Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir dan Laut

oleh negara-negara pantai dalam menentukan batas wilayah laut adalah Konvensi Hukum Laut PBB, 1982 UNCLOS, 1982. Menurut konvensi ini, sebuah negara memiliki kewenangan untuk mengeksploitasi sumberdaya minyak dan gas bumi, perikanan dan berbagai bahan tambang lainnya yang berada di dalam zone yang diatur pada konvensi tersebut, diantaranya adalah memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif dengan batas terluar dari ZEE ini sejauh 200 mil dari garis pangkal pada surut rendah low water line. Dalam rangka pelaksanaan otononmi daerah Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tercantum batas kewenangan daerah di wilayah laut propinsi adalah sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, dan kewenangan daerah kabupaten sejauh sepertiga dari kewenangan daerah propinsi.

2.2. Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir dan Laut

Potensi pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari 3 tiga kelompok: 1 sumberdaya dapat pulih renewable resources, 2 sumber daya tak dapat pulih non-renewable resources, dan 3 jasa-jasa pelindungan lingkungan environmental services pesisir. Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Tim CIDABappenas 1988, pada tahun 1987 nilai ekonomi total yang dihasilkan oleh sebelas kegiatan pembangunan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan minyak dan gas, industri, transportasi dan komunikasi, pelayaran dan pelabuhan, pertanian, perikanan tangkap, pariwisata, kehutanan, perikanan budidaya, kegiatan masyarakat pesisir, dan pertambangan sebesar kira-kira Rp. 150 trilyun, atau hampir setara dengan total produk domestik bruto. Berbagai kegiatan pembangunan tersebut merupakan sumber mata pencaharian dan kesejahteraan bagi sekitar 13,6 juta orang, dan secara tidak langsung mendukung kegiatan ekonomi bagi sekitar 60 dari total penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan pesisir. Kemudian pada tahun 1990, kontribusi ekonomi kegiatan sektor kelautan tersebut meningkat menjadi Rp. 43,3 trilyun atau sekitar 24 dari total produk domestik bruto, dan menyediakan kesempatan kerja bagi sekitar 16 juta jiwa Robertson Group dan PT Agriconsult, 1992. Kenaikan kontribusi ini terutama disebabkan oleh kegiatan minyak dan gas, perikanan, dan pariwisata.

2.2.1 Sumberdaya Dapat Pulih Renewable resources

Wilayah pesisir dan laut memiliki ekosistem alami yang perlu dijaga kelestariannya, diantaranya adalah mangrove, terumbu karang coral reefs, padang lamun seagrass beds dan estuaria. Sumberdaya pesisir dan laut merupakan penghasil beragam produk dan jasa bernilai ekonomi tinggi, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang Turner et al., 1998. Pengalaman selama ini menunjukkan, bahwa konservasi terhadap berbagai ekosistem alami yang dilakukan secara terpadu bukan saja menguntungkan secara ekologi tapi juga secara ekonomi dan sosial Clark, 1998. Menurut Supriharyono, ekosistem pesisir dan laut di daerah tropis mempunyai potensi besar dalam menunjang produksi perikanan. Tingginya produktivitas perairan pada ekosistem ini mengakibatkan ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuari merupakan habitat penting bagi berbagai jenis ikan. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat pemijahan spawning ground, pengasuhan nursery ground dan sebagai tempat mencari makan atau pembesaran feeding ground. Sebagai ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi, ekosistem mangrove berlokasi didaerah antara level pasang-naik tertinggi sampai level di sekitar atau di atas permukaan air laut. Bell dan Cruz-Trinidad 1996 mengatakan, bahwa mangrove memiliki peranan penting baik secara ekonomi maupun ekologi. Ekosistem mangrove menghasilkan produk dan jasa yang bisa dieksploitasi secara ekonomis. Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekologi penting, yakni dalam hal penyediaan material organik sebagai bahan nutrisi bagi udangikan yang masih muda, retensi sedimen oleh sistem perakaran mangrove, pencegahan erosi, perlindungan garis pantai dan penyedia habitat bagi banyak spesies akuatik di dataran lumpur dan perakarannya. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang unik, dijumpai di daerah tropik, diperairan yang cukup dangkal kedalaman kurang dari 30 m dan suhu diatas 20 o C. Menurut Widiati 2000, ekosistem terumbu karang berperan penting sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan dan biota laut yang bernilai ekonomi tinggi; juga sebagai pelindung pantai dari hantaman gelombang, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya abrasi. Agar bisa tumbuh dengan baik, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, suhu perairan yang hangat, gelombang yang besar, sirkulasi air yang lancar dan terbebas dari proses sedimentasi Rais et al., 2004. Ekosistem padang lamun juga hanya dijumpai di laut dangkal, dinilai unik karena perakarannya yang ekstensif dengan sistem rhizome. Daunnya yang tumbuh lebat bermanfaat untuk mendukung tingginya produktivitas ekosistem Supriharyono, 2002. Ekosistem padang lamun berperan penting dalam memerangkap trapped sedimen, menstabilkan substrat dasar dan menjernihkan air. Pola distribusi padang lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan aktivitas manusia Cunha et al., 2005. Ekosistem padang lamun menyediakan habitat penting bagi berbagai jenis biota laut, sekaligus merupakan sumber makanan langsung bagi kebanyakan hewan. Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan kadar garam tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Kombinasi pengaruh air laut dengan air tawar di daerah estuaria menghasilkan komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang beragam Supriharyono, 2002. Karakteristik kadar garam, suhu dan sedimen di daerah estuaria memberikan konsekuensi pada karakteristik spesies organisme yang hidup di daerah itu. Karena fluktuasi salinitas yang tinggi, organisme yang dapat hidup di estuaria terdiri dari jenis: hewan laut yang mempunyai kemampuan mentolerir perubahan kadar garam tinggi, hewan air tawar yang mempunyai kemampuan mentolerir perubahan kadar garam, dan hewan air payau yang tidak ditemukan hidup di air laut maupun air tawar Widiati, 2000. Tingginya produktivitas primer di wilayah pesisir dan laut seperti pada ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria memungkinkan tingginya produktivitas sekunder produksi perikanan di wilayah tersebut. Sampai saat ini, perikanan tangkap berskala kecil yang diusahakan mendominasi jenis perikanan tangkap di Indonesia. Tingginya aktivitas penangkapan ikan di lokasi-lokasi tersebut telah menyebabkan terjadinya overfishing beberapa jenis ikan demersal yang berlanjut dengan terjadinya permasalahan sosial.

