BAB 5 PENGELOMPOKAN “AJI” RACUN
Bab ini membahas tentang pengertian “aji” racun pada masyarakat Lipat Kajang. Bahasan ini meliputi
faktor penyebab munculnya penyakit “kena aji” racun, siapa yang memberi “aji” racun, orang yang beresiko untuk terkena dan menderita
penyakit “kena aji” racun sampai akhirnya di sajikan juga informasi mengenai adanya pengelompokan “aji” racun itu sendiri.
Semua informan yang diwawancarai, dapat memberikan penjelasan mengenai aji dan penyakit “kena aji” racun menurut pengetahuan yang mereka miliki. Hanya
saja tidak semuanya mendalam, yang mereka ketahui hanya bagaimana gejala yang dirasakan serta tempat yang harus dituju ketika untuk mendapatkan kesembuhan.
Informan yang mengetahui secara mendalam pembahasan mengenai “aji” racun ini mulai dari apa penyakit
“Kena aji” racun, asal usul penyakit, dan sebagainya yaitu Tua Sambo, Udin Lembong serta Mbah Pandan Sari.
5.1. Apa “Aji” Racun
Aji disebut sebagai sebuah sistem penyakit yang bisa kena ke orang lain yang dibawa agent oleh jin baik dengan menggunakan serbuk sebagai media perantara
maupun tidak menggunakan media. Penyakit yang ditimbulkan apabila seseorang telah menderita atau terkena ”aji” racun, biasanya dinamai oleh masyarakat
setempat sebagai penyakit ”kena aji” racun. Penyakit ini dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai penyakit yang sangat berbahaya terhadap kesehatan dan dapat
Universitas Sumatera Utara
membunuh penderitanya. Penyakit ini timbul muncul karena adanya aji racun yang diberikan kepada seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung. Kata ”aji”
ini sendiri berasal dari bahasa Batak Pak-pak yangmana artinya sama dengan racun. Penggunaan kata ”aji” pada saat ini sudah jarang digunakan orang, dari sebagian
besar informan yang diwawancarai mereka lebih cepat mengerti maksud pembicaraan ketika disebutkan ”aji” yang artinya racun. Sesuai dengan penjelasan salah seorang
informan Bang Dedi yang menyebutkan bahwa : . . .
”aji itu ya sama racun, orang-orang dulunya itu yang bilang racun itu aji. Uyut-uyut kita dululah, seperti mereka bilang ini cawan kalau kita bilang ini
cangkir. Sakin yangberarti pisau. Itu ibaratnya aji tu bahasa halusnya, kan kasar rasanya kalau di bilang racun. Kalo dalam bahasa Jawa, aji tu bahasa
Jawa halus. ”
Kata ”aji” yang menurut masyarakat setempat berasal dari bahasa Pak-pak, memiliki cerita sejarah yang sampai sekarang masih dipercayai oleh seluruh
ma syarakat yang berada di Aceh Singkil, yang konon menurut mereka ”aji” itu justru
yang membuatnya adalah orang Pak-pak sendiri. Hal ini didukung dari bahan-bahan yang dijadikan untuk pembuatan ramuan ”aji” racun, banyak berada di daerah
pinggiran sungai yang mana kelompok etnis Pakpak menjadikan tempat tersebut sebagai tempat tinggalnya. Selain itu budaya yang ada pada orang Pak-pak yaitu
bahwa sebagian masyarakat Pak-pak masih meyakini hal-hal ghaib misalnya di setiap lebuh dan kuta ditemukan adanya area-area yang dianggap pantang untuk diganggu.
Lebuh dan kuta adalah sebutan untuk komunitas terkecil pada suku Pakpak. Lebuh, merupakan bagian dari kuta yang dihuni oleh clau kecil, dan Kuta adalah gabungan
dari lebuh-lebuh yang dihuni oleh suatu klan besar marga tertentu. Menurut
Universitas Sumatera Utara
keyakinan mereka tempat-tempat tersebut memiliki unsur biotik dan abiotik, karena dianggap mempunyai kekuatan ghaib antara lain: rabag, gua, daerah pinggiran sungai
dan jenis-jenis pohon dan binatang tertentu yang dianggap memiliki makna. Jenis tumbuhan tersebut misalnya pohon ara, simbernaik sejenis pohon penyubur tanah.
