Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan merupakan suatu konsep yang berputar di sekitar partisipasi. Tema ini mengimplementasikan proses fasilitasi masyarakat agar mereka mampu memahami realitas lingkungannya, memikirkan faktor-faktor yang membentuk lingkungan, dan bertindak untuk mendorong perubahan demi perbaikan keadaan, Gajayanake : 1996 ; 27. Tema pokok yang terkait dengan pembangunan adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan. Tema kedua adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan. Mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya, yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema yang ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai- nilai moral dan etika umat. Mariana : 2006 ; 6. Untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, diantaranya adalah partisipasi masyarakat di dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat yang dimaksudkan adalah keterlibatan masyarakat secara utuh dalam semua proses pembangunan. Partisipasi masyarakat menjadi sangat penting mengingat masyarakatlah yang memiliki informasi mengenai kondisi dan kebutuhannya. Selain itu, masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dan tumbuhnya rasa memiliki yang tinggi untuk ikut mengawasi jalannya suatu pembangunan, sehingga pembangunan yang dilakukan lebih efektif dan efesien. Dalam upaya untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, pemerintah melalui Mendagri mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1981 tentang Mekanisme Perencanaan dari Bawah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah P5D. Implementasi dari kedua peraturan di atas adalah pelaksanaan Rapat Koordinasi Perencanaan Pembangunan Rakorbang yang dilakukan dari tingkat Desa, Kecamatan, KabupatenKota, Provinsi dan Nasional yang bertujuan untuk memadukan perencanaan dari bawah ke atas Bottom Up Planning dengan perencanaan dari atas ke bawah Top Down Planning Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang- undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan adanya penyempurnaan sistem perencanaan dan penganggaran nasional, baik pada aspek proses dan mekanisme maupun tahapan pelaksanaan musyawarah perencanaan di tingkat pusat dan daerah. Setiap proses penyusunan dokumen rencana pembangunan tersebut diperlukan koordinasi antar instansi pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum yang disebut sebagai Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang. Payung hukum untuk pelaksanaan Musrenbang diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang secara teknis pelaksanaannya sejauh ini masih diatur dengan Surat Edaran Bersama SEB Menteri Negara Perencanaan Pembangunan NasionalKepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang yang diterbitkan setiap tahun. Musrenbang berfungsi sebagai forum untuk menghasilkan kesepakatan antar pelaku pembangunan tentang rancangan Rencana Kerja Pemerintah RKP dan rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah RKPD, yang menitikberatkan pada pembahasan untuk sinkronisasi rencana kegiatan antar kementerianlembagasatuan kerja perangkat daerah dan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional dan daerah. Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2005 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2005 tentang Kelurahan, menjabarkan lebih lanjut mengenai posisi Desa dalam konteks otonomi daerah dengan mengacu pada UU 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah. Dalam kenyataannya, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan hanya sebatas pada pengusulan programkegiatan semata yang dilakukan melalui musyawarah di tingkat Desa dan kemudian disampaikan pada forum di tingkat Kecamatan Musrenbang Kecamatan. Pada tahapan berikutnya seringkali program kegiatan yang menjadi usulan masyarakat bottom-up hilang digantikan dengan programkegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD atau programkegiatan legislatif yang bersifat teknokratis, politis dan top-down. Memang benar, Pemerintah Kabupaten telah melibatkan masyarakat desa melalui forum Musrenbangdes Musyawarah Rencana Pembangunan Desa yang selanjutnya akan dirumuskan kembali melalui Musrenbang Kecamatan. Akan tetapi hal tersebut hanya sebatas “formalitas” atau sebagai alat legitimasi suatu perencanaan yang melibatkan rakyat. Karena pada umumnya, setelah masuk ke Pemerintah Kabupaten DinasSatker, aspirasi masyarakat seringkali dipangkas. Bahkan sering diganti dengan proyek hasil perselingkuhan antara anggota DPRD tertentu dengan dengan pihak eksekutif. Akibatnya isi APBD pun lebih banyak kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyatnya. Sehingga, meskipun programnya baik tetapi sering tidak ketemu dengan asas manfaat karena tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga sering kita jumpai masyarakat kurang peduli dalam mendukung program ini maupun memeliharanya. Berdasarkan pengalaman penulis, setelah mengikuti beberapa kali kegiatan Musrenbang Kecamatan maupun Musrenbang Kabupaten sejak tahun 2003 hingga 2007, masyarakat Desa selalu mengeluhkan tentang usulan mereka yang jarang sekali terealisasi dalam APBD, bahkan ada usulan yang setiap tahun mereka usulkan juga tidak kunjung terealisasi. Hal senada juga diungkapkan oleh Bappeda yang seringkali menerima keluhan dari masyarakat tentang usulan mereka yang tidak pernah terealisasi dalam APBD. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyertaan masyarakat hanya sebatas difungsikan sebagai peredaman dan sama sekali belum nampak usulan dari masyarakat bawah secara substantif. Media peredaman ini nampak sekali saat pada berlangsungnya Musrenbangdes dimana minimnya kepentingan dan kebutuhan rakyat menjadi referensi pembuatan program kerja, karena forum tersebut hanya sebatas media sosialisasi rancangan program pembangunan yang akan dilakukan oleh SKPD, bukan forum musyawarah yang sesungguhnya. Apabila mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Nomor 25 Tahun 2004 yang mengatur pengelolaan keuangan Negara dan daerah, Undang- undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 tentang perencanaan dan penganggaran di daerah, dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa rakyat berhak untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan Anggaran. Kemudian Permendagri 13 Tahun 2006 pasal 4 yang kemudian diganti Permendagri 59 Tahun 2007 menyatakan bahwa Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang- undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Dari penjelasan diatas, masyarakat memiliki peluang untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya untuk diprogramkan dan dianggarkan dalam APBD. Artinya mempunyai peluang yang luas bagi Pemda dan DPRD untuk mendengar, menghimpun dan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk merumuskan program-program yang mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD pada hakekatnya bersumber dari uang rakyat. Karenanya, kepentingan rakyat haruslah menjadi prioritas utama dalam penganggarannya dan tentunya bukan untuk kepentingan elit. Dengan demikian maka pembangunan sebagai continuously process akan dapat berjalan dengan baik serta manfaat pembangunan betul-betul dapat dirasakan masyarakat, jika proses dan hasil-hasil Musrenbang dilakukan secara benar dan direalisasikan dengan benar pula dalam APBD. Ada beberapa alasan rakyat berhak terlibat dan mendapatkan porsi alokasi anggaran yang rasional dan proposional dari APBD yaitu : 1. Rakyat merupakan penyumbang utama sumber penerimaan dalam APBD melalui pajak dan Retribusi, bahkan sumber penerimaan yang berasal dari hutang pun, kebutuhan rakyat jualah yang dipresentasikan pada pihak ketiga. 2. Sesuai hakekat dan fungsi Anggaran, rakyat merupakan tujuan utama yang akan disejahterakan. 3. Amanah Konstitusi pasal 23 UUD 1945, dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa rakyat berhak untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan Anggaran. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Keuangan Negara dan Permendagri. Mengacu pada latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan judul ” ANALISIS PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH APBD KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2008”.

1.2. Perumusan Masalah