Metode Pendidikan Islam dalam Prespektif Sosiologis

3. Pondok pesantren akan lebih mendapat kepercayaan dari masyarakat, sehingga dengan demikian akan meningkatkan minat orang tua untuk mendaftarkan anak-anaknya ke pondok pensantren.

2.4. Metode Pendidikan Islam dalam Prespektif Sosiologis

Menurut Durkheim dalam Maliki, 2008: 92 pendidikan adalah satu kesatuan utuh dari masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai dasar masyarakat menentukan proses alokasi dan distribusi sumber-sumber perubahan. Pendidikan juga dipandang sebagai institusi yang berfungsi sebagai “baby- setting”, yang bertugas agar warga masyarakat tidak ada yang memiliki perilaku menyimpang, misalnya menjadi anak jalanan, pengangguran, dan berprilaku social deviant lainnya. Guna mengemas pendidikan agar memiliki peran seperti itu harus ditetapkan prioritas yang tepat. Kebijakan penetapan prioritasnya dilakukan berdasar meritokrasi. Semua pada prinsipnya memiliki kesempatan yang sama dalam pengembangan kompetensi, namun prinsip meritokrasi harus diperhatikan. Pendidikan harus bisa memaksimalkan bakat siswa. Pendidikan juga harus didekatkan kepada masyarakat luas. Dalam sejarah Islam pendidikan sudah berkembang sejak masa Rosulullah. Pendidikan pada masa Rasulullah 661-632 M dapat dibedakan menjadi dua periode: periode Makkah dan Madinah. Pada periode pertama sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada nabi. Bahkan tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain nabi. Nabi melakukan pendidikan secara sembunyi-sembunyi terutama kepada keluarganya, kemudian setelah turun perintah, barulah dengan berpidato di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materinya hanya berkisar pada ayat-ayat Alquran sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya. Pada periode Madinah, usaha pendidikan nabi yang pertama adalah mendirikan “institusi” masjid. Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang: keagamaan, akhlak, kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang bersifat kemasyarakatan. Usaha pendidikan lain yaitu dengan memberikan bebas Universitas Sumatera Utara bersyarat kepada tawanan perang Badar, tawanan perang dibebaskan jika berhasil mengajari baca tulis sepuluh orang anak kaum muslim sampai bisa. Berikutnya pada masa Khulafa Alrasyidin 632-661 M sistem pendidikan dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga khuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majelis pendidikan masing-masing. Menurut Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di khuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih “tinggi”, yakni di masjid. Pada masa dinasti Umayyah 661-750 M hampir sama dengan masa Khulafa Alrasyidin, tidak ada perkembangan berarti dan hampir tidak ada kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Kemudian pada masa dinasti Abbasiyah 750-1258 M ada tujuh jenis lembaga pendidikan yang telah berdiri yaitu a lembaga pendidikan dasar, b lembaga pendidikan masjid, c kedai pedagang kitab, d tempat tinggal para sarjana, e sanggar seni dan sastra, f perpustakaan, dan g lembaga pendidikan sekolah. Semua institusi itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Dengan demikian, menurut Suwendi 2004, pendidikan Islam memiliki karakteristiknya masing-masing pada setiap periodisasi, karakteristik itu agaknya dipengaruhi oleh tujuan pendidikan pada masanya. Pada masa nabi hingga Bani Umayyah, misalnya, terlihat adanya tujuan pendidikan untuk keagamaan an sich. Sedangkan pada masa Abbasiyah yang wilayah kekuasaan Islamnya semakin jauh dan problematika serta perkembangan peradabannya yang cukup tinggi, tujuan pendidikannya tidak hanya sekedar untuk keagamaan semata, tetapi juga tampaknya memiliki kepentingan lain, seperti kepentingan ekonomi dan kepentingan kelompoknya. Dalam perkembangannya, juga telah muncul beberapa tokoh ahli pendidikan Islam yang konsep-konsep pendidikannya berupa buku-buku secara utuh atau menjadi bagian dari tulisan lain seperti Ibn. Khaldun 1405 M yang menuangkan pemikiran kependidikannya dalam Mukadimah; al-Nawawi 1278 Universitas Sumatera Utara M dalam adab al-Daris wa al-Mudaris; Ibn. Sahnun wafat 1274 H dalam Kitab Adab al-Mualimin; Ibn