Jenis binatang yang jarang diganggu seperti monyet, kera dan harimau. Pada awalnya tempat-tempat tersebut dijadikan sebagai tempat persembahan terhadap kekuatan
ghaib namun saat ini walaupun umumnya mereka telah menganut agama seperti Kristen dan Islam, tetap dianggap keramat dan mempunyai kekuatan sehingga kalau
diganggu dapat berakibat buruk terhadap keselamatan Berutu, 2002. Selain adanya anggapan pada mayar
akat bahwa ”aji” racun berasal dari orang Pak-pak, terdapat juga tempat-tempat yang menurut masyarakat yang banyak
terdapat ”aji”. Seperti salah satu informan Udin Lembong yang mengungkapkan bahwa :
. . . “kalau yang pusat racun di cibubukan yaitu di lipat kajang bawah belok
kiri lurus aja sampai ke sungai, nah itulah cibubukan itu. Disitu lah pusat racunnya, bekas kerajaan dulunya itu.
” Akan tetapi kepastian mengenai hal ini tidak ada yang dapat membuktikannya
dari dulu hingga sekarang. Menurut bapak H. Imam Sarimo, dahulunya pernah ada suatu pembuktian di sebuah desa yang diduga banyak ”aji” racun nya. Desa tersebut
bernama Desa Lipat Kajang yang mana desa ini menjadi desa tempat penelitian saat ini. Awalnya karena banyaknya tuduhan dan perbincangan dari desa lain mengenai
desa ini, sehingga pada suatu hari dibuatlah suatu pengujian kepada semua masyarakat yang ada di desa tersebut. Caranya yaitu dengan minyak goreng yang
Universitas Sumatera Utara
dipanaskan dalam api yang besar, minyak tersebut dibacai mantra oleh dukun yang dipercaya oleh masyarakat. Semua masyarakat diminta untuk bergantian menjulurkan
kedua tangannya dan disiram dengan minyak panas tersebut. Orang yang tidak memiliki ”aji” racun, tidak akan merasakan apa-apa ketika minyak panas disiram.
Akan tetapi jika ada yang memiliki ”aji” racun maka tangannya akan melepuh dan
hancur. Dari pembuktian tersebut tidak satu orangpun masyarakat yang didapati mempunyai ”aji” racun. Sehingga desa Lipat Kajang sampai saat ini tidak bisa
dituduh sebagai desa yang memiliki banyak ”aji” racun. Akan tetapi fenomena
adanya ”aji” racun di Aceh singkil tetap ada dan dirasakan oleh masyarakat bahkan tetap menimbulkan korban penderitanya. Siapapun orangnya dan desa manapun itu
tidak bisa dibuktikan secara pasti ada atau tidakny a ”aji” racun nya. Seperti
penuturan salah satu informan ibu H.Saijem : . . .
”kalau tau siapa pelaku pembuat aji nya ya dari dulu udah di bunuh orang. Dulu ada nenek-nenek yang tinggal di pinggiran sungai Alas, ia
tinggal sendiri tanpa ada anak dan cucu. Menurut masyarakat nenek itu menyimpan aji, sampai akhirnya dia diusir dari kampung. Karena dia gak
pergi-pergi juga akhirnya rumahnya dibakar masyarakat. Sekarang kabarnya nenek itu dah meninggal. Tapi mengapa banyak orang bilang bahwa orang
Pak-pak adalah pusat racunnya? Itu karena kan pada awalnya yang pertama menetap disini tu ya orang Pak-pak Boang yang pinggiran sungai. Dulunya
kan satu-satunya jalur lintas yaitu hanya lewat sungai gak ada jalan darat, selain itu bahan-bahan pokok untuk membuat aji itu banyak dikawasan hutan
pinggiran sungai.
