Populasi Bio-Ekologi Harimau Sumatera

kematian pada satwa yang terlibat konflik, serta sebagai tambahan individu satwaliar dalam membangun kembali populasi liarnya. Bahkan selama beberapa dekade terakhir, translokasi digunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi pemangsaan hewan ternak oleh satwa karnivora besar, seperti beruang cokelat Ursus arctos dan beruang hitam U. americana Armistead et al. 1994, Blanchard Knight 1995, kucing besar liar Rabinowitz 1986, Stander 1990, Ruth et al. 1998, Goodrich Miquelle 2005, dan serigala Fritts et al. 1984, Bangs et al. 1998. Namun, biasanya pada kasus mitigasi konflik satwaliar, translokasi biasanya dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir seperti halnya eutanasia Treves Karanth 2003. Menurut Linnell et al. 1997, secara umum satwa karnivora yang ditranslokasikan akibat terlibat konflik, menunjukkan bahwa kemampuan bertahan hidup dan kemampuan reproduksinya rendah, serta cenderung untuk mengulangi pemangsaan hewan ternak di lokasinya yang baru. Meskipun tingkat kematian individu yang ditranslokasikan juga tinggi, translokasi untuk kepentingan ini akan terus digunakan, karena menurut persepsi masyarakat translokasi merupakan suatu cara mitigasi konflik yang tidak mematikan sehingga menjadi alat pengelolaan konflik yang populer Craven et al. 1998, khususnya bagi spesies satwa langka atau yang terancam punah Linnell et al. 1997. Kegiatan translokasi juga telah dilakukan pada harimau dengan menggunakan cara dan tingkat keberhasilan yang berbeda. Goodrich Miquelle 2005 melaporkan bahwa di timur jauh Rusia pernah dilakukan translokasi yang melibatkan empat ekor harimau siberia, yang ditangkap setelah memangsa hewan ternak pada tahun 2004. Dua harimau diantaranya dilepas-liarkan setelah mereka dikarantina selama sekitar 8 dan 13 bulan soft release karena kondisi kesehatan tidak baik. Sementara, dua ekor lainnya di lepas-liarkan segera setelah ditangkap hard release. Namun, dua dari empat harimau tersebut mati ditembak setelah kembali menimbulkan konflik. Dalam kasus ini, Goodrich Miquelle 2005 menyatakan bahwa sangat penting untuk mengetahui bahwa pada lokasi dimana harimau akan dilepas- 29 liarkan memiliki populasi harimau lokal yang sangat rendah, sehingga persaingan atas sumberdaya yang ada menjadi lebih kecil. Seidensticker et al. 1976 menerangkan bahwa telah dilakukan translokasi terhadap seekor harimau jantan di India. Harimau bermasalah tersebut dilepas-liarkan di areal baru di hutan lindung Sundarbands, India, segera setelah tertangkap. Namun, beberapa waktu kemudian harimau tersebut ditemukan tewas akibat terluka setelah bertarung dengan harimau lokal. Oleh sebab itu diperlukan adanya kegiatan identifikasi untuk menentukan lokasi translokasi yang tepat, serta mengetahui organisasi sosial harimau lokal di calon lokasi pelepas-liaran. Pada awal tahun 2011, untuk pertama kalinya dilakukan translokasi harimau yang terlibat konflik di Nepal. Di Bangladesh, pada bulan Pebruari 2011 lalu telah dilaksanakan translokasi pertama yang melibatkan seekor harimau betina yang tertangkap akibat memasuki kawasan pemukiman. Kegiatan translokasi harimau untuk kepentingan program reintroduksi telah berhasil pada harimau bengal di India. Pada tahun 2004, pernah dinyatakan bahwa Suaka Margasatwa Sariska telah kehilangan semua populasi harimaunya akibat perburuan liar besar-besaran yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah India memutuskan untuk mereintroduksi harimau bengal dengan cara mentranslokasikan sepasang harimau dari Suaka Margasatwa Ranthambhore pada tahun 2008 WPSI 2008. Kedua harimau betina dan jantan tersebut dilepas-liarkan setelah tiga dan delapan hari dikarantina, namun akhirnya keduanya berhasil menentukan daerah jelajah tetapnya masing-masing, serta dapat berburu hewan mangsa di habitatnya yang baru. Sampai dengan akhir tahun 2010 tercatat sebanyak tujuh ekor harimau ditranslokasikan ke Suaka Margasatwa Sariska. Namun, harimau jantan dewasa yang pertama kali dilepas-liarkan di tahun 2008 yang lalu, ditemukan mati diracun oleh orang yang tidak bertanggung-jawab pada November 2010 yang lalu. Di Indonesia, kegiatan translokasi harimau sumatera seluruhnya dilakukan dalam rangka untuk mengatasi atau mengurangi konflik konservasi harimau sehingga pengiriman harimau-harimau bermasalah ke lembaga konsevasi ex-situ dapat diminimalkan. Kegiatan translokasi seperti ini sebenarnya telah mulai dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang dibantu lembaga mitranya, Sumatran Tiger Conservation Program STCP, di Riau pada tahun 2003. Dalam periode antara tahun 2003-2007, telah ditranslokasikan lima ekor harimau ke areal hutan Senepis, di kawasan pesisir timur Provinsi Riau. Harimau-harimau tersebut seluruhnya ditangkap akibat berkonflik dengan masyarakat desa di provinsi tersebut. Namun, tingkat keberhasilan dari upaya ini tidak dapat diketahui dengan pasti. Upaya translokasi harimau sumatera lainnya juga dilakukan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kegiatan translokasi harimau yang pertama di provinsi ini dilaksanakan pada awal tahun 2008 oleh pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Aceh dibantu para mitra kerjanya. Harimau jantan dewasa yang ditangkap akibat berkonflik dengan masyarakat, dilepas- liarkan dengan bantuan helikopter di tengah hutan pegunungan di perbatasan antara dua kabupaten. Setelah itu, pada bulan Desember 2008 kembali ditranslokasikan dua ekor harimau jantan dan betina sumatera bermasalah ke dua areal hutan yang berbeda di Aceh. Sayangnya, harimau betina yang dilepas-liarkan di hutan dataran tinggi di provinsi tersebut diketahui mati terjerat oleh perangkap yang sengaja dipasang masyarakat untuk menagkap babi hutan yang menjadi hama pertanian, setelah tujuh bulan dilepas-liarkan. Pada pertengahan tahun 2008, Kementerian Kehutanan yang didukung oleh berbagai pihak, kembali mentranslokasikan lima ekor harimau yang terlibat konflik dengan masyarakat di Aceh Selatan, ke kawasan TN. Bukit Barisan Selatan di Lampung. Dua ekor dilepas-liarkan pada bulan Juli 2008, dan dua lainnya dilepas-liarkan pada awal tahun 2010 Gambar 5. Namun, satu ekor lainnya dinyatakan tidak layak untuk dilepas-liarkan kembali ke alam bebas. Pada Juni 2009, BKSDA Sumatera Barat bersama dengan lembaga mitra mentranslokasikan harimau bermasalah ke salah satu hutan di wilayah TN Kerinci Seblat. Namun sayangnya harimau jantan muda tersebut