Cendekiawan dan Masalah Pemberdayaan Civil society di Indonesia Sebuah Upaya Pencarian Relevansi*
Cendekiawan dan Masalah Pemberdayaan Civil society di Indonesia Sebuah Upaya Pencarian Relevansi*
Cendekiawan, sebagai salah satu elemen terpenting dalam civil society, secara historis memegang peran penting dalam proses pertumbuhan dan pemberdayaan (empowerment) dalam rangka menghadapi kekuatan negara. Dalam pengalaman-pengalaman negara Barat yang sudah maju, cendekiawan merupakan pelopor bagi terwujudnya sebuah wilayah publik yang bebas (a free public sphere) yang pada gilirannya menjadi landasan bagi sebuah civil society yang mandiri.
Gerakan prodemokrasi yang akhir-akhir ini bermunculan, baik di Eropa Timur, Amerika Latin, Afrika, dan Asia, tampaknya diwarnai dengan munculnya cendekiawan dan pemilihan strategi penguatan civil society sebagai alternatif terhadap demokrasi liberal dan kapitalisme negara. Di Eropa Timur, gerakan-gerakan prodemokrasi yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok seperti Piagam 77 (the Charter 77), Civic Forum, Solidaritas, untuk menyebut beberapa yang penting, telah dipelopori oleh tokoh-tokoh cendekiawan dan diikat oleh sebuah tema: civil society. Di Indonesia, sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, tampaknya relevansi dari strategi penguatan civil society ini telah mulai diperhatikan, meskipun masih belum terdapat konsensus mengenainya.
Makalah pendek ini mencoba ikut berbicara dalam wacana cen- dekiawan dan perannya di Indonesia dengan mengambil masalah penguatan
* Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam Simposium “Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana Lintas-Kultural”, MASIKA-ICMI di Puncak, Bogor, 8 Oktober 1993.
208 Demokrasi dan Civil Society
civil society ini sebagai tema kajian. Dalam makalah ini cendekiawan dimengerti secara struktural, yang peran serta fungsinya, amat berkaitan dengan proses pembentukan sosial dalam masyarakat.
Selanjutnya, dalam pencarian relevansi peran cendekiawan Indonesia dalam proses demokratisasi saat ini dan masa datang, maka apa yang telah dan sedang dilakukan oleh kelompok cendekiawan di Eropa Timur bisa digunakan sebagai salah satu model. Salah satu pelajaran yang penting dari pengalaman mereka adalah kritik-kritik atas sistem dan budaya yang mendukung rezim totaliter dan pencarian alternatif baru bagi masyarakat politik demokratis yang mampu menghindarkan diri dari kelemahan- kelemahan dasar sistem demokrasi liberal kapitalis dan sosialis-komunistis.
Relevansi Pemberdayaan Civil Society
Wacana (discourse) tentang civil society atau masyarakat sipil 1 sebagai entitas yang diharapkan mampu mengimbangi peranan (state) dalam
pelolaan politik, ekonomi dan sosial, serta penguatannya sebagai strategi dalam proses demokratisasi tampaknya semakin hari semakin berkembang. Penguatan civil society, telah diperjuangkan secara sungguh- sungguh di negara-negara yang baru saja terlepas dari sistem totaliter di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet. Ia juga diasumsikan memiliki tingkat relevansi yang tinggi sebagai strategi demokratisasi di negara-negara yang sedang berkembang lainnya di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Tak heran apabila kecenderungan analisis politik mutakhir yang berkaitan dengan demokratisasi semakin diwarnai oleh pendekatan-pendekatan
yang menonjolkan (valorize) peran civil society. 2 Di Indonesia, civil society pun mulai menjadi bagian integral dalam diskursus sosial dan politik akhir- akhir ini. Walaupun harus diakui bahwa pengertian tentang civil society itu sendiri masih begitu beragam 3 sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan
1 Istilah masyarakat sipil yang dipakai di Indonesia sebagai terjemahan dari civil society menurut hemat penulis masih kurang mampu mencerminkan esensi pengertian ini. Oleh karenanya, dalam tulisan ini penggunaan kata civil society masih akan dipergunakan.
2 Lihat misalnya G. O’Donnell, et. al. (eds.) Transition from Authorrarian Rule: Prospect for Democracy, Baltimore: John Hopkins University Press, ogi; J. Keane, Democracy and Civil society, London: Verso, 1988.
