BAB 6 TANDA-TANDA GEJALA PENYAKIT
Secara umum menurut penjelasan informan, penyakit “kena aji” racun memiliki beberapa tanda-tanda gejala yang khas. Sehingga bab ini menjelaskan
pengalaman informan mengenai tanda- tanda gejala penyakit “kena aji” racun, lama
informan menderita penyakit ini, dampak dari penyakit, cara mencegah supaya tidak terkena “aji” racun, serta bagaimana persepsi dari tenaga kesehatan sendiri
sehubungan dengan gejala pada penyakit “kena aji” racun pada masyarakat Lipat Kajang.
6.1. Tanda-
Tanda Gejala Penyakit “Kena Aji” Racun
Seseorang yang telah terpapar atau “kena aji” racun, seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan yang pernah mengalaminya maka beberapa
bagian tubuh akan terasa nyeri atau sakit. Seperti penjelasan beberapa orang informan mengenai pengalaman sakitnya sosiofisiologis. Sebelas orang informan yang
peneliti wawancarai dalam penelitian ini, ada 4 empat orang informan yang pernah menderita penyakit “kena aji” racun, dan 1 satu orang informan yang sedang
menderita penyakit tersebut. Berikut adalah gambaran informan yang dilihat berdasarkan sosiofisiologis pengalaman sakit sebelumnya yaitu sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6.1. Gambaran Sosiofisiologis Informan Desa Lipat Kajang Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil
Informan Umur
tahun Jenis
Kelamin
Suku Pengalaman
Sakit Lama
Menderita Penyakit
Lina 36
Perempuan Jawa kena aji racun
± 4 tahun Ahmad
26 Laki-laki
Jawa kena aji racun
± 1 tahun Mesdi
25 Laki-laki
Jawa kena aji racun
± 3½ tahun Dedi
27 Laki-laki
Melayu kena aji racun ± 10 bulan
Pipit 34
Perempuan Aceh kena aji racun
± 2 bulan Dari gambaran pada tabel 6.1 tersebut diatas, hampir sebagian besar informan
yang peneliti dapatkan berasal dari Etnis Jawa hanya ada satu Etnis Melayu dan satu Etnis Aceh. Pernah juga dari Etnis Batak Pak-
pak menderita penyakit “kena aji” racun. Hasil wawancara peneliti dengan Bapak H.Imam Sarimo yang merupakan
tokoh masyarakat setempat, menjelaskan bahwa : . . .
“kemaren ini dikampung seberang ada yang meninggal kena aji, orang Pak-pak Boang pun dia. Dah sampai batuk darah
” . . . Keterangan ini memberi arti kepada kita bahwa, semua Etnis tanpa terkecuali
dapat terkena penyakit ini. Berikut ini merupakan rangkaian cerita pengalaman dari informan yang pernah maupun yang sedang menderita penyakit “kena aji” racun
yang berhasil peneliti wawancarai, yaitu sebagai berikut : a.
Kasus Sakit; Kak Lina Dalam kehidupannya sehari-hari bekerja sebagai seorang guru di SD Gunung
Lagan. Bercerita tentang penyakit “kena aji” racun, Kak Lina merupakan salah satu orang yang selama kurang lebih 4 tahun pernah mengalaminya. Pada saat Kak Lina
Universitas Sumatera Utara
berumur 24 tahun, dan dulunya bekerja di pabrik pengolahan kayu “kilang kayu”, ia sudah mulai merasakan gejala atau tanda-tanda dari penyakit tersebut seperti :
Tabel 6.2. Gambaran Kesehatan Informan; Kak Lina Sehubungan dengan Penyakit “Kena Aji” Racun di Desa Lipat Kajang Kecamatan
Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil
Bagian Tubuh Yang Dirasakan
Dampak
Badan Lemas, panas dingin
Malas, berat badan menurun cepat Tulang
Ngilu nyeri Susah bergerak
Dada Sesak
Batuk terasa berdahak tapi tidak ada dahak, sesak napas
Bola mata Nyeri seperti mau keluar Ngantuk terus menerus, mata cekung
Pada awalnya Kak Lina tidak mengetahui bahwa gejala yang dirasakannya tersebut adalah gejala dari penyakit “kena aji” racun, untuk menghilangkan rasa
sakit “tidak enak” ia hanya membeli obat di warung depan rumahnya. Memang pada dasarnya setiap orang akan mengambil keputusan dan melakukan tindakan-tindakan
tertentu yang berkaitan dengan kesehatannya. Pada tingkat permulaan setelah gejala yang menjadi pertanda adanya ketidakseimbangan dalam diri seseorang, maka pada
saat itu ia akan mengira bahwa dirinya sakit. Dan selanjutnya ia akan mencoba mengurangi atau mengontrol gejala tersebut melalui pengobatan sendiri Sudarma,
2008. Selama hampir enam bulan Kak Lina hanya mengandalkan obat luar yang
dijual di warung, akan tetapi sakitnya tidak sembuh. Selanjutnya Kak Lina berobat ke bidan desa, setiap kali datang ke tempat praktek bidan obatnya selalu berbeda tetapi
hasilnya tetap sam a. Ketika peneliti menanyakan “apakah kakak tidak mencoba
berobat ke Puskesmas? ”. Dari penjelasan Kak Lina, ternyata ia tidak berobat ke
Universitas Sumatera Utara
Puskesmas dikarenakan sudah tidak percaya lagi akan sembuh dari pengobatan medis modern. Hal ini terlihat dari jawaban Kak Lina :
“ya . . . gak, ngapain lagi? Orang dah ke bidan gak sembuh juga, ngapain ke Puskesmas lagi? Toh bakalan sama juga nya, yang periksa disanakan kadang
orang bidan tu juga ”.