2.2.2 Sumberdaya Tak Dapat Pulih Non-renewable Resources

Sumberdaya tak dapat pulih di wilayah pesisir dan laut terdiri dari sumberdaya mineral dan geologi. Sumberdaya mineral terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas A mineral strategis; misalnya minyak, gas dan batu bara, kelas B mineral vital; misalnya emas, timah dan nikel dan kelas C mineral industri; misalnya granit dan pasir. Indonesia mempunyai potensi sumberdaya mineral di wilayah pesisir dan laut yang merupakan devisa utama dalam beberapa dasawarsa terakhir. Cadangan petroleum minyak dan gas Indonesia tersebar di 60 cekungan basins yang sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan laut seperti Kepulauan Natuna, Selat Malaka, pantai selatan Jawa, Selat Makasar dan Celah Timor Rais et al., 2004. Logam mulia emas sekunder diperkirakan terdapat di daerah Selat Sunda sekitar perairan Lampung, perairan Kalimantan Selatan dan di daerah perairan Maluku Utara serta Sulawesi Utara. Sumberdaya geologi yang telah dieksploitasi adalah bahan baku industri dan bahan bangunan; antara lain pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu pondasi. Pemanfaatan sumberdaya geologi di wilayah pesisir dan laut diupayakan agar tetap memperhatikan konsep keberlanjutan sehingga bisa menjamin ketersediaan sumberdaya tersebut selama mungkin.

