Jenis Penelitian Pemilihan Informan

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah studi kualitatif dengan paradigma interpretive. Paradigma interpretive berasumsi bahwa dunia sosial adalah konstruksi makna simbolik yang dapat diobservasi dalam tindakan, interaksi, dan bahasa manusia, serta realita adalah subyektif dan ganda karena dilihat dari perspektif yang berbeda Ulin, 2005. Penelitian kualitatif dengan paradigma interpretive berusaha melihat kebenaran, dimana dalam melihat kebenaran tersebut tidak cukup dengan melihat apa yang nyata, akan tetapi perlu melihat sesuatu yang tersembunyi dan harus menggali lebih jauh ke balik sesuatu yang nyata tersebut. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk memahami menggali bagaimana cara manusia memaknai kehidupan sosial dan bagaimana manusia mengekspresikan pemahamannya dalam bidang kesehatan serta mencoba menceritakan bagaimana makna dari suatu peristiwa menurut orang yang mengalaminya, yang dalam penelitian ini tentang penyakit ”kena aji” racun yang ada pada masyarakat. Universitas Sumatera Utara 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lipat Kajang Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2012.

3.3. Pemilihan Informan

Informan dalam penelitian ini yang diwawancarai secara mendalam yaitu anggota masyarakat Desa Lipat Kajang Kecamatan Simpang Kanan yang mengetahui tentang penyakit “kena aji” racun, terutama yang mempunyai pengalaman sakit, orang yang bisa mengobati penyakit “kena aji” racun serta yang bersedia menjadi informan dan memberi informasi sehubungan dengan tujuan penelitian. Selain itu, terdapat juga informan dari instansi kesehatan misalnya dari Puskesmas, Dinas Kesehatan serta dokter yang berpraktek di desa tersebut yang dapat memberikan pandangan terhadap penyakit “kena aji” racun. Informasi mengenai penyak it “kena aji” racun ini, bisa diketahui dari setiap kasus atau pengalaman sakit dari informan yang pernah maupun yang sedang menderita penyakit tersebut dengan cara mewawancarainya secara mendalam, sehingga dengan begitu mereka dijadikan sebagai informan. Informasi mengenai pengalaman sakit tersebut tidak hanya diperoleh dari penderita yang bersangkutan, Universitas Sumatera Utara akan tetapi bisa dari keluarga, tetangga maupun orang terdekatnya yang bisa memberikan informasi. Mereka juga termasuk informan dalam penelitian. Selanju tnya orang yang bisa mengobati penyakit “kena aji” racun, tentu juga memiliki banyak informasi mengenai penyakit tersebut yang nantinya juga akan memperkaya dan mendalamnya informasi dalam penelitian. Tidak hanya penderita termasuk keluarga penderita, tetangga, maupun orang terdekat serta orang yang bisa mengobati penyakit “kena aji” racun saja yang menjadi informan dalam penelitian ini. Akan tetapi setiap masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang penyakit “kena aji” racun, yang tidak mempunyai pengalaman sakit sebelumnya, serta orang yang menjadi penunjuk untuk mendapatkan informan lainnya juga menjadi informan dalam penelitian. Selain itu tenaga kesehatan maupun instansi terkait yang mengetahui tentang penyakit “kena aji” racun dan memberikan pandangannya maka juga termasuk dalam informan. Oleh karena itu informan dalam penelitian ini sangat banyak dan beragam bila dilihat dari gambaran demografinya. Berikut adalah gambaran demografi dari setiap kasus atau pengalaman sakit dari informan, serta gambaran informan lainnya seperti orang yang bisa mengobati penyakit “kena aji” racun dan orang yang memiliki pengetahuan tentang penyakit “kena aji” racun. Informan pertama bernama Bapak H. Imam Sarimo, berumur 61 tahun. Dalam kesehariannya beliau bekerja sebagai pembuat tahu dan tempe di rumahnya sendiri yang dibantu oleh istrinya bernama Ibu Hj. Saijem. Beliau memiliki 8 orang anak, akan tetapi anak yang ke 7 telah meninggal pada saat berusia 3 tahun. Hampir semua Universitas Sumatera Utara dari anak Bapak H. Imam Sarimo tinggal dan menetap di kampungnya sendiri, hal ini dikarenakan oleh keinginannya yang tidak ingin berada jauh dari semua anak- anaknya. Anak pertama bernama Yatno yang bekerja sebagai kepala bagian keuangan di kantor Bupati Aceh Singkil dan telah mempunyai istri dan 3 orang anak yang masih kecil-kecil. Anak kedua bernama Wiyatni, juga telah berkeluarga dan mempunyai 2 orang anak yang telah menginjak