Hal ini sesuai dengan Model Suchman yang dikutip dalam Solita 2007 yang
menyebutkan bahwa terdapat alternatif perilaku sehubungan dengan menentukan pencarian pengobatan, yang mana dari gejala yang dirasakan seseorang akan
melakukan proses menangguhkan procastination atau mengundurkan upaya mencari pertolongan pengobatan sesuai dengan anjuran oranglain akan keadaan atau
gejala yang dirasakan. Kemudian seterusnya penderita akan berupaya untuk melakukan pengobatan sendiri self-medication, namun ketika upaya yang dilakukan
tidak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan maka penderita akan membatalkan atau menghentikan pengobatan discontinuity. Dengan kata lain, unsur kepercayaan
terhadap upaya pengobatan yang dilakukan sendiri sudah tidak ada lagi. Hampir satu setengah tahun Kak Lina berupaya untuk mencari pengobatan
atas penyakitnya, mulai dari membeli obat di warung sampai berobat ke bidan desa. Karena sudah hampir putus asa untuk berobat, Kak Lina yang pada awalnya menutupi
penyakit yang dirasakannya ini kepada tetangga dan teman kerjanya akhirnya mencoba menceritakan apa yang dirasakannya. Ketika ia menceritakan rasa sakit
“tidak enak” nya ini kepada tetangga-tetangga dekat rumah, spontan hampir keseluruhan dari tetangganya menyarankan Kak Lina untuk berobat ke orang pintar
atau dukun. Menurut penjelasan mereka, dari gejala-gejala yang dirasakan Kak Lina
Universitas Sumatera Utara
sudah tidak salah lagi berarti Kak Lina sudah “kena aji” racun, yang kadang ada juga yang menyebutkan bahwa Kak Lina “sudah termakan”.
Pada awalnya, Kak Lina tidak mempercayai penjelasan dari tetangga- tetangganya tersebut. Malahan ia terkadang tertawa sendiri bila teringat ucapan dari
tentangganya yang menyebutkan kalau ia “sudah termakan”, karena bila dipikirkan secara logika penjelasan tersebut tidak mempunyai landasan dan bukti yang jelas.
Tidak cukup rasanya Kak Lina memperoleh penjelasan dari beberapa tetangga, selanjutnya Kak Lina juga menceritakan rasa sakitnya kepada teman kerja dan semua
orang yang pernah dikenalnya di desa tersebut. Secara keseluruhan jawaban dan penjelasan yang didapatkan Kak Lina ternyata diluar dugaannya, semua orang
menyarankan untuk berobat ke orang pintar atau dukun karena mereka juga beranggapan sama yaitu Kak Lina sudah “kena aji” racun. Bahkan beberapa orang
pintar dan dukun juga disarankan dan disebutkan alamat serta syarat-syarat untuk datang berobat.
Tindakan yang dilakukan oleh Kak Lina sehubungan dengan upayanya untuk mendapatkan informasi dan nasehat dari semua pihak keluarga, teman-teman bahkan
semua orang yang dikenalnya disebut dengan sistem rujukan awam lay-refferal system. Semua informasi yang diperoleh Kak Lina, banyak sedikitnya akan
memberikan pengaruh terhadap pengetahuan, sikap bahkan tindakannya untuk menentukan tempat pengobatan yang akan digunakan. Sesuai dengan Model Fabrega
1973 yang menitikberatkan pada proses informasi yang diharapkan seseorang pada saat kejadian penyakit, yang mana semua informasi yang diperoleh dapat dipakai
Universitas Sumatera Utara
sebagai perbandingan yang akan mendorong seseorang untuk memilih rencana pengobatan yang akan dilakukan. Karena pada dasarnya informasi yang diberikan
oleh orang lain selain dapat digunakan untuk memperkirakan biaya,waktu serta dapat memperkirakan kemungkinan bahwa setiap tindakan yang diambil akan mengurangi
ancaman yang mungkin timbul karena penyakit, dan memperhitungkan segala keuntungan yang akan diperoleh yakni seberapa jauh setiap rencana pengobatan akan
dapat mengurangi keluhan penyakit yang dirasakan Sudarma, 2008. Lama kelamaan Kak Lina yang merupakan seorang sarjana, akhirnya
mencoba mengikuti saran untuk berobat ke orang pintar atau ke dukun yang ada di desa tersebut. Menurut penjelasan para tetangga, orang pintar atau dukun yang bisa
mengobati penyakit “kena aji” racun ini cukup banyak, tidak ada pengobatannya yang sama semua menggunakan teknik dan obat yang berbeda.
Sesuai anjuran salah seorang tetangga Kak Lina yang bernama Kak Misni, yang menjadi tujuan Kak Lina berobat tertuju kepada orang pintar atau dukun di Desa
Pandan Sari yang bernama Imam Zakir akan tetapi biasa dikenal masyarakat dengan sebutan mbah Pandan Sari. Selama proses pengobatan, Kak Lina diminta untuk
membawa jenis kelapa muda yang hijau, dan uang 105 ribu rupiah seratus ribu untuk pembuka pengobatan, dan 5 ribu untuk penutup. Kelapa muda ini juga memiliki
syarat ketika diambil dari batangnya yaitu tidak boleh mengenai tanah. Ketika peneliti menanyakan alasannya, Kak Lina juga tidak tahu alasan pastinya. Menurut
penjelasan Kak Lina :
Universitas Sumatera Utara
“. . . hmm, mungkin maksudnya supaya kelapa tetap dalam keadaan bersih, tidak terkena tanah yang barangkali dikhawatirkan ada najis
”. Kelapa muda tersebut setelah dibawa ke mbah Pandan Sari, kemudian
disyarati dengan membaca mantra-mantra sambil diarahkan ke keris yang diasapi dengan kemenyan yang dibakar. Setelah itu Kak Lina diminta untuk meminum air
kelapa tersebut, tidak beberapa lama kemudian Kak Lina muntah. Isi muntahan yg keluar yaitu nanas, rambut, dan paku berkarat yang masih utuh. Menurut penjelasan
mbah Pandan Sari yang diceritakan kembali oleh Kak Lina bahwa : . . .
“kakak terkena racun melalui nanas yang kak makan, racunnya berisi rambut dan paku. Kata mbah, paku itulah yang membuat badan kakak selalu
terasa sakit, dan rambut yang membuat tenggorakan kak gatal sampai batuk. Menurut mbah racun ini memang sengaja diberikan, ntah karena sakit hati
atau karena hal lainnya ”.
