Wacana Normalisasi

Wacana Normalisasi

Dalam wacana ilmu-ilmu sosial di negeri kita, termasuk wacana dalam politik, sampai saat ini yang masih kuat adalah penghampiran- penghampiran yang ditarik dari paradigma modernisasi dan paradigma Marxian. Yang pertama umumnya melihat permasalahan sosial dan politik dari aspek-aspek penciptaan kelembagaan serta penyiapan kultural yang dituntut oleh dan dikembangkan dari matriks-matriks sosial dan politik modern yang ada di negara maju, terutama Amerika dan Eropa Barat.

Sementara itu, dipihak lain, analisis yang ditarik dari paradigma Marxian sebagai pesaing utamanya, secara garis besar menekankan kepada kontradiksi inheren yang dihadapi masyarakat kapitalis, termasuk kapitalis pinggiran, yang pada gilirannya mempengaruhi proses-proses akumulasi

Bahasa, Politik dan Pennghampiran “Discursive Practice” 199

kapital, pembentukan negara dan pembentukan masyarakat di dalamnya. Dalam paradigma ini, titik berat analisis politik adalah pada persoalan- persoalan struktural yang dianggap menghalangi proses-proses menuju demokratisasi dan pembentukan masyarakat sosialistis.

Kedua paradigma itu, tak dapat dipungkiri telah lama mendominasi pengkajian politik Indonesia dalam berbagai percabangannya. Di antara yang paling menonjol dari paradigma modernisasi adalah penggunaan penghampiran-penghampiran teoretik Struktural-fungsionalisme Parson dan sosio-kultural Weber yang mengilhami kebanyakan analisis tentang politik Indonesia. Kajian-kajian yang dikembangkan oleh pakar-pakar seperti Geertz, Liddle, Anderson, Benda, Emerson dan seterusnya, untuk menyebut beberapa yang terpenting, amat dipengaruhi oleh kedua penghampiran tersebut. Pada kaum Marxian, teori-teori semacam dependensi, struktural-historis dan semacamnya menempati posisi utama. Di luar kedua paradigma besar di atas, tampaknya belum muncul tawaran- tawaran epistemologis yang menyumbangkan alternatif dalam khazanah ilmu pengetahuan sosial dan politik. Kalau toh ada, mereka masih dalam posisi submerged (teredam) dan masih harus berjuang menembus dominasi kedua paradigma itu.

Dalam perkembangannya sampai kini, nyatalah bahwa paradigma modernisasi lebih dulu menikmati dominasinya, dan ini tak lepas dari dukungan yang diberikan oleh kekuasaan politik dari negara lewat para teknokrat dan birokratnya. Tidak mengherankan sebetulnya, bahwa setelah Orbe Baru muncul maka terjadi semacam keterputusan dalam wacana politik di Indonesia. Misalnya, ditinggalkannya konsep-konsep ‘politik sebagai panglima’ dan digantikan dengan ‘pembangunan (ekonomi) sebagai panglima.’ Juga menghilangnya rakyat sebagai protagonis dan digantikan oleh negara; munculnya kategori-kategori baru ekstrim kiri, fundamentalisme, modern, dan tradisional. Di sisi lain, dengan munculnya negara sebagai aktor dominan dalam politik, maka wacana dan praksis di dalamnya pun ditundukkan dan di bawah pengawasan negara dan aparat- aparatnya.

Dilihat dari penghampiran discursive-practice, maka salah satu produk wacana politik dan Orde Baru yang berdampak luas adalah terumuskannya subyek-subyek politik baru yang dianggap memiliki kualitas-kualitas tertentu sehingga diizinkan untuk berkiprah secara politis. Lewat wacana

200 Demokrasi dan Civil Society

normalisasi (normalization doscourse), misalnya banyak anggota kelompok tertentu dalam masyarakat yang tidak lagi memperoleh status sebagai subyek politik yang normal oleh negara. Yang paling menonjol, adalah tersingkirnya kelompok masyarakat bawah (grass-roots) dari wacana politik normal, karena, sebagaimana dirumuskan lewat kebijakan floating mass (massa mengambang), mereka dianggap kurang kompeten untuk secara aktif terlibat dalam kiprah politik. Ungkapan-ungkapan patronizing seperti “rakyat masih bodoh”, “rakyat tak usah dipengaruhi politik” dan sebagainya. Tak lain adalah wacana politik yang sarat dengan visi kelas elite yang memandang rendah kapasitas rakyat bawah, sebagai subyek politik, dalam memahami dan terlibat dalam politik tanpa “bimbingan” dari mereka.

