Faktor determinan ekologi desa

nilai keagamaan sudah berkembang sejak jaman VOC 1605 M yang ditandai oleh didirikan gereja di berbagai tempat di Kota Ambon. Sampai saat ini, tata nilai ini berkembang dengan baik sebagai bagian dari perkembangan sosial-budaya di Kota Ambon dan tidak dipengaruhi oleh maju mundurnya usaha perikanan tangkap. Terkait dengan ini, maka cukup wajar bila tata nilai X32 tidak menjadi faktor determinan pengembangan kluster terkait kegiatan perikanan tangkapdi Kota Ambon dapat diabaikan. Hal yang sama juga untuk mobilitas penduduk X33, dimana mobilitas penduduk di Kota Ambon termasuk tinggi dan sudah menjadi ciri khas masyarakat Ambon dan Maluku secara umum dengan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau. Mobilitas penduduk tersebut tidak dipengaruhi oleh berkembang tidaknya kegiatan perikanan tangkap di setiap desa kluster tetapi lebih menjadi kebiasaan yang tertanam sejak lama. Karena itu, cukup wajar bila intervensi terhadap mobilitas penduduk tidak signifikan dalam mempengaruhi pengembangan kluster dari aspek sosial dan budaya. Dengan kata lain, dimensi kehidupan sosial, tata nilai, dan mobilitas penduduk yang ada sekarang, harus tetap dipertahankan di semua kluster.

7.2.4 Faktor determinan ekologi desa

Pengelolaan aspek ekologi akan menentukan kelangsungan kelangsungan ekosistem pesisir dan laut serta kelangsungan aktivitas manusia yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut. Karena itu, aspek ekologi harus diperhatikan dalam pengelolaan desa pesisir di Kota Ambon yang berbasis kluster perikanan. Sain dan Knecht 1998, menyatakan bahwa pengelolaan kawasan pesisir dan laut, harus memperhatikan faktor ekologi yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan kehidupan kawasan tersebut, seperti kehidupan masyarakat lokal, ekosistem alam, dan trend perubahan lingkungan terutama pencemaran dan pola abrasi pantai, dan siklus hidup yang terjadi di kawasan. Pada model SEM yang dikembangkan, pengelolaan aspek ekologi dapat ditunjukkan oleh pola interaksi pada dimensikomponen pemukiman, pengendalian pencemaran, dan ekosistem terumbu karang. Tabel 61 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan ekologi kluster desa Dimensi KP S.E. C.R. P Pemukiman X41 0,561 0,076 7,37 Pengendalian Pencemaran X42 0,657 0,096 6,841 Ekosistem Terumbu Karang X43 1 Fix Kondisi pemukiman dan pengendalian pencemaran berpengaruh positif signifikan terhadap pengembangan ekologi desa kluster yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas p pengaruh masing-masing bernilai nol Tabel 61. Disisi lain, ekosistem terumbu karang, meskipun mempunyai pengaruh yang besar KP = 1,000, tetapi pengaruh tersebut tidak bersifat signifikan p = fix, sehingga dapat diabaikan, dalam artian habitat terumbu karang yang ada di semua kluster hars tetap dipertahankan, untuk pengembangan ekologi desa kluster di Kota Ambon. Hal yang sebaliknya dengan kondisi pemukiman X41 dan pengendalian pencemaran X42 menjadi faktor determinan pengembangan ekologi desa pada semua kluster yang perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan. Bila melihat lebih jauh, kondisi pemukiman akan menentukan tingkat pemanfaatan kawasan pesisir untuk pemukiman, dimana teratur tidaknya pemukiman tersebut dan destruktif tidaknya pengembangan pemukiman di kawasan pesisir Kota Ambon akan menentukan keberlanjutan ekologi kawasan pesisir Kota Ambon. Karena itu, faktor pemukiman ini menjadi faktor determinan serius dalam mempengaruhi pengembangan ekologi desa kluster. Menurut Widodo dan Nurhakim 2002, untuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, pengembangan kawasan pemukiman dan pusat aktivitas perikanan harus dilakukan pada lokasi yang tepat yang tidak banyak merusak ekosistem alam, seperti kawasan pesisir yang tandus, tidak banyak vegetasi mangrove, dan tidak ada pengerukan dasar perairan. Hal ini perlu menjadi perhatian penting bagi desa kluster yang belum mapan K5 dan K6, terutama yang kepadatan penduduknya rendah atau masih berstatus mina mula, yang tentu banyak membutuhkan pembenahan sehingga sejajar dengan desa kluster lainnya dan statusnya meningkat. Pengendalian pencemaran juga menjadi hal yang sangat penting dan serius diperhatikan terutama untuk desa-desa yang padat aktivitas perikanan tangkapnya. Desa pesisir kluster 1 dan 2 K1 dan K2 dengan status mina mandiri dan dekat jalur bisnis tentu mempunyai aktivitas perikanan tangkap yang lebih padat daripada desa pesisir lainnya, sehingga pengendalian pencemaran perikanan menjadi hal mutlak yang harus diperhatikan dan terus dikembangkan untuk meminimalisir dampaknya terhadap ekologi pesisir dan laut. Menurut Leadbitter and Ward 2007, integrasi pengelolaan yang mencakup pengembangan usaha perikanan tangkap, peningkatan produksi, pencegahan dampak pencemaran perlu dilakukan secara berkesinambungan kawasan perikanan tangkap yang padat, dan hal ini perlu dievaluasidikontrol secara sistematis. Dalam pengembangan kluster desa di Kota Ambon, hal ini mendesak untuk dilakukan di desa pesisir yang menjadi basis perikanan selama ini di Kota Ambon desa kluster 1 dan kluster 2 yang secara geografis berada di kawasan Teluk Ambon dan Teluk Ambon Dalam. Karena merupakan wilayah tertutup teluk, maka sirkulasi arus di kedua perairan ini sangat rendah, sehingga bila banyak limbah perikanan tang dibuat, maka akan secara nyata merusak ekosistem perairan teluk hasil analisis Tabel 61. Namun demikian, aktivitas perikanan tangkap yang ada termasuk bila dikembangkan secara kluster tidak akan mengganggu eksistem terumbu karang yang ada di perairan sekitar. Hal ini karena perairan Kota Ambon mempunyai tingkat kemiringan yang terjal dalam, sehingga kawasan dasar perairan termasuk yang ada terumbu karangnya relatif terlindungi dan dapat dimanfaatkan untuk wisata bawah air Ralahalu, 2010 dan Pemkot Ambon, 2010.

7.2.5 Pengaruh variabel penentu besaran BCR