Kemudian Kak Lina mencoba mengingat kapan ia makan nenas, apakah ia
pernah menyakiti orang lain. Seingat Kak Lina terakhir kali ia makan nenas yaitu bersama teman kerjanya, tapi sudah dua tahun yang lalu. Memang pada saat itu nenas
yang sudah diracik menjadi rujak diberikan langsung dari temannya kepada Kak Lina. Cuma Kak Lina tidak bisa memastikan benar atau tidaknya karena makan rujak
nenas waktu itu. Setelah racun berhasil dikeluarkan, Kak Lina diminta datang lagi satu minggu
kedepan oleh mbah Pandan Sari untuk melihat apakah racunnya sudah benar-benar habis atau belum. Selama satu minggu itu Kak Lina juga diminta untuk menghindari
makanan yang dianggap pantangan untuk dimakan seperti tidak boleh makan cabe, makanan yang berminyak-minyak, dan ikan asin. Serta ia juga mengharuskan Kak
Universitas Sumatera Utara
Lina agar hanya memakan makanan yang direbus-rebus saja alasannya Kak Lina juga tidak tahu dan ketika ditanya Kak Lina, waktu itu mbah hanya mencoba
menekankan untuk mengikuti sarannya saja bila ingin sembuh. Dalam Model Suchman yang dikutip dari Solita 2007 menyebutkan bahwa
ketika seseorang berada pada tahap menjadi pasien, maka ada ketergantungan dari pasien tersebut terhadap seorang pemberi pengobatan. Pada diri pasien akan muncul
kepercayaan bahwa pemberi pengobatan memiliki kemampuan untuk memberikan layanan dan tindakan sesuai dengan yang diharapkannya untuk mencapai
kesembuhan. Begitu juga dengan Kak Lina, ketika ia menjadi pasien dari Mbah Pandan Sari, maka semua aturan atau syarat yang diberikan harus dilakukan oleh Kak
Lina supaya proses pengobatan dapat berjalan dengan lancar dan penyakitnyapun dapat segera disembuhkan.
Kedatangan Kak Lina setelah satu minggu berikutnya, disambut mbah Pandan Sari dengan satu panci putih yang berisi air. Kemudian mbah membacakan mantra-
mantra sambil meniup panci yang sudah berisi air tersebut. Seterusnya Kak Lina diminta untuk batuk terus menerus sampai sudah terasa mau muntah. Jika masih ada
yang keluar berarti racun dalam tubuh masih ada, akan tetapi bila tidak ada yang keluar itu artinya Kak Lina sudah benar-benar sembuh. Dan menurut penuturan Kak
Lina : . . . “dan Alhamdulillah tidak keluar apa-apak dek, kata mbah itu artinya
racun dalam tubuh kakak udah keluar semua waktu itu. Dan kakak sudah dinyatakan sembuh, sampai sekarang gak batuk-batuk lagi. Cuma kurusnya
masih sih, he. . . he. . .
”.
Universitas Sumatera Utara
b. Kasus Sakit; Ahmad
Nama lengkap informan ini yaitu Ahmad Witasman. Panggilan akrab oleh teman-temannya yaitu Wiwid. Ahmad Witasman atau Wiwid ini seperti yang telah
penulis ceritakan diatas, merupakan anak ke tujuh dari Bapak H.Imam Sarimo dan Ibu Hj.Saijem serta merupakan adik kandung dari Kak Lina. Sama halnya dengan
Kak Lina, Wiwid juga pernah mengalami penyakit yang sama, sehingga disini Wiwid juga menjadi salah satu informan dalam penelitian.
Umurnya yang masih muda yaitu 26 tahun, Wiwid sudah pernah merasakan bagaimana sakitnya penyakit yang diyakini masyarakat sebagai penyakit “kena aji”
racun. Berdasarkan pengalaman kakaknya, Wiwid dikategorikan penderita yang tidak lama merasakan sakit, hanya selama 1 tahun dan kemudian cepat diobati kepada
orang yang biasa mengobati penyakit tersebut. Dengan kata lain tidak berobat kesana kemari dulu.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengalaman sakit sebelumnya sosiofisiologis yaitu sakit yang didertia oleh Kak Lina, menjadikan orangtua Wiwid
langsung menyarankan untuk berobat ke tempat Kak Lina disembuhkan waktu itu. Agar penyakitnya tidak bertambah parah dan dapat langsung diobati dengan cepat.
