Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia Hubungan Negara dengan Civil Society*
Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia Hubungan Negara dengan Civil Society*
Tulisan ini berupaya menelaah perkembangan gerakan-gerakan keagarnaan (Islam) pada kurun waktu 20 tahun terakhir di Indonesia, yang sebegitu jauh telah mengungkapkan diri sebagai salah satu dari kondisi sosial dan politik civil society di bawah Orde Baru. Dapat disepakati bahwa meskipun terjadi kemerosotan yang drastis dari pengaruh politiknya, Islam masih harus tetap dipertimbangkan sebagai faktor dominan untuk memahami proses politik di Indonesia di masa mendatang. Islam bukan hanya masih mampu menjadi salah satu sum ber arus ideologi politik yang pada gilirannya akan mempengaruhi “budaya” politik dan tindakan di dalam masyarakat, tetapi yang lebih penting lagi Islam juga mampu menjadi modalitas, yang dengannya tuntutan-tuntutan sosial-politik, diartikulasikan dan juga dilaksanakan. Dengan mengutip Geertz, agama sesungguhnya dapat memainkan peranan sebagai faktor-faktor integratif dan disintegratif dalam masya rakat Indonesia.
Sementara itu, pendirian satu negara (sekuler) yang modern dalam era pascakolonial dan peningkatan kekuasaan negara di bawah Orde Baru,
melalui akumulasi ekonomi dan juga hegemoni ideologi secara signifikan telah melemahkan proses-proses sosial dan politik dalam civil society,
* Tulisan ini semula disampaikan sebagai makalah untuk seminar SEASSI (Southeast Asian Studies Summer Institut) dengan judul “Religion and Social Resistance in Indonesia’s Politics” (1968-Present), di Honolulu, Hawaii, AS, 30 Juli 1989. Pemah dimuat di Prisma
3, Maret 1991 dengan judul “Negara, Civil Society dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia”.
140 Demokrasi dan Civil Society
dan dengan demikian juga menghambat partisipasi politik di dalamnya, khususnya di tingkat arus bawah. Kondisi seperti ini memiliki kemungkinan
terjadinya situasi konflik yang laten di antara dan dalam negara dan civil society. Konflik yang belakangan bahkan makin diperuncing oleh konflik status dan juga konflik kelas dalam masyarakat akibat ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial.
Banyak studi mengenai agama dan politik di Indonesia terutama diarahkan pada pengkajian gerakan-gerakan Islam, baik di masa kolonial maupun pascakolonial. 1 Namun demikian, jarang sekali ada studi yang dimaksudkan untuk menjelaskan keterkaitan antara gerakan keagamaan dan munculnya negara (sekuler) modern yang bertindak sebagai pelaku dominan, terutama dalam masa pascakemerdekaan di Indonesia. Sebagian besar hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa diskursus dominan dalam pengkajian Indonesia tetap berada di bawah baying- bayang paradigma modernisasi yang cenderung mengabaikan peran negara sebagai pelaku politik, yang kekuasaannya terus meningkat dalam menentukan hubungan-hubungan sosial, politik dan ekonomi di dalam civil society. Dengan demikian, sejauh mengenai pengkajian huhungan antara agama dan politik, kebanyakan studi semacam itu belum beranjak dari pemikiran dikotomis ala Weber yang memper tentangkan antara kesadaran keagamaan versus kesadaran rasional, di mina yang disebut pertama dianggap tidak sesuai, atau setidak- tidaknya menghambat modernitas. Gerakan keagamaan umumnya dilihat dalam hcntuk reaksi terhadap modernitas, dan akibatnya, para akademisi seringkali gagal untuk memperhitungkan sumbangan politik mereka terhadap pertumbuhan masyarakat.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengisi celah tersebut, pertama dengan menjelaskan muncul dan berperannya negara sebagai pelaku utama di
1 Di antara karya-karya otoritatif mengenai masalah ini, lihat Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Oxford University Press, Oxford, 1973; B.J. Bolland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Martinus Nojhoff, The Hague, 1971; Taufik Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra, 1927-1933, Cornell University, Modern Indonesian Project, 1971; K.D. Jackson, Traditional Authority, Islam and Rebellion: A Study of Indonesian Political Behaviour, University of California Press, Berkeley 1980; and James Peacock, Putyfying the Faith: The Muhammadiyah Movement in Indonesian Islam, Benjamin/Cummings, Menlo, CA, 1978. Untuk kajian mengenai gerakan-gerakan keagamaan tradisional, lihat Sartono Kartodirdjo, Peasant Revolt in Banten 1988, Martinus Nijhoff, The Hague, 1966; clan Protest Movement in Rural Java, Oxford University Press, Singapura, 1973.
Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia 141
dalam menentukan hubungan-hubungan sosial-politik di Indonesia dalam masa 20 tahun terakhir ini, Selanjutnya, akan dilihat juga peran agama, terutama Islam, dan juga kelemahan-kelemahannya, da lam mendorong suatu proses pemberdayaan (empowerment) civil society berhadapan dengan monopoli kekuasaan oleh negara. Asumsi yang ditekankan di sini adalah bahwa agama, baik sebagai sistem makna maupun tindakan, tidak dapat dipahami hanya sebagai suatu epi fenomena dari hubungan-hubungan produksi sebagaimana terungkap dalam kategori Marxis-ortodoks, atau sebagai sistem makna prarasional dalam pemikiran Weberian. Lebih dari itu, agama adalah seperangkat struktur makna khusus yang memiliki kemampuan menjelaskan dan mengkonstruksi kenyataan sosial di dalam waktu dan tempat yang berbeda. Ia juga merupakan suatu sistem pengetahuan yang mampu menjadi suatu “kontra-diskursus” atau “kontra- hegemoni” terhadap ideologi dan tindakan-tindakan dominan yang ada. 2
Kendati demikian, sikap hati-hati harus diambil agar kita tidak menaksir terlalu tinggi terhadap peranan agama. Agama, sebagaimana sistem makna dan tindakan lainnya, juga merupakan wilayah yang cenderung diperguna kan oleh baik negara maupun civil society, serta berbagai kelas yang berada di dalamnya, untuk memelihara dan mencapai kepentingan- kepentingan mereka. Karena itu, agama tidak dapat dilihat sebagai sistem makna yang statis, tetapi selalu harus dilihat dalam keadaan yang terus
berubah, dan mampu mengartikulasikan berbagai kepentingan. 3 Untuk mengerti secara memadai gerakan keagamaan sebagai gerakan “kontra- hegemoni” adalah dengan meletakkannya dalam konjungtur sosial dan historis tertentu, terutama pada pembentukan negara dan pertumbuhan
2 Istilah ini didasarkan pada konsep Gamsci tentang hegemoni dan kon tra- hegemoni. Lihat Selections from the Prison Notebook, International Publisher, New York (1971), 1987. Untuk kajian lebih mendalam lihat misalnya, Joseph Femia, Gramsci’s Political Thought, Clarendon Oxford, 1981; Walter Adamson, Hegemony and Revolution: A Study of Antonio Gramsci’s Political and Cultural Theory, University of California Press, Berkeley, 1980. Penggunaan istilah “kontra diskursus” bisa ditemukan dalam Richard Terdiman, Discourse/ Counter-discourse. The Theory and Practice of Symbolic Resistance in Nineteenth Century France, Cornell University Press, Ithaca, 1987.
3 Pandangan ini mengikuti analisis Wallerstein mengenai konflik kelas dan kelompok status. Lihat tulisannya, “Social Conflict in Post-Independence Black Africa: The Concept of Race and Status Group Reconsidered,” dalam The Capitalist World Economy: Essays, Cambridge University Press, London, 1979; dan Alvin So dan Muhammad Hikam, “Class in the Work of Wallerstein and Thompson,” Sociological Perspectives, Vol. 32, No. 4, Winter, 1989.
142 Demokrasi dan Civil Society
civil society dalam suatu masyarakat tertentu. Selain itu, kiranya perlu juga dipahami, bagaimana agama dimengerti oleh para pemeluknya sebagai alat untuk mengatasi kenyataan sosial.