bekal. Pak Amin berasal dari keluarga menengah sehingga masih membayar biaya pendidikan anaknya Rp200.000,- perbulan termasuk makan dan biaya semuanya.
Adapun biaya normal yang ditetapkan pesantren adalah Rp300.000,-.
21. Ibu Agustina
Ibu Agustina merupakan seorang perempuan orang tua santri, lahir di Nias dan berusia 37 tahun. Dia adalah ibu dari Ridwansyah kelas 2 MA. Ridwanyah
merupakan anak pertama dari 5 bersaudara. Ibu Agustina berasal dari Nias, namun saat ini dia tinggal di Sibolga. Dia dan suaminya lulusan SMP di Nias, suaminya
bekerja sebagai nelayan dan Ibu Agustina sebagai ibu rumah tangga. Adapun dalam kesehariannya, Ibu Agustina adalah seorang ustadzah dan suaminya
seorang ustadz. Dia sudah merasakan manfaat dari ilmu agama walupun hanya lulusan SMP. Dia berharap anak-anaknya dapat hidup lebih baik dengan bekal
ilmu agama dari pesantren. Dari kelima orang anaknya ada tiga orang yang nyantri di Hidayatullah,
anak pertama yaitu Ridwansyah di Hidayatullah Medan, anak kedua di Hidayatullah Nias, dan anak ketiga di Hidayatullah PPAS Sibolga. Dia berencana
memasukkan semua anaknya ke pesantren khususnya ke Hidayatullah. Dia mengatakan bahwa dua anak lainnya yang masih kecil sudah tamat Alquran
sehingga akan memudahkan pihak pesantren nantinya. Dia memasukkan anak- anaknya ke Hidayatullah Karena ingin anaknya menjadi anak yang soleh dan
gratis. Dia mengatakan bahwa pesantren Hidayatullah sudah banyak membantu keluarganya.
Ibu Agustina diwawancarai melalui telepon pada 14 Mei 2013. Dia sudah yang ketigakalinya menjadi informan penelitian mahasiswa dalam beberapa bulan
terakhir. Salah satu mahasiswa lain yang pernah berkunjung ke rumah Bu Agustina adalah teman dari peneliti sehingga Ibu Agustina antusias dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
22. Pak Burhanuddin
Pak Burhanudin merupakan seorang laki-laki warga sekitar yang sudah tinggal di Desa Bandar Labuhan selama 25 tahun, artinya dia sudah tinggal
sebelum pesantren Hidayatullah Medan didirikan. Dia berusia 56 tahun dan memiliki 4 orang anak. Dua orang anaknya pernah mondok di Hidayatullah.
Universitas Sumatera Utara
Dia tidak punya pekerjaan tetap atau moco-moco. Ketika dilakukan wawancara, dia banyak mengetahui tentang sejarah dan perkembangan pesantren
Hidayatullah karena dia pernah bekerja di pesantren itu selama tujuh tahun yaitu sebagai tukang dan tenaga kebersihan. Dia mengatakan punya hubungan baik
dengan ustadz-ustadz di pesantren dan sering ngobrol dengan ustadz-ustadz. Anaknya yang pertama tingga di pondok dan anak keduanya tinggal di
rumah. Anak pertama sudah lulus dengan baik, namun anak keduanya keluar dari pesantren. Menurutnya anaknya yang tinggal di rumah itu manja gara-gara pulang
hari hal ini menyebabkan anaknya tidak betah di pesantren hingga akhirnya keluar.
Universitas Sumatera Utara
4.3. Temuan dan Interpretasi Data Penelitian 4.3.1.
Tipe Kelembagaan Pesantren Hidayatullah Medan
Jika mengacu pada ciri-ciri institusi total Goffman, terdapat beberpa catatan pada kondisi kelembagaan di Pesantren Hidayatullah Medan. Pertama, terdapat
jenis santri mondok dan santri kalong. Hal ini menyebabkan desosialisasi dan resosialisasi yang terdapat dalam konsep institusi total berjalan kurang sempurna
karena santri kalong lebih intensif bersosialisasi dengan dunia luar saat berada di rumah, kemudian nilai-nilai yang mereka dapatkan di rumah dibawa ke pesantren
dan mempengaruhi santri mondok. Secara desain lingkungan pun tidak terdapat pagar antara lingkungan
pesantren dengan masyarakat sekitar sehingga masih terjadi interaksi langsung antara masyarakat sekitar dengan santri mondok, meskipun ada aturan tertulis dan
nilai tidak tertulis. Interaksi antara santri dengan masyarakat umum di antaranya adanya masyarakat luar yang berjualan setiap hari, contohnya Ibu Yatinem yang
berjualan kue. Setelah berkeliling di kampung sekitar dia selalu mampir untuk berjualan di pesantren pada waktu istirahat dan pulang sekolah.
Bentuk interaksi lainnya adalah ketika santri diberikan tugas yang berkaitan dengan masyarakat misalnya gotong-royong kebersihan jalan, mengisi
ceramahkhutbah, mengadakan mabit, dan mengelola desa binaan. Di sela-sela kegiatan resmi tersebut ada santri yang melakukan pelanggaran misalnya pergi ke
warnet dan pacaran di lingkungan sekitar. “Dampak negatifnya memang ada santri dibiarkan ke luar itu, misalnya pas
ngarit itu yang pergi 10 orang yang kerja Cuma 6 orang sisanya turun di jalan mampir ke warnet. Itu makanya kita evaluasi terus
...Ada juga ketika santri mengelola desa binaan misalnya, nengok masyarakatnya merokok kan, gara-gara menghormati masyarakat situ akhirnya
jadi ikut-ikutan merokok” Wawancara dengan Ust. Ali Ibrahim Akbar pada 10 Maret 2013
Kedua, terdapat perbedaan perlakuan dan kegiatan pada santri disesuaikan dengan jenjang kelasnya dari MTs hingga MA, minat dan bakat, lamanya tinggal
di pesantren, dan tempat tinggalnya apakah mondok atau tidak. Sementara, dalam
Universitas Sumatera Utara