Menghadapi Dominasi Negara

Menghadapi Dominasi Negara

Masih dapat diperdebatkan, apakah ada, kesejajaran antara pengalaman Indonesia dengan negara-negara Eropa Timur sebelum proses demokratisasi terjadi. Namun sulit dipungkiri bahwa salah satu kenyataan politik yang paling mencolok di kedua wilayah ini adalah posisi negara yang teramat kuat, hegemonik dan intervensionis dalam pengelolaan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Sebagaimana di Eropa Timur, negara di Indonesia telah dan sedang bertumbuh menjadi kekuatan yang tak tersaingi dalam pengelolaan politik, ekonomi, dan sosial

budaya selama lebih dari dua dasawarsa. Keberhasilan negara di bawah Orde Baru dalam mempelopori proses restrukturisasi sosial, ekonomi dan politik, telah menempatkannya sebagai kekuatan dominan yang seolah- olah tak memungkinkan kekuatan-kekuatan lain dalam masya rakat untuk mengimbanginya, alih-alih menandinginya.

Penampilan negara Orde Baru yang kuat ini, dan oleh sementara pengamat dan pakar politik dimasukkan dalam kategori otoriter-biro kratik itu, 28 disebabkan oleh berbagai faktor yang saling menunjang satu sama

28 Lihat misalnya D. King, Indonesia’s New Order as a Bureaucratic Polity, a Neo- patrimonial Regime, or a Bureaucratic Authoritarian Regime: What Different Does It Make?.” Dalam B. Anderson, and A. Kahin (eds.). Interpreting Indonesia’s Politics: Thirteen Contributions to the Debate. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1982, hal. 104-16; M. Mas’oed, The Indonesian Economy and Political Structure during the Early New Order 1966-1971. Disertasi Ph.D. The Ohio State University, 1983; Kuncoro-Jakti; A. Budiman, (ed.), State and Civil Society in Indonesia. Clayton: Monash University. 1990 etc.

94 Demokrasi dan Civil Society

lain. Pada tingkat sistemik, negara telah berhasil memegang peran penting dalam proses akumulasi modal serta penataan politik setelah ia berhasil

melakukan reformasi pada tingkat elite yakni dengan muncul nya militer, teknokrat dan birokrat sebagai sendi-sendi pokoknya. Demikian pula, negara juga telah mampu melakukan mobilisasi kekuatan kelas borjuis nasional, walaupun masih dimonopoli oleh kelompok nonpri, yang secara

historis gagal dilakukan oleh rezim-rezim sebe lumnya. 29 Akhirnya, pilihan model akumulasi modal dengan melibatkan diri secara aktif di dalam sistem kapitalis dunia, membuat negara mampu pula memobilisasi dukungan- dukungan baik finansial, teknik, keahlian, dan bahkan politik dari lembaga- lembaga internasional yang berke pentingan dengan ekspansi kapitalis global.

Pada tingkat struktur signifikansi, atau yang disebut Habermas dengan lifeworld (dunia penghayatan), negara Orde Baru pun cukup mampu untuk mendorong proses transformasi kultural dan ideologis yang pada gilirannya telah memiliki andil sangat besar bagi proses penenteraman sosial yang tak berhasil dilakukan oleh rezim sebelumnya. Keberhasilan negara sampai

pada taraf tertentu dalam meredam gejolak- gejolak konflik primordial, 30 penyatuan ideologi politik formal, insti tusionalisasi politik dan ideologi dalam masyarakat, tak pelak lagi membuat reputasi negara semakin

membaik, dan dengan demikian ikut memperkuat legitimasinya. Negara telah berhasil menanamkan dan mempertahankan tingkat hegemoni ideologi yang cukup tinggi, sehingga diterima sebagai kekuatan pengayom, pelindung, dan penjamin bagi proses politik, integrasi, keamanan dan ketenangan sosial selama lebih dari dua dekade.

