Kordinasi Buttom Up Metode Pemberdayaan yang Berbasis Santri Di Pesantren

Sinkronisasi kedua kurikulum tersebut selalu dievaluasi dan diinovasikan agar dapat berjalan serasi. Guru-guru Hidayatullah se-Indonesia melakukan konsolidasi rutin setiap tiga bulan sekali untuk evaluasi dan proyeksi. Kurikulum Kehidayatullahan memang sudah memiliki standarisasi dari Hidayatullah Pusat, akan tetapi pada tataran teknis diserahkan kepada kreativitas masing-masing cabang, disesuaikan dengan kebutuhan karena kondisi pesantren yang berbeda- beda. Misalnya, Program pengabdian saat ini hanya dilaksanakan di Pesantren Hidayatullah Medan, tidak di cabang lain. Kurikulum DEPAG itu kita modifikasi, makanya setiap tiga bulan kita adakan rapat konsolidasi guru-guru, kualifikasi guru-guru kami harus da’i dan murobbi. Pastikan dia shalat, tidak merokok, dan perempuan berbusana muslimah yang baik. Rata-rata guru itu dari luar semua, tapi untuk masuk jadi guru kami punya kesepakatan peraturan. Wawancara dengan Ust Ali Hermawan, 18 Februari 2013 Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan kurikulum yang sudah dimodifikasi menjadi kurikulum khas adalah salah satu metode pesantren agar program pemberdayaan dapat berjalan. Kurikulum yang diterapkan di pesantren Hidayatullah Medan merupakan gabungan dari kurikulum yang mengacu kapada SKB 3 Menteri dan Kehidayatullahan. Namun, selain kurikulum keagamaan, kurikulum mata pelajaran umum pun diberikan warna tauhid yang sangat kental untuk menanamkan kesadaran bertauhid. Adapun kurikulum khas yang menyokong pemberdayaan yang berbasis santri diantaranya mewajibkan pengabdian, gardening, dan life skill yang akan dirincikan pada sub-bab berikutnya.