usia remaja. Dalam kesehariannya ibu dari dua orang anak ini bekerja sebagai pembuat tahu dan tempe di rumahnya. Keahlian dan keterampilan yang dimilikinya didapatkan dari orangtuanya sendiri. Anak ketiga Bapak H. Imam Sarimo bernama Lina bekerja sebagai seorang guru SD di Desa Gunung Lagan. Ia telah mempunyai dua orang anak laki-laki yang masih kecil-kecil. Selanjutnya anak keempat bernama Tasmin yang bekerja sebagai karyawan di PNPM, yang juga telah berkeluarga dan mempunyai dua orang anak perempuan yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Anak kelima Bapak H. Imam Sarimo justru tinggal dan menetap di Medan, tepatnya di Tanjung Anom. Ia bernama Gati dan telah mempunyai 3 orang anak yang mana dua di antaranya kembar. Selanjutnya anak keenam dan ketujuh bernama Sahid dan Ahmad yang sama-sama masih kuliah dan belum berkeluarga. Sahid kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Yayasan Syeh Hamzah Fansuri STIP Yasafa sedangkan Ahmad kuliah di Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dengan jurusan sosiologi. Informan yang kedua bernama Lina, panggilan akrab dalam kesehariannya yaitu “Kak Lina” yang merupakan anak ke tiga dari tujuh bersaudara dalam keluarga Universitas Sumatera Utara Bapak H.Imam Sarimo dan Ibu Hj.Saijem. Kak Lina berumur 36 tahun, dan telah memiliki dua orang putra yang bernama Mukhti Ali dan Riva. Suami dari perempuan Etnis Jawa ini, bernama Bang Mul yang berasal dari kelompok etnis Aceh. Pernikahan mereka terjadi karena adanya prinsip dari kedua orangtua Kak Lina yaitu bapak H. Imam Sarimo dan ibu Hj.Saijem yang tidak pernah membatasi orang yang memang sudah menjadi pilihan anaknya untuk dijadikan pendamping hidup. Menurut mereka tidak ada jaminan kelompok etnis atau suku mana yang paling baik untuk disandingkan dengan keluarga mereka. Hanya kecocokan yang dirasakan antara keduanya itu sudah menjadi modal utama untuk membina rumah tangga. Kecocokan yang dimaksud di sini yaitu kecocokan dengan agama, sifat, dan pemikiran mau hidup bersama baik dalam keadaan susah maupun senang. Kedua orangtua Kak Lina pun juga mempunyai prinsip bahwa mahar bukanlah menjadi modal utama untuk menikah, karena anak bukan untuk diperjual belikan. Maka dari itu Kak Lina dan Bang Mul mendapat restu untuk memulai hidup berumah tangga. Dalam kehidupannya sehari-hari, Kak Lina sekarang bekerja sebagai seorang guru di SD Gunung Lagan sedangkan Bang Mul bekerja sebagai wiraswasta di bidang perben gkelan “tukang las”. Keluarga ini hidup berkecukupan, tempat tinggalnya pun bersebelahan dengan rumah orang tua Kak Lina Bapak H.Imam Sarimo sehingga kedekatan dan keharmonisan keluarga dengan orang tua tetap terjaga. Nama lengkap informan ketiga adalah Ahmad Witasman. Dalam keluarga ia dipanggil Ahmad akan tetapi oleh teman-temannya ia akrab dipanggil Wiwid. Ahmad Universitas Sumatera Utara Witasman atau Wiwid berumur 26 tahun yang merupakan anak ke tujuh dari Bapak H.Imam Sarimo dan Ibu Hj.Saijem serta adik kandung dari Kak Lina. Wiwid adalah seorang mahasiswa jurusan Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara, dan pada tanggal 30 Mei tahun 2012 ini Wiwid disyahkan menjadi seorang alumni. Postur tubuhnya kurus, tinggi dan hitam manis serta mudah bergaul dengan siapa saja. Hal ini menjadikan Wiwid mempunyai banyak teman. Selama masa kuliahnya, Wiwid di Medan lebih memilih tinggal sebagai anak kos-kosan bersama teman-temannya. Mulai dari mengontrak rumah bersama-sama, sampai memilih kos-kosan per kamar. Hidup menjadi seorang anak kos sangat dinikmati Wiwid meskipun sebenarnya ia mempunyai seorang kakak yang bernama Gati yang telah mempunyai rumah sendiri di daerah Tanjung Anom. Tidak hanya mahasiswa satu universitas saja yang menjadi teman satu kos Wiwid, mahasiswa dari universitas lainnya juga ada bahkan yang telah bekerjapun juga ada. Oleh karena kebiasaan Wiwid yang senang bergaul dengan siapa saja selama menjadi anak kos, malah menjadikan Wiwid lalai untuk mengikuti kuliahnya. Ia lebih sering begadang dengan teman-teman kosannya dan keluyuran kemana-mana. Sehingga hal ini menyebabkan Wiwid terlambat menyelesaikan kuliahnya, yang seharusnya bisa tamat dalam 4 tahun malah menjadi 6 tahun. Seharusnya Wiwid yang mudah bergaul dan mempunyai banyak teman menjadikan dia lebih bersemangat untuk menyelesaikan perkuliahannya dengan cepat. Informan