” Sebenarnya pandangan yang menyatakan bahwa pusat daerah “aji” itu banyak
di daerah pinggiran sungai, saat ini tidak dapat dijadikan sebagai pegangan lagi karena menurut penuturan Bang Dedi bahwa :
Universitas Sumatera Utara
. . . “aji itu sekarang ada dimana-mana dek, kita bisa kena gak hanya dengan
kita datang ke daerah itu aja. Seperti ini lah, adek makan di warung yang menurut orang gak ada aji nya. Tapi bisa jadi adek kena aji disitu, karena aji
ini kan bisa dibawa kemana-mana dan cara mengenakkannya itu juga bisa dengan ditembakkan atau dijentikkan dari jauh aja dek. Makanya sekarang
ini aji itu bisa kita kena dimana aja.
” Menurut Tua Sambo yang merupakan seorang pengobat penyakit “kena aji”,
aji itu terdiri atas 2 jenis yaitu ada aji keras dan ada aji ringan. Perbedaan antara kedua aji ini terlihat dari bentuknya, bahan pembuatan, cara pemberian, perantara
pemberian, proses yang terjadi dalam tubuh, serta pengaruh yang tampak pada tubuh dan kesehatan si penderitanya. Perbedaan yang khas antara kedua jenis aji ini yaitu
terletak pada proses mental yang dilakukan oleh orang yang memberikan aji tersebut kepada orang lain. Penjelasan Tua Sambo membuat analogi seperti berikut di bawah
ini : “. . . kalo aji keras dia seperti ini nak, misalnya kita cukup hanya dengan
berkonsentrasi saja dan memikirkan apa yang akan kita lakukan maka sesuatu akan terjadi. Kita mau mengenakkan aji keras ini kepada si polan
misalnya, cukup kita sebut namanya dan dipikirkan trus bisa nanti si polan itu kena. Tapi kalo aji ringan, dia ada sesuatu bentuk yang membuatnya bisa
terjadi. Kayak mengenakkan aji tadi lah, ada serbuk yang diracik untuk
diberikan kepada orang baik lewat manusia ataupun lewat jin.” Dari penjelasan Tua Sambo tersebut, maka inti dari perbedaan kedua aji ini
terletak pada proses mental yang dilakukan oleh orang yang memberikan aji tersebut. Untuk aji keras, ketika hanya dipikirkan saja sesuatu bisa terjadi. Sedangkan untuk aji
ringan harus ada sesuatu bentuk benda yang bisa membuatnya terjadi, tidak bisa hanya dengan menggunakan pikiran saja. Tidak hanya perbedaan yang ada pada
kedua jenis aji ini, berdasarkan unsur yang ada dalam aji antara aji keras dan aji
Universitas Sumatera Utara
ringan memiliki persamaan yaitu sama-sama menggunakan jin sebagai agent pembawa penyakitnya. Meskipun media yang menjadi perantaranya ada yang melalui
manusia dengan menggunakan serbuk ramuan yang diracik dari bahan-bahan beracun, bahkan ada yang menggunakan jin secara langsung. Jika orang yang terkena
jenis aji ringan, gejala yang dirasakan bisa berupa batuk terus, panas dingin, nyeri tulang, kurus, malas beraktifitas, dan sebagainya. Akan tetapi jika terkena jenis aji
keras tinggam biasanya bentuk penyakitnya lebih mengerikan. Seperti cerita pengalaman Ibu Hj.Saijem yang pernah terkena jenis aji keras yaitu guna-guna, dalam
uraian berikut ini : . . .
