Distribusi Bio-Ekologi Harimau Sumatera

penggunaan spasial di habitatnya dapat mempengaruhi beberapa aspek biologi, termasuk pola pemanfaatan sumberdaya dan persaingan intra- spesifik Oli et al. 2002. Perilaku spasial pada satwaliar mungkin dapat memediasi interaksi yang bersifat kompetitif di antara individu dalam satu spesies, yaitu dapat mengurangi biaya atau kerugian atas adanya perjumpaan intra-spesifik, serta dapat memaksimalkan kemampuankecocokan fitness Wilson 1975. Perilaku spasial juga telah diketahui dapat memainkan peran penting dalam pengaturan populasi satwaliar Krebs 1978. Pada mamalia, pola keruangan tersebut umumnya dikaji dengan cara mempelajari dinamika daerah jelajahnya Oli et al. 2002. Mace Harvey 1983 serta Alikodra 1990 menyatakan bahwa ukuran daerah jelajah akan semakin luas seiring dengan semakin bertambahnya ukuran tubuh satwa. Namun, kepadatan populasi berkorelasi negatif dengan luas daerah jelajah Maza et al. 1973, OFarrell 1974, Massei et al. 1997, Olie et al. 2002. Krebs Davis 1993 berpendapat bahwa penyebaran geografis dan ketersediaan makanan dapat digunakan sebagai dasar dalam memprediksi pola pemanfaatan ruang oleh satwaliar. Struktur habitat yang diperlukan oleh satwaliar dapat dilihat dari beberapa keadaan, antara lain kebutuhan dasar, tipe habitat, faktor-faktor kesejahteraan yang spesifik, serta komponen faktor-faktor kesejahteraan Bailey 1984. Bagi satwa foliovora, tipe habitat terutama tipe vegetasi sangat menentukan tingkat kesejahteraan bagi kehidupannya. Namun, bagi satwa karnivora, yang menjadi faktor penentu kesejahteraannya adalah kualitas habitat, terutama kelimpahan hewan mangsanya. Menurut Mutasib 2002, setiap spesies akan memerlukan faktor-faktor kesejahteraan khusus, misalnya harimau, selain sangat bergatung pada keberadaan hewan mangsa mereka juga memerlukan sumber air Sunquist Sunquist 1989 dan tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap hewan mangsanya Lynam et al. 2000. 27 Daya dukung suatu habitat satwaliar dapat ditingkatkan melalui letak dan komposisi komponen-komponennya sehingga terbentuk lebih banyak titik pertemuan antara berbagai komponen habitat covey. Pada suatu tempat dengan luasan yang sama dapat mempunyai covey yang berbeda, selain itu tempat-tempat yang mempunyai lebih banyak covey akan lebih tinggi daya dukungnya terhadap kehidupan satwaliar Alikodra Soedargo 1985 diacu dalam Alikodra 1990. Menurut Wahyu 1995 diacu dalam Muntasib 2002, mobilitas, luas dan komposisi daerah jelajah merupakan tiga parameter yang paling banyak digunakan sebagai indikator dan strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar.

2.4 Translokasi

IUCN mendefinisikan translokasi sebagai perpindahan satu individu atau populasi liar yang disengaja dari daerah jelajahnya untuk membentuk daerah jelajah baru di wilayah yang baru. Sementara itu menurut Griffith et al. 1989, translokasi dalam dunia konservasi satwaliar berarti menangkap dan mengangkut satwaliar dari satu lokasi, kemudian melepas-liarkannya di lokasi lain. Translokasi juga dapat diartikan sebagai kegiatan pelepasan satwaliar ke alam dalam upaya untuk membentuk, membangun kembali, atau menambah populasi suatu spesies. Selain itu, translokasi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mengurangi resiko katastrofi atau bencana kepunahan pada spesies satwaliar dengan populasi tunggal, untuk memperbaiki heterogenitas genetik dari spesies yang populasinya terpisah- pisah satu sama lain, serta untuk membantu pemulihan alami dari satu spesies, atau untuk membangun kembali populasi spesies apabila terdapat hambatan yang menghalangi mereka untuk melakukannya secara alamiah Shirey Lamberti 2010. Hingga saat ini translokasi juga sering dimanfaatkan sebagai satu alat untuk memitigasi konflik antara manusia dengan satwaliar, karena menurut Griffith et al. 1989 dan Wolf et al. 1997 translokasi pada satwa karnivora besar merupakan suatu alat mitigasi konflik yang dapat mengurangi resiko kematian pada satwa yang terlibat konflik, serta sebagai tambahan individu satwaliar dalam membangun kembali populasi liarnya. Bahkan selama beberapa dekade terakhir, translokasi digunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi pemangsaan hewan ternak oleh satwa karnivora besar, seperti beruang cokelat Ursus arctos dan beruang hitam U. americana Armistead et al. 1994, Blanchard Knight 1995, kucing besar liar Rabinowitz 1986, Stander 1990, Ruth et al. 1998, Goodrich Miquelle 2005, dan serigala Fritts et al. 1984, Bangs et al. 1998. Namun, biasanya pada kasus mitigasi konflik satwaliar, translokasi biasanya dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir seperti halnya eutanasia Treves Karanth 2003. Menurut Linnell et al. 1997, secara umum satwa karnivora yang ditranslokasikan akibat terlibat konflik, menunjukkan bahwa kemampuan bertahan hidup dan kemampuan reproduksinya rendah, serta cenderung untuk mengulangi pemangsaan hewan ternak di lokasinya yang baru. Meskipun tingkat kematian individu yang ditranslokasikan juga tinggi, translokasi untuk kepentingan ini akan terus digunakan, karena menurut persepsi masyarakat translokasi merupakan suatu cara mitigasi konflik yang tidak mematikan sehingga menjadi alat pengelolaan konflik yang populer Craven et al. 1998, khususnya bagi spesies satwa langka atau yang terancam punah Linnell et al. 1997. Kegiatan translokasi juga telah dilakukan pada harimau dengan menggunakan cara dan tingkat keberhasilan yang berbeda. Goodrich Miquelle 2005 melaporkan bahwa di timur jauh Rusia pernah dilakukan translokasi yang melibatkan empat ekor harimau siberia, yang ditangkap setelah memangsa hewan ternak pada tahun 2004. Dua harimau diantaranya dilepas-liarkan setelah mereka dikarantina selama sekitar 8 dan 13 bulan soft release karena kondisi kesehatan tidak baik. Sementara, dua ekor lainnya di lepas-liarkan segera setelah ditangkap hard release. Namun, dua dari empat harimau tersebut mati ditembak setelah kembali menimbulkan konflik. Dalam kasus ini, Goodrich Miquelle 2005 menyatakan bahwa sangat penting untuk mengetahui bahwa pada lokasi dimana harimau akan dilepas-