5. Kordinasi Buttom Up

Model kepengajaran dan kordinasi di pesantren Hidayatullah tidaklah top down, tapi buttom up, ada diskusi interaktif secara egaliter antara gurukiai dengan santri-santrinya dalam bentuk halaqoh. Hal ini sesuai dengan konsep pemberdayaan di mana santri memahami permasalahan dan mampu mencari solusinya sendiri. Penjelasan tersebut dipaparkan oleh informan sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara Pesantren memiliki proses kaderisasi dan regenerasi, secara tidak sadar santri dididik untuk mampu menjalankan semua operasional pesantren, jadi begitu kami tinggal, pesantren tetap berjalan, kajiannya, azannya, dan semuanya. Ada juga yang sudah menjadi ustad alakadarnya. Jadi, santri bukan hanya sebagai objek, tetapi santri diposisikan sebagai subjek seperti kami, akhirnya hubungan saya dengan santri itu sebagai mitra, sering saya ajak tukar pikiran. Kemarin kami tinggal mereka selama dua minggu, tapi tidak apa-apa, pesantren terus berjalan. Terkadang dalam satu bulan itu Dewan Santri datang ke sini untuk berdiskusi dengan saya, ada juga rapat kerja menyusun program dan evaluasi. Makanya nanti dengan sendirinya begitu mereka keluar dari santri mereka langsung bisa, sampai tingkat menyusun tata tertib asrama itu diajari, disuruh membuat surat undangan, proposal, makalah, dan lain- lain. Wawancara dengan Ust Ali Hermawan, 18 Februari 2013 Dewan Santri datang satu bulan sekali ke Polonia dari Tanjung Morawa untuk berkordinasi dan berdiskusi dengan Ustadz Ali Hermawan sebagai ketua yayasan. Kemudian ustadz meberikan masukan-masukan dan pengajaran secara demokratis. Sementara di Tanjung Morawa, Ust. Mukhtasim sebagai kepala kampus biasanya memanggil ketua Dewan Santri saja atau seluruh Dewan Santri untuk berkordinasi dalam penyelesaian tugas dan merencanakan apa yang perlu segera dikerjakan. Di Tanjung Morawa, proses kordinasi itu tidaklah dilakukan secara rutin akan tetapi melihat kebutuhan yang ada. Untuk kordinasinya bisa kita panggil ketuanya saja atau kita panggil satu kelas untuk diberikan pengarahan, saya langsung yang ngasih pengarahan, misalnya setelah Subuh atau setelah Isya di sini saya jelaskan apa yang harus kita kerjakan. Itu tidak rutin, disesuaikan dengan kebutuhan saja, misalnya sekarang mau bangun dan mengecat, itu kita diskusikan siapa yang bangun, siapa yang ngecat. Wawancara dengan Ust Mukhtasim, 25 Februari 2013 Sama dengan santri putera, santri puteri juga memiliki cara kordinasi buttom up dalam menjalankan tugas-tugas Dewan Santri seperti pemaparan informan berikut: Cara kordinasinya kadang satu kali seminggu atau satu kali sebulan rapat sama ustazah-ustadzahnya kalau sama Dewan Santrinya di mana ada kesempatan dirembugkan bersama-sama. Wawancara dengan Kuswah, 10 Maret 2013 Universitas Sumatera Utara Dewan Santri putera juga memiliki rapat kordinasi rutin bulanan dengan ustadz pembinanya seperti dipaparkan informan berikut ini: Itu nanti diadakan rapat bulanan, disitu diadakan evaluasi sama membahas apa kegiatan berikutnya. itu rapatnya sama ustadz Sihombing. Wawancara dengan Farhan Fadlullah, 24 Februari 2013 Dalam konsep pemberdayaan, kordinasi buttom up adalah hal yang tepat untuk dilakukan agar santri-santri menjadi subjek dari pemberdayaan itu sendiri, bukan menjadi objek. Ketika ide program atau kegiatan berasal dari para santri, maka santri merasa memiliki program-program yang ada dan mau menjalankannya karena ada rasa tanggung jawab. Bahkan, seperti dipaparkan informan di atas, pesantren Hidayatullah Medan tetap berjalan dengan semestinya walaupun ditinggalkan oleh ustadz-ustadz selama dua minggu. Siswa MTs dan MA mayoritas sudah dapat berpikir dewasa, sehingga sesuai pendapat malik 2005: 50 pendidikan bagi orang dewasa menuntut beberapa hal. Pertama, memberi ruang lebih bagi partisipasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan. Kedua, berorientasi pada pemecahan masalah secara bersama-sama antar pendidik dan peserta didik. Ketiga, memberi kebebeasan individual terhdapap peserta didik dalam menawarkan solusi sesuai dengan pengalaman masing-masing. Keempat, pemecahan masalah merujuk pada pengalaman peserta. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kordinasi buttom up di pesantren Hidayatullah Medan telah memposisikan santri sebagai subjek program pemberdayaan sehingga ada rasa memiliki dan tanggung jawab. Kordinasi buttom up tersebut sesuai dengan prinsip community development. Dengan demikian, secara keseluruhan metode pemberdayaan yang berbasis santri di Pesantren Hidayatullah Medan sudah meliputi ranah kognitif pengetahuan, afekti sikap, dan psikomotor perilaku. Adapun nilai idealisme pesantren juga mendasarkan diri pada tiga ranah utama yaitu faqohah kedalam pemahaman, thabiah perangai, watak, karakter dan kafaah kecakapan operasional. Metode-metode pemberdayaan di atas seudah sesuai dengan konsep pemberdayaan. Adanya Dewan Santri dan Kordinasi buttom up menyebabkan santri lebih berdaya mulai dari mengenali masalah sampai mencari solusinya Universitas Sumatera Utara secara mandiri. Kurikulum yang diwarnai dengan kurikulum khas Hidayatullah tidak hanya mencakup masalah pengetahuan, tetapi juga terkait tiga ranah utama seperti yang dijelaskan di atas. Program WAPOSI Wadah Apresiasi Potensi Santri sangat tepat karena dalam konsep pemberdayaan harus disesuaikan dengan potensi yang ada, akan tetapi pembagian tugas yang terlalu ketat bisa menyebabkan santri mengalami meaningless atau menurut Karl Marks disebut teralienasi. Namun pesantren Hidayatullah Medan memiliki program khas yaitu pengabdian santri atau kelas tujuh yang bertujuan untuk mengikat santri agar tidak lepas, tataran penghayatan dan tanggung jawab, serta secara ekonomi bisa mengembalikan biaya pendidikannya selama mondok.

4.3.3. Faktor Pendorong Program Pemberdayaan Santri