Agama dan Pertumbuhan Civil society

Agama dan Pertumbuhan Civil society

Secara historis, agama telah memainkan peranan besar dalam merangsang aksi-aksi sosial dan politik untuk melawan kekuasaan politik dan ideologi negara yang sangat dominan. Selama periode kolonial, banyak sekali gerakan sosial yang berdasarkan agama ditujukan untuk mengingkari hegemoni negara dan menegaskan ruang sosial dan politik mereka sendiri. Banyak gerakan milenarian di Indonesia didasarkan pada ajaran-ajaran eskatologis agama, misalnya seperti Imam Mahadiisme atau gerakan Ratu Adil yang semuanya bertujuan untuk menegakkan sebuah masyarakat yang ideal, bebas dari ketidakadilan sosial dan penindasan politik yang dilakukan negara. 26 Kendatipun gerakan-gerakan ini sebagian besar tidak terorganisasi dengan baik, tak sistematis dan program-programnya, dan karenanya dengan mudah bisa digasak oleh negara, tapi signifikansinya sebagai perlawanan sosial dari civil society tidak bisa diabaikan begitu saja. Gerakan-gerakan itu memperlihatkan kemampuan civil society untuk melawan ideologi dominan dan praktik-praktik negara.

Perkembangan kesadaran keagamaan sebagai suatu struktur makna yang khas dan mampu menyediakan mode pemahaman diri secara

25 Mengenai jalan ke arah demokratisasi, lihat Gulliermo O’Donnell et.al., (ed.), Transition from Authoritarianism: Prospect for Democracy, The Johns Hopkins University Press, Baltimore, 1986.

26 Sartono Kartodirdjo, Protest Movement, op.cit.

Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia 151

sosial dan politik, juga mempengaruhi munculnya nasionalisme Indonesia. Melihat kembali lahirnya nasionalisme Indonesia modern — suatu gagasan yang dirumuskan dengan interpretasi sekular — ia terutama diartikulasikan menurut bentuk solidaritas dan sentimen keagamaan. Dengan demikian, nasionalisme sebagai suatu bentuk “masyarakat yang dibayangkan” (imagined community), mengutip Anderson, 27 adalah perluasan yang tak terpisahkan dari gagasan solidaritas keagamaan. Misalnya, dalam diskursus politik Islam, konsep mengenai nasionalisme tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang “umat. 28 Bukan hanya kebetulan jika Sarekat Islam (SI) pada

1912 menjadi organisasi sosial pertama yang berhasil menanamkan benih nasionalisme Indonesia di kalangan masyarakat bawah dan cendekiawan kelas menengah. Mes-kipun kemudian nasionalisme Indonesia mengalami transformasi sejak 1930-an dan tidak lagi diinterpretasikan dengan suatu pemahaman keagamaan, pengaruh dari gagasan-gagasan keagamaan tetap saja tampak.

Indonesia pasca kemerdekaan hingga jatuhnya pemerintahan Soe- karno mengalami politisasi agama secara besar-besaran di tengah-tengah upaya membangun struktur politik baru di negara Republik yang masih muda itu. Konflik-konflik politik dan ideologi sering diartikulasikan melalui diskursus-diskursus keagamaan, yang konsekuensi-konsekuensi negatifnya adalah fanatisme dan antagonisme di antara dan di dalam komunitas-komunitas agama. Sementara itu, negara terlalu lemah dan tak mampu memainkan peranan sebagai mediator bagi konflik-konflik sosial dan politik yang tak berkesudahan dalam civil society. Politisasi agama yang berlebihan itu menyumbang terjadinya situasi krisis yang terus menerus, baik di dalam negara maupun di dalam civil society yang mencapai puncaknya dengan runtuhnya Demokrasi Terpimpin pada 1965.

