Penggunaan Habitat pada Siang dan Malam
pakan ke tengah areal terbuka jika areal tersebut menyediakan sumber pakan bagi mereka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NDVI pada lokasi studi di kawasan hutan Blangraweu, Ulu Masen, berkisar antara -0,467 hingga 0,802
Lampiran 19. NDVI berkaitan dengan derajat kehijauan dan kandungan biomasa relatif suatu vegetasi. Hal ini memberikan gambaran bahwa lokasi
studi mayoritas merupakan kawasan berhutan lebat yang terdapat di dalam KHUM dengan sebagian kecil areal-areal terbuka perladangan dan
pemukiman di luar batas kawasan. Hasil penelitian Syartinilia Tsuyuki 2008 menunjukkan bahwa vegetasi berhutan memiliki nilai NDVI antara
0,1 – 0,7. Sementara, NDVI yang mendekati nilai 0 umumnya berhubungan
dengan tutupan awan dan nilai NDVI yang kurang dari 0 umumnya merupakan badan air atau areal tanpa vegetasi Justice et al. 1985 diacu
dalam Roger et al. 2007. Koefisien regresi NDVI sebesar 3,724 Tabel 15 memberikan korelasi
positif terhadap model regresi yang disusun. Artinya semakin tinggi kandungan biomassa relatif atau semakin tinggi derajat kehijauan suatu
vegetasi berhutan, maka semakin sesuai bagi habitat harimau. Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa NDVI berkorelasi positif dan
berpengaruh secara signifikan terhadap kesesuaian habitat harimau Caroll Larson 2008, Imam et al. 2009, Singh et al. 2009. Harimau memerlukan
vegetasi dengan tajuk yang rapat sebagai tempat berlindung dari panas matahari, beristirahat dan sebagai tempat untuk bersembunyi ketika
mengintai mangsanya. Variasi tingkat kelerengan atau slope pada area studi berkisar antara
0 datar hingga 79,4 sangat curam Lampiran 20. Analisis regresi logistik biner menunjukkan bahwa tingkat kehadiran harimau sumatera
translokasi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya nilai kelerengan. Namun dengan nilai koefisien regresi 0,062 Tabel 15 dapat diterangkan
bahwa variabel kelerengan pengaruhnya sangat kecil terhadap model regresi logistik yang dibangun. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa hasil
103 studi terdahulu yang menyatakan bahwa kelerengan atau slope tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesesuaian habitat harimau, baik di Sumatera maupun di India Endri 2006, Imam 2009, Singh et al. 2009.
Berbeda dengan hasil penelitian Putri 2010 di TN Bukit Tigapuluh, yang menemukan bahwa habitat harimau semakin tidak sesuai dengan
semakin meningkatnya nilai kelerengan suatu areal. Perbedaan ini dapat diakibatkan oleh metode pengumpulan data. Kehadiran harimau sumatera
pada penelitian Putri 2010 ditetapkan melalui data sekunder, seperti posisi penempatan camera trapping yang merekam gambar harimau, tanda kotoran,
serta tanda cakaran harimau. Penentuan lokasi kehadiran harimau dengan cara ini sangat mengandung bias, karena mungkin saja data-data kehadiran
harimau tersebut hanya mewakili areal-areal bertopografi datar atau landai saja. Sementara itu, areal-areal bertopografi curam dan sangat curam yang
sangat sulit dijangkau tidak terwakili. Data kehadiran harimau sumatera pada penelitian ini ditentukan berdasarkan data primer yang langsung diambil dari
harimau hidup melalui kalung GPS, sehingga memiliki tingkat akurasi yang jauh lebih tinggi. Namun, memang data kehadiran harimau pada penelitian
ini dikumpulkan dari harimau sumatera yang ditranslokasikan ke kawasan yang didominasi dengan topografi curam dan sangat curam, sehingga tidak
dapat mewakili harimau sumatera secara keseluruhan. Seidensticker et al. 1999 menyatakan bahwa harimau cenderung lebih menyukai areal dengan
topografi datar dan bergelombang.