29 Mengenai tumbuhnya kelas kapitalis nasional di bawah Orde Baru sebagai akibat pembangunan ekonomi dan industrialisasi, lihat R. Robison, Indonesia: The Rise of Capital. Sydney: Allen & Unwin, 1986; “Industrialization and the Economic and. Political Development of Capital: The Case of Indonesia.” In R. McVey, (ed.). Southeast Asian Capitalist. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 1992, hal. 65-88.

30 Kemampuan negara untuk menekan konflik primordial dalam masyarakat tampaknya masih berada pada tingkat formal dan terbatas di beberapa kelompok masyarakat tertentu, seperti militer dan birokrasi sipil. Pada tingkat masyarakat luas kecenderungan konflik primordial tampaknya masih tetap tinggi, terbukti dengan masih seringnya konflik-konflik berdasarkan perbedaan ras, agama dan etnik sampai saat ini. Masih kuatnya perasaan anti-Cina dan kecurigaan terhadap Kristenisasi dapat dipakai sebagai contoh. Demikian pula kasus-kasus perlawanan terhadap negara dengan alasan- alasan agama, seperti dalam peristiwa Tanjung Priok, Lampung, Aceh dan kasus terakhir Haur Koneng menunjukkan masih kuatnya sentimen keagamaan dalam masyarakat.

Demokratisasi Melalui Pemberdayaan Civil Society 95

Situasi yang lebih-kurang “hegemonik” seperti ini tentu saja bukan tanpa harga yang harus di bayar. Mirip dengan yang terjadi di negara- negara otoriter dan pascatotaliter, stabilitas dan ketenangan sosial politik yang di pertahankan oleh negara ternyata telah dibangun di atas dasar logika yang secara internal bersifat kontradiktif, yakni kemampuan yang cukup besar dari negara untuk melakukan eksklusi bagi kekuatan-kekuatan otonom dalam masyarakat yang apabila dibiarkan akan mendesak peran- peran politik, ekonomi, dan sosial strategis yang dinikmati oleh negara. Di negara kapitalis pinggiran seperti Indonesia, problem keseimbangan kekuatan inilah yang senantiasa mengganggu dan apabila tak berhasil dipecahkan secara memadai akan merupakan Achilles heel bagi legitimasi negara.

Sementara itu, dinamika formasi sosial dan politik dalam masyarakat kapitalis pinggiran ikut ditentukan oleh kemampuan negara dalam mendorong dan meningkatkan atau paling tidak mempertahankan ting- kat tertentu proses akumulasi modal yang dimotori oleh kelas borjuis dan didukung oleh kelompok militer, teknokrat dan birokrat. Negara, meskipun bukan semata-mata alat dari kelas-kelas elite atau faksi-faksi kelas di dalamnya, tetap amat berkepentingan untuk melempangkan jalan bagi kesuksesan mereka. Di pihak lain, karena kepentingannya sendiri, negara pun perlu untuk senantiasa membuka kesempatan -kesempatan bagi kelas-kelas yang subordinat untuk menyalurkan aspirasi mereka. Negara, dengan demikian tidak senantiasa ditundukkan oleh kemauan kelas elite yang menjadi pendukung utamanya dan bahkan suatu saat terjadi konflik- konflik kepentingan, yang bukan tidak mung kin mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan drastis yang bisa merugikan kepentingan kelas elite.

Kenyataannya, negara Orde Baru memang telah dan sedang me lakukan peran-peran penyeimbang antarkepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dalam masyarakat itu. 31 Hanya saja masalahnya adalah adanya keengganan negara untuk sedikit demi sedikit me ngurangi intervensinya

31 Ini dilakukan dengan menggunakan strategi korporatisme negara, di mana kelompok kepentingan yang stretegis diharuskan menyalurkan aspirasinya lewat organisasi- organisasi yang disahkan dan dikontrol dengan kuat oleh negara. Dengan demikian asosiasi-asosiasi sukarela menjadi lemah dan cenderung kecil jumlahnya, sehingga menyulitkan mereka untuk menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuatan negara.