Setelah Orde Baru didirikan dan politik direstrukturisasi, agama secara pelan-pelan tidak lagi mengalami politisasi. Dengan kontrolnya yang sangat ketat terhadap civil society, negara secara konsisten berusaha menjegal setiap usaha dari siapa pun untuk menggunakan agarna sebagai basis ideologis, atau untuk menciptakan struktur kekuatan politik yang didasarkan pada

27 Benedict R.O’G. Anderson, Imagined Community, Verso, London,1983. 28 Perdebatan panas tentang isu nasionalisme terjadi selama masa awal perjuangan nasional antara para pemimpin agama dan tokoh-tokoh sekuler.Lihat Deliar Noer, Modernist, op.cit.

152 Demokrasi dan Civil Society

sentimen agama. Tidak jarang negara menggunakan kekuatan fisik dan ideologis untuk melemahkan usaha-usaha semacam itu, misalnya pada 1980 terhadap suatu kelompok gerakan sempalan yang dipimpin oleh Imran, pada 1984 dalam Tragedi Tanjung Priok, dalam perlawanan agama di Lampung dan Aceh baru-baru ini. Secara ideologis, negara telah berusaha, bukannya tanpa banyak keberhasilan, untuk menginkorporasikan berbagai organisasi, tokoh-tokoh, dan aspirasi-aspirasi agama, ke dalam mesin birokrasi. Kesuksesan negara “membujuk” NU untuk meninggalkan

dunia politik dan afiliasinya ke PPP, adalah salah saw prestasi Orde Baru yang paling penting dalarn usahanya mengsubkoordinasikan organisasi- organisasi keagamaan. 29

Kendati demikian, ini tidak berarti bahwa pengaruh politik dari agama di masyarakat menjadi sirna sama sekali. Kenyataan bahwa agama tidak menegaskan dirinya kembali sebagai suatu ideologi politik yang formal, tidak berarti bahwa ia tak lagi berfungsi sebagai medium untuk melakukan konstruksi sosial atas kenyataan. Banyak bukti dapat diberikan untuk menunjukkan bahwa jauh dari menjadi tidak relevan, agama terus menunjukkan daya tahannya bukan saja untuk tetap hidup, tetapi juga mengadaptasi kondisi-kondisi struktural baru. Apa yang disebut revivalisme keagamaan di kalangan kaum muda, berkembang-biaknya kelompok-kelompok studi agama, dan munculnya kaum cendekiawan agama yang baru, yang berasal dari lembaga-lembaga pendidikan modern, dan sebagainya, merupakan pertanda dari revitalisasi peranan sosial agama.

Seperti halnya di banyak negara berkembang, di Indonesia pun agama ditantang untuk menemukan kembali relevansinya dalam for-

masi sosial yang baru, dan untuk menangani problem yang kompleks. Mungkin benar bahwa sampai tingkat tertentu agama tidak lagi bisa mempertahankan supremasinya terhadap ideologi-ideologi sekular sebagai medium untuk konstruksi sosial atau realitas. Tetapi akan menyesatkan juga untuk mengabaikan begitu saja kemampuannya dalam mengatasi

29 Perkembangan NU dalam politik Indonesia belakangan ini memerlukan studi yang lebih ekstensif. Kendatipun demikian, banyak tulisan yang ada mengenai masalah ini tampak mengambil pandangan yang terlampau optimistik, khususnya menyangkut langkah-langkah NU meninggalkan keterlibatan tradisionalnya dalam politik. Yang tetap harus diamati adalah apakah strategi NU untuk kembali kepada khittah-nya akan bermanfaat bagi pengembangan civil society dalam jangka panjang (lihat Bagian III Bab 10)..

Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia 153

situasi-situasi baru yang dihadapinya dan menyedia-kan pelbagai alternatif untuk pembangunan sosial dan politik.