Tidak sama dengan pengobatan kakaknya, Wiwid diobati oleh “Ibu Wirjah”
nama keseharian dari Subulussalam yang merupakan salah satu Kota Madya yang berada dekat dengan Singkil. Alasannya yaitu ketika Wiwid dibawa berobat ke Mbah
Pandan Sari dukun yang mengobati Kak Lina, beliau sedang tidak ada di rumah. Menurut keterangan dari Kak Misni yang merupakan tetangga dari Kak Lina, Mbah
Universitas Sumatera Utara
Pandan Sari pergi ke luar kota ke Aceh Tamiang untuk menjenguk anaknya yang baru melahirkan. Sehingga dengan begitu Wiwid dibawa ke kediaman Ibu Wirjah
untuk diobati disana. Informasi mengenai pengobatan oleh Ibu Wirjah diperoleh berdasarkan saran atau anjuran dari teman ibunya Wiwid yang bernama Ibu Rosinah
Bancin. Menurut Ibu Rosinah Bancin yang merupakan orang dari Etnis Batak yaitu batak Pak-pak, Ibu Wirjah sangat pintar untuk mengobati penyakit tersebut karena
pengobatannya tidak membutuhkan waktu yang lama. Proses pengobatan yang dilaksanakan Wiwid memang sedikit berbeda dengan
pengobatan Kak Lina. Menurut penjelasan Wiwid, ketika pertama kali ia datang untuk berobat, Wiwid langsung diperiksa dengan menggunakan daun sirih yang
sudah disediakan oleh Ibu Wirjah. Daun sirih sebanyak tiga helai diletakkan di dada sebelah kanan dan kiri serta di tengah diantara dada kanan dan kiri. Kemudian Ibu
Wirjah membacakan ayat-ayat keterangan mengenai ayat-ayat apa saja, tidak dapat dijelaskan oleh Wiwid. Tidak beberapa lama kemudian, daun sirih yang sebelumnya
berwarna hijau dan segar-segar berubah menjadi warna coklat dan rapuh seperti terbakar. Menurut Ibu Wirjah yang diceritakan kembali oleh Wiwid bahwa :
. . . “nah, ternyata benar dugaan saya. Kamu dah kena aji, liat aja daun
sirihnya hangus. Begitulah keadaan paru-parumu saat ini, panas dan harus segera didinginkan
” . . . Paru-paru yang panas, merupakan perumpamaan yang diberikan oleh Ibu
Wirjah atas apa yang dirasakan oleh Wiwid, gejala atau rasa sakit yang dirasakan oleh Wiwid seperti tergambar dalam tabel berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6.3. Gambaran Kesehatan Informan; Ahmad Sehubungan dengan Penyakit “Kena Aji” Racun di Desa Lipat Kajang Kecamatan
Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil
Bagian Tubuh Yang Dirasakan
Dampak
Badan Lemas, panas
dingin pada waktu maghrib
Malas
Tulang persendian Ngilu nyeri
Susah bergerak Dada
Sesak Batuk kering pada malam hari, siang
hari jarang batuk Bola mata
Nyeri Ngantuk terus menerus
Kepala Berat
Emosian Dari hasil pemeriksaan Ibu Wirjah kepada Wiwid maka Wiwid dinyatakan
“kena aji” termakan racun, oleh sebab itu atas permintaan dan anjurannya Wiwid diminta untuk datang kembali esok hari waktu jam tidak ditentukan untuk
melakukan pengobatan. Tapi kali ini Wiwid diminta untuk membawa air minum satu botol, sirih beberapa helai, piring, kain putih untuk penutup piring, dan uang senilai
110 ribu rupiah. Cara pengobatan yang dilakukan Ibu Wirjah sangat unik dan berbeda dengan
Mbah Pandan Sari yang mengobati Kak Lina. Sesampainya Wiwid dirumah Ibu Wirjah, ia diminta untuk meletakkan syarat tersebut diatas “tampah” yang telah
disediakan Ibu Wirjah. Selanjutnya Wiwid diminta untuk berwudhu karena menurut Ibu Wirjah orang yang akan dibersihkan dari aji racun terlebih dahulu harus dalam
keadaan suci atau bersih juga. Setelah berwudhu dan kembali duduk di samping Ibu Wirjah, kemudian Wirjah memulai proses pengobatannya. Pertama kali yang
dilakukan Ibu Wirjah adalah mengambil uang senilai 110 ribu rupiah yang dibawa
Universitas Sumatera Utara
Wiwid dan diletakkan dibawah piring sebagai syarat lancarnya pengobatan. Piring diisi dengan air minum dan ditutup kain putih, kemudian Wiwid serta piring tersebut
ditutup dengan jubah putih yang telah disediakan Ibu Wirjah. Dari luar jubah tepatnya di belakang Wiwid, Ibu Wirjah meminta Wiwid untuk menghela nafas sedalam-
dalamnya sampai muntah, sambil dibacakan ayat-ayat dan mantra-mantra oleh Ibu Wirjah.
Tidak lama kemudian sekitar 1 jam lebih, Wiwid muntah ke dalam piring yang telah ditutup tersebut. Akhirnya jubah dibuka oleh Ibu Wirjah dan mengambil
piringnya. Dengan membaca “bismillahirohmanirrohim” Ibu Wirjah lalu membuka kain putih yang menjadi penutup piring tadi. Di dalam piring terlihat muntahan yang
dikeluarkan Wiwid, tapi anehnya kain putih penutup piring tidak kotor sedikitpun. Muntahan Wiwid yaitu mie instan dan nasi putih yang masih terlihat utuh. Menurut
keterangan Ibu Wirjah dalam cerita Wiwid bahwa : . . .
“mie dan nasi putih itulah yang mengandung aji, yang waktu itu pasti pernah kau makan. Makanan yang udah ada itu tadi, sampai kapanpun gak
akan hancur dalam tubuh. ”
Selesai pengobatan hari itu, tiga hari kemudian wiwid diminta untuk datang
kembali dengan maksud untuk mengecek dan memastikan tidak ada lagi aji racun dalam tubuh Wiwid. Seperti proses awalnya, sirih diletakkan di dada wiwid yang
sedang berbaring dan kemudian dibacakan ayat-ayat. Tidak berapa lama sirih yang tadinya berwarna hijau dan segar, tidak terjadi perubahan apa-apa pada sirih tersebut.
Maka itu berarti sudah sembuh karena aji racun sudah habis dikeluarkan, dan
Universitas Sumatera Utara
kemudian Ibu Wirjah kembali membacakan ayat-ayat yang menurut penjelasannya bacaan tersebut berguna untuk menutup jalan masuk aji ke tubuh.
Dari pengalaman dua anak Bapak H.Imam Sarimo dan Ibu Hj.Saijem ini yaitu Kak Lina dan Wiwid, semenjak saat itu semua anak mereka dilarang untuk makan
atau jajan diluar dimanapun itu. Karena sangat berbahaya bila sudah terkena aji racun, dapat masuknya mudah tapi keluarnya sangat susah. Meskipun umur anak-
anak mereka sudah dewasa, bahkan sudah memiliki keluarga sendiri. Sehingga dengan begitu, pengalaman merupakan ilmu yang berharga untuk menjadikan
seseorang tidak mengulangi kesalahan yang sama. c.