96 Demokrasi dan Civil Society

dan membiarkan tumbuhnya kemandirian yang tinggi terhadap kelompok- kelompok kepentingan yang ada dalam masyarakat. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan di satu pihak tingkat ketergantungan masyarakat yang semakin tinggi terhadap negara dan - di pihak lain menambah beban yang

harus ditanggung negara dalam jangka panjang. Masyarakat, dengan demikian, tak bisa melakukan proses “pendewasaan” diri secara penuh tetapi cenderung stagnan atau malah semakin bergerak ke belakang. Ini dapat dilihat dari masih tetap mudahnya masyarakat mengalami kejutan-kejutan sosial politik, dan budaya serta tingkat kerentanannya yang tinggi dalam menghadapi krisis-krisis, baik yang mengancam sistem maupun lifeworld. Hasil akhirnya ini adalah, di satu pihak munculnya negara yang amat ber- kembang (overdeveloped) dan di pihak lain adalah semakin mundurnya tingkat otonomi masyarakat.

Situasi tak sejajar ( asymmetric) ini, tak pelak, telah menciptakan berbagai kendala struktural yang bersifat internal bagi proses demo kratisasi yang sedang diperjuangkan. Ketimpangan ekonomi yang dihasilkan oleh proses akumulasi modal yang terlampau memihak pada sektor-sektor industri besar di kota-kota, misalnya, telah semakin mendorong pauperisasi dan destitutisasi kelas bawah. Namun, ia tak langsung berarti munculnya kesadaran dan kerekatan kelas di kalangan mereka, berhubung masih kuatnya elemen-elemen yang secara po tensial menghambatnya, seperti etnis, agama, ras dan sebagainya. Hal ini pun dialami oleh apa yang disebut kelas menengah Indonesia pasca kolonial. Kelas sosial yang secara historis paling bertanggung jawab bagi proses kemandirian masyarakat vis-a-vis negara di Barat itu, tampaknya memiliki dinamika yang berbeda di Indonesia. Yang terjadi adalah kelas menengah yang memiliki tingkat kohesi yang rendah serta keter gantungan yang teramat tinggi terhadap negara. Tambahan lagi, konflik- konflik yang berasal dari ras, suku, dan agama, ikut berperan besar

dalam menghambat tumbuhnya kelas menengah mandiri di negeri ini. 32 Kendala-kendala itulah yang pada akhirnya mengajak kita untuk

menengok kepada penguatan civil society sebagai strategi alternatif bagi proses demokratisasi. Percobaan-percobaan transformasi radikal

revolusioner yang ditawarkan oleh kelompok kiri, dalam situasi asimetris

32 A. Budiman, “Agama, Demokrasi dan Keadilan,” dalam M. Aziz, et.al. (eds). Agama, Demokrast dan Keadilan. Jakarta: Gramedia, 1993, hal.18-29.

Demokratisasi Melalui Pemberdayaan Civil Society 97

ini tampaknya hanya akan lebih memperlemah kekuatan masyarakat ketika harus berhadapan dengan negara. Di pihak lain, strategi re formasi yang mengandalkan kepada lapisan atas (baca: negara), seperti umumnya ditawarkan oleh para pembela teori modernisasi, tampaknya juga kurang memberi harapan, setidaknya seperti yang kita saksikan selama lebih dari dua dasawarsa ini. Keberhasilan pada tingkat institusional, yang selama ini telah diklaim oleh negara, ternyata kurang mampu menjamin munculnya proses-proses politik yang partisipatoris dan terlampau lemah apabila harus berhadapan dengan kepentingan kepentingan negara. 33

Strategi penguatan civil society, sebaliknya ditujukan ke arah pembentukan gradual suatu masyarakat politik yang demokratis- partisipatoris dan reflektif. Ia dimulai dengan pengupayaan secara sungguh-sungguh ruang publik yang terbuka yang bisa dipakai untuk melibatkan secara penuh potensi-potensi aspiratif dalam masyarakat, sekaligus melakukan kritik secara terus menerus terhadap ketimpangan -ketimpangan yang terjadi. Dalam upaya self-reflection inilah gerakan -gerakan kultural yang dipelopori oleh kaum cendekiawan menjadi salah satu tiang pokok strategi ini. Ia diperlukan untuk melengkapi gerakan- gerakan alternatif dalam masyarakat, yang bertujuan memperluas dan memperkuat civil society secara sistemik. Ormas yang ada dan ke lompok-kelompok LSM, dalam kaitan ini berperan sentral sebagai pe lopor penguatan masyarakat kelas bawah dengan bidang- bidang kerja sektoral.