“sakitnya itu wiiih sampai kebas rasanya seluruh tubuh ini, karena udah gak tertahankan lagi. Badan ibu sebelah kiri mulai dari kepala sampai kaki
seperti melepuh terkena minyak panas, tidurpun udah sampai di atas daun pisang supaya terasa agak dingin. Banyak orang yang gak nyangka kalo umur
ibu masih dipanjangkan oleh Allah. Anehnya penyakit ini hanya bagian tubuh sebelah saja yang melepuh. Kemudian ibu diobati sama dukun, katanya ibu
dibuat orang yang sakit hati sama ibu. Memang waktu itu orangtua ibu pernah menerima lamaran seorang laki-laki untuk dijodohkan dengan ibu,
sekitar beberapa hari mau ditunangkan ibu gak mau
” . . . Dari cerita pengalaman Ibu Hj.Saijem ini terlihat bahwa penyakit yang
disebabkan oleh jenis aji keras yang cara pemberiannya dapat dikenakkan langsung kepada orang yang dituju. Berdasarkan bentuknya, aji keras tinggam ini bisa
berbentuk santet dalam bahasa Pakpak disebut i ula-ulai, kemudian teluh, tenung, maupun guna-guna. Semua bentuk ini hampir sama, akan tetapi bila dipahami satu
persatu diantaranya memilliki perbedaan. Menurut Mbah Pandan Sari sebenarnya yang membedakannya adalah dari cara mendapatkan ilmu tersebut, prosesi ritual
Universitas Sumatera Utara
penyerangannya dan bahan yang digunakan. Berikut adalah perbedaan dari santet i ula-ulai, teluh, tenung dan guna-guna yaitu :
e. Santet i ula-ulai, merupakan metode penyerangan jarak jauh, serangan ini dapat
diketahui dari tubuh korban yang normal tanpa gejala yang tidak terlalu tampak. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh serangan ini umumnya lokal pada bagian
tertentu saja serta bisa datang pada saat-saat tertentu saja dan bila diperiksa oleh tenaga kesehatan misalnya dengan dironsen maka tidak ada terlihat apa-apa.
Jenis bahan yang dipergunakan spesifik umumnya barang mati tidak bernyawa seperti kain, jerami batang padi yang dibentuk menjadi boneka, jarum, silet,
beling pecahan kaca, kembang bunga, kemenyan, dan sebagainya. f.
Teluh, metode ini merupakan kebalikan dari metode santet dan sangat identik yang selalu membawa unsur yang bernyawa seperti binatang. Cara kerjanya yaitu
dengan mengubah suatu bentuk zat tertentu menggunakan ilmu khusus. Ciri serangannya dapat dilihat secara kasat mata orang awam juga bisa melihat.
Gejalanya seperti terlihat cahaya api yang terbang dan masuk ke rumah korban, malam hari terdengar suara benda yang biasanya sering digunakan pasir yang
seperti dilempar ke atap rumah korban, tiba-tiba di rumah ada lintah atau bau busuk yang tidak jelas asalnya, dan jika terkena korban dibagian tubuhnya
terlihat benjolan yang dapat berpindah-pindah tempat saat dikeluarkan yang biasanya berisi cacing, kelabang, bambung serangga pohon kelapa urik-urik
serangga yang terdapat di kandang kambing, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
g. Tenung, merupakan ilmu pengembangan dari santet i ula-ulai dan teluh yang
prinsip dasarnya sama namun pengaplikasian ilmu ini berbeda karena dapat menggunakan barang dan benda mati. Cara pengirimannya sama seperti teluh,
namun kelebihannya ilmu ini bisa menyusup ke dalam tanah. Gejala dan serangan ini dapat dilihat seperti saat korban makan tiba-tiba dimakanannya
terselip paku, kawat, silet, jarum dan sebagainya. Gejala dari terkenapun tidak jauh beda seperti teluh namun saat dikeluarkan dalam tubuh terdapat jarum, silet,
kawat, serpihan beling kaca, paku, batu kerikil, dan sebagainya. h.
Guna-guna, lebih identik dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan makanan, minuman, dan pakaian. Misalnya ada seseorang yang terlalu suka
dengan seorang korban, kemudian dia memberikan buah makanan kesukaan korban. Saat dimakan oleh korban, maka pengaruhnya akan merasuk dan
mengunci pertahanan tubuh yang berakibat korban akan berbalik suka kepada seseorang tersebut.