Kasus lain adalah wacana politik normal yang dikenakan kepada mahasiswa sebagai salah satu elemen cendekiawan dekade 70-an. Dari perspektif discursive-practice, keterlibatan politik mahasiswa yang secara historis amat erat kaitannya dengan proses politik di negara ini dalam perkembangannya di bawah Orde Baru, kemudian masuk dalam kategori “tak normal” dalam konstelasi dan format politik yang baru. Lewat program “Normalisasi Kehidupan Kampus” (NKK), misalnya, maka diupayakan terbentuknya subyek-subyek baru di kalangan mahasiswa yang tidak lagi terlibat secara langsung dalam politik seperti para pendahulunya. Subyek baru ini lebih diorientasikan pada pemenuhan keperluan teknokratik dan pasar tenaga kerja yang muncul akibat tuntutan modernitas.

Pada tingkat politik formal, maka konstitusionalisme dan institusionalisme menjadi dua wacana dan praksis terpenting di bawah Orde Baru. Yang pertama ditujukan kepada proses-proses penciptaan format politik yang berbeda dengan pendahulunya (Demokrasi Parlementer dan “Demokrasi Terpimpin”). Ia adalah semacam proses katarsis dari penyimpangan-penyimpangan dan ketidaknormalan politik masa lalu. Konstitusionalisme lantas menjadi master discourse (wacana utama) dalam politik Indonesia di bawah Orde Baru, yang daripadanya dapat ditarik berbagai subwacana dan subpraksis politik. Misalnya saja, munculnya berbagai definisi tentang oposisi, hak pilih, dan kritik politik, dibuat dengan acuan konstitusional. Demikian pula kasus-kasus seperti

cegah tangkal (cekal), sensor-sensor pers, film, dan buku-buku juga ditarik dari wacana utama tersebut.

Bahasa, Politik dan Pennghampiran “Discursive Practice” 201

Sementara itu, wacana institusionalisme dikembangkan dengan dukungan wacana ilmu, terutama yang dikembangkan lewat penghampiran modernisasi. Lewat para pakar politik yang dipengaruhi oleh analis- analis mainstream, seperti Huntington, Apter, Dahl, dan seterusnya maka institusionalisme sebagai wacana dan praksis politik diterapkan untuk menertibkan proses politik dan mengurangi deviasi-deviasi yang selama ini terjadi dalam batang tubuh politik Indonesia. Dan wacana ini diciptakan batasan-batasan tentang apa yang sah dan tidak sah dalam pengorganisasian kepentingan-kepentingan politik, termasuk digunakannya strategi korporatisme negara bagi penyaluran kepentingan-kepentingan strategis dalam masyarakat. Kegiatan-kegiatan politik yang dianggap berada di luar institusi yang sah akan dengan segera ditertibkan seperti misalnya pemogokan, demonstrasi, atau aksi protes. Mereka ini pun dianggap

sebagai praksis-praksis politik yang menyimpang dalam kerangka format politik baru.

Pada tataran ideologis, wacana institusionalisasi ditujukan untuk menertibkan perbedaan-perbedaan ideologis dalam masyarakat politik Indonesia yang di masa lampau telah dianggap bertanggung jawab dalam meruyaknya konflik-konflik politik, yang pada gilirannya menyumbang bagi suasana chaos di negeri ini. Lewat pelembagaan ideologis ini, negara di bawah Orde Baru semakin memperkuat dasar legitimasinya vis-a- vis masyarakat dan karenanya juga menjadi semakin mantap dalam mengisolasi dan mengikis elemen-elemen ideologis yang bertentangan dengan konsensus. Kategori-kategori seperti ekstrem kanan dan kiri pun diciptakan dalam rangka memenuhi imperatif stabilitas ini. Pengembangan pelembagaan ideologis melalui program-program pendidikan, regulasi, disseminasi lewat media massa merupakan proses-proses untuk sosialisasi dan internalisasinya.

