I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengembangan kotawilayah dengan konsep kota tepian air waterfront city sejak lama dikenal di seluruh dunia, sebagai bagian kota atau distrik yang
dicirikan berbatasan dengan air, baik berupa sungai, laut maupun danau. Umumnya terdapat darmaga dengan kesibukan lalu lintas perdagangan yang
menggunakan kapal, perahu, motor boat sebagai fasilitas transportasinya. Menurut Landry 2008, pengembangan konsep kota tepian air
merupakan cara pemecahan masalah perkotaan yang terfokus pada masalah kultur dan budaya. Sementara tidak ada paradigma standar untuk konsep tepian
air, dimana sangat tergantung dari visimisi kota tepian air tersebut yang bersifat unik dan berbeda antara suatu kota tepian dengan kota tepian lainnya.
Pemecahan masalah
perkotaan tersebut
dilakukan dengan
membuat keseimbangan antara kemajuan ekonomi dengan preservasi, menjadi kawasan
terpadu mixed used. Implementasi dilakukan dengan cara mendorong revitalisasi tepian air dan pemanfaatan ketergantungan akan air sambil
melindungi ikan dan margasatwa, ruang terbuka hijau daerah permai, akses publik ke garis pantai lahan pertanian, dan meminimalisasi perubahan sistem
ekologi yang merugikan seperti erosi dan bahaya banjir. Menurut Routledge 1999, peningkatan kualitas air merupakan
pendorong sangat penting terhadap kemajuan perekonomian. Menurut Vollmer 2009, rehabilitasi waterfront dapat menyumbangkan kemajuan perbaikan
lingkungan di dunia yang sedang berkembang. Sebagai contoh Toronto merupakan wilayah tepian danau tercemar berat, dengan penggunaan konsep
kota tepian air, dalam waktu singkat dari tahun 1980 sampai tahun 2000 telah bisa meningkatkan tahapan pengelolaan dari semula pendekatan ekosistem
dengan semboyannya: lingkungan sehat, pemulihan ekonomi, keberlanjutan, dan menjaga kesejahteraan masyarakat, dapat ditingkatkan menjadi pendekatan
global yang sangat penting dengan semboyan peningkatan efektifitas dan kreatifitas.
Secara fisik, Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia yang dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, terdapat sekitar 216 kota tepian
air, di antaranya adalah: Jakarta, Pontianak, Semarang, Balikpapan, Menado, Palembang, Banjarmasin.
Mengacu pada penelitian ini, dimana Kota Semarang dipilih sebagai lokasi penelitian. Kota Semarang sebagai salah satu metropolitan juga
merupakan Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah, berada pada kawasan pesisir utara Jawa dengan garis pantai sepanjang ± 13,6 km. memanjang di bagian utara kota
mulai dari wilayah Kecamatan Tugu bagian barat sampai dengan wilayah Kecamatan Genuk di bagian timur. Mempunyai letak sangat strategis karena
terletak pada lalu lintas perdagangan internasional dan mempunyai potensi besar untuk menjadi “water front city” berkelas dunia Ecolmantech, 2006. Kota
Semarang mempunyai jumlah penduduk sebesar 1.434.025 jiwa 2006. Berdasarkan statistik Kota Semarang dalam angka, 2008 peningkatan jumlah
penduduk 1,02 per tahun. Penambahan jumlah penduduk akan membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai baik berupa kebutuhan akan lahan untuk
tempat tinggalpermukiman maupun untuk kegiatan usaha. Menurut Marfai MA. 2003. dalam GIS Modelling of River and Tidal Flood Hazards in a Waterfront
City. Case study: Semarang City. Central Java, Semarang “water front city” mempunyai kendala rutin dan menahun dimana banjir dan rob merupakan
fenomena yang sering terjadi. Adapun akar permasalahannya adalah besarnya konversi lahan pertanianhutan dibagian hulu dan saluran drainase yang kurang
terawat menyebabkan banjir lokal. Data dan informasi tentang distribusi spasial, besaran dan kedalaman banjir serta pengaruh banjir terhadap penggunaan lahan
telah ditelaah dalam produk modeling diatas. Berbagai potensi bencana yang terdapat di Kota Semarang adalah banjir sungai, banjir robgenangan, tanah
longsor dan land subsidence sebesar 11,50- 20 cmtahun. Genangan air hujan dan banjir kiriman dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Selain itu pencemaran