2.2.3 Sarana dan Struktur Pelindung Pantai

a Sarana Pelindung Pantai menggunakan strategi proteksi bersifat lunak beach nourishment menggunakan mangrove. Ekosistem mangrove mempunyai daya lenting resilience yang mampu membuat lingkungan pesisir dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi diantaranya kenaikan muka air laut. Selain itu ekosistem mangrove dapat melindungi pantai dari abrasi, erosi dan intrusi air laut kedalam air tanah. Meningkatnya kebutuhan soft enginering sebagai alternatif teknologi pelindung pantai dengan pendekatan lunak, mendorong berkembangnya studi mengenai efektivitas mangrove sebagai greenbelt pantai. Untuk itu optimasi teknologi yang menghasilkan pemanfaatan struktur lunak yang tepat sangat dibutuhkan sebagai upaya mengembangkan teknologi konservasi dan rehabilitasi pantai yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan. Kemampuan akar mangrove untuk meningkatkan elevasi dari permukaan tanah mangrove, yaitu dengan menjebak transport sedimen dari daratan sediment trap, dapat dimanfaatkan untuk mengurangi tingginya tingkat genangan air di daratan. Sehingga dapat mengurangi dampak banjir bagi masyarakat. Gambar 2.1. Rod surface elevation tables RSETs, Daftar Tuas pengukur Elevasi Permukaan digunakan untuk mengukur perubahan elevasi melalui ketinggian pohongradien produktivitas Duvail and Hamerlynck, 2003; Mc. Kee et al. 2007 Menurut Parnette 1993, McKee 2007 dan McLeod et al. 2006, hutan mangrove mempunyai kemampuan sebagai penahan abrasi, amukan angin taufan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, mampu menghadapi perubahan cuaca dan kenaikan muka laut sehingga sangat dianjurkan untuk dilestarikan. Guna pengelolaan reboisasi di Semarang perlu dilakukan kajian analisis kelayakan ke-ekonomian pengelolaannya sebagai masukan dalam penentuan kebijakan. Kajian analisis tingkat keberlanjutan adalah bertujuan untuk menjamin bahwa pengelolaan Semarang”water front city” akan terkelola secara berkelanjutan. Ada beberapa metode analisis keberlanjutan “water front city” dari disiplin ke ilmuan Arsitektur dan Civil Engineering yang menggunakan pendekatan infra struktur dan urbanhunian Gilmour et al. 2007. Berdasar latar belakang penulis di bidang Program Studi Lingkungan PSL, pendekatan yang digunakan dalam disertasi ini adalah pengelolaan pesisir secara berkelanjutan dengan mengadopsi soft-ware Rap-Fish yang dimodifikasi menjadi Rap-WITEPA. Kedua metoda tersebut meskipun menggunakan dimensi yang hampir serupa, tetapi atribut yang digunakan akan banyak berbeda. Sistem perlindungan pesisir dari ancaman banjir rob, dengan menggunakan hutan mangrove, saat ini belum dilaksanakan di Kota Semarang. Namun berdasarkan kajian penelitian sebelumnya di tempat-tempat lain Duvail and Hamerlynck 2003; McKee et al. 2007 bahwa masing-masing metode tersebut mempunyai kemampuan dalam menghadapi ancaman banjir akibat kenaikan muka air laut walaupun dengan beberapa kekurangan, maka dirasakan perlu adanya suatu kajian terhadap kemungkinan dilakukannya metode sistem perlindungan tersebut bagi Kota Semarang. Selain itu juga perlu dilakukan analisis dampak dari penerapan metode perlindungan tersebut agar dapat dicapai upaya perlindungan yang berkelanjutan dan aman bagi lingkungan b Sumberdaya Pantai Beache resources, berupa pasir, batu karang, reef, gravel. Pantai beach secara ekologis didefinisakan sebagai gabungan antara daerah pasang rendah, menengah , pasang tinggi, mencapai daerah pencucian. Sumberdaya pantai disini berupa perlindungan pantai dan turisme pantai yang secara tidak langsung pantai akan dilindungi oleh pembangunan hotel, sarana turisme, budidaya penyu, dan lain lainnya. c. Menggunakan strategi proteksi keras berupa struktur bangunan pelindung pantai. Menurut Burchartch dan Hughes 2001 : Struktur pelindung pantai pesisir bertujuan untuk melindungimencegah bahaya erosi pantai dan terjadinya banjir di pedalaman, termasuk melindungi lembah pelabuhan dan daerah pemasukan pelabuhan terhadap arus gelombang, menstabilkan saluran navigasi dan melindungi masuk dan keluarnya air. Adapun jenis-jenis struktur pelindung yang sering digunakan adalah : Sea dikes; Sea wall; Revetments; Bulkheads; Groins; Detached breakwaters; Reef breakwaters; Submerged sills; Beach drain; Beach nourishment and dune construction; Breakwaters; Floating breakwaters; Jetties; Training walls; Storm surge barriers; Pipelines; Pile structures; Scour protection c.1. Revetment Revetment atau biasa disebut dengan “slope protection”adalah merupakan bangunan pelindung tebing pantai terhadap gelombang yang relatif kecil, misalnya pada kolam pelabuhan, reservoirbendungan, jalan air water- way ataupun pantai dengan gelombang kecil. Ada dua kelompok revetment yaitu “permeable revetment” open filter material- rip-rap, stone pitching dan concrete block revetment dan “ impermeable revetment”aspalt