Analisis Penyerapan Aspirasi Masyarakat Dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008

(1)

Muhammad Salman : Analisis Penyerapan Aspirasi Masyarakat Dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008, 2009

ANALISIS PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT DALAM

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

(APBD) KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2008

TESIS

Oleh

MUHAMMAD SALMAN

077024027/SP

PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

(APBD) KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2008

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh

MUHAMMAD SALMAN

077024027/SP

PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

   

Judul Tesis : ANALISIS PENYERAPAN ASPIRASI

MASYARAKAT DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)

KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2008 Nama Mahasiswa : Muhammad Salman

Nomor Pokok : 077024027

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Drs. Bengkel Ginting, M.Si) (Drs. Henry Sitorus, M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)


(4)

Tanggal 15 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Drs. Bengkel Ginting, M.Si

Anggota : 1. Drs. Henry Sitorus, M.Si

2. Drs. R. Hamdani Harahap, M.Si 3. M. Arifin Nasution, S.Sos, MSP 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA


(5)

   

ANALISIS PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

(APBD) KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2008

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar perpustakaan.

Medan, Agustus 2009

Penulis,

Muhammad Salman  

   


(6)

 

kebutuhannya. Oleh sebab itu, masyarakat memiliki peluang untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya untuk diprogramkan dan dianggarkan dalam APBD. Artinya mempunyai peluang yang luas bagi Pemda dan DPRD untuk mendengar, menghimpun dan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk merumuskan program-program yang mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat penyerapan aspirasi masyarakat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang tahun 2008 dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat penyerapan aspirasi masyarakat tersebut.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Tamiang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Paradigma yang digunakan adalah paradigma interpretatif dengan pendekatan fenomenologi. Sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah sumber data. Penetapan subjek bersifat Purposive Sampling (sampel bertujuan), dimana informan dipilih berdasarkan tingkat keterlibatan dan penguasaannya dengan masalah dan tujuan penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan petunjuk wawancara (interview guide) dan pengkajian dokumen kemudian dianalisis dengan cara menyusun, menghubungkan dan mereduksi data.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penyerapan aspirasi masyarakat dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 adalah sangat rendah. Hal ini didasari pada fakta bahwa dari 1.172 kegiatan yang terdapat pada Belanja Langsung 8 (delapan) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 hanya 174 kegiatan atau 15% yang merupakan kegiatan yang berdasarkan pada usulan masyarakat, sedangkan 549 kegiatan (47%) merupakan kegiatan usulan SKPD dan 449 kegiatan (38%) merupakan kegiatan lanjutan. Ditinjau dari tingkat penyerapan anggaran, dari jumlah anggaran sebesar Rp. 259.107.252.005,- yang merupakan aspirasi masyarakat adalah sebesar Rp. 43.385.421.805,- atau 16,74%. Sedangkan Rp. 153.692.246.067,- atau 59,32% merupakan usulan SKPD dan sebesar 23,94% atau sebesar Rp. 62.029.584.133,- untuk kegiatan lanjutan. Faktor yang mempengaruhi tingkat penyerapan aspirasi diatas adalah ; (1) ketersediaan anggaran yang terbatas, (2) kepentingan politik, (3) kualitas usulan, dan (4) tingkat kepentingan (urgensi).


(7)

ii 

 

ABSTRACT

Revenue and Expenditure Budget District (APBD) is one of success indicator of a region, because APBD has priority and direct reflection of government policy in a budget year that aims to community welfare. Therefore, community participation becomes very important considering the community is who has information about the condition and needs. Therefore, the community has the opportunity to convey the aspirations and demands for the budget in APBD. This means haveing a vast opportunity for district government and parliament to listen, concentrate and fight for they aspirations and needs to formulate a program that vastly improves the services and community welfare. Based on this, the formulation of a problem in this research is how the absorption level of the community aspirations in Revenue and Expenditure Budget District (APBD) of Aceh Tamiang District year 2008 and factors that affect the absorption level of the community aspirations.

Research conducted in the District of Aceh Tamiang. Type of research is qualitative research. The Paradigm used is interpretative paradigm with the phenomenology approach. The subject in this research is the source data. The determination of subject is Purposive Sampling, where the informants selected based on the level of involvement and knowledge with the problem and research purposes. Data collected through in-depth interviews using an interview guide and document study then analysis the data with arrange, connect and reduction the data.

Results of research indicate that the absorption level of the aspirations of the community in Aceh Tamiang District Year 2008 is very low. This is based on the fact that from 1.172 projects of the Shop Direct from 8 (eight) The Unit of Work Area (SKPD) in Aceh Tamiang District Year 2008 only 174 projects or 15%, which is based on the community proposed, while the 549 projects (47%) are the projects by SKPD proposed and 449 projects (38%) is the continued projects. Reviewed the absorption level by the budget, from Rp. 259,107,252,005, - which is the community aspirations is Rp. 43,385,421,805, - or 16.74%. While Rp. 153,692,246,067, - or 59.32% is SKPD proposed and 23.94% or Rp. 62,029,584,133, - for continued projects. Factors that affect the absorption level of the community aspiration is; (1) the availability of a limited budget, (2) political, (3) the quality of the proposals, and (4) the level of interest (urgency).


(8)

iii 

 

menyelesaikan sebuah penelitian yang dirangkum dalam sebuah tesis dengan judul Analisis Penyerapan Aspirasi Masyarakat Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008.

Selawat dan salam, kepada Rasullullah SAW beserta keluarga dan sahabat beliau sekalian, yang telah banyak berkorban untuk memperbaiki akhlak ummat serta menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan keseluruh penjuru dunia.

Dalam melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A(K), selaku Rektor USU. 2. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik dan Ketua Program Studi Pembangunan USU serta Penguji.

3. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, Selaku Sekretaris Program Studi Pembangunan USU.

4. Bapak Drs. Bengkel Ginting, M.Si, selaku Ketua Pembimbing dan Ketua Penguji. Terima kasih atas ilmu, bimbingan dan waktunya.

5. Bapak Drs. Henry Sitorus, M.Si, selaku Pembimbing dan Penguji. Terima kasih atas ilmu, bimbingan dan waktunya.


(9)

iv 

 

6. Bapak Drs. R. Hamdani Harahap, M.Si, selaku Pembanding dan Penguji. 7. Bapak M. Arifin Nasution, S.Sos, MSP selaku Pembanding dan Penguji.

8. Bapak dan Ibu dosen/staf pengajar/administrasi di Program Studi Pembangunan USU.

9. Bapak Drs. H. Abdul Latief, selaku Bupati Aceh Tamiang beserta seluruh jajaran dan staf. Terima kasih atas bantuannya sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan studi ini dengan baik.

10. Bapak Drs. H. Arman Muis, Anggota DPRD Aceh Tamiang. 11. Bapak Ir. T. Insyafuddin, Anggota DPRD Aceh Tamiang.

12. Bapak Drs. Zulkifli, MM, selaku Kepala Bappeda Kabupaten Aceh Tamiang. 13. Bapak Kepala Tata Usaha dan Para Kabid Bappeda Kabupaten Aceh Tamiang. 14. Bapak Ir. Adi Darma, M.Si (Abu), selaku Kepala Dinas Pendapatan, Keuangan

dan Aset Kabupaten Aceh Tamiang. Terima kasih buku APBD nya.

15. Bapak Lazwardi H, SE, MAP, selaku Kabid Anggaran Dinas Pendapatan, Keuangan dan Aset Kabupaten Aceh Tamiang. Terima kasih untuk masukan-masukannya tentang penyusunan Anggaran.

16. Ibu Rosdiana Sari, SE (Kasubbag. Umum Bappeda) dan Neng. Terima kasih ya, karena walau kuliah tapi semua administrasi kepegawaianku tetap lancar.

17. Bang Budi, Kak Lia, Dek Balkis dan seluruh kawan-kawan di Bappeda (yang namanya tidak disebut jangan marah ya...), terima kasih atas bantuannya dalam kelengkapan data (Musrenbang, APBD, RPJM dll).


(10)

 

mendidik dengan penuh kasih sayang dan do’a yang tulus. Ibu....engkau akan selalu menjadi yang terbaik dihatiku, jangan pernah berhenti untuk mendo’akan anakmu agar lebih berguna dan menjadi anak yang shaleh.

20. Kak Yong (Lindayani), Kak Ngah (Salwani) dan Kak Lang (Eliyani) dan seluruh keluarga besar. Terima kasih atas do’a dan dukungannya.

21. Mertuaku Drs. Nurdin Abdullah dan Ibu Farida Hanum. Terima kasih atas do’a dan dukungannya.

22. My lovely beutiful wife “Rita Puspita”. Terima kasih sayang, engkau telah menjadikanku pendamping hidupmu dan selalu setia mengiringi setiap langkahku dalam suka dan duka tanpa pernah mengeluh. Maaf kalau engkau sering kutinggalkan untuk kuliah dan terima kasih atas do’a dan dukungannya terutama dalam menyelesaikan tesis ini.

23. Anak-anakku tersayang Azra Hulwana Syifa dan Aisha Humaira. Anugerah terindah yang telah dititipkan Allah SWT. Maaf kalau Ayah belum bisa menjadi yang terbaik buat kalian, semoga kalian menjadi anak yang shaleha.

24. K’ Has, K’ Ani dan B’ Jufri (MSP juga ni yee). Terima kasih atas kebersamaan kita selama kuliah dan suka duka selama tinggal di Asrama.


(11)

vi 

 

25. P’Amru (semoga sukses Pak, dan jangan lupa Salman kalau dah jadi Bupati nanti), B’ Nopi (cepat nyusul ya bang), B’ Imanta (tetap semangat walau harus berjuang di NTT), Edwin (sekda Sergei...huaaaa), Bob (makasih dah sering antar waktu jumpa pembimbing dan pulang selama tinggal di Jl. Amal).