keempat bernama Mesdi yang merupakan teman dari Wiwid, selama masa perkuliahan mereka tinggal satu rumah kos bahkan pernah selama 1 tahun Universitas Sumatera Utara tinggal satu kamar kos. Bang Mesdi juga berasal dari Aceh Singkil, ia merupakan tetangga depan rumah dari Wiwid. Mereka sama-sama merantau dari kampungnya untuk mengikuti perkuliahan di Medan. Meskipun sama-sama di tahun yang sama masuk ke perguruan tinggi, Bang Mesdi lebih memilih kuliah di jurusan ilmu komunikasi Fakultas Ilmu sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara. Sama halnya dengan Wiwid, tanggal 30 Mei 2012 Bang Mesdi juga diwisuda dan menjadi seorang alumni. Bang Mesdi tidak jauh berbeda dari Wiwid, masih sama-sama kurus, hitam manis tapi agak sedikit pendek dibandingkan Wiwid. Dalam keluarga, Bang Mesdi adalah anak ke 4 dari 6 bersaudara. Bapak Bang Mesdi bernama Nasam almarhum dan ibu Suratin. Meskipun telah ditinggal bapaknya dan belum sempat menyelesaikan kuliah, Bang Mesdi tetap menjadi seorang yang sabar dan ikhlas serta berusaha untuk tetap melanjutkan kuliahnya. Ibunya yang berada di kampung pun tetap memperjuangkan dan mendukung Bang Mesdi untuk terus menyelasaikan kuliahnya. Meskipun harta warisan peninggalan bapak Bang Mesdi dikategorikan cukup banyak, namun ibu Suratin tidak mau hanya mengandalkan warisan saja untuk menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. Tanah beserta ladang dan kebun terus diolah dengan baik untuk mendapatkan hasil sehingga hidup mereka selalu berkecukupan. Informan kelima ini bernama Bang Dedi yang merupakan teman dekat serta teman satu kuliah dari Bang Sahid yang merupakan abang dari Ahmad atau Wiwid. Bang Dedi adalah seorang mahasiswa semester akhir di Universitas STIP Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Yasafa Aceh Singkil yang berumur 27 tahun. Ia saat ini sudah Universitas Sumatera Utara mempunyai seorang istri dan anak laki-laki yang masih berumur 2 tahun. Istrinya bernama Yohana yang berasal dari Etnis Aceh dan bekerja sebagai seorang bidan di Puskesmas sedangkan Bang Dedi sendiri berasal dari Etnis Melayu dan belum mempunyai pekerjaan yang tetap. Oleh karena belum mempunyai pekerjaan yang tetap, Bang Dedi yang justru berasal dari kampung seberang yaitu Desa Rimo terpaksa harus mengikuti istrinya untuk tinggal di Singkil. Sebuah rumah dinas untuk bidan desa yang berada di samping Puskesmas, itulah yang menjadi tempat tinggal Bang Dedi saat ini bersama anak dan istrinya. Terkadang Bang Dedi juga merasa sangat repot mengurusi anaknya seorang diri, meskipun jarak tempat kerja istrinya dengan rumah mereka sangatlah dekat. Tiap pagi istrinya sudah pergi ke Puskesmas, istirahat makan siang balik ke rumah, dan baru bisa berkumpul dengan anak dan suaminya ketika sore dan malam hari, akan tetapi bila ada waktu senggang ia tetap menyempatkan diri untuk pulang ke rumah melihat anaknya. Sehingga dengan begitu jadwal tugas untuk memandikan dan menyiapkan bubur anaknya yang bernama Rifki harus dilakukan oleh Bang Dedi seorang diri. Terkadang orangtua dari Bang Dedi yaitu ibunya, menyempatkan tinggal beberapa hari di rumah anaknya yaitu di rumah Bang Dedi. Hal ini dilakukannya untuk membantu mengurusi cucu pertamanya, yaitu anak Bang Dedi yang sangat lasak atau istilahnya anak yang tidak bisa diam tenang. Tidak bisa dipungkiri oleh Bang Dedi rasa senang dan tenang ketika setiap kali ibunya datang untuk menjenguk Universitas Sumatera Utara Rifki cucunya. Menurut Bang Dedi, ternyata dalam mengurusi satu orang anak itu bukan hal yang mudah. Selanjutnya yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah seorang wanita berumur 34 tahun berprofesi sebagai seorang perawat honorer di Rumah Sakit Umum Singkil. Wanita ini akrab dipanggil Pipit, nama lengkapnya Cut Aida Fitriani. Panggilan awal yang peneliti berikan kepadanya yaitu ibuk, tapi setelah sering mengobrol bahkan dari pagi sampai sore selama beberapa hari peneliti sering berkunjung ke rumahnya panggilan ibuk menjadi berubah. Peneliti diminta untuk memanggilnya dengan “Kak Pipit” alasannya supaya lebih terasa akrab saja. Kak Pipit adalah wanita kelahiran Aceh yang memliki paras wajah yang cantik, hidung yang mancung, kulit sawo matang, seperti seseorang keturunan dari Arab. Ia merupakan seorang Ahli Madya Diploma III Akademi Keperawatan di Yapkes Pemkab Aceh