Kasus Sakit; Mesdi Mesdi itulah nama dari informan ini, sapaan akrab yang peneliti berikan
kepadanya yaitu Bang Mesdi karena usianya 1 tahun lebih tua dibandingkan usia peneliti. Sebelum almarhum bapaknya Bang Mesdi meninggal dunia, beliau
sebenarnya telah terbaring sakit di rumah selama berbulan-bulan. Menurut keterangan yang peneliti dapatkan dari tetangganya, bapak Bang Mesdi sakit karena diguna-guna
orang lain. Banyak pengobatan tradisional yang telah dilakukan, akan tetapi tidak dapat menyembuhkan beliau. Sakit yang beliau rasakan seperti tidak tampak dari luar,
lama kelamaan tubuhnya melemas, tambah kurus seperti ada yang menggerogoti dari dalam tubuh, hingga akhirnya beliau lumpuh dan meninggal.
Selama bapak Bang Mesdi sakit yang pada akhirnya meninggal dunia, sebenarnya Bang Mesdi juga mengalami hal yang sama. Apakah karena penyakit
bapaknya menular ke Bang Mesdi atau tidak, peneliti juga tidak bisa memastikannya.
Universitas Sumatera Utara
Cuma sakit yang dirasakan berbeda dengan bapaknya, Bang Mesdi merasakan gejala seperti penyakit “kena aji” racun yang mana menurut keterangan Bang Mesdi ia
sering merasakan :
Tabel 6.4. Gambaran Kesehatan Informan; Mesdi Sehubungan dengan Penyakit “Kena Aji” Racun di Desa Lipat Kajang Kecamatan
Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil
Bagian Tubuh Yang Dirasakan
Dampak
Badan Lemas, panas dingin,
tidak nafsu makan Malas, berat badan turun, bertambah
kurus Tulang
Ngilu nyeri Susah bergerak
Dada Saki, sesak
Batuk kering, sesak napas, sampai pada akhirnya batuk berdarah
Mata Berat
Ngantuk terus menerus Hampir sekitar 3½ tahun Bang Mesdi merasakan sakit ini, sambil terus
berupaya untuk berobat ke pengobatan tradisional yang dianjurkan banyak orang. Sampai pada akhirnya peneliti mengenal Bang Mesdi sebagai salah satu teman dari
Wiwid. Peneliti sering berkumpul dan bercerita dengan Bang Mesdi baik tentang perkuliahan maupun tentang kehidupan. Hingga pada akhirnya Bang Mesdi
menceritakan bahwa saat ini ia sedang menderita penyakit yang menurut orang kampungnya disebut dengan penyakit “kena aji” racun. Selain menceritakan
bagaimana rasa sakit yang dirasakannya, Bang Mesdi juga menceritakan pengobatan yang sedang dilakukannya.
Bang Mesdi setiap beberapa bulan sekali harus pulang kampung untuk mengecek kondisinya, apakah sudah mendingan atau belum. Selain itu cara
pengobatan yang dilakukan Bang Mesdi yaitu pengobatan jarak jauh karena
Universitas Sumatera Utara
mengingat Bang Mesdi kuliah di Medan sementara pengobatannya di kampung Aceh singkil, sehingga kadang badannya terasa aneh. Menurut Bang Mesdi :
. . . “abang diobati dari kampung makanya terkadang badannya terasa panas
kali kadang menggigil, kata dukunnya nama dukun tidak diketahui, hanya nama desa yaitu Desa Jontor itu adalah reaksi dari obat yang dikirimkan
dari kampung. ”
Selain diobati dari jarak jauh oleh dukun yang mengobati Bang Mesdi di
kampung, ia juga diminta untuk tiap hari makan daun sirih dan tiap pagi dan malam minum poding telur ayam kampung. Menurut dukunnya yang diceritakan kembali
oleh Bang Mesdi, hal ini dilakukan untuk menjaga stamina Bang Mesdi agar jangan sampai lemas. Sedangkan sirih yang dimakan, berguna sebagai pembersih dalam
tubuh atau dengan kata lain sebagai sterilisasi dari racun yang ada dalam tubuh Bang Mesdi.
Sudah hampir 4 tahun peneliti mengenal sosok Bang Mesdi, namun sampai pada akhir tahun 2010 penyakitnya tidak nampak berkurang atau tidak menunjukkan
tanda-tanda kesembuhan. Hingga pada suatu malam tepatnya malam Rabu tanggal dan bulannya sudah tidak ingat lagi, Bang Mesdi batuk darah. Wiwid yang satu
kamar kos dengan Bang Mesdi sangat panik, ketika diajak untuk berobat ke klinik terdekat Bang Mesdi malah menolak. Ia yakin bahwa ini mungkin reaksi dari
pengobatan yang dilakukan oleh dukun dari kampungnya. Keesokan harinya Wiwid datang ke rumah peneliti dan menceritakan apa yang
terjadi terhadap Bang Mesdi. Peneliti mendatangi Bang Mesdi dan membujuk Bang Mesdi untuk memeriksakan diri ke Poliklinik USU. Bersama Wiwid, peneliti
Universitas Sumatera Utara
membawa Bang Mesdi ke Poliklinik USU untuk diperiksakan kesehatannya. Disana Bang Mesdi diminta untuk mengambil dahaknya, dan dibawa kembali ke Poliklinik
untuk diperiksa. Besoknya hasil pemeriksaan laboratorium dahak Bang Mesdi diambil dari Poliklinik, dokter menjelaskan bahwa Bang Mesdi terkena TB paru
cuma dari hasil laboratorium pemeriksaan dahaknya BTA negatif. Sesuai dengan anjuran dokter di Poliklinik USU, Bang Mesdi diminta untuk
foto rontgen di rumah sakit karena di Poliklinik USU tidak bisa dilakukan foto rontgen. Bang Mesdi akhirnya juga mengikuti saran dari dokter, ia mendatangi
Rumah Sakit Siti Hajar yang berada tidak jauh dengan kampus USU dan rumah kosan Bang Mesdi. Hasil laboratorium dari Rumah Sakit Siti Hajar menunjukkan bahwa
Bang Mesdi positif paru terdapat bintik-bintik putih di foto paru. Kemudian Bang Mesdi diminta untuk datang ke Puskesmas supaya mendapatkan pengobatan secara
gratis. Dari hasil laboratorium di rumah sakit, serta anjuran untuk ke Puskesmas
Puskesmas yang dituju yaitu Puskesmas Padang Bulan sampai saat ini Bang Mesdi meminum obat secara rutin selama 6 enam bulan dari Puskesmas. Syarat yang
diberikan oleh Puskesmas yaitu bahwa obat tersebut tidak boleh lupa untuk diminum jika ingin benar-benar sembuh dari penyakitnya. Tiga bulan terakhir ini saya kembali
menanyakan bagaimana kondisi kesehatan Bang Mesdi, kemudian ia menjawab : . . .