Dalam wacana dan praksis institusionalisasi politik itu, negara pun untuk pertama kalinya memberikan ruang politik yang luas bagi militer untuk semakin berperan, suatu hal yang diperlukan bagi stabilitas. Dengan menggunakan doktrin dwifungsi ABRI, misalnya, maka pemahaman peran militer dalam proses sosial dan politik mendapat warnanya yang baru yang berbeda dengan pemahaman-.pemahaman di Barat, maupun pemahaman liberal yang pernah muncul di Indonesia pada dekade 50-an. Militer telah ditetapkan menjadi bagian tak terpisahkan dalam wacana dan

202 Demokrasi dan Civil Society

praksis politik khas Indonesia dan memiliki fungsi sebagai stabilisator dan dinamisator politik. Akhir-akhir ini, peran militer juga dianggap sebagai kekuatan pendorong bagi proses demokratisasi di Indonesia. Wacana demikian ini juga mendapat dukungan kuat dari kalangan ilmiah dan cendekiawan yang memberikan legitimasinya lewat kajian-kajian seperti sejarah, dan politik, sosiologi.

Wacana politik Orde Baru, tentu saja, tidak berlangsung dalam kevakuman. Ia berada dalam konteks struktural tertentu yakni dalam proses akumulasi modal dan pembentukan-pembentukan sosial yang secara nasional. Mengacu pada karya Foucault, Discipline and Punish, maka proses akumulasi modal menghendaki tipe-tipe subyek tertentu, pranata-pranata sosial, politik, ekonomi tertentu. Di Indonesia, negara- negara kapitalis pinggiran lainnya, proses pembentukan individu-individu yang baru sesuai dengan imperatif modernisasi dan akumulasi modal tidak saja dilakukan lewat pendidikan dan keterampilan, tetapi juga lewat wacana. Konsep-konsep tentang manusia modern, manusia berwawasan wiraswasta yang dilawankan dengan manusia tradisional agraris, misalnya, menjadi salah satu wacana penting dalam masyarakat. Dalam dunia ilmiah, kategori-kategori manusia “baru” dan “modern” dengan ciri-ciri utamanya (kultural dan psikologis) ditemukan dan diterapkan untuk menopang proyek pembentukan subyek yang sesuai dengan proses modernisasi.

Demikianlah beberapa permasalahan yang mungkin diungkapkan lewat penghampiran discursive-practice dalam memahami proses-proses politik-politik di Indonesia. Tentu saja masih banyak lagi masalah yang belum disentuh dalam paparan pendek ini. Yang penting, kiranya cukup jelas bahwa penghampiran ini akan mampu menyumbangkan pemamahaman kritis dan reflektif terhadap dua paradigma mainstream. Ia mempermasalahkan berbagai asumsi mapan yang seolah-olah muncul secara natural dan karenanya tidak lagi dipertanyakan. Ia membantu kita membongkar selubung ideologis dan kuasa-kuasa yang terdapat dalam wacana dan praksisi politik yang kebanyakan secara sistematik ditutup- tutupi dengan selimut ilmiah. Yang terakhir ini termasuk ideologi “netralitas dan obyektifitas ilmiah” yang umum diklaim oleh paradigma modernisasi, serta klaim “pembelaan terhadap si lemah” yang sering dikumandangkan oleh pengikut paradigma Marxian.

Ciri khas penghampiran discursive-practice, dengan demikian, adalah

Bahasa, Politik dan Pennghampiran “Discursive Practice” 203

senantiasa peka dan terbuka terhadap munculnya kaitan-kaitan yang tidak selalu transparan dalam wacana-wacana sosial dan politik, baik yang berpretensi ilmiah maupun yang bukan. Oleh karena itu, kecenderungan kuat untuk mencari kausalitas dan epistemologi modern menjadi problematik, karena ia paling-tidak menyiratkan pemahaman mekanistik terhadap proses-proses sosial, suatu pemahaman yang dioper dari wacana ilmu-ilmu kealaman. Demikian juga, penghampiran discursive-practice amat kritis terhadap pemahaman sejarah yang linier serta tertutup seperti yang dimiliki oleh paradigma Marxian. Sejarah, menurut penghampiran discursive- practice, tidak dimengerti sebagai suatu gerak (telos) yang telah ditentukan terlebih dahulu (predetermined). Sejarah senantiasa dalam proses menjadi dan bergerak secara terbuka (open-ended) yang di dalamnya mengenal keterputusan (discontinuity). Keragaman dalam gerak sejarah umat manusia tidak bisa begitu saja ditundukkan oleh pemetaan dari luar sesuai dengan teori-teori dan proyek-proyek ideologi tertentu.