3 Untuk survai mengenai konsep civil society; lihat antara lain A. Arato, dan J. Cohen, Civil society and Political Theory, Cambridge: MIT Press, 1993; J. Keane, Democracy, op. cit., 1988; J. Keane, (eds.), Civil society and the State: New European Perspective, 2nd ed., London:
Cendekiawan dan Pemberdayaan Civil Society 209
perspektif teoretis yang digunakan, tetapi sulit untuk dipungkiri bahwa ia telah menjadi salah saw agenda penting dalam wacana dan praktek politik. 4
Pada saat yang bersamaan, umum diketahui bahwa pertumbuhan civil society tak terpisahkan dari kerja dan peran kelompok cendekiawan, yang, karenanya, secara historis disebut sebagai salah satu tulang punggungnya. Demikianlah misalnya, Habermas telah menekankan pentingnya peran kelompok cendekiawan dalam salah satu kajiannya mengenai sejarah tumbuh dan berkembangnya civil society di Eropa (Barat) pada abad ke-18 dan ke-19. 5 Pengalaman terakhir dalam gerakan prodemokrasi menentang rezim totaliter di Eropa Timur pun menunjukkan hal yang sama. Apa yang kemudian populer sebagai penemuan kembali dan pemberdayaan civil society (the recovery and empowerment of civil society) sebagai langkah terpenting dari proses demokratisasi dimabil dan di prakarsai oleh kaum cendekiawan seperti Havel, Michnik, Patocka dan sebagainya,
lewat tulisan-tulisan, karya-karya seni, dan pamflel pamflet mereka. 6 Sebagai ilustrasi, menurut telaah Goldfarb maka cendekiawan seperti
Verso, 1989; A. Arato, dan J. Cohen, “Social Movements, Civil society , and the Problem of Sovereignty.” Praxis International, 4:3, 1984; J. Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: Opposion and Reform in Poland Since 1968. Philadelphia: Temple University Press, 1990. Untuk Indonesia, lihat A. Budiman, (ed.), State and Civil society in Indonesia, Clayton: Monash University, 1990.
4 Secara teoretis, penulis mengikuti pemahaman yang digunakan oleh Habermas, Ost, Arato, dan Cardoso yang melihat civil society sebagai jaringan pengelompokan dan asosiasi yang mencakup mulai dari keluarga, organisasi-organisasi sukarela, sampai pada organisasi yang mungkin di bawah bentukan negara tetapi berperan sebagai perantara antara negara dan individu, pribadi dan publik. Dalam pemahaman ini, civil society harus dibedakan dengan suku, klan, dan jaringan-jaringan klientelisme, karena civil society mengharuskan adanya sifat publik dan civic yang mempunyai kaitan erat dengan hak untuk mengada dan kemampuan otonom untuk secara terbuka berpartisipasi dalam kegiatan umum dan mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka (termasuk kepentingan kultural, ekonomi, dan politis) secara publik. Ini jelas berbeda dengan pemahaman Hegel dan Marx. Mengenai pandangan dari keduanya lihat GWF. Hegel, The Philosophy of Right . Trans. TM Knox. London: Oxford University Press, 1967; K. Marx, Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1834). Cambridge: Cambridge Univeirsity Press, 1967; J. Cohen, Class and Civil society: The Limits of Marxian Critical Theory , Amherst: University of Massachusetts Press, 1983.
5 J. Habermas, Structural, op. cit., 1989. 6 Misalnya karya-karya Havel mengenai pentingnya penguatan civil society seperti
disturbing the Peace. New York: Vintage Book, 1991; Living in Truth: Essays by and about Havel. London: Faber dan Faber, 1 990; Summer Meditation. New York: Vintage Book, 1992; Open Letters: Selected Writing 1965. 1990 New York: Vintage, 1991.
210 Demokrasi dan Civil Society
Adam Michnik-lah yang muncul menjadi konseptor sekaligus pemrakarsa dari strategi parallel politics di Polandia pada saat menghadapi tekanan-
tekanan berat rezim Jaruzelski. 7 Strategi yang memperoleh inspirasi dari filsuf wanita Hannah Arendt, ini mencoba memperjuangkan apa yang disebutnya sebagai wilayah publik yang bebas (the free public sphere) 8 sebagai prasyarat bagi terlaksananya sebuah masyarakat politik (political society) yang
mampu melawan totaliterisme. 9 Sebab hanya melalui suatu wilayah publik yang bebaslah, menurut Arendt, tindakan politik yang sebenar-benarnya, yakni yang mampu secara bermakna mengangkat harkat kemanusiaan, bisa terwujud. Itulah sebabnya, sebuah wilayah publik yang bebas perlu diperjuangkan sebagai salah satu permasalahan dasar bagi terwujudnya sebuah masyarakat demokratis.