Selama dua dasawarsa terakhir, agama dan komunitas keagamaan di Indonesia tampak berada dalam suatu posisi defensif berhadapan de-ngan kekuasaan negara dan hegemoni ideologisnya. Sebagian besar organisasi keagamaan secara resmi telah menarik-diri dari kegiatan poitik dan mengalihkan perhatiannya pada kegiatan sosial, seperti dakwah dan pendidikan. Kepemimpinan agama juga melemah, dan sebagian di antaranya bahkan telah dikooptasikan oleh negara atau menjadi tak lagi berani bersikap kritis terhadap negara. Radikalisme dan militansi keagamaan terbukti selalu berumur pendek, karena kekurangan visi dan program sosial politik yang masuk akal sehingga sulit meraih dukungan massa. Gerakan fundamentalis, dengan demikian, akan selalu gagal menantang kekuasaan negara melalui penggunaan kekerasan dan militansi politik mereka. Jika ada, usaha mereka men-ciptakan blok kekuatan dan kontra-hegemoni tidaklah signifikan, dan bahkan hanya akan menyebabkan makin kuatnya dominasi negara.

Itulah sebabnya agama di Indonesia masih harus mendefinisikan peranannya dalam konjungtur masa kini, jika ia menginginkan peranan

yang lebih signifikan untuk berkembangnya civil society. Jenis kesa-daran semacam ini sangat dirasakan misalnya di kalangan beberapa cendekiawan muslim yang tidak lagi melihat politik formal sebagai satu-satunya alternatif bagi Islam untuk menegaskan aspirasi politiknya da-lam masyarakat. Lebih daripada menekankan agama sebagai ideologi politik yang tertutup dan parokial, sebagian di antaranya menekankan peranannya sebagai sebuah pedoman moral bagi masyarakat. Gerakan agama, menurut aliran pemikiran ini, tidak harus diarahkan pada penguasaan politik atau kekuasaan negara, tetapi untuk menegakkan perjuangan demi keadilan sosial dalam civil society. Kebutuhan untuk adanya reinterpretasi terus menerus terhadap ajaran- ajaran agama dalam konjungtur masa kini adalah suatu keharusan logis untuk menjawab banyak problem sosial yang gawat sebagai akibat proses modernisasi dan sekularisasi.

Ada banyak contoh mengenai gerakan keagamaan yang memisah-kan diri dari politik formal dan memberi tekanan pada isu-isu sosial seperti

ini. Munculnya organisasi nonpemerintah yang didasarkan pada organisasi keagamaan adalah salah saw di antara yang paling mutakhir dan bisa

154 Demokrasi dan Civil Society

diharapkan di masa depan sebagai agen social empowerment (pemberdayaan masyarakat). Munculnya kegiatan sosial berdasarkan agama di kalangan

mahasiswa dan kaum muda juga bisa dilihat dalam perspektif ini. Keduanya merupakan isyarat akan adanya kesadaran sosial dan kritik laten terhadap efek-efek negatif dari modernitas, seperti kesenjangan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan kemandekan politik.

Pengaruh tumbuhnya kesadaran keagamaan semacam ini terhadap kehidupan politik Indonesia dan khususnya terhadap kebangkitan civil society, tetap harus diamati dan perlu ditelaah secara lebih cermat. Perdebatan masih terus berlangsung antara mereka yang melihat revival- isme keagamaan akhir-akhir ini sekadar sebagai respons psikologis terhadap westernisasi dan sekularisasi, dan mereka yang melihat bah-wa gejala ini mewakili fenomena sosial yang lebih mendalam yang sejauh ini tidak diabaikan dan ditekan. Kedua pandangan itu bisa ditujukkan dalam pengertian bahwa gerakan keagamaan bisa menjadi gerakan sosial yang reaksioner dan reformis. Ia akan menjadi gerakan yang reaksioner jika gagal memahami persoalan sosial dan politik yang mendalam di civil society atau mengembangkan diri lebih jauh dengan klaim keagamaan yang eksklusif mengenai kebenaran. Tapi ia akan mewakili suatu gerakan sosial yang sejati jika ia mampu mengartikulasikan proses sosial-politik yang mendasar dan menjawab persoalan sosial dan politik yang ada. Gerakan ini harus menyediakan alternatif yang tepat bagi masyarakat pada umumnya, bukan hanya untuk komunitasnya sendiri. Fundamentalisme sebagai gerakan keagamaan justeru mewakili gerakan reaksioner, karena tendensinya untuk memo-nopoli klaim mengenai kebenaran sehingga gagal memasukkan interpretasi yang berbeda yang berasal dari struktur makna lainnya. Pada gilirannya, ini hanya akan menciptakan suatu interpretasi monolitik mengenai fenomena sosial-politik dan akhirnya mendorong timbulnya jenis lain dari sistem politik otoriter.