26. K’ Helen dan D’ Na (kawan seperjuangan dari Tamiang). Makasih atas semua bantuannya (terutama urusan administrasi dan uang kuliah...heeee).

27. Seluruh kawan seperjuangan di MSP Angkatan XII. Terima kasih telah menjadikanku teman-teman kalian.

28. Seluruh informan penelitian serta semua pihak yang telah berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak dalam penelitian ini, maaf kalau yang namanya tidak disebutkan secara khusus.

Akhirnya, saran dan kritik sangat diharapkan untuk perbaikan dimasa datang dengan harapan kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua...Amin.

Medan, Agustus 2009 Penulis,


(12)

vii 

 

Tempat/Tgl. Lahir : Seruway, 13 Maret 1979

Alamat : Jl. Malikul Adil No. 3c Kel. Matang Seulimeng Kec. Langsa Kota, Kota Langsa

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Status Perkawinan : Kawin

Nama Isteri : Rita Puspita

Nama Anak : 1. Azra Hulwana Syifa 2. Aisha Humaira Nama Orang Tua :

- Ayah : (Alm.) Sahbuddin - I b u : Jumilah

Pendidikan : 1. SD Negeri Seruway, Seruway (1986 – 1992) 2. SMP Negeri Seruway, Seruway (1992 – 1995) 3. SMK Negeri 1 Langsa, Langsa (1995 - 1998)

4. Universitas Samudera (Unsam), Langsa (2000 - 2004) 5. Mahasiswa Program S2 MSP USU, Medan (2007 - 2009)


(13)

viii 

 

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Konsep Pembangunan ... 9

2.2. Konsep Partisipasi ... 12

2.3. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan... 19

2.4. Aspirasi Masyarakat dalam APBD ... 21

2.5. APBD... 32

2.5.1. Mekanisme Penyusunan APBD ... 32

2.5.2. Regulasi dari Pengesahan APBD... 34

2.5.3. Kualitas Kinerja dalam Perencanaan dan Penyusunan APBD ... 35

2.5.4. Penyusunan APBD... 38

2.5.5. Proses Perencanaan dan Penganggaran Daerah ... 40


(14)

ix 

 

3.5.Teknik Pengumpulan Data... 47

3.6.Metode Analisa Data... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50

1.3.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 50

1.3.1. Sejarah Kabupaten Aceh Tamiang ... 50

1.3.2. Gambaran Umum Kabupaten Aceh Tamiang ... 55

1.4.Visi, Misi dan Prioritas Pembangunan Tahun 2007-2012 ... 57

1.4.1. Visi Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2007-2012 ... 57

1.4.2. Misi Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2007-2012 ... 59

1.4.3. Prioritas Pembangunan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2007-2012... 61

1.5.Identitas Informan ... 64

1.5.1. Komposisi Informan ... 65

1.5.2. Komposisi Informan Berdasarkan Strata Pendidikan ... 65

1.5.3. Komposisi Informan Berdasarkan Pengalaman pada Penyusunan APBD ... 66

1.6.Dasar Hukum Penyusunan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ... 67

1.6.1. Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah dengan kebijakan Pemerintah Daerah ... 69

1.6.2. Prinsip dan Kebijakan Penyusunan APBD dan Perubahan APBD ... 71

1.6.3. Teknis Penyusunan APBD ... 76


(15)

 

1.8.Musrenbang Kabupaten Aceh Tamiang... 80

1.9.Analisis Penyerapan Aspirasi Masyarakat dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008... 100

1.9.1. Penyerapan Aspirasi Masyarakat dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008... 100

1.9.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Aspirasi Masyarakat dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ... 132

BAB V P E N U T U P ... 142

5.1.Kesimpulan ... 142

5.2.Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 150  

                         


(16)

xi 

 

Aceh Tamiang... 56

3. Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2007 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 57

4. Unsur Informan... 64

5. Komposisi Informan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 65

6. Komposisi Informan Berdasarkan Strata Pendidikan... 65

7. Komposisi Informan Berdasarkan Pengalaman pada Penyusunan APBD ... 66

8. Perkembangan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2003 s/d 2008... 78

9. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Manyak Payed ... 86

10. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Bendahara... 87

11. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Banda Mulia ... 88

12. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Seruway... 89

13. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Rantau ... 90

14. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Karang Baru ... 91

15. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Sekrak... 92

16. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Kota Kuala Simpang ... 93

17. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Kejuruan Muda... 94

18. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Tenggulun ... 95

19. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Tamiang Hulu... 96

20. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Bandar Pusaka... 97

21. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Tahun 2007... 98

22. Rekapitulasi Usulan Masyarakat Dalam Musrenbang yang Tertampung dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ....102


(17)

xii 

 

23. Rekapitulasi Usulan Masyarakat Dalam Musrenbang yang Tertampung dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 (Berdasarkan Jumlah Anggaran) ...105 24. Persentase Usulan Masyarakat Dalam Musrenbang yang

Tertampung dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 (Berdasarkan Jumlah Anggaran) ...105


(18)

xiii 

 

3. Grafik Perkembangan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2003 s/d 2008... 80 4. Grafik Porsi Masing-masing Bidang Usulan Masyarakat pada

Musrenbang Kecamatan Tahun 2007 ... 99 5. Grafik Jumlah Aspirasi Masyarakat yang ditampung dalam APBD

Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...104 6. Grafik Perbandingan Tingkat Penyerapan anggaran pada APBD

Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...106 7. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas

Pendidikan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ...106 8. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas

Kesehatan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ...109 9. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas

Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ...112 10. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas

Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008...116 11. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas

Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008...119 12. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Kantor

Peternakan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ...123 13. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ...126 14. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008...129


(19)

xiv 

 

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Peta Administrasi Kabupaten Aceh Tamiang...155 2. Rincian Belanja pada Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Tamiang

Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...156 3. Rincian Belanja pada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tamiang

Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...166 4. Rincian Belanja pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh

Tamiang Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...171 5. Rincian Belanja pada Dinas Koperasi Perindustrian dan

Perdagangan Kabupaten Aceh Tamiang Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...187 6. Rincian Belanja pada Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan

Hortikultura Kabupaten Aceh Tamiang Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...189 7. Rincian Belanja pada Kantor Peternakan Kabupaten Aceh Tamiang

Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...191 8. Rincian Belanja pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten

Aceh Tamiang Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...192 9. Rincian Belanja pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Aceh Tamiang Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...193 10. Petunjuk Wawancara (Interview Guide)...194


(20)

 

Pembangunan merupakan suatu konsep yang berputar di sekitar partisipasi. Tema ini mengimplementasikan proses fasilitasi masyarakat agar mereka mampu memahami realitas lingkungannya, memikirkan faktor-faktor yang membentuk lingkungan, dan bertindak untuk mendorong perubahan demi perbaikan keadaan, (Gajayanake : 1996 ; 27).

Tema pokok yang terkait dengan pembangunan adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan. Tema kedua adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan. Mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya, yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema yang ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat. (Mariana : 2006 ; 6).

Untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, diantaranya adalah partisipasi masyarakat di dalam pembangunan.


(21)

 

Partisipasi masyarakat yang dimaksudkan adalah keterlibatan masyarakat secara utuh dalam semua proses pembangunan. Partisipasi masyarakat menjadi sangat penting mengingat masyarakatlah yang memiliki informasi mengenai kondisi dan kebutuhannya. Selain itu, masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dan tumbuhnya rasa memiliki yang tinggi untuk ikut mengawasi jalannya suatu pembangunan, sehingga pembangunan yang dilakukan lebih efektif dan efesien.

Dalam upaya untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, pemerintah melalui Mendagri mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1981 tentang Mekanisme Perencanaan dari Bawah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D). Implementasi dari kedua peraturan di atas adalah pelaksanaan Rapat Koordinasi Perencanaan Pembangunan (Rakorbang) yang dilakukan dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional yang bertujuan untuk memadukan perencanaan dari bawah ke atas (Bottom Up Planning) dengan perencanaan dari atas ke bawah (Top Down Planning)

Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan adanya penyempurnaan sistem perencanaan dan penganggaran nasional, baik pada aspek proses dan mekanisme maupun tahapan pelaksanaan musyawarah perencanaan di tingkat pusat dan daerah. Setiap proses penyusunan dokumen rencana pembangunan


(22)

pelaku pembangunan, melalui suatu forum yang disebut sebagai Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang.

Payung hukum untuk pelaksanaan Musrenbang diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang secara teknis pelaksanaannya sejauh ini masih diatur dengan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang yang diterbitkan setiap tahun.

Musrenbang berfungsi sebagai forum untuk menghasilkan kesepakatan antar pelaku pembangunan tentang rancangan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), yang menitikberatkan pada pembahasan untuk sinkronisasi rencana kegiatan antar kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah dan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional dan daerah.

Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2005 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2005 tentang Kelurahan, menjabarkan lebih lanjut mengenai posisi Desa dalam konteks otonomi daerah dengan mengacu pada UU 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah.

Dalam kenyataannya, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan hanya sebatas pada pengusulan program/kegiatan semata yang dilakukan melalui musyawarah di tingkat Desa dan kemudian disampaikan pada


(23)

 

forum di tingkat Kecamatan (Musrenbang Kecamatan). Pada tahapan berikutnya seringkali program kegiatan yang menjadi usulan masyarakat (bottom-up) hilang digantikan dengan program/kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau program/kegiatan legislatif yang bersifat teknokratis, politis dan top-down.