“sepertinya udah sembuh sih za, abang udah gak batuk lagi, gak panas dingin lagi, dan udah agak enak rasanya. Makasih ya, supaya gak sakit lagi
abang juga tetap diobati dari kampung sama mamak bg. heeee ”.
Universitas Sumatera Utara
d. Kasus Sakit; Dedi
Membahas tentang penyakit “kena aji” racun, Bang Dedi mempunyai cukup banyak pengalaman karena sebelum ia menderita penyakit tersebut ia juga pernah
mengurusi ibunya yang sakit karena penyakit yang sama sampai ibunya sembuh. Pada waktu ibunya sakit, kalau dikategorikan sakitnya sudah kategori parah karena
sudak banyak darah yang keluar setiap kali ibunya batuk. Sampai pada akhirnya darah yang keluar dari batuk tidak dapat tertampung dengan sapu tangan lagi, dengan
kata lain sudah seperti disemburkan saja. Menurut keterangan dari Bang Dedi bahwa ibunya sakit sudah sampai bertahun-tahun, segala cara pengobatan yang dianjurkan
telah dilakukan akan tetapi tidak sembuh juga. Pada akhirnya ibu Bang Dedi berobat ke dukun yang pada saat itu diakui sebagai dukun paling manjur untuk mengobati
penyakit “kena aji” racun. Ketika peneliti juga ingin mengetahui tentang siapa dan bagaimana cara pengobatan yang dilakukan oleh dukun tersebut, menurut keterangan
Bang Dedi : . . . “kalau nama dukunnya dah gak ingat lagi lah abang dek, waktu mamak
sakit tu abang masih sekitar umur berapa ya? udah lupa lah, dukunnya pun udah lama meninggal karena dah tua.
” Setelah dinyatakan sembuh oleh dukun tersebut, dan ibu Bang Dedi telah
menampakkan perubahan yang lebih baik terhadap kesehatannya dukun yang mengobati tersebut beberapa bulan berikutnya meninggal dunia. Penyebab
meninggalnya menurut masyarakat setempat yaitu karena memang sudah tua, dan sering sakit-sakitan juga. Setahun berikutnya, penyakit yang pernah dialami ibu Bang
Dedi kembali dirasakan oleh Bang Dedi sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Permulaan dari gejala yang dirasakan oleh Bang Dedi sesuai dengan penjelasannya yaitu :
. . . “awalnya kan dek, abang ngerasa bila pagi tuh rasanya malas bangun
dan bawaannya pengen tiduran aja. Terus gak lama kira-kira beberapa bulan berikutnya abang batuk, batuknya tu batuk kering gak berhenti-henti, susah
nafas lah jadinya. Trus muka dan badan bang pucat, kalau kulit dicubit nih . . . lama kembali seperti warna semula, ibaratnya seperti orang kurang darah,
dan kulit ini pun seperti kulit orang tua-tua dah gak elastis lagi.
” Dari penjelasan yang diberikan oleh Bang Dedi, bila dibuatkan ke dalam
bentuk tabel pengelompokkan maka akan terlihat seperti berikut ini :
Tabel 6.5. Gambaran Kesehatan Informan; Dedi Sehubungan dengan Penyakit “Kena Aji” Racun di Desa Lipat Kajang Kecamatan Simpang
Kanan Kabupaten Aceh Singkil
Bagian Tubuh Yang Dirasakan
Dampak
Badan Lemas
Malas bangun pagi, dan beraktifitas Kulit
Tidak elastis Kulit tampak pucat, kurus
Dada Sakit, sesak
Batuk kering, sesak napas Awalnya menurut Bang Dedi, ia tidak mengetahui sama sekali bahwa ia telah
menderita penyakit “kena aji” racun karena belum ada batuk sebelumnya. Ia hanya berpikir bahwa badan yang terasa lemas serta malas bangun pagi dan beraktifitas
tersebut merupakan permulaan kebiasaannya yang sering malas-malasan. Tapi lama kelamaan seiring dengan perubahan yang terjadi pada Bang Dedi, ibunya telah
menduga bahwa Bang Dedi telah termakan aji atau racun. Setelah adanya gejala batuk-batuk pada Bang dedi, ibunya semakin yakin
dengan dugaannya. Selanjutnya Bang Dedi dibawa ibunya untuk segera pergi berobat ke dukun atau orang pintar. Akan tetapi Bang Dedi merupakan orang yang tidak
Universitas Sumatera Utara
mudah untuk mempercayai pengobatan yang diberikan oleh dukun atau orang pintar. Ia menolak permintaan ibunya untuk pergi berobat ke dukun. Awalnya Bang Dedi
lebih memilih apotek untuk membeli obat sesuai dengan rasa sakit yang dirasakannya. Selama dua bulan ia hanya mengkonsumsi obat batuk “woods untuk
batuk kering ”, namun batuknya tidak sembuh-sembuh juga. Kemudian ia mendatangi
Puskesmas setempat yaitu Puskesmas yang ada di Desa Pulo Sarok, disana Bang Dedi diberikan beberapa macam obat.