Miskawaih dalam Tahdzib al-Akhkaq ; al- Zarnuji wafat 1203 M dalam Ta’lim Al-Muta’alim Thuruq al-Ta’alum ; Ibn Jama’ah 1333 M dalam Tadzkirat al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al- Muta’allim, dan sebagainya. Begitupun pada masa modern, tidak sedikit para intelektual muslim yang telah mampu menghadirkan karya-karya besarnya di bidang pendidikan. Sebut saja, di antaranya, KH. Hasyim Asy’ari, dan KH. Ahmad Dahlan di Indonesia. Dalam Islam, tujuan pendidikan yang dikembangkannya adalah mendidik budi pekerti; oleh karenanya pendidikan budi pekerti dan akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sesungguhnya dari proses pendidikan tanpa mengesampingkan pendidikan jasmani, akal dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam di Indonesia, tumbuh dan berkembangnya ajaran Islam tidak lepas dari proses pendidikan ketika itu. Mulanya pendidikan Islam dikembangkan melalui masjid dan langgar atau surau-surau yang tidak memakai kelas, hanya duduk bersila saja. Pada tahap selanjutnya konsep pendidikan semakin berkembang menjadi pondok pesantren, kemudian pada masa penjajahan pesantren menghadapi tantangan sehingga menurut Karl A. Stenbrink pesantren mengambil tindakan “menolak sambil mengikuti”. Komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis, tetapi pada saat yang sama mereka juga mengikuti jejak langkah kaum reformis dalam batas-batas tertentu yang sekiranya pesantren mampu tetap bertahan. Meskipun pendidikan Islam di Indonesia berkembang, namun mendapat kritikan dari para pembaharu yang pemikirannya mengadopsi paham Muhammad Abduh di Mesir, tokoh pembaharu ketika itu diantaranya KH Ahmad Dahlan. Kritikan muncul karena pendidikan Islam tradisional di Indonesia tidak lagi mengajarkan nilai-nilai dasar Islam Alquran dan Alhadits secara serius, pesantren justru lebih memperdalam ilmu fiqih para ahli madzhab, itupun terbatas hanya madzhab Imam Syafi’i. Padahal fiqih adalah sesuatu yang relatif bisa Universitas Sumatera Utara berubah sesuai dengan perkembangan zaman, lain halnya dengan Alquran dan Alhadits. Metode pendidikan di pondok pesantren memadukan penguasaan sumber ajaran Islam Ilahi. Selain mengenal ranah kognitif pengetahuan, afektif sikap dan psikomotor prilaku dalam pengajarannya, sejak dini pesantren mendasarkan diri pada tiga ranah utama, yaitu faqohah kedalam pemahaman, thabiah perangai, watak, karakter dan kafaah kecakapan operasional. Jika pendidikan adalah upaya perubahan maka yang harus berubah adalah tiga ranah itu. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren mengalami perkembangan dari dalam atau development from within, seperti para guru pesantren melakukan kunjungan ke lembaga pendidikan lain guna mengambil masukan atau input. Untuk itu tampak beberapa model pengembangn pesantren. Pertama, mengembangkan keaneka ragaman pendidikan, sesuai dengan pilihan, minat dan bakat santri. Di sinilah kelebihan sistem pesantren, yang perlu sekali dikembangkan secara lebih kreatif. Kedua, mengembangkan pendidikan yang bukan menghasilkan alumni yang siap pakai ready for use, yang pada dasarnya tidaklah ada, karena lembaga bukanlah sebuah pabrik atau siap belajar lagi ready to learn saja, melainkan pendidikan yang menyiapkan tamatan yang siap untuk dilatih kembali dengan keahlian yang berbeda retrainable. Ketiga, mengembangkan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan keilmuan, seperti bahasa, metodologi, dan penelitian. Keempat, mengembangkan pendidikan yang beraspek pelayanan dan bimbingan sosial keagamaan, termasuk menyiapkan da’i dan guru agama yang mumpuni sesuai dengan kebutuhan umat. Menurut Huda 2003: 99, pesantren juga harus memiliki kurikulum yang seimbang antara trilogi keilmuan yang berlandaskan Islam, 1 Islamic Natural Sciences, 2 Islamic Social Sciences, 3 Religion Sciences. Diharapkan dengan kurikulum yang demikian, santri dapat menggabungkan antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Dan yang terpenting, dari kurikulum ini dapat ditanamkan kepada anak tentang esensi dari sebuah proses pembelajaran mengingat hal ini merupakan yang paling substantif bagi santri sebagai pelajar. Universitas Sumatera Utara

2.5. Teori Clifford Geertz tentang Santri