian tetap harus dilihat sampai sejauh mana arah seperti ini mungkin menggambarkan potret kembalinya kaum intelektual dalam panggung politik yang akan mendorong demokratisasi. Bahkan jika ini terjadi, orang masih biasa mempertanyakan kemampuan kaum intelektual untuk memperoleh kembali peranan kesejarahan mereka, mengingat kinerja mereka sejauh ini dan ketidakaktifan mereka yang lama di bawah rezim Orde Baru. Kemunculan suatu gerakan intelektual seperti Forum Demokrasi (Fordem) mungkin tidak bisa diharap terlalu bayak meskipun ia lebih menjanjikan jika seseorang membandingkan dengan, sebagai misal, suatu organisasi intelektual yang ditopang oleh negara seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Kritik yang berkembang terhadap ICMI ini hanya mampu menjalankan program-programnya melalui perlindungan dan dukungan negara. Lagipula, ICMI juga dikritik karena hanya akan menciptakan suatu kondisi perpecahan, karena pada dasarnya ICMI
Di Balik Pemilihan Umum 69
adalah organisasi eksklusif. Saatnya telah tiba, menurut Ketua Fordem, Abdurrahman Wahid, untuk meninggalkan politik sektarian di belakang
dan bergerak ke arah yang lebih konsiliasi dan inklusif. Rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa akan terancam oleh sikap sektarian seperti itu.