Singkil dan sekarang telah mempunyai suami yang bekerja sebagai karyawan di PT.ASTRA sebagai seorang teknisi. Selain itu ia juga telah memiliki 1 orang anak laki-laki yang masih berumur 3½ tahun, dan saat ini ia pun tengah hamil muda yaitu masuk bulan ke empat. Meskipun begitu Kak Pipit termasuk orang yang sangat mandiri dalam membina rumah tangganya, ia berada jauh dari keluarganya yang masih tinggal di Banda Aceh. Sedangkan mertuanya keluarga suami Kak Pipit saat ini tinggal di Nias. Terkadang menurut pengakuan Kak Pipit, ia juga sering takut dan kerepotan bila suaminya harus kerja lembur. Dalam mengurusi anaknya yang masih kecil, terkadang Kak Pipit dibantu oleh keponakannya yang memang sengaja diajak tinggal bersamanya, karena bila suaminya lembur dan tidak Universitas Sumatera Utara pulang maka ketika ia pergi bekerja keponakannyalah yang akan mengurusi anaknya. Keponakan Kak Pipit yang sudah menginjak usia remaja yaitu yang sedang duduk di bangku sekolah menengah umum, sudah diajari Kak Pipit bagaimana cara mengurusi anak dan mengerjakan pekerjaan rumah sebagai seorang ibu rumah tangga. Tujuannya yaitu supaya ketika nanti keponakannya telah menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga, ia telah bisa dan mempunyai pengalaman dalam hal mengurusi pekerjaan sebagai seorang istri dan sebagai ibu bagi anaknya. Informan ketujuh ini bernama Udin Lembong, dan biasa dipanggil Udin, yang berasal dari kelompok etnis Pakpak. Sebenarnya Udin merupakan keturunan campuran dari kelompok etnis Pakpak Pegagan Kabupaten Dairi Sumatra Utara, ibukota Sidikalang dan Pakpak Boang yang ada di Singkil. Sejak kecil sampai sekarang ia tinggal dan menetap di Singkil sehingga tidak banyak yang ia ketahui mengenai Pakpak Pegagan tersebut. Di umurnya yang sudah menginjak usia yang wajib untuk menikah yaitu 31 tahun, namun ia masih belum mempunyai sosok perempuan yang cocok dan bisa mendampingi hidupnya. Menurut cerita Udin, dahulunya ia pernah mempunyai seorang perempuan yang dekat dengannya yang bernama Nina. Tidak hanya sekedar dekat, Udin dan Nina sudah mempunyai janji dan komitmen untuk secepat mungkin menikah. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat terwujud, Nina terpaksa dinikahkan oleh orang tuanya. Alasannya yaitu dikarenakan oleh pekerjaan Udin yang pada saat itu masih belum tetap, serta dianggap belum bisa untuk menghidupi Nina. Dari pengalaman kegagalannya itu, Udin seperti menutup Universitas Sumatera Utara diri untuk dekat dengan perempuan manapun sampai diusianya yang telah genap 31 tahun. Saat ini kesehariannya Udin bekerja sebagai buruh perusahaan perkebunan sawit. Selain itu setiap ada pesta atau hajatan di desa, Udin selalu diminta untuk datang. Hal ini dikarenakan oleh masyarakat setempat mempercayai Udin sebagai orang yang mampu untuk menahan hujan atau disebut juga dengan “pawang hujan”. Ketika peneliti menanyakan mengenai keterampilan yang dimiliki Udin, ia sendiri tidak terlalu yakin dengan kemampuannya. Memang sebelum kakeknya meninggal, Udin ditinggalkan bacaan seperti mantra untuk menjadi seorang “pawang hujan”, serta cara-cara dan syarat untuk melakukan ritual tersebut. Sehingga menurut Udin, penghasilannya menjadi bertambah bila ada orang pesta atau mengadakan hajatan di desa. Memang dalam hidup, seseorang harus tetap berusaha agar tetap mendapatkan Informan kedelapan adalah istri dari Bapak H. Imam Sarimo yang bernama Ibu Hj. Saijem. Diumurnya yang telah separoh baya yaitu 53 tahun, Ibu Hj. Saijem adalah seorang ibu yang sangat aktif dalam berorganisasi. Akan tetapi organisasi yang digelutinya dari semenjak muda sampai saat ini yaitu kelompok perwiritan ibu- ibu di mesjid Darul Ulum, mesjid yang terletak di depan rumahnya. Meskipun hanya bisa menamatkan pendidikan di bangku sekolah dasar, Ibu Hj. Saijem tetap memiliki wawasan yang luas serta kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Hal ini terlihat dari semua anak-anaknya yang tingkat pendidikannya minimal sarjana, serta kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya untuk menjadi ketua perwiritan ibu-ibu yang sudah hampir 20 tahun lebih. Selain itu Ibu Hj. Saijem Universitas Sumatera Utara juga dipercaya dan selalu diminta oleh masayarakat setempat untuk memandikan setiap jenazah perempuan yang meninggal. Keseharian Ibu Hj. Saijem sama dengan suaminya Bapak