Dengan asumsi ini, kita melihat bahwa gerakan keagamaan di Indonesia masa kini harus dikaji bukan hanya dari dinamika internalnya sendiri vis-a- vis modernitas, tetapi juga tempatnya dalam konjungtur historis dan sosio- politik masa kini, di mana negara telah memainkan peranan yang makin menentukan dalam segala hal. Melihat gerakan keagamaan hanya dari pandangan konvensional yang memandangnya sebagai oposisi terhadap modernisasi perse, tidak mencukupi. Kita juga harus rnelihatnya sebagai

Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia 155

suatu faktor penting yang sangat memungkinkan untuk timbulnya aksi- aksi sosial dalam civil society di hadapan kekuasaan negara yang dominan dan hegemonik.

Sebagai konsekuensinya, kita harus memahami gerakan keagamaan di Indonesia dalam suatu konteks yang lebih luas untuk memungkinkan kita mencermatinya sebagai suatu jenis dari proyek kontra-hegemonik yang bertujuan untuk memperluas pertumbuhan dan otonomi civil society. Walaupun demikian, gerakan itu mungkin tidak akan menciptakan suatu situasi revolusioner atau membangun semacam “blok-kekuatan” politik, yang tujuan akhirnya adalah merebut kekuasaan negara. Yang terakhir ini hampir tidak bisa dipahami kemungkinannya di Indonesia pada konjungtur

masa kini, dan barangkali juga bukan merupakan alternatif yang tepat untuk transformasi sosial dan politik di masa depan. Apa yang mendesak untuk civil society Indonesia di masa depan yang dekat ini adalah perjuangan untuk menciptakan iklim politik yang lebih terbuka. Ini mencakup perjuangan meraih keterbukaan terhadap diskursus politik bagi kekuatan sosial yang ada, dan diperlukannya kontrol negara atas civil society.

Agama di Indonesia dapat menyumbangkan sesuatu pada proses semacam ini. Ia bisa memberikan alternatif terhadap proses modernisasi melalui interpretasinya mengenai fenomena sosial dan kritiknya kepada dampak negatif modernitas. Ia bisa memperkuat dan memperkaya

diskursus politik dalam civil society melalui mode pemahaman, konsep, dan interpretasinya tentang gagasan-gagasan, seperti keadilan sosial, hak- hak politik, etika kerja, persamaan hak, dan sebagainya, yang sejauh ini didominasi oleh negara dan diskursus elite teknokratik dominan. Lebih dari itu, sebagai sebuah struktur makna, agama memiliki kemampuan untuk membekali kekuatan (empowering) pada masyarakat yang tertindas untuk bangkit melawan para penindas mereka. Ia bisa menjadi sebuah elemen esensial dalam usaha untuk mengartikulasikan dan menuntut kepentingannya. Melalui nilai-nilai dan solidaritas ke-agamaan sedemikian inilah yang memungkinkan mereka mengembangkan pemahamannya sendiri mengenai keadilan sosial, egalitarianisme, hak-hak politik, dan sebagainya. Di satu sisi nilai-nilai ini akan menjadi pengetahuan untuk mengelola pengalaman mereka sehari-hari, sementara di sisi lain solidaritas

akan menjadi cara melalui mana aksi sosial dimanifestasikan.

156 Demokrasi dan Civil Society