Habitat Habitat dan Daerah Jelajah

harimau sehingga pengiriman harimau-harimau bermasalah ke lembaga konsevasi ex-situ dapat diminimalkan. Kegiatan translokasi seperti ini sebenarnya telah mulai dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang dibantu lembaga mitranya, Sumatran Tiger Conservation Program STCP, di Riau pada tahun 2003. Dalam periode antara tahun 2003-2007, telah ditranslokasikan lima ekor harimau ke areal hutan Senepis, di kawasan pesisir timur Provinsi Riau. Harimau-harimau tersebut seluruhnya ditangkap akibat berkonflik dengan masyarakat desa di provinsi tersebut. Namun, tingkat keberhasilan dari upaya ini tidak dapat diketahui dengan pasti. Upaya translokasi harimau sumatera lainnya juga dilakukan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kegiatan translokasi harimau yang pertama di provinsi ini dilaksanakan pada awal tahun 2008 oleh pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Aceh dibantu para mitra kerjanya. Harimau jantan dewasa yang ditangkap akibat berkonflik dengan masyarakat, dilepas- liarkan dengan bantuan helikopter di tengah hutan pegunungan di perbatasan antara dua kabupaten. Setelah itu, pada bulan Desember 2008 kembali ditranslokasikan dua ekor harimau jantan dan betina sumatera bermasalah ke dua areal hutan yang berbeda di Aceh. Sayangnya, harimau betina yang dilepas-liarkan di hutan dataran tinggi di provinsi tersebut diketahui mati terjerat oleh perangkap yang sengaja dipasang masyarakat untuk menagkap babi hutan yang menjadi hama pertanian, setelah tujuh bulan dilepas-liarkan. Pada pertengahan tahun 2008, Kementerian Kehutanan yang didukung oleh berbagai pihak, kembali mentranslokasikan lima ekor harimau yang terlibat konflik dengan masyarakat di Aceh Selatan, ke kawasan TN. Bukit Barisan Selatan di Lampung. Dua ekor dilepas-liarkan pada bulan Juli 2008, dan dua lainnya dilepas-liarkan pada awal tahun 2010 Gambar 5. Namun, satu ekor lainnya dinyatakan tidak layak untuk dilepas-liarkan kembali ke alam bebas. Pada Juni 2009, BKSDA Sumatera Barat bersama dengan lembaga mitra mentranslokasikan harimau bermasalah ke salah satu hutan di wilayah TN Kerinci Seblat. Namun sayangnya harimau jantan muda tersebut 31 ditemukan mati terjerat di tengah hutan setelah satu minggu dilepas-liarkan. Setelah itu, kembali pihak BKSDA Sumatera Barat dibantu mitra-mitra kerjanya mentranslokasikan seekor harimau jantan pada Desember 2010. Harimau sumatera tersebut dilepas-liarkan di satu daerah di dalam kawasan TN. Kerinci Seblat, sekitar satu bulan setelah ditangkap akibat terpersosok dan terjebak di dalam perangkap lubang yang dipasang masyarakat untuk menangkap rusa. Gambar 5. Pelepas-liaran harimau sumatera yang ditranslokasikan dari Aceh ke kawasan TN Bukit Barisan Selatan, Lampung, Juli 2008 Dok: Hasbi Azhar Rizal PahleviArtha Graha Peduli.

2.5 Model Kesesuaian Habitat

Habitat yang sesuai adalah tempat yang mampu menyediakan kondisi yang dibutuhkan oleh satwa untuk dapat bertahan hidup dan berkembang- biak dalam waktu jangka panjang. Dengan demikian, model kesesuaian habitat dapat didefinisikan sebagai sebuah model yang menunjukkan kemampuan suatu unit habitat untuk dapat mendukung kehidupan dan perkembang-biakan satwa Nursal 2007. De La Ville et al. 1998 diacu dalam Nursal 2007 menjelaskan bahwa model kesesuaian habitat adalah sebuah model yang menunjukkan kemampuan suatu habitat untuk menyediakan kebutuhan spesies tertentu. Tujuan umum dari sebuah model adalah sebagai panduan dalam mengambil keputusan pengelolaan Shenk Franklin 2001 diacu dalam Nursal 2007. Model kesesuaian habitat dapat digunakan untuk menentukan prioritas konservasi Margules Austin 1994 diacu dalam Guisan Zimmermann 2000, serta dapat menghasilkan pengetahuan biologi untuk menjelaskan distribusi suatu spesies dan mengevaluasi aktivitas lahan. Sklar Hunsaker 2001 menyatakan bahwa model ekologi biasanya dibuat untuk satu atau dua tujuan dalam rangka lebih memahami sistem ekologi, atau untuk mengevaluasi pengaruh dari perubahan keadaan untuk membuat satu keputusan atau sekumpulan kebijakan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sebuah model spasial dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki satu atau lebih variabel bebas yang merupakan fungsi suatu ruang atau sesuatu yang dapat dihubungkan dengan variabel bebas ruang lainnya. Box 1976 diacu dalam ver Hoef et al. 2001 mengemukakan bahwa semua model ekologi yang dibangun tidak mungkin ada yang benar-benar tepat karena semua model mengandung kesalahan. Constanza Sklar 1985 diacu dalam Sklar Hunsaker 2001 berpendapat bahwa semakin kompleks suatu model maka akan semakin besar data observasi dan data simulasi yang dibutuhkan. Akibatnya model tersebut menjadi semakin kurang akurat atau semakin tidak pasti.