Memang benar, Pemerintah Kabupaten telah melibatkan masyarakat desa melalui forum Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) yang selanjutnya akan dirumuskan kembali melalui Musrenbang Kecamatan. Akan tetapi hal tersebut hanya sebatas “formalitas” atau sebagai alat legitimasi suatu perencanaan yang melibatkan rakyat. Karena pada umumnya, setelah masuk ke Pemerintah Kabupaten ( Dinas/Satker), aspirasi masyarakat seringkali dipangkas. Bahkan sering diganti dengan proyek hasil perselingkuhan antara anggota DPRD tertentu dengan dengan pihak eksekutif. Akibatnya isi APBD pun lebih banyak kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyatnya. Sehingga, meskipun programnya baik tetapi sering tidak ketemu dengan asas manfaat karena tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga sering kita jumpai masyarakat kurang peduli dalam mendukung program ini maupun memeliharanya.

Berdasarkan pengalaman penulis, setelah mengikuti beberapa kali kegiatan Musrenbang Kecamatan maupun Musrenbang Kabupaten sejak tahun 2003 hingga 2007, masyarakat Desa selalu mengeluhkan tentang usulan mereka yang jarang sekali terealisasi dalam APBD, bahkan ada usulan yang setiap tahun mereka usulkan juga tidak kunjung terealisasi. Hal senada juga diungkapkan oleh Bappeda yang seringkali


(24)

terealisasi dalam APBD.

Hal tersebut menunjukkan bahwa penyertaan masyarakat hanya sebatas difungsikan sebagai peredaman dan sama sekali belum nampak usulan dari masyarakat bawah secara substantif. Media peredaman ini nampak sekali saat pada berlangsungnya Musrenbangdes dimana minimnya kepentingan dan kebutuhan rakyat menjadi referensi pembuatan program kerja, karena forum tersebut hanya sebatas media sosialisasi rancangan program pembangunan yang akan dilakukan oleh SKPD, bukan forum musyawarah yang sesungguhnya.

Apabila mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Nomor 25 Tahun 2004 yang mengatur pengelolaan keuangan Negara dan daerah, Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 tentang perencanaan dan penganggaran di daerah, dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa rakyat berhak untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan Anggaran. Kemudian Permendagri 13 Tahun 2006 pasal 4 yang kemudian diganti Permendagri 59 Tahun 2007 menyatakan bahwa Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

Dari penjelasan diatas, masyarakat memiliki peluang untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya untuk diprogramkan dan dianggarkan dalam APBD. Artinya mempunyai peluang yang luas bagi Pemda dan DPRD untuk mendengar,


(25)

 

menghimpun dan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk merumuskan program-program yang mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya bersumber dari uang rakyat. Karenanya, kepentingan rakyat haruslah menjadi prioritas utama dalam penganggarannya dan tentunya bukan untuk kepentingan elit. Dengan demikian maka pembangunan sebagai continuously process akan dapat berjalan dengan baik serta manfaat pembangunan betul-betul dapat dirasakan masyarakat, jika proses dan hasil-hasil Musrenbang dilakukan secara benar dan direalisasikan dengan benar pula dalam APBD.

Ada beberapa alasan rakyat berhak terlibat dan mendapatkan porsi alokasi anggaran yang rasional dan proposional dari APBD yaitu :

1. Rakyat merupakan penyumbang utama sumber penerimaan dalam APBD melalui pajak dan Retribusi, bahkan sumber penerimaan yang berasal dari hutang pun, kebutuhan rakyat jualah yang dipresentasikan pada pihak ketiga.

2. Sesuai hakekat dan fungsi Anggaran, rakyat merupakan tujuan utama yang akan disejahterakan.

3. Amanah Konstitusi pasal 23 UUD 1945, dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa rakyat berhak untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan Anggaran. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Keuangan Negara dan Permendagri.


(26)

Mengacu pada latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan judul ” ANALISIS PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN

BELANJA DAERAH (APBD) KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN

2008”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah tingkat penyerapan aspirasi masyarakat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi penyerapan aspirasi Masyarakat dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui seberapa besar usulan masyarakat yang masuk dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008.


(27)

 

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya penyerapan aspirasi masyarakat dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Sebagai bahan informasi tentang data empiris mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Studi Pembangunan khususnya dalam bidang pembangunan daerah, bagi para akademisi maupun sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan dimasa datang.

2. Manfaat Praktis.

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah dan Masyarakat terutama di Kabupaten Aceh Tamiang tentang arti pentingnya melibatkan masyarakat dalam Pembangunan. Tujuan pembangunan untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dapat terwujud.


(28)

(29)

  BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pembangunan

Pembangunan diartikan sebagai suatu upaya perubahan yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai kondisi dan situasi yang lebih baik, dilaksanakan secara sistematis dan bertahap disemua bidang (Ali, 2007 : 7-8).

Katz dalam Abidin (2008 ; 21-22) mengartikan pembangunan sebagai “….dinamic change of a whole society form one state of national being ti another, with the connotation that the state is preferable”. Dalam konsep ini, ada empat aspek yang perlu dicatat. Pertama, Pembangunan adalah perubahan yang bersifat dinamis (a dynamic change). Kedua, perubahan tidak hanya terjadi pada sekelompok orang atau sesuatu wilayah saja, tetapi berlangsung dalam seluruh masyarakat (a whole society). Ketiga, perubahan berlangsung secara bertahap, dari suatu keadaan ke keadaan yang baru. Keempat, keadaan yang baru lebih disukai daripada keadaan sebelumnya.

Rostow (Sukirno, 2006 : 170) beranggapan bahwa pembangunan merupakan suatu proses yang akan menciptakan perombakan dalam kehidupan ekonomi yang bersifat multidimensi.

Sedangkan Coralie Bryant dan Louise White menyatakan Pembangunan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya. Ada lima implikasi utama defenisi tersebut, yaitu (Ndraha, 1990 ; 16) :


(30)

individu maupun kelompok (capacity)

2. Pembangunan berarti mendorong tumbuhkan kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan (equity)

3. Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memimilih, dan kekuasaan untuk memutuskan (empowerment)

4. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri (sustainability)

5. Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan Negara yang satu dengan Negara yang lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati (interdependence).

Schumacher (1979 : 160-161) menitikberatkan pada tiga faktor penting pembangunan, yakni pendidikan, organisasi dan disiplin. Ketiga faktor itu harus dikembangkan setapak demi setapak, dan tugas utama dari politik pembangunan haruslah mempercepat evolusi ketiganya. Ketiganya harus menjadi milik seluruh masyarakat, bukan hanya milik segolongan kecil elit saja.

Untuk mencapai keberhasilan pembangunan maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, yang diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan.


(31)

11 

 

Cahyono (2006 : 2), menyatakan prinsip-prinsip pembangunan partisipatif adalah :

1. Perencanaan program harus berdasarkan fakta

2. Program harus memperhitungkan kemampuan masyarakat dari segi teknik, ekonomi dan sosialnya

3. Program harus memperhatikan unsur kepentingan kelompok dalam masyarakat 4. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program

5. Pelibatan sejauh mungkin organisasi-organisasi yang ada

6. Program hendaknya memuat program jangka pendek dan jangka panjang 7. Memberi kemudahan untuk evaluasi

8. Program harus memperhitungkan kondisi, uang, waktu, alat dan tenaga (KUWAT) yang tersedia.

Menurut Cahyono (2006 : 1) pembangunan partisipatif adalah pembangunan yang memposisikan masyarakat sebagai subyek atas program pembangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan mereka sendiri. Pelibatan masyarakat mulai dari tahap perencanaan-pelaksanaan-monitoring-evaluasi. Selain itu pengerahan massa (baca: mobilisasi) diperlukan jika program berupa padat karya.

Pendekatan pembangunan Desa karenanya didesain untuk menciptakan peningkatan kondisi ekonomi dan sosial bagi masyarakat Desa. Pendekatan ini menitikberatkan pada pentingnya partisipasi penduduk, berorientasi kebutuhan, keswadayaan, peningkatan kesadaran, perencanaan bottom-up, dan pemberdayaan masyarakat. Aspek integratif dan keberlanjutan merupakan inti pendekatan ini.


(32)

pembangunan berhulu ditingkat akar rumput (grassroots level). Inisiatif, kreatifitas, dan tenaga mereka dapat didayagunakan untuk mengembangkan kehidupan mereka sendiri, dengan menggunakan proses demokratis dan kerja-kerja sukarela. Hal ini mengimplikasikan bahwa melalui peningkatan kesadaran, orang-orang di tingkat akar rumput dibangunkan kesadaran akan potensi yang ada dalam diri mereka. Pada tataran ideal, para anggota masyarakat mengorganisir diri mereka dalam suatu perilaku demokratis, untuk : (a) menentukan kebutuhan, permasalahan, isu-isu; (b) mengembangkan rencana dan strategi pemenuhan kebutuhan, dan (c) mengimplementasikan rencana yang ada dengan partisipasi sebesar mungkin dari masyarakat untuk meraup hasil-hasil pembangunan (Ali, 2007 : 83-84).

2.2. Konsep Partisipasi

Di medio 1970-an, ketika ideologi developmentalism telah mulai menampakkan wajah bopengnya, E.F Schumacher menyerukan bahwa pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan orang. Menurutnya, manusia adalah sumber utama segala macam kekayaan. Kalau mereka tidak diikutsertakan, kalau mereka dipermainkan oleh orang-orang yang menyebut dirinya ahli dan oleh perencana-perencana yang pongah, maka pembangunan apapun tidak menghasilkan buah (Ali, 2007 : 83).


(33)

13 

 

Partisipasi merupakan kata yang sering digunakan dalam pembangunan. Penafsiran tentang artinyapun beragam. FAO seperti yang dikutip Mikkelsen (2001 : 64), memberikan arti partisipasi, yaitu :

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.

2. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.

3. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks local dan dampak sosial.

4. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri.

5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.

Mubyarto dalam Rahayu (2008 ; 6) mendefenisikan partisipasi sebagai kesediaan membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Partisipasi dibangun atas dasar beberapa prinsip yaitu (Anonimous, 2008 ; 41) : 1. Kebersamaan

Setiap individu, kelompok atau organisasi dalam masyarakat membutuhkan suatu kebersamaan untuk berbuat, bertindak dan mengatasi permasalahan dan


(34)

proses interaksi antara berbagai elemen baik struktural maupun horizontal. Partisipasi tumbuh melalui konsensus dan kesamaan visi, cita-cita, harapan, tujuan dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Proses pengaturan yang terjadi dalam masyarakat akan tumbuh melalui kebersamaan, pengorganisasian dan pengendalian program pembangunan.

2. Tumbuh dari bawah

Partisipasi bukan sesuatu yang dipaksakan dari atas ke bawah “top-down” atau dikendalikan oleh individu atau kelompok melalui mekanisme kekuasaan. Partisipasi tumbuh berdasarkan kesadaran dan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat. Prakarsa dan inisiatif muncul dari, oleh dan untuk masyarakat sebagai suatu proses belajar sepanjang hayat. Partisipasi merupakan suatu proses pelembagaan yang bersifat bottom-up, dimana berbagai pengalaman yang terjadi dijadikan masukan dalam pengembangan program.

3. Kepercayaan dan keterbukaan

Kunci sukses partisipasi adalah menumbuhkan dan membangun hubungan atas dasar ‘saling percaya’ dan ‘keterbukaan’. Pengalaman menunjukkan bahwa suatu proses partisipasi berjalan dengan baik, maka berbagai upaya perbaikan akan terjadi dengan cepat. Sebagai contoh kasus penanganan hama terpadu (PHT), tidak dapat menunggu instruksi atau program yang direncanakan oleh Departemen Pertanian, tetapi harus segera ditangani dengan mengeliminasi sejauh mungkin kerugian yang lebih parah dengan pengambilan inisiatif dari


(35)

15 

 

petani sendiri dengan cara yang dianggap sesuai. Partisipasi mendorong hubungan lebih terbuka antara berbagai pihak baik pejabat pemerintah, LSM, swasta dan masyarakat.

Dalam membantu identifikasi tingkat partisipasi diperlukan alat ukur atau indikator sebagai kunci pernyataan tentang hasil dan harapan dari tujuan yang ditetapkan bersama. Indikator dibagi berdasarkan empat kategori yang menunjukkan tingkat partisipasi yaitu; (1) penerima hasil atau pemanfaat program, (2) pelaksanaan proyek, (3) pengaruh proyek atau kontrol partisipan, dan (4) akses terhadap pengambilan keputusan. Secara rinci keempat kategori ini diuraikan sebagai berikut; 1. Penerima hasil atau pemanfaat program

a. Masyarakat menerima semua manfaat program

b. Masyarakat menerima hanya sebagian dari manfaat program yang diharapkan. c. Hanya kalangan atau kelompok masyarakat tertentu (misalnya kelompok yang

melek huruf atau berpendidikan) yang menerima semua manfaat dari proyek yang diharapkan.

d. Hanya beberapa orang atau kelompok saja (misalnya laki-laki) menerima hanya sebagian manfaat proyek yang diharapkan (misalnya, bibit tanpa pupuk). Tidak ada masyarakat yang menerima manfaat program yang diharapkan.

2. Pelaksanaan program

a. Masyarakat baik perempuan atau laki-laki memberikan sumbangan tenaga kerja saja yang dibutuhkan program.


(36)

biaya yang dibutuhkan program.

c. Masyarakat baik perempuan atau laki-laki memberikan sumbangan berupa tenaga kerja dan material saja yang dibutuhkan program. Masyarakat menyumbang sebagian tenaga kerja, biaya, dan material yang dibutuhkan program.

d. Hanya beberapa kalangan atau kelompok tertentu saja yang menyumbang tenaga kerja, biaya dan material.

3. Pengaruh program atau kontrol masyarakat

a. Masyarakat diberi informasi oleh para pengambil keputusan pada tahap identifikasi, desain, pelaksanaan, dan evaluasi program.

b. Masyarakat yang terlibat dikonsultasikan oleh para pengambil kebijakan pada seluruh tahap proses pembangunan.

c. Masyarakat meninjau kembali semua proses pengambilan keputusan tentang program pembangunan.

d. Masyarakat melakukan modifikasi atau menolak keputusan pada semua tahap proses program.

e. Hanya beberapa kelompok (misalnya, tokoh masyarakat) yang memiliki kesempatan mendapatkan informasi, diajak berkonsultasi, meninjau dan menolak keputusan.

f. Masyarakat mengambil kesempatan yang ada untuk menguji, menilai dan mengkritik hasil program pembangunan.


(37)

17 

 

g. Hanya beberapa kelompok atau elemen tertentu yang mengambil kesempatan yang ada untuk menguji, menilai dan mengkritik hasil program pembangunan. 4. Akses terhadap mekanisme pengambilan keputusan

a. Masyarakat terdiri dari anggota unit atau organ pengambilan keputusan yang bertanggungjawab terhadap proses identifikasi, desain, pelaksanaan dan evaluasi program.

b. Masyarakat baik laki-laki atau perempuan menduduki posisi pelaksana unit pengambilan keputusan.

c. Hanya beberapa kelompok atau kalangan tertentu saja yang menduduki posisi pelaksana unit pengambilan keputusan.

d. Hanya beberapa posisi unit pengambilan keputusan tertentu saja yang diduduki oleh masyarakat.

e. Seluruh elemen yang ada dalam masyarakat merupakan anggota suatu perkumpulan sukarela yang bertanggungjawab untuk berlanjutnya program pembangunan.

f. Seluruh elemen yang ada dalam masyarakat merupakan anggota suatu perkumpulan yang didirikan untuk membangun dan memelihara keberlanjutan program. (Anonimous, 2008 ; 41)

Keterlibatan masyarakat secara aktif, meski disadari merupakan elemen kunci dalam pembangunan, dipengaruhi oleh kondisi kontekstual tempat program pembangunan dilaksanakan. Terlebih lagi, partisipasi juga beragam menurut kondisi dasar (nature) proyek pembangunan. Di sejumlah besar Negara, partisipasi


(38)

partisipasi tingkat tinggi sampai partisipasi nominal. Keragaman ini tergantung pada banyak faktor, termasuk model pembangunan, gaya manajemen, tingkat pemberdayaan, dan konteks sosio-kultural suatu masyarakat. Kemauan politik pihak pelaksana (implementator) program guna mendulang partisipasi dan potensi kelompok sasaran agar berpartisipasi juga merupakan faktor penentu. (Ali, 2007 : 86)

Pemberdayaan merupakan suatu konsep yang berputar di sekitar partisipasi. Tema ini mengimplikasikan proses fasilitasi masyarakat agar mereka mampu memahami realitas lingkungannya, memikirkan faktor-faktor yang membentuk lingkungan, dan bertindak untuk mendorong perubahan demi perbaikan keadaan. (Gajayanake, 2007)

Pemberdayaan merupakan suatu proses yang melingkupi warga masyarakat dalam memutuskan di mana mereka sekarang, kemana mereka ingin pergi, dan mengembankan sekaligus mengimplementasikan rencana-rencana guna mencapai tujuan, berdasarkan kepercayaan diri dan pembagian wewenang (Ali, 2007 : 86). Yang terpenting adalah dengan pemberdayaan dapat menolong orang-orang untuk membebaskan diri mereka sendiri dari ketergantungan mental maupun fisik. Pada intinya, kemampuan untuk berdikari, berfikir progresif, merencanakan dan mengimplementasikan perubahan secara sistematis, dan menerima hasil secara rasional.


(39)

19 

 

2.3. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Satu elemen pokok dalam strategi pembangunan masyarakat adalah partisipasi masyarakat. Hal ini telah muncul sebagai salah satu elemen inti pembangunan dewasa ini mengacu pada sejumlah alasan. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan satu perangkat ampuh untuk memobilisasi sumber daya lokal, mengorganisir serta membuka tenaga, kearifan, dan kreatifitas masyarakat, demi lajunya aktifitas pembangunan. Kedua, partisipasi masyarakat juga membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan masyarakat, dan membantu mengatur aktifitas pembangunan agar mampu memenuhi kebutuhan yang ada. Di atas itu semua, partisipasi masyarakat merupakan cermin pengakuan (legitimacy) mereka atas proyek maupun aktifitas, menumbuhkan komitmen di pihak masyarakat dalam implementasi program, dan demi penguatan daya tahan program. Pengalaman beberapa tahun terakhir menyiratkan bahwa ada sesuatu keterkaitan signifikan antara tingkat intensitas partisipasi masyarakat dan peningkatan keberhasilan aktifitas pembangunan. (Ali, 2007 : 85).

Slamet (2003: 8) menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Hal senada juga diungkapkan Adisasmita (2006 ; 34) bahwa partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/proyek pembangunan yang dikerjakan di dalam masyarakat lokal.

Menurut Asngari (2001: 29), penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara


(40)

orang-serta semua pihak itu diperlukan :

1. Terciptanya suasana yang bebas atau demokratis. 2. Terbinanya kebersamaan.

Bryant dan White menyatakan bahwa partisipasi masyarakat didorong melalui : (1) proyek pembangunan bagi masyarakat desa yang dirancang sederhana dan mudah dikelola oleh masyarakat (2) organisasi dan lembaga kemasyarakatan yang mampu menggerakkan dan menyalurkan aspirasi masyarakat (3) peningkatan peranan masyarakat dalam pembangunan. Jadi masih dibutuhkan wadah untuk berpartisipasi di tingkat kelompok (Ndraha, 1990 ; 105). Melalui wadah partisipasi tersebut anggota kelompok akan saling belajar melalui pendekatan "learning by doing" menuju pada tujuan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik. Yang terjadi adalah adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan maupun sikap yang merupakan potensi untuk pembangunan (Rahayu, 2008 ; 6).