H. Imam Sarimo, yaitu setiap paginya sampai siang bekerja sebagai pembuat tahu dan tempe di rumahnya sendiri tanpa ada satu orangpun pegawai yang membantunya. Memang yang selalu menjadi motivasi dalam hidupnya yaitu selalu bekerja untuk anak, sehingga merekapun selalu mendidik anak-anaknya untuk mencari ilmu dan meningkatkan pendidikan. Mereka tidak mau anak-anaknya sama dengan mereka yaitu hanya menamatkan sekolah di bangku sekolah dasar, maka dari itu tidak satupun anak dari Ibu Hj. Saijem dan Bapak H. Imam Sarimo yang berhenti sekolah sampai mendapatkan gelar sarjana. Dari semangat hidup merekalah peneliti mendapatkan banyak pelajaran, serta adanya pengalaman Ibu Hj. Saijem ketika menderita penyakit karena diguna-guna orang lain. Tua Sambo begitulah informan kesembilan ini dipanggil. Ia adalah sosok laki- laki yang berumur separoh baya yaitu 55 tahun, yang berasal dari kelompok etnis Pakpak Boang. Sambo adalah nama marga dari Pakpak Boang. Nama sebenarnya dari Tua Sambo ini tidak peneliti ketahui dikarenakan oleh permintaan beliau untuk memanggilnya dengan panggilan itu. Menurut masyarakat setempatpun beliau juga dikenal dengan panggilan tersebut. Dalam menjalani hidupnya Tua Sambo ditemani oleh seorang istri yang bernama Fatimah dan dikaruniai tujuh orang anak. Fatimah adalah istri kedua dari Tua Sambo, istri pertamanya telah meninggal sewaktu Tua Sambo berumur 32 tahun Universitas Sumatera Utara dan meninggalkan anak 3 orang. Sampai akhirnya Tua Sambo menikah kembali dengan Fatimah dan dikaruniai 4 orang anak. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, Tua Sambo telah banyak melakukan berbagai macam pekerjaan. Mulai dari pegawai perusahaan perkebunan kelapa sawit yaitu PT. Socfindo saat ini pensiunan, dan sekarang beliau bekerja sebagai penjual sayur keliling. Sayur yang dijual setiap harinya sangat beragam jenisnya, mulai dari kangkung, bayam, kol, sawi, daun ubi, dan banyak jenis sayur lainnya. Sayur-sayur tersebut adalah hasil kebunnya sendiri yang berada di belakang rumahnya. Tiap pagi setelah sholat subuh, istri Tua Sambo bertugas untuk mengikat semua sayur-sayur tersebut dan meletakkannya ke dalam keranjang sepeda yang telah disediakan dan siap untuk dibawa. Selanjutnya tugas Tua Sambolah menjajakannya keliling kampung. Dari jam 7 pagi Tua Sambo berangkat dari rumah, dan biasanya kira-kira jam setengah 12 baru balik lagi ke rumah. Setelah melaksanakan sholat dzuhur dan beristirahat, Tua Sambo biasanya melihat dan merawat sayurannya di kebun. Begitulah aktifitas Tua Sambo dan istrinya setiap hari, demi untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Selain dikenal sebagai seorang kepala keluarga yang memiliki semangat kerja yang luar biasa, Tua Sambo juga merupakan orang yang mempunyai banyak pengalaman dalam mengobati orang yang terkena penyakit “kena aji” racun, selain itu Tua Sambo juga mengerti akan sejarah awal mulanya penyakit ini. Keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh Tua Sambo diperoleh dari gurunya yang bernama Mbah Tarno. Tua Sambo sampai saat ini memiliki keterampilan untuk mengobati masyarakat yang menderita penyakit “kena aji” racun. Universitas Sumatera Utara Penjelasan mengenai profil informan yang berikutnya tidak dijelaskan secara rinci, dikarenakan ingin mengetahui persepsi atau pandangan tenaga kesehatan mengenai penyakit “kena aji” racun ini. Hanya informasi secara garis besar saja yang dijelaskan. Informan tersebut adalah seorang dokter yang berasal dari kelompok etnis Minang yang berumur 42 tahun dan telah tinggal serta menetap di Singkil. Dokter tersebut bernama Zulkifli. Dalam mengobati pasiennya ia menggunakan paduan pengobatan medis modern dan pengobatan tradisional. Selanjutnya informan yang bernama Ibu Yanti yang berasal dari kelompok etnis Aceh dan berumur 51 tahun. Ia merupakan seorang bidan desa di puskesmas serta petugas bidang P2M. Informan berikutnya bernama Bapak Mawan, laki-laki dari kelompok etnis Karo yang berumur 29 tahun. Di Dinas Kesehatan Aceh Singkil, ia mengurusi kerjaan di bidang penyusunan dan pembuatan program kesehatan. Sehingga dengan begitu informan dalam penelitian ini sangat beragam bila dilihat berdasarkan latar belakangnya, hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih komplit.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Dokumen yang terkait