Pada jenis aji ringan, cara pemberiannya juga ada yang dikenakkan langsung dan ada juga yang ditaburi pada makanan atau minuman. Hal ini mengingat dari
bahan pembuatan jenis aji ringan yaitu berupa serbuk racun yang terdiri dari janin manusia yang mati baik karena digugurkan secara sengaja maupun tidak, jenis
tanaman getah kayu rengas, miang buluh atau rambut bambu, dan dari kotoran manusia atau hewan. Proses pembuatan serbuk racun ini yaitu dilihat dari penjelasan
Tua Sambo yaitu sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
. . . “ini sebenarnya rahasia ya, kalo di orang kampung dulu tu kalo ada
orang keguguran, janinnya itu misalnya masih sebesar ibu jarilah itu dijemur kemudian digoreng. Setelah digoreng ditumbuk kemudian dicampur dengan...
getah kayu rengas, kalau dulu banyak itu di hutan kayunya cuma sekarang dah payah dapatnya karena udah banyak yang ditebang. Campuran tersebut
digiling sampai halus, kemudian diayak dan dicampur lagi dengan miang buluh kalo orang kampung bilang atau sama juga dengan rambut bambu.
” Bila dibahas satu persatu zat atau kandungan racun yang ada pada setiap
bahan baku untuk pembuatan “aji” racun ini, maka diuraikan sebagai berikut ini : 1.
Janin yang sudah meninggal : janin yang sudah meninggal sama halnya dengan bangkai, yang bila dibiarkan terus maka lama-kelamaan akan mengandung
banyak bakteri. 2.
Getah kayu rengas : Tumbuhan famili Anacardiaceae dan nama saintifiknya ialah
Gluta Renghas, orang-orang Cina menyebutnya dengan nama Chat-si atau Kayu Hantu. yang sering dimanfaatkan kayunya. Getah kayu ini terkenal karena sangat
beracun. Bila terkena kulit, getah rengas bisa menyebabkan iritasi berat, bahkan bisa melumpuhkan manusia. Selain itu kulit yang terkena getahnya kelihatan
seolah-olah seperti terbakar kehitaman tetapi sangat gatal dan menyakitkan. Jika digaruk, ia akan lecet dan bertambah gatal lagi. Jika tangan yang mengaruk itu
mneyentuh tempat lain pada tubuh maka ia seolah-olah akan berpindah di tempat itu pula, dan seterusnya apabila digarut maka ia akan menular seluruh badan.
Bentuk kayu rengas ada 2 yaitu sebagai berikut : a.
Rengas biasa Ciri-ciri dari kayu rengas biasa ini yaitu:
- Motif dan seratnya bagus
Universitas Sumatera Utara
- Getahnya hitam - Bila getahnya mengenai kulit akan menyebabkan gatal-gatal.
Gambar 5.1. Kayu Rengas Biasa
2. Rengas susu Ciri-ciri dari kayu rengas susu ini yaitu:
- Berwarna putih seperti susu - Getahnya berwarna hitam
- Getahnya memiliki sifat yang sama dengan rengas biasa, yakni dapat menyebabkan gatal-gatal pada kulit.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.2. Kayu Rengas Susu
3. Miang buluh atau rambut bambu : dampak miang buluh atau rambut bambu
hampir sama dengan getah kayu rengas tadi, yang bila terkena kulit akan menyebabkan rasa gatal.
Proses pembuatan serbuk racun ini sebenarnya tidak hanya itu saja, dia sangat bermacam-macam dengan bahan dan cara yang berbeda. Hal ini tergantung dari
kemampuan dari pembuatnya serta tujuan yang ingin dicapainya. Menurut Udin Lembong, dengan bahan janin saja juga sudah bisa dibuat aji atau racun yaitu sebagai
berikut :
Universitas Sumatera Utara
. . . “janin tersebut direbus dulu, air rebusan anak tadi yang telah dibacakan
doa mantra, terus tangannya kuku kanan kiri dicelupkan ke dalam air rebusan anak tadi supaya racunnya lengket dan mudah diberikan kepada
orang lain. Sebenarnya racun itu kalau orang tua-tua bilang sama dengan hantunya itu.