Dengan partisipasi masyarakat, perencanaan pembangunan diupayakan menjadi lebih terarah, artinya rencana atau program pembangunan yang disusun itu adalah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, berarti dalam penyusunan rencana/program pembangunan dilakukan penentuan prioritas (urutan berdasarkan besar kecilnya tingkat kepentingannya), dengan demikian pelaksanaan (implementasi) program pembangunan akan terlaksana pula secara efektif dan efesien (Adisasmita, 2006 ; 35).

Menurut Adi (2008 ; 110) partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan ataupun keterlibatan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah, pengidentifikasian potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan alternatif solusi penanganan masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan juga


(41)

21 

 

keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap perubahan ini akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya dan dapat semakin memiliki ketahanan dalam menghadapi perubahan. Sebaliknya, bila masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam berbagai tahapan perubahan dan hanya bersikap pasif dalam setiap perubahan yang direncanakan oleh pelaku perubahan (misalnya, pihak lembaga Pemerintah, LSM maupun sektor swasta), masyarakat cenderung akan menjadi lebih dependent (tergantung) pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi secara terus menerus, maka ketergantungan masyarakat pada pelaku perubahan akan menjadi semakin meningkat.

2.4. Aspirasi Masyarakat dalam APBD

Masyarakat adalah sekelompok orang memiliki perasaan sama atau menyatu satu-sama lain karena mereka saling berbagi identitas, kepentingan-kepentingan yang sama, perasaan memiliki, dan biasanya satu tempat yang sama (Suharto, 2006 ; 47).

Sementara Mayo dalam Suharto (2006 ; 39) mendefenisikan masyarakat dalam dua konsep, yaitu :

1. Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan

2. Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan


(42)

memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat fisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental.

Miriam Budiarjo (2005) mengutip pendapat Harold J. Laski, bahwa masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama (a society is a group of human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants).

Berdasarkan fungsinya, maka masyarakat berfungsi sebagai penyedia dan pendistribusi barang-barang dan jasa, lokasi kegiatan bisnis dan pekerjaan, keamanan publik, sosialisasi, wadah dukungan bersama atau gotong royong, kontrol sosial, organisasi dan partisipasi politik (Suharto, 2006 ; 47).

Masyarakat dalam konteks pembangunan merupakan unsur utama, oleh sebab itu aspirasi masyarakat menjadi hal paling dasar yang harus diserap agar pembangunan yang dilakukan menjadi lebih bermakna dan terarah. Tanpa adanya aspirasi masyarakat maka pembangunan akan bermakna ganda : Pertama, sebagai ajang tipu daya elit kepada masyarakat. Kedua, sebagai perwujudan demokrasi palsu, sebab pembangunan tidak lebih sebagai gagasan dan kepentingan elit belaka.

Secara definitif, konsep aspirasi mengandung dua pengertian, aspirasi di tingkat ide dan aspirasi di tingkat peran struktural. Di tingkat ide, konsep aspirasi berarti sejumlah gagasan verbal dari lapisan masyarakat mana pun. Di tingkat peran dalam struktur, adalah keterlibatan langsung dalam suatu kegiatan (amirudin, 2003 ; 3).


(43)

23 

 

Menurut Bank Dunia (2005 ; 3) aspirasi adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan mendukung dalam proses pembangunan.

Apabila mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Nomor 25 Tahun 2004 yang mengatur pengelolaan keuangan Negara dan daerah, Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah, dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa rakyat berhak untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan Anggaran.

Selanjutnya pasal 17 Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, menyatakan bahwa dalam penyusunan Arah Kebijakan Umum APBD harus diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat. Hal ini diperkuat dengan Permendagri 13 Tahun 2006 pasal 4 yang kemudian diganti Permendagri 59 Tahun 2007 menyatakan bahwa Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

Dari penjelasan diatas, menunjukkan bahwa masyarakat memiliki peluang untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya untuk diprogramkan dan dianggarkan dalam APBD, serta adanya peluang yang luas bagi Pemda dan DPRD untuk mendengar, menghimpun dan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk menjadi program-program yang mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.

Stuglitz dalam Hardojo (2008 ; 64) menyatakan partisipasi warga merupakan sine qua non untuk kebijakan yang pro rakyat. Partisipasi warga dalam perencanaan


(44)

terhadap rakyatnya. Sebab, perencanaan dan penganggaran adalah proses yang menentukan ke arah mana anggaran publik (APBN/APBD) telah memenuhi aspirasi rakyat.

Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dibutuhkan pembangunan yang mantap dan berkesinambungan, yang dijamin pelaksanaannya oleh adanya arah dan kebijakan serta perencanaan program yang komprehensif, realistis dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi, diharapkan rakyat dapat berupaya secara optimal untuk memperbaiki kesejahteraannya melalui berbagai program pembangunan sesuai dengan kepentingan dan potensinya, dan pemerintah bertindak sebagai katalisator. Untuk itu, DPRD dan Eksekutif harus lebih dekat dengan rakyat. Upaya memberdayakan masyarakat dan melawan kemiskinan harus terus dijadikan agenda penting dalam kegiatan pembangunan.

Pembangunan dalam berbagai bidang harus dilaksanakan dengan spektrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan kebutuhan masyarakat - khususnya pemenuhan kebutuhan fisiologis berupa : pangan, papan, kesehatan dan pendidikan sehingga segenap anggota masyarakat dapat mandiri, percaya diri, tidak bergantung atau mampu melepaskan dari belenggu struktural yang menyengsarakan, dan meningkat kesejahteraannya.


(45)

25 

 

Untuk dapat menyerap aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh dalam perencanaan penganggaran diperlukan pergeseran cara pandang, yakni tidak lagi memandang masyarakat sebagai objek dari pembangunan.

Menurut Archon Fung yang dikutip Purwoko (2008), Secara umum dikenal tiga metode untuk memahami aspirasi rakyat yaitu :

1. Luas lingkup partisipasi akan menentukan siapa saja yang berhak menyalurkan aspirasinya untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. Terdapat lima model dasar yang membedakan luasnya ruang partisipasi bagi penyaluran aspirasi rakyat ; pertama, self selected, yaitu mekanisme yang sepenuhnya membebaskan masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya atau tidak. Kedua, rekrutmen terseleksi, yaitu hanya orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan saja yang memiliki hak untuk menyalurkan aspirasinya dalam proses pembuatan kebijakan. Ketiga, Random Selection yang juga sering dikenal dengan teknik polling, yaitu penyerapan aspirasi masyarakat dengan memilih secara acak beberapa individu yang dianggap mewakili masing-masing komunitas. Keempat, Lay Stakeholders, yaitu proses penyerapan aspirasi yang melibatkan beberapa warga negara yang secara sukarela mau bekerja tanpa dibayar. Sekelompok warga diberi kepercayaan untuk memikirkan atau menangani suatu kebijakan tertentu. Kita sudah mengenal prinsip penyaluran aspirasi semacam ini, misalnya melalui Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Kelima, Professional Stakeholders, yaitu pembuatan kebijakan publik yang melibatkan tenaga-tenaga profesional yang digaji atau diberi honorarium. Asumsinya, tenaga-tenaga


(46)

permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

2. Melihat jenis komunikasi yang terjadi antara pemerintah dengan warganya, apakah satu arah atau timbal balik. Model komunikasi timbal balik memberikan ruang yang lebih luas bagi proses penyerapan aspirasi yang lebih berkualitas. 3. Melihat relevansi antara perkembangan aspirasi dengan substansi kebijakan.

Semakin relevan produk kebijakan yang dihasilkan dengan persoalan riil yang berkembang di masyarakat, maka proses penyerapan aspirasi yang terjadi di masyarakat bisa dikatakan semakin berkualitas.

Dalam kerangka pemberdayaan dan kemandirian masyarakat, haruslah terjadi pergeseran fungsi birokrasi, yakni hanya sebatas sebagai fasilitator. Selayaknya birokrasi harus kembali ke hakikat fungsinya, yaitu sebagai public servant (pelayan masyarakat), bukan lagi sebagai pelaksana pembangunan. Artinya pemilihan program pembangunan harus betul-betul didasarkan pada kebutuhan masyarakat bukan atas dasar keinginan atau ketertarikan pejabat pengelolanya. Rakyat memegang hak dan wewenang yang tinggi untuk menentukan kebutuhan pembangunan, ikut terlibat secara aktif dalam pembangunan dan mengontrolnya serta memperoleh fasilitas dari pemerintah, melalui penggunaan hak dan kewajibannya secara proporsional. Masyarakat harus diberdayakan untuk mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat, maka Pemerintah (Eksekutif maupun DPRD) akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Dan guna


(47)

27 

 

 

menjamin bahwa apa yang direncanakan oleh Pemda sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat, maka dalam penyusunan strategi dan prioritas program serta RAPBD harus melibatkan masyarakat, sejak dari proses analisis masalah dan identifikasi kebutuhan masyarakat ke perumusan program.

ANGGARAN PRO RAKYAT

Gambar 1. Sendi Anggaran Pro Rakyat dan Prasyaratnya

Secara prinsipil, anggaran pro rakyat dibuhul oleh tiga sendi yang bertautan. Gambar 1. menunjukkan bagaimana proses penyusunan anggaran demokratis melibatkan partisipasi, mekanisme pengelolaan yang desentralistik, transparan dan akuntabel, serta alokasi sumber daya bagi kebijakan yang berpihak kepada kaum miskin, saling bertautan dalam implementasi anggaran pro rakyat. Kendala yang

Alokasi bagi  Kebutuhan  Masyarakat Pengelolaan 

Transparan &  Akuntabel

Proses Partisipatif

Prasyarat


(48)

capaian optimal dari anggaran pro rakyat secara keseluruhan (Hardojo, 2008 ; 152-153).