Patut dikemukakan di sini bahwa dalam strategi penguatan civil society ini, negara tidak langsung dilihat sebagai lawan, sebagaimana pada pengalaman negara-negara totaliter, sebab seperti telah dikemu kakan di depan terdapat pula elemen-elernen negara yang memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan civil society yang mandiri. Pranata- pranata hukum, misalnya, saya kira masih merupakan ruang publik yang perlu didukung meskipun di sana dominasi negara cukup besar. Demikian pula, gerakan- gerakan kultural dan advokasi-advokasi dalam masyarakat, tampaknya tidak perlu dibentuk sebagai sebuah kekuatan sejarah baru (new historical

33 Civil society yang mandiri dan reflektif akan mengurangi kemungkinan jebakan formalisme politik dan demokrasi prosedural yang cenderung mengancam negara-negara demokrasi Barat. Lihat A. Arato, dan J. Cohen, Civil Society and Political Theory, Cambridge: MIT, 1993, terutama “Introduction” dan bab IX.

98 Demokrasi dan Civil Society

bloc) dalam kerangka Gramscian, sebab ia tidak ditujukan untuk merebut kekuasaan negara. 34 Ia lebih diarahkan kepada penciptaan secara gradual

dan evolutif suatu masyarakat politik yang semakin dewasa, yang mampu menjadi penyeimbang dan kontrol bagi kecenderungan-kecenderungan eksesif negara.

Untuk itu pertama-tama perlu dicari semacam landas tumpu yang sama (common ground) bagi gerakan-gerakan alternatif dan kultural bagi penguatan civil society tersebut. Landas tumpu ini merupakan pijakan normatif yang di dalamnya semua aktifitas dan perbedaan-perbedaan orientasi ideologis dan praksis menemukan persamaannya. Untuk Indonesia, saya kira, Pancasila masih tetap merupakan alternatif paling tepat untuk landasan normatif bagi upaya penguatan civil society ter sebut. Dari padanya, sebuah etika dasar akan bisa ditemukan yang melampaui apa yang ditawarkan oleh proyek Pencerahan yang ternyata hanya memberikan jalan yang sepihak bagi proses kesejarahan umat manusia.

Kemudian, pada tingkat struktur dan sistem, perlu dilakukannya reorientasi terhadap perjuangan demokratik untuk lebih menekankan pada pencapaian masyarakat politik demokratik secara bertahap, trans- formatif, dan berjangka panjang ketimbang upaya-upaya perubahan sistem secara radikal yang umumnya tidak memiliki kemampuan resiliency terhadap krisis-krisis sistemik. Ruang lingkup proses perubahan ini lebih berorientasi pada tingkat mikro, sektoral, grass-roots, dan dalam komunitas- komunitas kecil, tetapi tetap dikaitkan dengan tingkat nasional dan

lintas-sektora1, 35 Demikian pula reorientasi yang lebih menekankan pada pencapaian dan pengembangan ruang publik bebas sebagai wahana yang

34 Tetapi tentu saja tak tertutup kemungkinan terjadinya perombakan struktural yang fundamental dalam tempo yang cepat apabila negara berada dalam keadaan krisis berkepanjangan. Untuk kasus Indonesia, opsi semacam ini tampaknya masih bersifat hipotetis dan ini pula yang membedakannya dengan negara-negara di Eropa Timur di bawah rezim komunis.

35 Ini menyiratkan pentingnya gerakan prodemokrasi yang dimulai dari komunitas kecil, seperti tempat kerja (working place) di pabrik-pabrik, kelompok- kelompok diskusi, kelompok petani di pedesaan dan seterusnya. Yang menjadi fokus adalah penciptaan kultur dan praksis demokrasi secara personal dan face-to-face dalam konteks kehidupan sehari-hari (everyday politics).

