Desa pesisir kluster 1 dan 2 K1 dan K2 dengan status mina mandiri dan dekat jalur bisnis tentu mempunyai aktivitas perikanan tangkap yang lebih padat daripada
desa pesisir lainnya, sehingga pengendalian pencemaran perikanan menjadi hal mutlak yang harus diperhatikan dan terus dikembangkan untuk meminimalisir
dampaknya terhadap ekologi pesisir dan laut. Menurut Leadbitter and Ward 2007, integrasi pengelolaan yang mencakup pengembangan usaha perikanan tangkap,
peningkatan produksi, pencegahan dampak pencemaran perlu dilakukan secara berkesinambungan kawasan perikanan tangkap yang padat, dan hal ini perlu
dievaluasidikontrol secara sistematis. Dalam pengembangan kluster desa di Kota Ambon, hal ini mendesak untuk
dilakukan di desa pesisir yang menjadi basis perikanan selama ini di Kota Ambon desa kluster 1 dan kluster 2 yang secara geografis berada di kawasan Teluk
Ambon dan Teluk Ambon Dalam. Karena merupakan wilayah tertutup teluk, maka sirkulasi arus di kedua perairan ini sangat rendah, sehingga bila banyak
limbah perikanan tang dibuat, maka akan secara nyata merusak ekosistem perairan teluk hasil analisis Tabel 61. Namun demikian, aktivitas perikanan tangkap yang
ada termasuk bila dikembangkan secara kluster tidak akan mengganggu eksistem terumbu karang yang ada di perairan sekitar. Hal ini karena perairan Kota Ambon
mempunyai tingkat kemiringan yang terjal dalam, sehingga kawasan dasar perairan termasuk yang ada terumbu karangnya relatif terlindungi dan dapat
dimanfaatkan untuk wisata bawah air Ralahalu, 2010 dan Pemkot Ambon, 2010.
7.2.5 Pengaruh variabel penentu besaran BCR
Peningkatan nilai BCR, sebagai indikator kelayakan usaha perikanan tangkap, merupakan tujuan akhir upaya pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster
desa di Kota Ambon melalui identifikasi faktor determinan yang berpengaruh. Menurut Kapp 1990, nilai BCR Benefit Cost Ratio menjadi ukuran layak dan
tidak layaknya suatu usaha ekonomi untuk dikembangkan dalam mendukung program besar pembangunan ekonomi kawasan. Karena itu, nilai BCR usaha
perikanan tangkap UPT di Kota Ambon akan sangat menentukan pola pembangunan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Seperti
halnya kajian faktor determinan lainnya, kajian faktor faktor determinan bagi peningkatan BCR UPT ini akan menjadi arah penting bagi pengembangan
kebijakan perikanan tangkap di Kota Ambon dengan berbasiskan pada kluster desa perikanan.
Model SEM pada Gambar 32, menyajikan teori bahwa peningkatan BCR UPT dapat ditunjukkan oleh pola interaksi pada dimensikomponen modal kerja,
pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha perikanan tangkap. Tabel 62 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas keempat dimensi
peningkatan BCR UPT
Dimensi KP
S.E. C.R.
P
Modal Kerja Y1 1
Fix Pengembalian Investasi Y2
1,141 0,095
12,064 Keuntungan Y3
0,861 0,079
10,845 Kontinyuitas Y4
0,52 0,073
7,104
Modal kerja Y1 berpengaruh positif namun tidak signifikan dalam mendukung peningkatan BCR UPT di Kota Ambon Tabel 62. Oleh karena itu,
secara statistik dimensikomponen modal kerja dalam model ini tidak menjadi faktor penting yang menentukan nilai BCR usaha perikanan tangkap, sehingga
bukan menjadi perhatian dalam pengembangan kluster desa. Hal ini bisa jadi karena sebagian besar usaha perikanan tangkap terutama yang berskala kecil di Kota
Ambon dioperasikan secara one day fishing sehingga tidak membutuhkan modal yang besar untuk setiap trip pengoperasiannya. Hermawan 2006 dalam
penelitiannya menyatakan bahwa usaha perikanan tangkap berskala menengah ke bawah banyak dioperasikan di Indonesia karena pengoperasiannya lebih fleksibel
dan tidak membutuhkan modal besar dalam setiap trip pengoperasiannya. Hal yang sama didukung oleh Marijan 2005 yang menyatakan bahwa faktor kekuatan modal
tidak banyak dibutuhkan usaha ekonomi yang stabil operasinya. Pengembalian investasi Y2 dan keuntungan Y3 berpengaruh positif
signifikan bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap yang ditunjukkan oleh probabilitas p masing-masing yang nilai 0 nol. Di samping signifikan, pengaruh
positif pengembangan investasi juga termasuk kuat mendukung peningkatan BCR UPT KP 1,000. Hal ini disebabkan pengembalian investasi merupakan cerminan
tingkat pemanfaatan atau sirkulasi penggunaan dari investasi yang dilakukan nelayan pada usaha perikanan tangkap. Bila tingkat pengembalian semakin cepat
maka benefit manfaat investasi tinggi yang secara otomatis nilai BCR juga bisa meningkat. Perbaikan pengembalian investasi perlu dipertahankan pada semua
kluster desa yang BCR UPT-nya tinggi 2,00, sedangkan yang tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkapnya rendah yang masih banyak terdapat di
Kota Ambon mengisi kluster 3-6 perlu ditingkat terus sehingga nilai BCR UPT tersebut meningkat di atas 2,00. Ralahalu 2010 dan Nurani dan Wisudo 2007
menyatakan bahwa siklus usahapengembalian investasi yang cepat lebih memberi kesempatan kepada nelayan termasuk nelayan buruh untuk menabung, sehingga
pada kondisi tertentu nelayan buruh mempunyai kemampuan untuk membelimemiliki usaha perikanan tangkap sendiri.