Implementasi hak rakyat dalam APBD bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Pemerintah Daerah sebagai pemegang kuasa pengelolaan Keuangan Daerah harus mengimplementasikan hak rakyat tersebut melalui (Eka, 2008) :

1. Adanya keterlibatan rakyat secara partisipatif dalam proses penganggaran.

Teknis pelaksanaannya bisa menggunakan beberapa model atau melakukan kreasi dari berbagai model yang telah dikembangkan oleh banyak negara. Tentu saja, kreatifitas ini perlu didukung oleh iklim demokrasi yang substantif liberatif. Selama ini, partisipasi hanya menjadi jargon pemerintah, metode dan implementasi partisipasi hanya berjalan dalam lingkungan masyarakat yang “dekat“ dengan Pemerintah. Sementara, dengan kelompok masyarakat yang kritis dan “jauh“ dengan Pemerintah, dijadikan formalitas belaka dan masukan serta hasil kajian mereka selalu dikesampingkan. Memang, partisipasi tidak dapat dilakukan pada orang perorangan atau semua kelompok, karena keterbatasan pemerintah. Tetapi, semestinya pemerintah harus memiliki sebuah kriteria yang jelas dalam pelibatan publik. Kriteria ini harus didukung oleh metodelogi yang tepat sehingga tidak terjebak pada inefisiensi. Metodelogi menggalang partisipasi ini, yang tidak dimiliki oleh pemerintah. Mereka hanya mengikuti secara tekstual apa yang tertulis di UU, Kepmendagri. Sangatlah naif, mengharapkan hasil yang efektif jika partisipasi dibangun melalui RT, RW,


(49)

29 

 

Dewan Kelurahan, dan Badan Perwakilan Desa. Karena hampir seluruh badan tersebut dipilih dengan intervensi pemerintah. Sehingga, badan-badan tersebut tidak bisa merumuskan kebutuhan warganya. Perlu kearifan menyusun metodelogi agar partisipasi masyarakat bisa efektif untuk kepentingan bersama. 2. Adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan maupun

pertanggungjawaban APBD pada Rakyat.

Selama ini, mekanisme pertanggungjawaban dilakukan melalui saluran formal Lembaga Legislatif (DPRD). Jika ingin membangun transparansi maka harus dimulai dari para pihak yang akan terlibat dari proses tersebut. Dengan tidak mengkerdilkan peran DPRD dalam proses transparansi dan Akuntabilitas APBD, tetapi Lembaga ini juga menjadi sorotan dalam transparansi dan Akuntabilitas. Bagaimana bisa berharap pada DPRD, yang dalam banyak kasus korupsi APBD mereka juga terlibat bahkan terkadang menjadi inisiator. Perlu kiranya Pemerintah merancang sebuah model transparansi dan akuntabilitas APBD selain melalui saluran formal (DPRD) bisa dilakukan melalui saluran informal langsung pada masyarakat. Tentu, model ini harus dikaji dan dipertimbangkan dengan matang sehingga bisa efektif dan sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.

3. Adanya Hak untuk alokasi anggaran yang pro Rakyat miskin.

Keadilan dan kesejahteraan adalah tujuan utama dari sebuah negara kesejahteraan. Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai negara kesejahteraan. Artinya keberpihakan pada kaum lemah dan miskin menjadi


(50)

tersebut belum berwujud, masih sebatas angan-angan.

4. Adanya pengawasan APBD oleh rakyat baik secara perseorangan maupun secara Lembaga atau kelompok.

Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ini semestinya mendapat apresiasi positif dari pemerintah. Caranya adalah memberikan akses seluas-luasnya pada masyarakat untuk mendapatkan informasi, data dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan APBD.

Tabel 1. Jalur Pengarusutamaan Partisipasi Didorong oleh Negara

(Top-Down)

Didorong oleh Masyarakat Sipil (Bottom-Up) Partisipasi

melalui parlemen

Didorong melalui prosedur

demokrasi perwakilan menggunakan parlemen dan

partai-partai politik di tingkat nasional

• Menggunakan partai politik lokal bagi proses di parlemen lokal

• Mengembangkan mekanisme

alternatif penyusunan anggaran dengan melibatkan

kelompok masyarakat sipil yang lebih luas untuk kemudian diajukan ke parlemen, contoh : people’s budget di Afrika Selatan dan Alternative budget di Kanada

Partisipasi tanpa melalui parlemen

Didorong melalui penciptaan prosedur penyusunan anggaran yang melibatkan pemangku kepentingan luas diluar prosedur demokrasi perwakilan yang ada (extra-parliamentary), seperti ;

referendum, plebesit, mekanisme NSEC di Irlandia,

maupun Participatory Budgenting di Brazil.

Inisiatif warga lokal di Swiss dan beberapa kota di Amerika Serikat untuk mengajukan anggaran versi warga kepada pemerintah lokal


(51)

31 

 

Sumber : Hardojo (2008 ; 161)

Sedangkan Willmore dalam Hardojo (2008 ; 160) mengidentifikasikan 4 tipologi proses bagi pengintegrasian partisipasi warga dalam penyusunan anggaran. Seperti yang bisa dilihat pada tabel 1, partisipasi tersebut bisa didorong oleh Negara (top-down) maupun masyarakat sipil (bottom-up) baik melalui parlemen maupun tanpa parlemen (participation that by-pass parliament).

Dalam kerangka Wilmore tersebut, pengarusutamaan partisipasi dalam proses penganggaran yang terjadi di Indonesia lebih diwarnai oleh proses top-down yang dipimpin oleh negara melalui parlemen. Dalam jalur ini, proses yang terjadi ditentukan oleh prosedur formal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Prosedur-prosedur tersebut akan diakomodasi dalam system demokrasi perwakilan, dimana lembaga Eksekutif dan lembaga Legislatif (representasi wakil-wakil politik di parlemen yang dipilih rakyat melalui Pemilihan Umum) akan menentukan hasil akhir dari proses penganggaran. Warga dan masyarakat sipil belum mempunyai cukup kapasitas untuk mendorong perluasan partisipasi warga dalam prosedur formal tersebut atau, jika hambatan partisipasi dalam prosedur formal tersebut terlalu kuat, untuk membangun mekanisme tanding bagi suatu proses penyusunan penganggaran yang lebih partisipatif (Hardojo, 2008 ; 161-162).

Prinsip dalam melibatkan masyarakat secara langsung adalah bahwa apa yang disebut dengan “melibatkan kepentingan rakyat” hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil bagian. Keterlibatan rakyat akan menjadi penjamin


(52)

membawa tiga dampak penting (Abe, 2005 ; 91) yaitu :

1. Terhindar dari peluang terjadinya manipulasi. Keterlibatan masyarakat akan memperjelas apa yang sebetulnya dikehendaki masyarakat.

2. Memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak jumlah mereka yang terlibat akan semakin baik.

3. Meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat.

2.5. APBD

Anggaran merupakan sebuah instrumen pemerintah dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Kebijakan suatu pemerintah membutuhkan sumber daya berupa alokasi anggaran yang tertuang dalam APBD. Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang kemudian diganti dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

2.5.1. Mekanisme Penyusunan APBD

Perubahan UU No 22 tahun 1999 menjadi UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 menjadi UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah membawa pengaruh yang signifikan terhadap pengelolaan keuangan daerah, khususnya di bidang penyusunan


(53)

33 

 

anggaran daerah. Sebab ada pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada Pemda untuk menggali dan mengelola semua potensi penerimaan daerah secara maksimal. Sebagai konsekuensinya, sistem pengelolaan keuangan publik/daerah yang selama ini bersifat sentralisasi, sekarang berubah menjadi desentralisasi.

Seiring dengan bergulirnya pelaksanaan desentralisasi pemerintahan tersebut, telah memberikan kewenangan bagi Pemda untuk menentukan dan menyusun sendiri APBD-nya. Kondisi demikian jelas mempunyai pengaruh yang cukup besar dan signifikan terhadap mekanisme dan proses penyusunan, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban keuangan daerah kepada semua stakeholders-nya. Namun dalam pelaksanaan otonomi daerah ternyata kewenangan yang diberikan tersebut secara umum masih ada yang disalahtafsirkan oleh Pemda baik eksekutif maupun legislatif (Mahrizal, 2008 ; 1).

Menurut Nazaruddin (2005 ; 1) karena APBD merupakan operasionalisasi dari berbagai kebijakan yang ditetapkan, maka harus mencerminkan suatu kesatuan sistem perencanaan yang sistimatis dan dapat dianalisis keterkaitan/benang merahnya dengan dokumen-dokumen perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk itu sangat penting bagi pihak yang berkepentingan terhadap kebijakan publik dalam memahami sistimatika perencanaan yang bermuara pada anggaran. Dari sisi aturan, maka mekanisme penyusunan anggaran khususnya APBD diatur dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi


(54)

2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 Perubahan Atas Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

2.5.2. Regulasi dari Pengesahan APBD

Emirzon (2005 ; 1) mengemukakan, semenjak otonomi daerah dicanangkan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang kemudian diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004. Iklim regulasi di Indonesia mengalami perubahan besar.