revetment dan bitument grouted stone concrete block c.2 Sea Wall Sea Wall dinding laut merupakan pelindung tebing pantai terhadap gelombang yang cukup besar. Kelemahan dari revetment maupun seawall adalah kemungkinan terjadinya penggerusan yang cukup dalam di kaki bangunan, sehingga dapat mengganggu stabilitas bangunan. Oleh karena itu pada bagian kaki bangunan ini harus dibuatkan suatu pelindung erosi yang cukup baik. c.3 Bulkheads Fungsi utama adalah untuk menahan terjadinya sliding tanah, selain melindungi tanah dari kerusakan akibat gelombang. c.4 Training Jetty Merupakan bangunan pelindung yang digunakan untuk stabilisasi muara sungai. Apabila tebing sungai relatif rendah, maka training jettty ini harus dikombinasikan dengan tanggul sungai. c.5 Groin Groyne Groin adalah merupakan bangunan pelindung pantai yang direncanakan untuk menahanmenangkap angkutan pasir longshore transport atau untuk mengurangi angkutan pasir. Groin juga merupakan bangunan tipis, kecil yang memotong pantai biasanya secara tegak lurus. Groin hanya dapat dipergunakan untuk melindungi erosi pantai yang disebabkan karena “longshore transport” dan bukan karena “offshore transport”. Pembangunan groin pada suatu pantai yang tererosi akibat “onshore transport” ataupun “offshore transport” dapat berakibat mempercepat proses erosi. c.6 Breakwater Breakwater adalah merupakan pelindung pantai yang bertujuan untuk mengurangi besarnya energi gelombang yang akan merusak daerah tertentu. Bangunan ini biasanya dibuat untuk melindungi pelabuhan atau daerah wisata bahari, disamping itu bangunan ini juga dapat digunakan untuk menstabilkan muara sungai Jetty. Bangunan ini dapat terbuat dari tumpukan batu baik batu alam maupun batu buatan lebih dikenal dengan nama “rubble mound” Ada 2 dua tipe tumpukan batu pemecah gelombang: Overtapping breakwater dan Nonovertopping breakwater. c.7 Offshore Dam Menurut Ecolmantech 2006, konsep dasar pemasangan OSD adalah untuk menghilangkan pengaruh langsung pasang air laut terhadap daratan dan garis pantai. Air permukaan dapat mengalir secara alami ke dalam danau yang terbentuk diantara OSD dan daratan, dengan jalan merendahkan permukaan air. Bila tinggi permukaan air didalam danau mencapai permukaan kritis, air di dalam danau bisa dipompakan kedalam laut. OSD dipasang dengan jarak tertentu dari garis pantai ke arah laut. Design dan konstruksi dam tersebut berdasarkan tehnologi yang telah di patentkan baru-baru ini e.g. No. P0000037. Pembangunan dam dimulai dari kota Kendal, di tarik ke timur dan berakhir di Jepara. Panjang dam diperkirakan 139 km, lebar 40 m, dan posisi terjauh OSD mencapai kurang lebih 15 km dari garis pantai yang ada. Pada titik terjauh tersebut laut mempunyai kedalaman kurang lebih 20 m. Daerahareal yang berdekatan dengan OSD dan garis pantai yang ada adalah sekitar 45.000 hektar, atau lebih luas dari kota Semarang 37.000 hektar. OSD itu sendiri harus dilengkapi dengan area tanah baru new land area untuk linear water front city LWFC mendekati 15,000 hektar, termasuk area yang dibutuhkan untuk pelabuhan baru. Pada pembangunannya akan diperoleh dua buah danau retensi retention lake yang kemudian diubah menjadi danau air tawar D1 dan D2 seluas lebih dari 21.000 hektar Gambar 2.2. 23 Gambar 2.2. Rencana Pembangunan Off Shore Dam OSD di Pesisir Kota Semarang sumber: Echolmantech 2006 24 Mekanisme pengendalian rob dan banjir adalah sebagai berikut: puncak ketinggian OSD harus 2,00 m diatas laut; ketinggian air didalam danau retensi harus 3,00 m dibawah ketinggian permukaan laut dan, pada saat yang sama 2,00 m dibawah ketinggian estuari-estuari sungai yang ada. Danau-danau harus bisa mengakomodasikan aliran air masuk dari sungai-sungai sampai ke kenaikan maksimum 1,5 m. Diluar dari jumlah ini, bila ketinggian maksimum air telah dicapai, maka sistem pemompaan air harus diaktifkan untuk membuang kelebihan air danau ke laut bebas. Dengan mekanisme ini, sistem alternatif water management level air dengan penggunaan OSD akan secara terpusat bisa mengatasi masalah rob dan intrusi air laut di sekeliling daerah pantai Semarang. Namun menurut Duvail and Hamerlynck 2003, laporan dari World Commision on Dams’2000 menyatakan assesmen yang didasarkan pada studi kasus di banyak tempat menunjukkan bahwa banyak dam tidak melakukan fungsi yang sesuai dengan manfaat atau jasa pelayanan yang diharapkan. Juga, dampak negatif sosial dan lingkungan dari dam sering kurang diantisipasi atau kurang diperkirakan under-estimate sebelumnya. Sehingga gagasan pembuatan Dam Lepas Pantai Off Shore DamOSD untuk penanggulangan banjir rob di pesisir Kota Semarang juga perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya dari segi sosial, ekonomi, maupun ekologilingkungan, untuk menjamin keberlanjutan dari sistem perlindungan pesisir tersebut.

2.3. Pengembangan dan Pengelolaan Pesisir dan Laut