Faktor determinan sosial-budaya Faktor Determinan bagi Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa

7.2.3 Faktor determinan sosial-budaya

Kondisi sosial dan budaya akan menentukan cara nelayan dan masyarakat pesisir di desa kluster mengelola usaha perikanan tangkap, menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan menjalankan aktivitas lainnya. Pada model SEM yang dikembangkan Gambar 32, kondisi sosial dan budaya tersebut dapat ditunjukkan oleh pola interaksi dalam kehidupan sosial X31, tata nilai X32 yang dianut, dan mobilitas penduduk X33 dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tabel 60 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan sosial-budaya kluster desa Dimensi KP S.E. C.R. P Kehidupan Sosial gotong royong, makan ikan X31 6743,59 152447 0,044 0,965 Tata Nilai X32 5516,95 124717 0,044 0,965 Mobilitas Penduduk X33 1 fix Dimensi X31, X32 dan X33 dalam model ini, berpengaruh positif namun tidak signifikan ɑ = 0,05 terhadap BCR. Hasil analisis tersebut memberi indikasi bahwa ketiga komponendimensi tersebut sudah menjadi bagian dari interaksi sosial budaya di semua desa kluster, baik sebelum maupun sesudah usaha perikanan tangkap banyak digalakkan di Kota Ambon. Untuk kehidupan sosial terutama kebiasaan makan ikan misalnya, hal ini sudah menjadi tradisi di Kota Ambon di semua desa pesisir K1-K6 di Kota Ambon, baik yang sudah maju kegiatan perikanan tangkapnya kluster 1 maupun yang belum berkembang usaha perikanan tangkapnya kluster 6. Menurut Ralahalu 2010, kebiasaan makan ikan dan tidak bisa makan tanpa ikan sudah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Maluku terutama Kota Ambon, dan hal ini sudah berlangsung ratusan tahun sejak jaman kerajaan. Oleh karena sudah mentradisi sejak lama dan perkembangannya tidak semata ditentukan oleh kegiatan perikanan tangkap, maka wajar bila komponen ini tidak menjadi faktor determinan bagi pengembangan kluster desa di Kota Ambon saat ini dapat diabaikan di K1-K6. Masyarakat Kota Ambon merupakan masyarakat yang agamis dan sangat menjunjung tata nilai yang ada. Di Kota Ambon sangat banyak rumah ibadah gereja dan masjid dan selama ini menjadi pusat aktivitas masyarakat bagi pengembangan tata nilai agama dan kemasyarakatan. Menurut Vanden 2001 tata nilai keagamaan sudah berkembang sejak jaman VOC 1605 M yang ditandai oleh didirikan gereja di berbagai tempat di Kota Ambon. Sampai saat ini, tata nilai ini berkembang dengan baik sebagai bagian dari perkembangan sosial-budaya di Kota Ambon dan tidak dipengaruhi oleh maju mundurnya usaha perikanan tangkap. Terkait dengan ini, maka cukup wajar bila tata nilai X32 tidak menjadi faktor determinan pengembangan kluster terkait kegiatan perikanan tangkapdi Kota Ambon dapat diabaikan. Hal yang sama juga untuk mobilitas penduduk X33, dimana mobilitas penduduk di Kota Ambon termasuk tinggi dan sudah menjadi ciri khas masyarakat Ambon dan Maluku secara umum dengan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau. Mobilitas penduduk tersebut tidak dipengaruhi oleh berkembang tidaknya kegiatan perikanan tangkap di setiap desa kluster tetapi lebih menjadi kebiasaan yang tertanam sejak lama. Karena itu, cukup wajar bila intervensi terhadap mobilitas penduduk tidak signifikan dalam mempengaruhi pengembangan kluster dari aspek sosial dan budaya. Dengan kata lain, dimensi kehidupan sosial, tata nilai, dan mobilitas penduduk yang ada sekarang, harus tetap dipertahankan di semua kluster.

7.2.4 Faktor determinan ekologi desa