Jadi, sebagai salah satu penghampiran kritis, penghampiran discursive- practice pun pada hemat saya memiliki potensi emansipatoris bagi mereka yang berada dalam kondisi tertindas, sehingga harus selalu menyembunyikan aspirasi-aspirasinya. Ia bisa digunakan untuk memahami dan mencermati apa yang disebut Geertz sebagai pengetahuan lokal (the local knowledge) atau yang disebut Foucault sebagai pengetahuan terpendam (the submerged knowledge) yang umumnya tak segera transparan bagi kita. Dengannya kita akan mampu melakukan upaya penemuan kembali (recovery) khazanah- khazanah pengetahuan visi, dan praksis tandingan yang terdapat dalam masyarakat tertindas untuk kemudian dipakai sebagai landas-tumpu bagi upaya-upaya advokasi dan penguatannya. Tentu saja, upaya-upaya ini bukan tanpa risiko, karena dengan menampilkan pengetahuan, visi, dan praksis yan terpendam itu berarti pula membuka mekanisme pertahanan terakhir yang dimiliki oleh masyarakat tertindas itu. Oleh karena itu, diperlukan pula sikap-sikap etis tertentu yang darinya kita bisa mendasarkan setiap upaya advokasi dan emansipasi secara lebih proporsional sehingga tidak menjadi bumerang bagi mereka yang akan kita perjuangkan.

Agenda Kajian Emansipatoris

Dari diskusi-diskusi di atas, saya ingin mengemukakan di sini beberapa persoalan yang dapat kita jadikan agenda kajian dan penelitian

204 Demokrasi dan Civil Society

dalam rangka keterlibatan emansipatoris dalam masyarakat. Pertama, salah satu persoalan pokok yang tampaknya mendesak untuk kita jawab adalah kepekaan kita dalam menerapkan paradigma-paradigma dominan sebagai dasar kajian politik di negeri ini. Paradigma-paradigma utama yang ada, tak pelak lagi memiliki bias-bias kultural, filosofis, dan ideologi yang barangkali tak segera menampakkan diri. Seperti yang dikemukakan oleh Edward Said ketika melakukan analisis terhadap wacana ilmiah yang disebut Orientalisme, maka di balik klaim-klaim obyektivitas dan netralitas ilmiah, terdapat berbagai bias, kecurigaan, dan etnosentrisme Barat. Hal ini pada gilirannya melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang sering tidak adil dan sepihak mengenai manusia, masyarakat dan budaya Timur.

Konsekuensinya adalah bahwa kita senantiasa perlu melakukan refleksi filosofis dan epistemologis secara berkesinambungan sehingga dalam praksis ilmiah kita menjadi lebih mantap, baik ketika kita dengan sadar mengikuti paradigma yang ada maupun ketika melakukan terobosan- terobosan baru untuk melahirkan paradigma ilmiah yang berbeda. Dalam proses refleksi inilah penghampiran discursive-practice akan berguna, yaitu mempertanyakan secara kritis klaim-klaim kebenaran dan universalitas yang dilontarkan oleh paradigma-paradigma ilmiah tersebut.

Kedua, agenda penting lainnya adalah penelitian dalam tataran mikro dan makro, mulai dari apa yang disebut biopolitik, budaya modern sampai dengan masalah hubungan internasional. Dalam hal ini, penghampiran discursive-practice amat relevan bagi kajian tekstual maupun praksis, mulai dari pembentukan konsep-konsep teoretis sampai pada perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Menggunakan apa yang disebut symptomatic reading terhadap teks, misalnya, kelompok-kelompok feminis, pembela hak- hak asasi manusia dan pembela lingkungan, telah membongkar konsep- konsep dan pemahaman-pemahaman mapan dan kajian-kajian politik. Kaum feminis, misalnya, menggugat pembagian antara ruang publik dan ruang privat yang selama ini dianggap sebagai suatu prinsip utama filsafat politik modern. Bagi kelompok feminis ini, apa yang disebut ruang privat ternyata juga mengandung hubungan-hubungan kekuasaan yang asimetris dan perlu dipermasalahkan dalam upaya membentuk pribadi demokratik (democratic personality).