Demokratisasi Melalui Pemberdayaan Civil Society 99

mampu digunakan warga negara dalam wacana dan praksis politik yang partisipatoris. 36

Pada tingkat sosio-kultural, maka strategi demokratisasi lewat penguatan civil society dilaksanakan dengan cara penanaman dan pengembangan secara terus menerus budaya civil dalam masyarakat lewat pendidikan dan sosialisasi, baik di sekolah, komunitas, maupun organisasi-organisasi sosial dan politik. Dalam kerangka inilah pem bentukan individu-individu demokratik yang mandiri dan mampu melakukan penalaran rasional serta terlibat aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan dalam

masyarakat menjadi penting. 37 Di sini pula letak pentingnya program- program pendidikan politik yang ditujukan untuk mengembangkan kesadaran akan hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Konsekuensinya, pendekatan seperti ini menekankan prakarsa dan peran serta dari anggota masyarakat ketimbang prakarsa dan peran serta negara dalam proses-proses pembentukan subyek-subyek politik (political subjects) serta pranata-pranata sosial politik (political institutions). Demikian pula, peran organisasi massa dan asosiasi-asosiasi sukarela semakin diperluas menggantikan peran negara dan aparat-aparatnya dalam masyarakat. Dengan kata lain, peran negara yang monopolistik secara bertahap dikurangi dan diimbangi oleh peningkatan peran serta masyarakat.

Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin menekankan bahwa demo- kratisasi lewat penguatan civil society di Indonesia adalah yang memiliki

36 Termasuk di dalamnya adalah upaya memperkuat kebebasan pees, kebebasan mimbar akademik, dan perluasan memperoleh akses politik bagi warga negara dalam lembaga-lembaga politik yang ada. Ini berarti bahwa kebijakan politik massa mengambang yang ada sekarang menjadi tak relevan lagi dan harus ditinggalkan. Demikian pula partai- partai politik harus dibentuk dari bawah dan semakin surutnya pranata-pranata korporatis negara.

37 Pembentukan individu demokratik ini sebagai aspek penting dalam proses demokratisasi dapat dilihat misalnya dalam C. Gould, Rethinking, op .cit., 1989, hal. 283-99. Gould menekankan pentingnya pengembangan individu demokratik yang mampu secara aktif terlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan di dalam komunitas di mana ia berada. Sejajar dengan pandangan MacPherson, ia pun menolak konsepsi kaum liberal mengenai individu dalam masyarakat yang kontradiktif: di satu pihak sebagai pengejar pemuasan materi dan kekuasaan, tetapu pada saat yang sama juga pribadi yang sadar diri serta mampu mengembangkan diri sendiri. Lihat CB. Macpherson, Democratic. op.cit.,1990, hal 3-5.

100 Demokrasi dan Civil Society

relevansi tinggi dalam jangka panjang, terlebih kalau kita mengingat percepatan perubahan ekonorni, sosial, politik dan ideologi pada skala global. Dalam percepatan ini, sistem ekonomi, sosial dan politik suatu

negara-bangsa semakin dituntut untuk lebih fleksibel dan terbuka, namun tetap berakar pada latar belakang kesejarahan, formasi sosial dan perkembangan masyarakat yang khas. Salah satu pelajaran terpenting yang dapat diambil dari pengalaman Eropa Timur adalah bahwa sistem politik yang ditekankan dari atas (imposed from above) dan yang cenderung mengasingkan rakyat daripadanya, tidak akan langgeng dan senantiasa rawan terhadap krisis-krisis (crises prone), baik yang datang dari dalam batang tubuhnya maupun dari luar.

Bahasa, Politik dan Pennghampiran “Discursive Practice” 101

BAGIAN KEDUA

Politik Arus Bawah Titik Tolak Kebangkitan Civil Society

102 Demokrasi dan Civil Society

Bab 4