” Seh
ingga dengan begitu jadi dapat disimpulkan bahwa “aji” memiliki beberapa jenis, bentuk, cara pemberian dan sebagainya. Seperti yang terlihat dari
gambar bagan berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
Aji Racun kampung
Gambar 5.3 . Bagan Pengelompokkan “Aji” Racun
Keras tinggam Ringan
Santet i ula-ulai
Guna- guna
Serbuk Janin
Jenis tanaman getahu kayu rengas, miang buluh
atau rambut bambu Kotoran manusia atau
hewan dan lain-lain
ditembakkan langsung
dicampur ke makanan
minuman ditembakkan
langsung manusia dan
jin jin
manusia Proses lama,
dengan berbagai tahap :
merusak sistem peredaran darah
merusak sistem pencernaan
tubuh Proses cepat,
dalam waktu yang singkat
Batuk, panas dingin, nyeri tulang, ngantuk berlebihan, malas tidak
produktifitas, emosian, berat badan turun terus
Lemas, dalam waktu yang singkat
meninggal
Jenis Bentuk
Bahan pembuatan
Cara pemberian
Perantaraan pemberian
Proses yang terjadi dalam
tubuh
Pengaruh pada tubuh
dan kesehatan Tenung
Teluh
Universitas Sumatera Utara
Terdapat satu hal lagi yang menyangkut penyakit “kena aji” racun ini, yaitu tidak bersifat menular. Menurut pengakuan beberapa informan yang pernah
menderita penyakit ini seperti Kak Lina, Ahmad Wiwid, Bang Mesdi, Bang Dedi, dan Pipit menyebutkan bahwa penyakit ini tidak menular. Sesuai juga dengan
penjelasan beberapa diantara dukun kiyai yang dapat mengobati penyakit ini. Salah satunya menurut Tua Sambo yang menyebutkan :
. . . “penyakit kena aji ini gak menular. Dia biasanya dibuang kan ada yang
dituju, jadi yang sakit hanya orang tu aja. Kalo dia kena yang lain gak akan kena juga.
” Penjelasan Tua Sambo diatas memberikan arti bahwa seseorang yang telah
terkena penyakit “aji” racun ini tidak akan menularkan kepada orang lain, mengingat pemberian “aji” racun yang bersifat langsung kepada orang yang dituju.
Sehingga yang merasakan sakit hanya orang yang bersangkutan saja. Antara jenis aji ringan dan aji keras, sama-sama menggunakan perantaraan jin dan manusia. Hanya
saja pada jenis aji ringan terbagi lagi menjadi perantaraan yang menggunakan jin saja serta menggunakan manusia saja. Hal ini dilihat berdasarkan cara pemberian “aji”
ra cun tersebut kepada sasaran. Namun begitu, kedua jenis “aji” racun ini sama-
sama memberikan pengaruh yang buruk terhadap tubuh serta dapat merusak kesehatan.
Penjelasan Tua Sambo ini, bila peneliti bahas dengan kondisi dan riwayat yang ada pada beberapa informan maka keterangan yang menyatakan bahwa penyakit
“kena aji” racun tidak menular berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Seperti anak dari bapak H.Imam Sarimo dan ibu Hj.Saijem yaitu Kak Lina, tidak
Universitas Sumatera Utara
lama kemudian adiknya yang bernama Wiwid juga terkena penyakit tersebut. Bang Dedi dan Ibunya juga mengalami hal yang sama, tidak lama ibunya sembuh dari
penyakit “kena aji” racun, Bang Dedi juga menderita penyakit tersebut juga. Seterusnya Bang Mesdi, meskipun dia tidak tertular dari penyakit yang diderita
almarhum bapaknya akan tetapi ketika di Medan dia tinggal satu rumah kos dengan Wiwid, yang sebelumnya telah lebih dahulu menderita penyakit “kena aji” racun.
Dengan mengetahui riwayat sakit dari informan tersebut, sehingga diketahui bahwa penyakit “kena aji” racun ini menular karena apabila seseorang terkena “aji” racun
maka dalam beberapa waktu baik dalam waktu yang relatif singkat atau lama, orang terdekat dengan penderita juga akan tertular.
5.2. Faktor Penyebab Munculnya Penyakit