Kajian-kajian budaya modern khususnya apa yang disebut sebagai budaya populer yang muncul dalam bentuk-bentuk seperti sastra pop, film, televisi, komik, musik pop dan mainan anak-anak secara lebih mendalam

Bahasa, Politik dan Pennghampiran “Discursive Practice” 205

dan kritis telah dikaji lewat symptomatic reading pula. Produk budaya popular tadi, misalnya, akan dibaca sebagai entitas otonom yang di dalamnya terdapat beragam representasi, kuasa-kuasa, dan, pada saat yang sama, perlawanan-perlawanannya. Dengan begitu, produk budaya populer tidak langsung dinilai sebagai kitsch yang secara intrinsik buruk dan lawan dari produk budaya adiluhung atau dianggap sebagai ekspresi budaya kapitalis mutakhir yang harus diberantas. Sebaliknya, sebagai produk budaya modern mereka pun memiliki kekhasan dan kemandiriannya dan menjadi locus bagi kuasa-kuasa tertentu untuk menampilkan dirinya. 28

Dalam kajian hubungan internasional, penghampiran discursive-practice umumnya digunakan dengan menjelaskan hubungan antarteks dalam kasus-kasus politik antarnegara-bangsa. Kajian-kajian yang dilakukan oleh Shapiro dan Der Derian 29 akhir-akhir ini mengenai konsep-konsep mapan (prevailing concepts), peristiwa-peristiwa dan kebijakan kebijakan dalam hubungan antarbangsa, misalnya, merupakan salah satu contohnya. Konsep-konsep seperti realisme, keseimbangan kekuatan, detente, dan seterusnya dianalisa secara antarteks untuk menunjukkan bias-bias kuasa Barat berhadapan dengan kekuatan lain yang dianggap asing (the exotic others). Demikian pula dalam wacana geopolitik, maka penamaan- penamaan wilayah Asia Tenggara, Asia Tengah, Timur Dekat, Afrika Hitam dan sebagainya tidak hanya dimengerti sebagai penamaan netral, tetapi merupakan cara pandang dari perspektif imperialistik. Pandangan dunia (worldview), tilikan mata kuasa (the gaze of power) dan kekuatan diskursif saling tali temali yang pada gilirannya muncul dalam suatu “disiplin” ilmiah yang mendapat status obyektif dan empiris. Demikian pula peristiwa- peristiwa seperti pengungsi (orang perahu) Vietnam, wabah AIDS dan Turisme Sex, dicermati lewat analisis antarteks sehingga kelihatan kaitan antara mereka dengan pengembangan kuasa-kuasa kapitalis global, dan bukannya peristiwa-peristiwa yang berdiri sendiri.

Dari paparan di atas, maka sebenarnya kajian terhadap wacana dan praksis politik di Indonesia pun bisa dianalisis melalui kaitan-kaitan

28 Lihat misalnya T. Bennet, C. Narcer, dan J. Woolacot (eds.), Popular Culture and Social Relations, London: Billings and Sons, 1981; N. Blonsky, (ed.) On Signs, Baltimore. The John Hopkins University Press, 1986.

29 J. Derian, dan M. Shapiro (eds.), International/Intertextual Relations: Postmodern Readings of World Politics, Massachussetts: Lexington Book, 1989.

206 Demokrasi dan Civil Society

antarteks dengan wacana dan praksis politik internasional. Wacana pembangunan yang dominan selama seperempat abad terakhir ini jelas kesejajarannya dengan wacana yang sama di negara-negara kapitalis

pinggiran lain. Berbagai definisi, konsep-konsep, acuan-acuan, model program-program dan strategi-strategi pilihan di masing-masing negara bisa dilihat kesejajaran dan keterkaitannya. Ini akan membantu kita mempelajari strategi-strategi wacana dan praksis tanding yang terdapat di negara-negara tersebut. Konsep-konsep dan aksi-aksi dari gerakan lingkungan semacam Green Movement, Teologi Pembebasan, Sarvodaya, dan lain sebagainya bisa diuji relevansinya dalam konteks Indonesia dalam upaya emansipatoris. Berbagai upaya advokasi dan emansipasi masyarakat seperti strategi penguatan civil society yang akhir-akhir ini muncul di Eropa Timur, misalnya, juga bisa kita kaji dan dicari kaitannya dengan upaya merumuskan strategi demokratisasi di Indonesia.

Bab 9