Habis obat, kemudian disambung lagi dengan obat yang sama membuat Bang Dedi jenuh dan bosan untuk datang ke Puskesmas terus-terusan. Hanya kira-kira 3
kali balik ke Puskesmas saja Bang Dedi melakukan pengobatan di Puskesmas, karena menurut penjelasannya :
. . . “capek abang makan obat tu terus, ke puskesmas lagi, tapi gak nya
sembuh-sembuh juga batuknya. Dah sampe 3 kali pun abang ke Puskesmas, obat yang dikasih pun itu-itu aja. Gak nya da OBH Obat Batuk Hitam bang
di kasih. ”
Setelah merasa bosan dengan pengobatan dari Puskesmas, Bang Dedi
akhirnya mengikuti saran dari ibunya untuk berobat ke dukun atau orang pintar yang memang mengerti tentang penyakit “kena aji” racun. Ada 3 dukun atau orang pintar
yang didatangi Bang Dedi bersama ibunya. Yang pertama yaitu Ibu Wirjah di Subulussalam, selanjutnya ke dukun yang di Pangkal Buah dan terakhir berobat ke
ustadz Mukhdin di Desa Sianjo-anjo. Dari ketiga pengobatan yang telah dijalani Bang Dedi, ia dapat mengambil
kesimpulan bahwa yakin adalah modal utama dalam pengobatan dengan siapapun
Universitas Sumatera Utara
kita berobat. Apabila kita tidak yakin kepada suatu pengobatan maka hasilnya tidak akan maksimal. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Bang Dedi
ketika peneliti menanyakan tentang proses pengobatan yang telah dijalaninya : . . .
“cara pengobatan tiap dukun yang bang jumpai itu ya bermacam-macam lah, sebenarnya kita pun antara yakin dan gak yakin gitu. Kayak dukun bang
berobat yang di Sulussalam itu lah, antara yakin gak yakin kita. Ya memang kita ditutup gitu, cuma daun sirih yang ditempel ke dada tiba-tiba terbakar
gitu, kita pun kan disuruh seperti hah . . . hah . . . hah . . . selama 1-2 jam. Kayak gitu terus kan capek juga tuh, pegal leher rasanya. Terus ada juga
yang punya pantangan kayak makan yang berminyak-minyak, makan cabe. Itu pantangan kali tu, kita hanya disuruh makan telur rebus atau makanan yang
direbus-rebus saja selama pengobatan. Ada juga lagi yang dukunnya di Pangkal Buah ngobati pakai telur ayam kampung, dikasih susu dan madu
kayak poding kita kalau datang berobat kesana. Ya kita kan jadi enak. Kalau dukun yang namanya ustadz Mukhdin di Desa Sianjo-anjo kita disuruh bawa
air minum untuk disyarati dan diminum tiap pagi dan malam. Abang waktu itu bang bawa aja air 1 galon biar gak capek bolak balik aja. Tapi yang
pastinya sembuh karena dukun yang mana, ya abang gak tau juga karena kan dah berobat sama banyak dukun. Tau sembuh karena kata dukun-dukun itu
bang dah gak pucat lagi.
” Setelah Bang Dedi dinyatakan sudah sembuh oleh beberapa dukun dengan
diagnosa dukun tersebut masing-masing, namun menurut pengakuan Bang Dedi sendiri :
. . . “ya, kalau malas bangun paginya sih sampai sekarang ya tetap gitu juga
dek. Tapi sekarang dah ada yang banguni kalau pagi, bisa ngamuk dunia kalau gak bangun. Pagi tu abang harus bantu kakak tuk mandikan si Riqki
dan buatkan bubur. Mungkin karena dulu masih lajang dan gak sibuk makanya malas bangun pagi kali. haaa haaa haaa.
” e.
Kasus Sakit; Pipit Selanjutnya yang menjadi informan dalam penelitian ini bernama Cut Aida
Fitriani yang akrab dipanggil Pipit. Kak Pipit adalah seorang wanita berumur 34 tahun berprofesi sebagai seorang perawat di rumah sakit umum Singkil yang saat ini
Universitas Sumatera Utara
tengah hamil 4 bulan. Sehubungan dengan penyakit “kena aji” racun, Kak Pipit juga merupakan salah seorang penderitanya. Selama sekitar dua bulan masa kehamilannya,
sempat ia sangat panik dan stress ketika mengetahui bahwa ia “kena aji” racun. Karena ia khawatir akan keadaan janin yang ada dalam kandungannya selain itu ia
juga bingung untuk melakukan upaya pengobatan. Sebagai seorang yang memiliki ilmu di bidang kesehatan, ia dapat memahami bahwa gejala-gejala yang ia rasakan
adalah gejala seorang penderita penyakit paru dan harus diobati secara teratur dan sesegera mungkin. Akan tetapi ia juga takut untuk melakukan pengobatan karena
dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan janinnya. Kebingungan Kak Pipit ini, disampaikan kepada suaminya, mertua dan orang
tuanya. Semua hanya memberikan satu pilihan yaitu berobat ke dukun atau orang pintar saja, alasan mereka sama dengan ke khawatiran Kak Pipit yaitu keselamatan
dan kesehatan janin yang dikandungnya. Suami, mertua dan orang tuanya tidak mengizinkan Kak Pipit untuk berobat ke Puskesmas, dokter, bahkan rumah sakit.
Akhirnya Kak Pipit pun mengikuti saran suami, mertua dan orang tuanya, karena di satu sisi ia juga tidak mau dianggap durhaka serta jika terjadi apa-apa dengan
janinnya ia juga tidak mau disalahkan. Menurut pengakuan Kak Pipit, bahwa sebenarnya ia malu untuk berobat ke dukun atau orang pintar. Karena ia orang
kesehatan yang juga ikut memberikan informasi tentang upaya pengobatan terhadap penyakit yang harus dilakukan kepada masyarakat. Seperti uraian penjelasannya
berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
. . . “mau gimana lagi za, makanya kakak gak mau cerita kepada orang lain
kemana kak berobat. Ntar bisa-bisa kak dibilang gak jelas, katanya orang kesehatan berobat juganya di dukun. Orang-orang ini payah za, dia gak akan
ngerti alasan kita. Selain itu kak juga takut durhaka sama abang, mamak dan mertua kak. Trus juga kak takut kalau gak nurut, kalo anak kak kenapa-
kenapa kan kak juga ntar yang disalahkan. Tapi mau gimana lagi lah, yang penting sekarang Alhamdulillah dukunnya bilang ajinya dah gak da.