Kedua Undang-undang tersebut diatas memberikan kewenangan hukum dan administrasi kepada kabupaten dan kota sebagaimana Pasal 11 (2) menentukan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengadministrasikan perdagangan dan industri. Karena itu berhak mengenakan regulasi dan perizinan usaha. Akan tetapi pemda tidak siap untuk mengemban fungsi baru itu. Dalam tahun pertama desentralisasi, Pemda telah mengeluarkan ratusan peraturan daerah yang menerapkan pengenaan pajak, retribusi, dan pungutan lainnya.

Sebenarnya dalam pelaksanaan otonomi daerah (Otda) Pemda tidak hanya menekankan regulasi saja. Seharusnya Pemda mendorong pemberdayaan masyarakat,


(55)

35 

 

menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Kebijakan yang diterbitkan oleh pemda haruslah memberi manfaat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat bukan sebaliknya. Terkesan pemda dapat bertindak apa saja untuk menaikkan pendapatan asli daerah (PAD), demi terpenuhinya anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).

2.5.3. Kualitas Kinerja dalam Perencanaan dan Penyusunan APBD

Sejak tahun 2003, sebagian besar Pemda sudah mencoba menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja (performance base budgeting). Tapi, dalam kenyataannya menunjukkan bahwa dalam proses penyusunan dan pengalokasian anggaran tersebut, tampaknya Pemda masih belum menghiraukan dan memperhatikan kebutuhan dan kepentingan publik (masyarakat). Sayangnya, masih berorientasi pada kepentingan aparatur Pemda sendiri (eksekutif dan legislatif). Hal ini barangkali terjadi, karena selama ini partisipasi dan keterlibatan publik dalam penyusunan APBD tersebut kelihatannya masih relatif rendah sekali Kenyataan yang demikian mengakibatkan penyusunan dan pengalokasian anggaran dalam APBD tampaknya belum banyak berpihak kepada kebutuhan masyarakat (stakeholders). Hingga, anggaran yang dihabiskan sering menjadi tidak efektif dan kurang efisien. Maksudnya, alokasi anggaran memang makin meningkat dari tahun ketahun. Kenyataannya, belum memberikan kontribusi dan dampak signifikan terhadap peningkatan perekonomian


(56)

2008 ; 1).

Sebelum lahirnya Kepmendagri No 29 tahun 2002, sistem anggaran yang digunakan oleh Pemda di seluruh daerah menggunakan sistem anggaran tradisional (traditional budget). Akan tetapi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi pemerintahan, maka sistem penyusunan APBD juga mengalami perubahan yang sangat mendasar.

Terjadinya perubahan sistem anggaran ini, karena sistem anggaran tradisional (line-item budgeting) dianggap memiliki beberapa kelemahan antara lain; bersifat sentral dan top-down, kenaikan jumlah anggaran setiap tahun secara increamental tanpa dasar yang jelas, prestasi diukur dari penyerapan anggaran oleh setiap unit kerja, dan lainnya. Akibat terdapat beberapa kelemahan sistem anggaran tradisional, maka sejak tahun 2003 sistem anggaran daerah mengalami reformasi. Di mana semua daerah di Indonesia mulai menerapkan sistem anggaran kinerja (performance budget). Penyusunan anggaran dengan menggunakan pendekatan kinerja ini memiliki beberapa karakteristik dan perbedaan yang sangat mendasar bila dibandingkan dengan sistem anggaran tradisional. Beberapa perbedaan yang sangat kentara tersebut antara lain: penyusunan anggaran tradisional lebih bersifat sentralistis, di mana perencanaan dibuat oleh pemerintah pusat tanpa memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan bagi masyarakat di daerah.

Dampaknya, banyak program maupun proyek-proyek di daerah yang menghabiskan dana yang cukup besar, tetapi tidak bermanfaat dan membawa


(57)

37 

 

pengaruh signifikan terhadap peningkatan pelayanan publik maupun perekonomian masyarakat di daerah. Sedangkan sistem anggaran berbasis kinerja lebih bersifat desentralistis. Di mana penyusunan perencanaan dan penganggaran tidak didominasi oleh pemerintah pusat, tetapi Pemda dalam menyusun perencanaan melakukan jaring asmara melalui partisipasi masyarakat terlebih dahulu. Di samping itu, sistem anggaran berbasis kinerja tidak hanya berorientasi dan fokus kepada input saja, tetapi juga fokus kepada output dan outcome.

Sistem anggaran telah mengalami perubahan yang cukup mendasar, namun dalam kenyataannya sampai sekarang masih saja terlihat kepentingan rakyat masih saja ada yang terabaikan. Kondisi yang demikian barangkali disebabkan beberapa faktor antara lain; Pertama, perubahan sistem anggaran tersebut kelihatannya belum diikuti oleh keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan anggaran. Kalaupun ada proses pelibatan masyarakat melalui Rakorbang, Musrenbang misalnya, tetapi menurut Nunuy (2004) pelibatan masyarakat itu belum berdasarkan pada kompetensi yang dimiliki.

Kedua, sistem anggaran kinerja yang dilakukan setiap Pemda di Indonesia sampai sekarang ini baru membawa perubahan terhadap administrasi pencatatannya saja dan belum pada perubahan substansinya yang berdasarkan pada konsep value for money (ekonomis, efisien dan efektivitas). Hal ini di samping disebabkan masih lemahnya pemahaman SDM Pemda terhadap sistem anggaran tersebut, juga karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh publik.


(58)

kepada kebutuhan masyarakat (belanja publik), tetapi di dalam kenyataannya malahan lebih didominasi oleh belanja aparatur. Hampir setiap daerah di Indonesia menghabiskan APBD-nya antara (70-80%) hanya untuk belanja aparatur, dan sisanya (20–30%) untuk belanja publik. Itu pun masih terdapat juga belanja aparatur di dalamnya.

Keempat, sangat terbatasnya waktu yang tersedia oleh eksekutif untuk memberikan pelayanan kepada publik. Sebab, waktu eksekutif hanya habis untuk menyusun anggaran dan dan mempersiapkan 5 (lima) jenis laporan pertanggungjawaban APBD. Kelima, lemahnya partisipasi dan kontrol publik telah memberikan keleluasaan bagi Pemda baik eksekutif maupun legislatif dalam menyusun dan menentukan anggaran menurut kemauan dan kepentingan mereka tanpa memperhatikan peraturan yang berlaku.

Keenam, cukup lamanya pihak eksekutif maupun legislatif dalam menyusun anggaran. Kondisi ini di samping tidak ada waktu lagi untuk mensosialisasikan RAPBD kepada publik, pengesahan anggaran dan penetapan Perda tentang APBD serta penetapan peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD, juga menjadi sering terlambat.

2.5.4. Penyusunan APBD

Dalam UU 17 Tahun 2003 yang mengatur keuangan negara sebagai dasar penyusunan APBD dan pengelolaan keuangan daerah tidak banyak memuat peran


(59)

39 

 

serta masyarakat. Baik dalam pemanfaatan anggaran maupun evaluasinya. Penyusunan APBD seharusnya tidak bisa lepas dari kaidah penganggaran sektor publik. Setidaknya ada tiga kaidah yang harus dipenuhi dalam penyusunan APBD. Tiga kaidah tersebut adalah legitimasi hukum, legitimasi finansial, dan legitimasi politik. Legitimasi hukum menyangkut sejauh mana APBD disusun dengan mengacu pada peraturan perundangan yang ada. Penyusunan APBD terikat pedoman, prosedur, tahap, dan peruntukan sesuai dengan peraturan yang ada. Legitimasi finansial mensyaratkan penyusunan APBD harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kekuatan anggaran yang dimiliki daerah. Di dalamnya harus dipatuhi asas efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran. Penggelembungan dana (markup) dan anggaran ganda menjadi sesuatu yang haram dan melanggar asas efisiensi.

Dari sisi efektivitas, anggaran harus sesuai prioritas kebutuhan dan tepat sasaran terhadap kepentingan publik. Istilah menghabiskan anggaran tidak lagi dikenal dalam penyusunan APBD saat ini. Yang diterapkan adalah prinsip money follow function, yaitu, uang disediakan untuk memenuhi fungsi kebutuhan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Tidak ada alokasi anggaran tiap instansi, yang ada adalah kebutuhan anggaran instansi.

Sementara itu, legitimasi politik mensyaratkan bahwa APBD harus merupakan hasil aspirasi masyarakat. Legitimasi politik tidak sekadar berupa pengesahan oleh wakil rakyat. Tetapi, di dalamnya merupakan pemenuhan kebutuhan masyarakat hasil perencanaan bottom-up yang sesungguhnya. Praktik saling titip proyek atau agenda terselubung lainnya menjadi sesuatu yang menodai legitimasi politik ini. Ketiga hal


(60)

muncul adalah, akankah perubahan itu berdampak kepada tingkat serapan anggaran yang mampu dinikmati masyarakat secara luas? Atau justru sebaliknya, prospek peningkatan kesejahteraan masyarakat akan semakin sulit dicapai.

2.5.5. Proses Perencanaan dan Penganggaran Daerah

Penganggaran merupakan suatu proses menyusun rencana keuangan yaitu pendapatan dan pembiayaan, kemudian mengalokasikan dana ke masing-masing kegiatan sesuai dengan fungsi dan sasaran yang hendak dicapai dan selanjutnya masing-masing kegiatan tersebut dikelompokkan ke dalam program berdasarkan tugas dan tanggung jawab dari satuan kerja tertentu dengan standar biaya yang berlaku. Penyusunan anggaran merupakan suatu rencana tahunan yang merupakan aktualisasi dari perencanaan jangka menengah maupun jangka panjang, dengan kewenangan yang dimiliki saat ini pemerintah daerah dapat menyusun struktur anggaran yang memungkinkan masyarakat dan manajemen pemerintah daerah mengawasi dan mengevaluasi kebijakan yang telah dan akan dilaksanakan

Mardiasmo (2001) melakukan studi tentang masalah utama yang timbul dalam proses perencanaan dan persiapan anggaran pemerintah kabupaten/kota di Indonesia, yaitu ketergantungan keuangan terhadap pemerintah propinsi dan pusat, dan pembatasan keuangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Studi kasus pada enam kabupaten/kota dengan periode amatan 1991/1992 sampai dengan 1995/1996 yang meneliti budgetary slack dan pendekatan anggaran serta waktu pemberian


(61)

41 

 

bantuan menyimpulkan dua hal, pertama, ketergantungan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah propinsi dan pusat mendorong terjadinya kesenjangan anggaran, kedua, pendekatan bottom-up cenderung menjadi sebuah formalitas belaka karena pemerintah kabupaten/kota dianggap tidak memiliki perencanaan strategik dan prioritas yang jelas.