Pengembalian investasi yang cepat mempunyai manfaat lanjutan pada peningkatan keuntungan usaha perikanan tangkap. Setelah investasi terbayar, maka
biaya terkait dapat ditiadakan sehingga menjadi bagian dari keuntungan bersih yang didapat nelayan. Berdasarkan Tabel 62, keuntungan merupakan faktor determinan
bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap di Kota Ambon, capaian keuntungan ini perlu diupayakan terus untuk usaha perikanan tangkap bernilai BCR
sedang BCR = 1,50 – 2,00 dan rendah BCR 1,50 yang terdapat desa kluster 4- 6 K4-K6, sedangkan untuk usaha perikanan tangkap bernilai BCR 2,00 di desa
kluster 1-4 K1-K4 dipertahankan. Program pembinaan ketrampilan teknis dan manajemen usaha perlu ditingkatkan bagi nelayan di desa kluster ini. Oleh karena
kondisi usaha perikanan tangkap dan masalah yang dihadapi nelayan di setiap desa kluster bisa berbeda-beda, maka substansi pembinaan SDM tersebut dapat
disesuaikan dengan kebutuhan desa berbasis kluster. Kontinyuitas Y4 berpengaruh positif signifikan dalam mendukung
peningkatan BCR UPT di Kota Ambon yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas p = 0 nol. Hal ini memberi indikasi bahwa operasi usaha perikanan tangkap yang
stabil meskipun dengan keuntungan yang kecil lebih berarti daripada operasi usaha perikanan tangkap dengan keuntungan besar namun setelah tidak jelas
keberlanjutannya. Hal ini terkait dengan pemenuhan permintaan pasar, dimana bila hasil tangkapan selalu dapat disediakan secara kontinyu maka dapat menjaga
kestabilan harga, kepastian pasar, dan menambah kepercayaan konsumen terhadap produk perikanan tersebut. Hal ini tentu membawa dampak yang baik bagi
pengelolaan usaha perikanan tangkap, dan menurut hasil analisis Tabel 62, dampak
baik tersebut signifikan bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap. Terkait dengan ini, kontinyuitas produk perikanan yang dikirim ke pasar perlu menjadi
perhatian dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di desa kluster. Usaha perikanan tangkap UPT skala kecil yang terdapat di desa pesisir
kluster 3-6 K3-K6 umumnya tidak dapat menyuplai produk perikanan ke pasar secara stabil, dimana pada musim puncak banyak sedangkan pada musim paceklik
rendah bahkan tidak ada sama sekali. Disamping itu, hasil tangkapannya juga beragam, sehingga jenis produk perikanan yang dikirim juga berubah-berubah
setiap saat, dan ini kurang mendukung untuk pengembangan bisnis perikanan dalam skala industri yang membutuhkan produk perikanan kontinyu baik jenis maupun
jumlah. Khusus untuk desa pesisir kluster 5-6 K5-K6, masalah kontinyuitas produk perikanan lebih diperhatikan untuk pencitraan pasar dan menarik minat
investor. Kluster 5-6 K5-K6 merupakan kelompok desa yang belum berkembang baik kegiatan perikanan dan BCR UPT-nya tidak terlalu tinggi, sehingga tentu
membutuhkan upaya yang ekstra berlebih untuk berkembang sejajarberiringan kegiatan perikanan tangkpanya dengan desa kluster lainnya. Widodo dan Nurhakim
2002 menyatakan bahwa kontinyuitas suplai merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pembangunan perikanan suatu kawasan, dan hal ini hal selalu
diupayakan dalam setiap program perinitisan dan pembenahan kegiatan perikanan daerah.
7.3 Pengaruh Faktor-Faktor Determinan Terhadap BCR