” Kak Pipit yang pada akhirnya memilih berobat ke dukun, mendatangi seorang
dukun atau orang pintar yang bernama Buya Sidingin di daerahnya sendiri yaitu di Desa Lipat Kajang Bawah. Buya Sidingin dalam melakukan pengobatannya
menggunakan beras yang ditumbuk setelah itu di campur air dan pandan. Menurut Kak Pipit campuran ramuan ini dioleskan di bagian dada dan punggung pada malam
hari ketika mau tidur supaya panas yang ada dalam tubuh khususnya paru-paru dapat didinginkan. Selanjunya terapi yang dianjurkan Buya Sidingin kepada Kak Pipit yaitu
setiap pagi Kak Pipit harus mengeluarkan dahak, seperti “mengeluarkan nafas dari dalam perut” sampai terasa mau muntah baru berhenti. Bila suatu pagi ada keluar
sesuatu benda baik dalam bentuk makanan atau benda lainnnya maka sudah bisa dipastikan bahwa aji racun tersebut juga sudah keluar. Keterangan dari Kak Pipit
yaitu : . . .
“selama 1 minggu kak buat seperti yang dibilang buya za, awalnya gak da yang keluar terus beberapa hari berikutnya ada potongan roti ukuran kecil
yang keluar. Trus kak ambil dan kak perhatikan, apakah ini aji yang keluar seperti yang dimaksudkan buya itu ya? karena penasaran kak bawa ke rumah
buya, buya bilang itulah memang racunnya yang termakan bersama roti itu. ”
Penjelasan buya membuat Kak Pipit sedikit lega karena berarti ia sudah tidak
sakit lagi. Dan gejala seperti dibawah ini :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6.6. Gambaran Kesehatan Informan; Pipit Sehubungan dengan Penyakit “Kena Aji” Racun di Desa Lipat Kajang Kecamatan Simpang
Kanan Kabupaten Aceh Singkil
Bagian Tubuh Yang Dirasakan
Dampak
Badan Lemas, panas dingin,
tidak nafsu makan Malas, berat badan turun
Tulang Ngilu nyeri
Susah bergerak Dada
Sakit, sesak Batuk kering, sesak napas.
Mata Berat
Ngantuk terus menerus, tidak mau bergerak
Gejala tersebut diatas sampai saat ini sudah tidak dirasakan lagi oleh Kak
Pipit. Akan tetapi menurut pengakuan Kak Pipit bahwa sebenarnya ia masih belum percaya sepenuhnya dengan kesembuhannya itu. Seperti ungkapannya berikut ini :
. . . “sekarang kan kata buya kak dah sembuh, tapi rencananya setelah jebol
nih si adek kak mau periksa lagi ke Puskesmas untuk pasti‟in kesehatan kak.” Sehingga dengan begitu menurut Kak Pipit, ia bisa yakin dengan
kesehatannya yangmana untuk memperoleh kesehatan yang maksimal terkadang kita juga membutuhkan beberapa sumber pengobatan yang berbeda.
Dari penjelasan mengenai pengalaman setiap informan yang pernah menderita penyakit “kena aji” racun, sehingga terdapat beberapa bagian tubuh yang terasa
sakit, seperti yang telah peneliti kelompokkan ke dalam tabel berikut ini yaitu :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6.7. Gambaran Tanda-tanda yang Nampak Dirasakan Sehubungan dengan Penyakit “Kena Aji” Racun di Desa Lipat Kajang
Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil
Bagian Tubuh Yang Dirasakan
Dampak
Badan Lemas, panas dingin
kadang pada waktu maghrib, tidak nafsu
makan Malas, berat badan menurun cepat,
bertambah kurus, malas bangun pagi, dan beraktifitas
Tulang dan persendian
Ngilu nyeri Susah bergerak
Dada Sesak
Batuk terasa berdahak tapi tidak ada dahak, sesak napas, batuk kering
kadang hanya pada malam hari siang hari jarang batuk, batuk berdarah
Mata Nyeri seperti mau
keluar, terasa berat Ngantuk terus menerus, mata cekung
Kepala Berat sakit
Emosian Kulit
Tidak elastis Kulit tampak pucat
Tenggorokan Perih
Hilang suara
Dari tabel dapat diketahui bahwa terdapat beberapa bagian tubuh yang menjadi sasaran utama rasa sakit yang ditimbulkan oleh “aji” racun ini diantaranya
yaitu badan. tulang dan persendian, dada, mata, kepala, serta kulit. Jika digambarkan maka akan terlihat seperti gambar dibawah ini :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6.1. Tanda-tanda atau Gejala pada Tubuh Penderita Penyakit “Kena Aji” Racun
“Aji” racun yang masuk ke dalam tubuh, akan mengalami suatu proses yangmana antara jenis aji keras dengan aji ringan memiliki proses yang berbeda
Ngilu nyeri
Ngilu nyeri
Ngilu nyeri
Ngilu nyeri
Ngilu nyeri Sesak
Berat sakit
Tidak elastis Nyeri berat
Batuk darah Perih
Universitas Sumatera Utara
ketika berada dalam tubuh manusia. Jenis aji keras, proses yang terjadi berlangsung cepat dalam waktu yang singkat. Sehingga tubuh cepat merasakan lemas, bahkan
dalam hitungan jam atau hari saja, penderita dalam langsung meninggal. Sedangkan jenis aji ringan, prosesnya berlangsung lama dengan beberapa tahap seperti merusak
sistem pencernaan bahkan merusak sistem peredaran darah dalam tubuh. Dengan begitu gejala yang dirasakanpun juga bertahap mulai dari gejala ringan sampai ke
gejala yang berat. Seperti gejala ngantuk yang berlebihan yang lama kelamaan menyebabkan rasa malas sehingga tidak produktifitas, emosi yang tidakstabil, berat
badan turun, badan terasa meriang panas dingin, nyeri pada tulang dan persendian, batuk dan lama kelamaan batuk darah dan meninggal. Namun begitu, kedua jenis
“aji” racun ini sama-sama berdampak pada kesehatan penderitanya.
6.2. Lama Menderita Penyakit “Kena Aji” Racun