Halim (2001:19) mengatakan proses anggaran yang telah disepakati antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan amanat rakyat. Ini adalah tantangan untuk menunjukkan bahwa sebagai pihak yang bertanggungjawab akan “kepentingan rakyat” pemerintah daerah dan DPRD harus memposisikan dirinya pada posisi yang tepat. Selain itu, hal tersebut adalah sebuah peluang untuk menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan DPRD bukan sebagai salah satu “penikmat” dana rakyat, akan tetapi dapat berbagi rasa dengan rakyat dari dana yang tersedia bagi daerah.

Berkaitan dengan adanya tuntutan terciptanya akuntabilitas publik maka DPRD memiliki peran dan kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Fungsi perencanaan anggaran daerah hendaknya sudah dilakukan oleh para anggota DPRD sejak proses penjaringan aspirasi masyarakat (needs assessment) hingga penetapan kebijakan umum APBD serta penentuan strategi dan prioritas APBD.

Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah sangat ditentukan oleh proses awal perencanaannya. Semakin baik perencanaannya akan memberikan dampak semakin baik pula implementasinya di lapangan. Keterlibatan berbagai lembaga/instansi dalam proses perencanaan diperlukan kesatuan visi, misi dan tujuan dari setiap lembaga


(62)

digunakan metode incrementalism yang didasarkan atas perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi dan jumlah penduduk.

2.6. Kerangka Pemikiran

APBD merupakan parameter dalam menentukan maju atau tidaknya suatu daerah atau progress report yang dilakukan dengan pendekatan anggaran kinerja atau performance budgeting system yang mengutamakan upaya pencapaian hasil atau output daerah. APBD juga harus dapat merubah kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik, masyarakat harus benar-benar merasakan hasil (outcome) dari program pembangunan yang dilakukan.

Dalam kerangka pemikiran demikian, Visi, Misi, maupun program pembangunan yang dicanangkan Pemerintah Daerah melalui Perda APBD harus berpijak pada realitas kebutuhan masyarakat.

Untuk itu, penyerapan aspirasi masyarakat secara luas dalam membuat usulan-usulan pembangunan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga pembangunan merupakan hasil aspirasi masyarakat bukan kehendak Legislatif dan Eksekutif yang mempunyai otoritas dalam penyusunan anggaran daerah.

Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan


(63)

43 

 

Musrenbang, setiap tahunnya terus melakukan penjaringan aspirasi masyarakat melalui kegiatan Musrenbang Desa, Kecamatan dan Kabupaten.

Aspirasi masyarakat yang telah ditampung sebelumnya melalui forum Musrenbang tidak sepenuhnya menjadi acuan dalam proses penyusunan APBD mengingat jumlah usulan dengan anggaran yang tersedia yang tidak seimbang. Selain itu, banyak faktor yang lain mempengaruhi penyerapan aspirasi masyarakat dalam APBD, diantaranya adalah usulan eksekutif dan legislatif.

Usulan eksekutif didasarkan pada kebijakan-kebijakan Kepala Daerah dan Rencana Kerja (Renja) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang merupakan rencana kerja tahunan yang dituangan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008. Sedangkan usulan legislatif, didasarkan pada hasil reses dan pansus DPRD.

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

Aspirasi Masyarakat 

Usulan Eksekutif - Kebijakan Kepala Daerah - Program Kerja SKPD 

Alokasi Dana dalam APBD Faktor yang Mempengaruhi Usulan Legislatif


(64)

44 

 

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Tamiang. Alasan pemilihan lokasi di Kabupaten Aceh Tamiang adalah dikarenakan kedekatan peneliti dengan objek penelitian, dimana Kabupaten Aceh Tamiang tempat peneliti bekerja, sehingga memudahkan dalam pengumpulan data.

3.2. Jenis/Desain Penelitian

Obyek dari penelitian ini adalah manusia, sehingga peneliti merasa lebih tepat jika menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian dengan menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Moeloeng, (2004: 5) memaparkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma interpretatif. Paradigma interpretif lebih menekankan pada makna atau interpretasi seseorang terhadap sebuah simbol. Tujuan penelitian dalam paradigma ini adalah memaknai (to interpret atau to understand, bukan to explain dan to predict) sebagaimana yang terdapat dalam paradigma positivisme.


(65)

45 

 

Pendekatan yang digunakan adalah fenomenologi. Pendekatan Fenomenologi bertujuan memahami respon atas keberadaan manusia/masyarakat, serta pengalaman yang dipahami dalam berinteraksi (Saladien, 2006 : 13). Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup, tersedia berbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain (Moeloeng, 2004: 18).

Subjek penelitian ini adalah informasi yang dijadikan sumber data. Penetapan subjek penelitian di atas bersifat Purposive Sampling (sampel bertujuan), di mana informan dipilih berdasarkan tingkat keterlibatan dan pengusaannya dengan masalah, fokus dan tujuan penelitian. Apabila tidak ditemukan lagi variasi data dari sejumlah informan, maka pengumpulan data dihentikan, jadi jumlah informan bisa lebih banyak atau sedikit dari yang diuraikan di atas.

3.3. Defenisi Konsep

Defenisi konsep yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Aspirasi masyarakat adalah gagasan atau ide. Dalam penelitian ini aspirasi adalah gagasan atau ide masyarakat yang dituangkan dalam bentuk usulan kegiatan pembangunan.

2. Hasil Reses DPRD adalah hasil kunjungan DPRD ke konstituen pada masing-masing daerah pemilihan. Dalam penelitian ini hasil Reses DPRD adalah program/kegiatan yang diusulkan DPRD yang tertuang dalam APBD.


(1)

14. Selama ini Masyarakat beranggapan bahwa APBD tidak memihak pada masyarakat, karena seringkali APBD tidak sesuai dengan usulan Masyarakat. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu?

Jawab :

……… ……… ………

Catatan Tambahan :

……… ……… ……… ……… ……… ………


(2)

C. Untuk Panitia Anggaran Legeslatif

1. Bapak/Ibu salah seorang yang terlibat dalam penyusunan APBD apakah anda telah menguasai dan menjalankan peraturan perundang-undangan yang merupakan pedoman dan petunjuk teknis yang berhubungan dengan prosedur dan mekanisme penyusunan APBD?

Jawab :

a. Menguasai b. Tidak Menguasai

c. ……… Alasan

……… ………

2. Berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sistem perencanaan pembangunan Indonesia adalah Teknokratik, Politis, Top-Down dan Bottom-Up. Menurut Bapak/Ibu mana yang lebih baik?

Jawab :

a. Teknokratik b. Politis c. Top-Down d. Bottom-Up

e. ……… Alasan

……… ………


(3)

3. Apakah program/kegiatan yang diusulkan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) sudah sesuai dengan usulan Masyarakat melalui Musrenbang?

Jawab : a. Sesuai b. Tidak Sesuai

4. Menurut Bapak/Ibu bagaimana kualitas usulan program/kegiatan yang diusulkan oleh TAPD?

Jawab : a. Baik

b. Kurang Baik c. ………. Alasan

……… ………

5. Apakah DPRD melakukan Survey Ulang terhadap usulan TAPD? Jawab :

a. Ya b. Tidak

c. ………. Alasan

……… ………

6. Usulan apa saja yang dilakukan Survey dan Mengapa? Jawab :

……… ………


(4)

7. Menurut Bapak/Ibu, mana yang menjadi prioritas masuk ke APBD? Jawab :

a. Usulan TAPD b. Janji Bupati c. Hasil Reses DPRD d. ……… Alasan

……… ………

8. Jika dipersentasekan, berapa persenkah sebaiknya masing-masing usulan Program/Kegiatan ditampung dalam APBD?

Jawab :

a. Usulan Masyarakat Melalui Musrenbang ...% b. Usulan SKPD...%

c. Janji Bupati ...%

d. Hasil Reses DPRD ……% Alasan

……… ………

9. Apakah masyarakat pernah dilibatkan secara langsung dalam penyusunan APBD?

Jawab : a. Dilibatkan b. Tidak Dilibatkan c. ………


(5)

Alasan

……… ………

10. Berdasarkan pengalaman Sudara selama ini, siapakah yang paling menentukan usulan (program/kegiatan) mana yang akan masuk ke APBD? Jawab :

a. Bupati b. Wakil Bupati c. Sekretaris Daerah

d. Tim Anggaran Pemerintah Daerah e. Tim Anggaran Legeslatif

f. ……… Alasan

……… ………

11. Menurut Bapak/Ibu faktor apa saja yang mempengaruhi besar kecilnya usulan masyarakat terserap dalam APBD?

Jawab :

……… ……… ……… ………

12. Selama ini Masyarakat beranggapan bahwa APBD tidak memihak pada masyarakat, karena seringkali APBD tidak sesuai dengan usulan Masyarakat. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu?


(6)

Jawab :

……… ………

Catatan Tambahan :

……… ……… ……… ……… ……… ……… ………