Gagasan Islam Mengenai Civil society

Gagasan Islam Mengenai Civil society

Gagasan dan praksis tentang civil society, tak pelak lagi, merupakan produk sejarah dan masyarakat Barat modern. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, utamanya pada saat terjadinya transformasi dari masyarakat feodal agraris menuju masyarakat industrial kapitalistis. Civil society sebagai gagasan adalah anak kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment), yang meretas jalan bagi munculnya sekularisme sebagai weltanschauung yang menggantikan agama, dan sistem politik demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi. Adalah para pemikir pencerahan seperti Adam Ferguson yang mula-mula berbicara tentang civil society dalam konteks Eropa abad ke-18 berkaitan dengan tumbuhnya sistem ekonomi pasar. Demikian pula Rousseau dan Locke adalah pemikir-pemikir. Pencerahan yang mencoba memberi landasan filosofis bagi munculnya sistem politik yang memberi posisi sentral pada kedaulatan individu, kesetaraan manusia dan persaudaraan umat manusia.

Pengembangan gagasan civil society modern selanjutnya mengikuti konseptualisasi Hegel yang memilah kehidupan modern menjadi tiga wilayah famili, civil society dan negara. Famili merupakan ruang pribadi yang ditandai oleh hubungan individual yang harmonis dan menjadi tempat sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat. Civil society, seperti dikatakan Hegel adalah lokasi bagi pemenuhan kepentingan-kepentingan individu dan kelompok, terutama kepentingan ekonominya. Hegel menganggap civil society sebagai arena untuk praksis politik yang baginya adalah monopoli negara. Negaralah yang merupakan representasi dari Ide Universal yang melindungi kepentingan politik warganya karenanya ia memiliki hak penuh melakukan intervensi terhadap civil society.

Model Hegelian ini ditolak oleh Alexis de Tocqueville yang mernandang civil society sebagai wilayah otonom dan memiliki dimensi politik di dalam dirinya sendiri yang dipergunakan untuk menahan intervensi negara. Dalam bukunya Demokrasi di Amerika (De la dem cratie en Amerique) yang terbit pada 1835-1840, Tocqueville menunjukkan bagaimana demokrasi dijalankan oleh bangsa baru itu melalui civil society, pengelompokan sukarela dalam masyarakat, termasuk gereja-gereja dan asosiasi profesional, yang gandrung pada pembuatan keputusan di tingkat lokal dan menghindari intervensi negara, civil society di Amerika dan juga yang bertumbuh di Eropa kemudian menjadi basis kehidupan demokrasi

Upaya Islam dalam Membangun Civil Society 237

modern yang dilandasi prinsip-prinsip toleransi, desentralisasi, sukarela, kewarganegaraan, aktivisme dalam ruang publik, dan konstitusionalisme. 16

Gagasan civil society ala Tocqueville itulah yang kemudian diangkal sebagai paradigma alternatif oleh para aktivis pro-demokrasi di penghujung abad ke-20, ketika rezim-rezim totaliter komunis dan otoriter kapitalis mulai kehilangan legitimasinya dan mengalami krisis sistemik. Pangkal penyebab dari hal itu adalah kegagalan sistem-sistem tertutup itu dalam memberi peluang kepada warga negara untuk terlibat dalam ruang politik. Kontrol masyarakat terhadap penguasa tidak diperkenankan dan bahkan hak-hak asasi manusia pun dibungkam. Sistem totaliter menafikan kodrat manusia sebagai makhluk yang mandiri, plural, dan memiliki harga diri (dignity).

Dengan paradigma civil society itulah diusahakan mengembalikan harkat warga negara sebagai pemilik kedaulatan dan demokrasi sebagai politik yang mampu menjamin partisipasi mereka secara terbuka. Dalam civil society setiap kecenderungan partikularisme dihindari namun ia juga menolak totalisme dan uniformisme. Ia menghargai kebebasan individu namun menolak anarkhi; ia membela kebebasan berekspresi tetapi pada saat yang sama menuntut tanggung jawab etik; ia menolak intervensi negara, tetapi tetap memerlukan negara sebagai pelindung penengah konflik, baik internal maupun eksternal.

Saya berpendapat bahwa paradigma civil society di atas dapat dimasukkan dalam model transformatif yang sedang dikembangkan oleh Intelektual

dan aktivis Muslim di negeri kita, terutama dalam konteks pemberdayaan politik rakyat. Yang mendesak untuk dilakukan adalah bagaimana mereka dapat mencari titik-titik temu pada dataran normatif antara gagasan yang sekular tersebut dengan Islam. Demikian juga, bagaimana para intelektual dan aktivis Muslim di Indonesia mampu melakukan pengembangan wacana dan kiprah civil society yang berangkat dari pengalaman historis umat serta konteks struktural dan kultural yang berbeda.

Beberapa hal yang menyangkut basis normatif dan praksis dari upaya Islam untuk ikut menyumbang pembentukan civil society dapat ditentukan di sini. Pertama, perlu dipertajam dan diperdalam pemahaman mengenai

16 John Keane, Civil society and the State: New European Perspectives, London: Verso, 1989. Lihat juga Bell American Exceptionalism, op. cit.

238 Demokrasi dan Civil Society

modernitas dan modernisasi dan khususnya mengenai sekularisasi. Kendati wacana tentang hal ini pernah dilakukan pada awal dekade 70-an yang diprakarsai oleh Nurcholish Madjid, tampaknya sampai kini masih belum usai. Akibatnya masih terjadi gejala pnggunaan standar ganda manakala berbicara tentang modernitas dan modernisasi. Di satu pihak kita menerima kelembagaan yang dihasilkannya, tetapi menolak beberapa konsekuensi yang mengikutinya.