Jadi bukanlah tanpa dasar untuk mengatakan bahwa cendekiawan merupakan salah satu inti kekuatan civil society yang mandiri. Dalam Indonesia pun, peran cendekiawan dalam proses nation-building dan pembentukan suatu masyarakat politik yang demokratis telah sama-sama kita ketahui. Jauh sebelum kemerdekaan bangsa menjadi sebuah realitas politik, kaum cendekiawan telah merupakan pelopor bagi tumbuhnya kesadaran baru yang memungkinkan munculnya tuntutan politis berupa sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Meskipun dalam perjalanan selanjutnya peran cendekiawan mengalami berbagai kemunduran, tetapi telah tertanam suatu kepercayaan umum yang memiliki akar-akar psikologis dan historis dalam masyarakat akan pentingnya posisi kaum cendekiawan dalam mengatasi dan memecahkan permasalahan-permasalahan pelik menyangkut ideologi,
7 J. Goldfarb, Beyond Glasnot: The Post-Totalitarian Mind. Chicago: University of Chicago Press, 1989. Politik sejajar, sebagai strategi perjuangan kaum prodemokrasi diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan politik bebas, seolah-olah mereka berada dalam kondisi politik demokratis. Walaupun strategi ini memori bagi masyarakat yang pada gilirannya membantu meng-counter sistem politik totaliter.
8 Wilayah publik (public sphere) bisa diartikan sebagai wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta menyiarkan penerbitan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Habermas memasukkan dalam wilayah publik ini media massa, sekolah, gedung-gedung pertemuan umum, p.irlemen, dan lain-lain. Lihat J. Habermas, “The Public Sphere.” New German Critique, 3, Fall, 1974, hal 49.
9 H. Arendt, The Human Condition , Chicago: The University of Chicago Press, 1968.
Cendekiawan dan Pemberdayaan Civil Society 211
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Adanya kepercayaan psiko-historis demikian itulah yang antara lain mendorong munculnya kaum cendekiawan ke permukaan pada saat bangsa menghadapi situasi-situasi kritis, seperti terlihat dalam dekade-dekade 50-an hingga 70-an.
Namun harus segera ditambahkan, bahwa kepercayaan besar yang telah diberikan itu bukanlah tanpa risiko atau akibat samping bagi kaum cendekiawan sendiri. Paling tidak, secara psikologis, mereka yang merasa dirinya masuk dalam kategori cendekiawan lantas menghadapi problem- problem psikologis, sosiologis, dan ideologis-politis. Pengalaman dalam pergerakan mahasiswa Indonesia di tahun-tahun 70-an sampai sekarang, menunjukkan kepada kita betapa kepercayaan yang sudah terlanjur diberikan kepada, dan dipercayai oleh mahasiswa sebagai satu elemen pokok dari kelompok cendekiawan (dalam bentuk jargon seperti “maha- siswa sebagai kekuatan moral” masyarakat, misalnya) sering mempersulit ketimbang mempermudah gerakan mereka. Mungkin sebagai akibat dari kelangkaan refleksi kritis di kalangan mahasiswa, di sana-sini telah terjadi frustrasi-frustrasi dan kebingungan-kebingungan menghadapi realitas politis dan sosiologis di depan mata, yang ternyata tidak seperti yang diperkirakan. Mahasiswa masih merasa berada dalam ambang historis lama, yakni ketika pergerakan mahasiswa menjadi ujung tombak transformasi sosial dan politik yang besar. Padahal kenyataan yang ada menunjukkan bahwa masyarakat politik Indonesia telah memasuki wilayah historis yang berbeda sekali sebagai akibat dari perubahan-perubahan sosial dan politik yang terjadi menyusul munculnya pemerintahan Orde Baru.
Akhir-akhir ini, ketika ide-ide keterbukaan, deregulasi, globalisas dan seterusnya, sedang berkembang dan berdampak secara politis, ekonomis dan sosial, kembali cendekiawan dan perannya dipertanyakan. Manakala peran kaum cendekiawan di negara-negara bekas blok sosialis dan negara- negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin demikian menonjol dalam upaya demokratisasi, maka sebaliknya yang terjadi di Indonesia. Munculnya perdebatan-perdebatan terakhir di media massa mengenai cendekiawan dan tugasnya, tampaknya bisa ditafsirkan sebagai potret kegelisahan yang sedang melanda mereka.
Tulisan pendek ini berusaha melihat letak relevansi cendekiawan Indonesia dalam mengejawantahkan ide penguatan civil society sebagai langkah penting bagi terwujudnya masyarakat politik yang demokratis
212 Demokrasi dan Civil Society
saat ini dan di masa datang. Penulis beranggapan bahwa perjuangan menciptakan masyarakat politik yang demokratis masih tetap merupakan salah satu benang merah idealisme bagi perjuangan kelompok cendekiawan di Indonesia dari masa ke masa. Dan karenanya kepedulian politik kelompok cendekiawan, betapapun sulitnya posisi mereka dan betapapun kecilnya gerakan mereka tetaplah amat besar.