badan air baik oleh limbah industri, non industri maupun intrusi air laut menyiratkan bahwa kebijakan Kota Semarang belum mempertimbangkan
kesinambungan hidup air. Dalam hal ini sungai dan tepi pantai menjadi halaman belakang yang kotor tempat pembuangan limbah, sampah dan hajat. Air sungai
sudah lama tak layak untuk diminum. Sementara, kota-kota besar dunia yang beradab dan termashur kebanyakan adalah kota-kota yang dibangun dekat
sumber air. Sebagai contoh, kota pesisir New York, Sydney, Los Angeles, Miami, kota kanal Venice, Amsterdam, dan sebagainya dimana air ditempatkan
pada tempat yang bermartabat Tjallingii. 1995. Bermacam-macam usaha telah dilakukan berupa pembangunan saluran
banjir kanal, pembangunan subsistem drainase dengan perlengkapan pemompaan, pembangunan drainase pasang surut dengan sistem polder,
pembangunan waduk-waduk, tetapi tidak menyelesaikan masalah, dimana disamping telah dikeluarkan pendanaan yang sangat besar, tetapi kejadian rob
dari tahun ke tahun semakin besar. Di sisi lain, pada kenyataannya telah berabad-abad lamanya masyarakat pesisir Kota Semarang telah dapat
menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan rob dan banjir. Maka diasumsikan bahwa alternatif terbaik untuk pengelolaan wilayah pesisir adalah dengan cara
pemeliharaan harmoni dengan air pendekatan sistem tepian pantai dengan paradigma pengelolaan secara berkelanjutan, sesuai Undang-undang UU No.
322009 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No 72004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air; UU No 262007 tentang Penataan
Ruang, dan Permendagri No 12007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan. Pengelolaan wilayah “water front city” dikatakan berkelanjutan apabila
memenuhi tiga kriteria keberlanjutan pembangunan yakni ekologi, ekonomi dan sosial Gallagher, 2010. Kriteria ekologi antara lain: tekanan terhadap lahan
mangrove rendah yang ditandai oleh berhasilnya penanaman kembali mangrove, sedimentasi rendah, intrusi air laut rendah, kualitas perairan memenuhi baku
mutu lingkungan, abrasi dan erosi pantai rendah, penyusutan tanah land subsidence rendah, ada kegiatan konservasi, jumlah tangkapan ikan tidak
berkurang, dan metoda budidaya yang ramah lingkungan. Kriteria ekonomi antara lain: kontribusi terhadap PDRB tinggi, pendapatan nelayan terhadap
upah minimum regional relatif tinggi, penyerapan tenaga kerja tinggi, distribusi pendapatan merata, pasar berskala nasional, pola kemitraan ada dan berfungsi,
perkembangan sarana ekonomi meningkat. Kriteria sosial antara lain: pengetahuan terhadap lingkungan yang memadai, tingkat pendidikan masyarakat
pesisir relatif sama terhadap kabupaten, frekwensi konflik rendah, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tinggi, ada alternatif usaha
selain pemanfaatan sumberdaya perikanan dan pariwisata, kesehatan masyarakat meningkat, ketersediaan peraturan pengelolaan, ada transparansi dalam
pengambilan keputusan, pengembangan kelembagaan lokal atau inisiatif masyarakat Pitcher, 1999. Sifat wilayah pesisir yang multi objective, multi
stakeholder, dan berbagai konflik kepentingan mengakibatkan dilema dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini berarti bahwa fokus pengelolaan kota
tepian pantai tersebut tertuju pada kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Persoalan pemanfaatan inilah yang kemudian memicu
konflik antar stakeholder. Untuk itu diperlukan suatu sistem manajemen yang efektif dan partisipatif yang dapat menyelesaikan dan minimalisasi konflik
diantara berbagai stakeholder Behr C et al.1998. Untuk menunjang kegiatan pembangunan wilayah tepian pantai Semarang, dan
menjawab permasalahan dan tantangan di atas, dilakukan penelitian ini dengan tujuan utama: Membuatmerancang suatu desain kebijakan pengelolaan berdasar
konsep ”water front city” berkelanjutan dalam bentuk arahan kebijakan dan strategi yang dapat mengilhami pembentukan model kebijakan pengelolaan bagi
kota tepian pantai Semarang khususnya dan Indonesia pada umumnya.
1.2 Perumusan Masalah