Salah satu contoh adalah dalam memahami sekularisasi. Setidaknya ada tiga macam pengertian mengenai sekularisasi 17 , yakni, 1) pembedaan

(diferensiasi) antara wilayah-wilayah religius dan yang profan yang incrupakan kecenderungan struktural dunia modern di tingkat global dan ciri khas dari modernitas, 2) kemerosotan kepercayaan dan praktek beragama, yang bukan merupakan kecenderungan struktural dunia modern, tetapi lebih merupakan ciri khas Barat, dan 3) privatisasi agama atau peminggiran agama dalam ruang privat, yang merupakan kecenderungan historis, namun tidak global atau struktural dunia modern.

Menurut hemat saya, sekularisasi pada pengertian yang pertama adalah konsekuensi modernitas yang, mengikuti Weber, membawa akibat

terjadinya diferensiasi kelembagaan, fungsi dan peran masyarakat. Dalam hal ini Islam sebagai agama juga akan mengalami proses diferensiasi sehingga klaim totalitas Islam yaitu sebagai agama dan sistem politik (ad- -din wa-addaulah), misalnya, perlu dipertanyakan. Namun bila sekularisasi dimengerti dalam arti kedua, jelas kesenjangan empiris karena terbukti bahwa hal yang demikian tidak terjadi setidaknya di Indonesia.

Justru pada pengertian ketiga, Islam harus menyumbangkan mikirannya yakni bagaimana agar ia tetap menjadi agama yang publik, mengikuti istilah Jose Casanova. Artinya, bagaimana Islam tidak terpinggir dalam ruang privat, namun dapat berkiprah di ruang publik. Ini tidak bisa lain kecuali Islam terlibat penuh dalam wacana dan kiprah publik dalam civil society dan bukan pada level negara. Islam kemudian terlibat dalam pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan kekuatan lain tanpa klaim eksklusif. Dengan cara ini pula, Islam lantas bisa melakukan kritik terhadap paradigma politik liberal yang domin bersama-sama dengan

17 Jose Casanova, Towards a Constructive Engagement of the Funda, ilialist Challenge: The Concept of Publics Religion, Mass, Kualalumpur, 1996, hal. 1.

Upaya Islam dalam Membangun Civil Society 239

paradigma-paradigma alternatif lain seperti feminisme, environmentalisme, republikanisme dan sebagainya.

Dengan melakukan penajaman pemahaman atas modernitas, m dernisasi dan sekularisasi, saya kira Islam akan lebih tampil sebagai agama yang publik. Khazanah pemikiran Islam bisa ditawarkan di ruan publik bebas untuk diperdebatkan oleh siapa saja, karena ia tidak lagi mengajukan klaim atau menekankan agenda-agenda tertentu terhadap siapa pun. Inilah saya kira sumbangan normatif Islam klaim pengembangan civil society di negeri kita.

Yang kedua, upaya penafsiran kembali, penemuan kembali (recovery) dan reaktualisasi atas ajaran-ajaran, praktek-praktek atau tradisi-stradisi yang memiliki relevansi dengan civil society. Misalnya bagaimana melakukan reinterpretasi terhadap konsep ummab sehingga ia lebih inklusif. Yang jelas, dalam Qur’an sendiri, penggunaan kata ummah sebanyak 64 kali, 13 di antaranya dalam bentuk plural (umam), mengandung pengertian yang berbeda-beda. 18 Salah satunya adalah pengertian ummah sebagai “bentuk

kommunitas atau peradaban demikian dimungkinkan untuk melakukan redefinisi terhadap konsep ini sehingga tidak ekslusif.

Demikian juga halnya dengan nilai-nilai Islam yang berkaitan dengan ronsi (tasamuh), perlindungan hak-hak dasar, keadilan, sikap seng (tawwazun) perlu diaktualisasikan dalam kondisi masyarakat plural di negeri ini. Berbagai tradisi yang ada dalam komunitas Islam seperti kemandirian para ulama vis-a-vis penguasa, kosmopolitanisme Islam dan pemihakan terhadap kaum mustadh ‘afin (tertindas), merupakan potensi kultural umat Islam di Indonesia yang tidak jauh berbeda dengan tradisi civil society di Amerika.

Yang ketiga, semakin terlibatnya para aktivis dan intelektual Islam dalam demokratisasi di Indonesia, terutama yang berorientasi kepada pemberdayaan warga negara. Hanya dengan cara inilah saya kira recovery dan reaktualisasi ajaran dan tradisi Islam yang berkiatan dengan civil society akan dapat dilakukan. Apa yang kita saksikan dalam kasus yang menginginkan kemandirian, keterlibatan beberapa aktivis dan intelektual Muslim dalam berbagai LSM dan gerakan seperti KIPP (Komite Independcn Pengamat Pemilu) dan aktivitas dialog antaragama dalam Intertidri, dan wacana

18 Bell, American Exceptionalism, op.cit

240 Demokrasi dan Civil Society

intelektual di media massa maupun forum publik lain, merupakan bukti- bukti bahwa hal itu sudah berlangsung.

Yang keempat adalah kesertaan umat Islam Indonesia dalam civil society global (global civil society) yang masih sangat kecil perlu diperbesar. Hal ini dapat dilakukan dengan semakin sering berpartisipasi dalam forum-forum internasional berkaitan dengan permasalahan krusial seperti perlindungan hak azasi manusia, hubungan antar-agama, gender, fitigkungan, perlucutan senjata, model pembangunan alternatif, masalah rdainaian dunia dan sebagainya. Keterlibatan umat Islam Indonesia, ng notabene paling besar di dunia Islam, dalam perkembangan forum itu akan mempengaruhi percepatan penumbuhan civil society di negeri.