181
8.4 Model Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa Di Kota Ambon
Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini ialah suatu pola yang merupakan representasi sederhana mengenai aspek yang berkaitan dengan
berbagai elemen atau variabel penting untuk pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Menurut Dunn 1998, model
kebijakan publik harus memiliki karakteristik, sederhana dan jelas, ketepatan identifikasi aspek penting dari problem kebijakan, mudah dikomunikasikan, mudah
dikelola dalam implementasi, dan menjelaskan serta memprediksi konsekuensi dari kebijakan yang diimplementasi. Karena itu, model yang dikembangkan ini
diformulasi secara sederhana, sehingga mudah dipahami dan dapat diimplementasi. Walau demikian terdapat perhitungan statistik, baik yang sederhana maupun yang
agak rumit, yang tidak dapat dihindari dalam formulasi aspek-aspek tertentu dalam model ini.
Banyak model kebijakan publik yang dapat diadopsi, diantaranya model prosedural yaitu suatu cara menampilkan masalah kebijakan dengan cara
menunjukan hubungan yang dinamis antar variabel kebijakan Dunn 1998. Model prosedural yang diadopsi dalam penelitian ini, yang diawali dengan analisis
variabel-variabel penting yang berkaitan dengan klusterisasi desakelurahan pesisir yang ada di Kota Ambon. Variabel-variabel dimaksud yang dikembangkan dalam
penelitian ini ialah status desa pesisir, kelayakan usaha perikanan, aksesibilitas jalur bisnis perikanan, dan proporsi kepemilikan usaha perikanan. Selanjutnya diikuti
dengan analisis dan identifikasi faktor determinan yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha perikanan tangkap, dan diakhiri dengan penentuan kebijakan
terpilih untuk setiap kluster desa. Status desa pesisir dianalisis dan diidentifikasi serta dikelompokan atas desa
mina mula, mina mandiri dan mina politan lihat bab 4. Setiap status desa ini diberi bobot skor, yaitu mina mula skor 1, mina mandiri skor 2, dan mina politan skor 3.
Selanjutnya tingkat kelayakan usaha perikanan tangkap, yang disimbolkan dengan besaran benefit cost ratioBCR lihat bab 5. Besaran BCR dikelompokan atas tinggi
2,0 diberi bobot skor 3, sedang 1,5 – 2,0 diberi bobot skor 2, dan rendah 1,5 diberi bobot 1. Kemudian aksesibilitas usaha perikanan tangkap di sebuah desa
pesisir terhadap jalur bisnis pasar dan pelabuhan serta bandara, dikelompokan atas
182
kedekatan jarak, yaitu dekat berjarak 0 – 10 km diberi bobot 3, sedang berjarak 10 – 20 km diberi bobot 2, dan jauh berjarak 20 km diberi bobot 1 lihat
bagian 6.3 di bab 6. Dan variabel yang terakhir ialah proporsi kepemilikan usaha perikanan tiap desa, yang diidentifikasi dengan besaran proporsi usaha perikanan
tangkap tiap desa dari keseluruhan usaha perikanan tangkap Kota Ambon lihat bagian 6.4 di bab 6. Proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap di tiap desa
dikelompokan atas tingkat kepemilikan tinggi 0,083 diberi bobot 3, sedang 0,031 – 0,083 diberi bobot 2, dan rendah 0,031 diberi bobot 1. Tahap
berikutnya ialah penentuan kluster tiap desa berdasarkan total skor dari keempat variabel yang dicapai tiap desa lihat bab 6.
Tahap selanjutnya ialah analisis dan identifikasi faktor determinan penentu besaran kelayakan usaha perikanan tangkap untuk pengembangan perikanan
tangkap. Proses analisis dan identifikasi faktor determinan ini menggunakan analisis structural equation model SEM. Faktor-faktor yang signifikan untuk
pengembangan usaha perikanan tangkap di tiap kluster lihat bab 7, ditetapkan sebagai faktor yang harus dikembangkan, dipertahankan, atau dikurangi pada setiap
kluster, didasarkan pada positif atau negatifnya besaran koefisien pengaruh faktor tersebut.
Kemudian, untuk menentukan pilihan kebijakan umum pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon, dianalisis
menggunakan analytical hierarchy process AHP yang dibahas pada bagian-bagian sebelumnya di bab ini. Berbagai kriteria pengembangan maupun alternatif kebijakan
adalah faktor-faktor determinan yang teridentifikasi pada tahapan analisis sebelumnya, dan preferensi pemangku kepentingan. Dan akhirnya, ditentukan
implementasi alternatif kebijakan terpilih pada setiap kluster desa, berdasarkan sensitifitas range rasio kepentingan nya.
Model pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon ini, diberi nama Model Manggurebe Maju. Istilah manggurebe maju
dalam bahasa lokal Ambon artinya berusaha atau berlomba untuk mencapai kemajuan. Dengan demikian Model Manggurebe Maju ini diharapkan menjadi
acuan baku dalam perumusan kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Kota Ambon, maupun wilayah pesisir lainnya. Model ini digambarkan secara matriks
pada halaman berikut.
183
Gambar 43 Model pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon Model Manggurebe Maju
184
8.5 Pola Implementasi Model Manggurebe Maju