Motivasi Mahasiswa Akademi Keperawatan Pemerintahan Kabupaten Aceh Selatan Untuk Melanjutkan Pendidikan ke Tingkat Sarjana Keperawatan

0 46 61

Higiene Sanitasi Depot dan Analisis Cemaran Mikroba coliform Dan E.coli pada Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2015

0 9 175

PERUBAHAN MAKNA DAN SIMBOL DI DALAMUPACARA ADAT BEGAHAN KHITANAN PADA MASYARAKAT BOANG DI DESA SILATONGKECAMATAN SIMPANG KANAN KABUPATEN ACEH SINGKIL.

0 1 26

Undangan PK Jalan Lipat Kajang

0 0 1

Higiene Sanitasi Depot dan Analisis Cemaran Mikroba coliform Dan E.coli pada Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2015

1 1 15

Higiene Sanitasi Depot dan Analisis Cemaran Mikroba coliform Dan E.coli pada Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2015

0 0 2

Higiene Sanitasi Depot dan Analisis Cemaran Mikroba coliform Dan E.coli pada Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2015

0 0 7

Higiene Sanitasi Depot dan Analisis Cemaran Mikroba coliform Dan E.coli pada Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2015

0 1 31

Higiene Sanitasi Depot dan Analisis Cemaran Mikroba coliform Dan E.coli pada Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2015

0 0 3

Higiene Sanitasi Depot dan Analisis Cemaran Mikroba coliform Dan E.coli pada Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2015

0 0 57