Bentuk Daerah Jelajah Daerah Jelajah .1 Waktu Pembentukan Daerah Jelajah

Perbedaan waktu aktif harimau sumatera translokasi dengan dengan harimau bengal di Nepal, dimana mereka umumnya aktif dan bergerak mulai matahari terbenam hingga menjelang pagi Sunquist 1981, kemungkinan diakibatkan oleh adanya perbedaan waktu perilaku makan pada hewan-hewan ungulata mangsa harimau di kedua tempat tersebut. Schaller 1967 melaporkan bahwa harimau bengal di India waktu paling aktifnya adalah pada malam hari dan beristirahat mulai pagi menjelang siang hingga menjelang sore, namun kadang-kadang ada juga harimau yang berburu pada siang hari apabila harimau tersebut gagal menangkap hewan mangsa pada malam hari sebelumnya. Sunquist 1981 telah membuktikan bahwa waktu aktif harimau erat kaitannya dengan temperatur udara, dimana harimau bengal di Nepal umumnya beristirahat pada areal dengan tutupan vegetasi rapat di sepanjang aliran sungai pada siang hari di musim panas. Hamilton 1976 melaporkan hal yang sama, dimana macan tutul di Afrika umumnya tidak beraktivitas pada saat suhu udara panas di siang hari. 5.3 Pemilihan Habitat Seleksi habitat merupakan satu proses dimana individu-individu satwa liar yang secara preferensial memanfaatkan habitat-habitat yang tersedia pada satu lansekap Morris 2003. Khan Chivers 2007 menyatakan bahwa ada indikasi bahwa harimau memiliki kesukaan preferensi terhadap satu habitat tertentu yang disesuaikan dengan beberapa aktivitasnya. Hasil overlay data posisi dengan peta tutupan vegetasi memperlihatkan bahwa semua harimau yang ditranslokasikan terbukti secara signifikan mempunyai preferensi terhadap tipe habitat tertentu di masing-masing lokasi dimana mereka dilepas-liarkan Tabel 11. Analisis preferensi dengan metode Neu juga mempertegas bahwa setiap harimau translokasi memilih tipe tutupan vegetasi tertentu sebagai habitat utamanya. 89 Tabel 11. Tipe habitat yang paling disukai oleh harimau translokasi di masing -masing lokasi pelepas-liaran. Harimau Lokasi Hasil uji Chi-square Habitat yang paling disukai nilai indeks NeuW JD-1 TNBBS χ 2 hitung = 304,04 χ 2 0,05;5 = 11,07 Belukarhutan sekunder muda W= 1,18 JD-2 TNBBS χ 2 hitung = 2.840,72 χ 2 0,05;5 = 11,07 Belukarhutan sekunder muda W= 1,21 JD-3 TNGL χ 2 hitung = 306,96 χ 2 0,05;8 = 15,51 Hutan pegunungan rendah W= 1,41 JD-5 TNKS χ 2 hitung = 3.551,99 χ 2 0,05;9 = 16,92 Hutan dataran rendah W= 1,98 BD-1 EUM χ 2 hitung = 3.234,16 χ 2 0,05;6 = 12,59 Belukarhutan sekunder muda W= 2,17 Harimau JD-1 dan JD-2 yang diliarkan di TNBBS serta JD-5 di TNKS, mereka menggunakan tutupan vegetasi belukarhutan sekunder muda dengan intensitas yang sangat tinggi 93,4, 96,3 dan 58,6. Hal ini terjadi karena memang tipe tutupan vegetasi belukarhutan sekunder muda mendominasi lansekap dimana mereka dilepas-liarkan 79,4 di TNBBS dan 41,6 di TNKS. Tingginya intensitas penggunaan vegetasi belukarhutan sekunder muda sangat erat kaitannya dengan kesukaan hewan mangsa utama harimau ungulataherbivora mencari makan pada areal-areal tersebut. Namun, harimau-harimau tersebut juga menggunakan hutan dataran rendah sebagai habitat yang juga digunakan dengan intensitas tinggi kedua. Demikian pula dengan harimau JD-3 yang dilepas-liarkan di TNGL, mengkombinasikan penggunaan hutan pegunungan rendah 42,8 dengan hutan dataran rendah 30,1 sebagai habitat utamanya. Hal ini juga terjadi karena kedua tipe tutupan vegetasi tersebut memang mendominasi lansekap dimana JD-3 ditranslokasikan. Dengan demikian ada kecenderungan bahwa setiap harimau memang memiliki preferensi terhadap tipe habitat tertentu, namun pemilihan ini selalu didasarkan atas tipe habitat alami yang mendominasi kawasan tempat mereka dilepas-liarkan Gambar 15, 16, 17,18 dan 19. Dinata Sugardjito 2008 menyatakan bahwa harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah sebagai habitatnya, karena hutan dataran rendah dapat mendukung biomassa hewan-hewan ungulata besar Santiapillai Ramono 1993, seperti babi hutan Sus scrofa, rusa sambar Rusa unicolor dan kijang Muntiacus muntjak yang merupakan hewan mangsa utamanya. Rajapandian 2009 menginformasikan bahwa di kawasan Terai Arc, India, harimau menyenangi habitat-habitat hutan lebat yang kesesuaiannya tinggi dengan hewan mangsa utama mereka. Selain itu, terbukti juga bahwa keberadaan tutupan habitat hutan tetap penting bagi kehidupan harimau. Meskipun Sunquist et al. 1999 menyatakan bahwa secara global harimau menghuni berbagai tipe habitat dan mampu beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan, namun hasil penelitian Sunarto et al. 2012 telah membuktikan bahwa harimau di Sumatera merupakan satwa yang sangat bergantung pada dan lebih menyukai kawasan hutan alam. Menurut mereka, harimau juga menggunakan kawasan perkebunan sawit dan hutan akasia, namun proporsinya sangat kecil dibandingkan dengan luas kawasan yang tersedia. Hasil studi ini di lokasi translokasi TNKS mendukung pernyataan tersebut, dimana meskipun perkebunan sawit menutupi 18,5 lansekap pelepas-liaran di TNKS, harimau JD-5 hanya menggunakan 0,6 frekuensi waktunya di kawasan perkebunan sawit. Selain itu, Maddox et al. 2007 juga berpendapat bahwa harimau sumatera sering menggunakan lahan belukarhutan sekunder muda di kawasan perkebunan sawit, namun tidak memasuki wilayah interior dari areal yang sudah ditanami pohon sawit. Sunarto 2011 mengemukakan bahwa harimau sumatera umumnya terdeteksi di areal-areal yang memiliki kerapatan vegetasi bawah yang rapat.