Perikanan Ekonomi Masyarakat Manggarai Barat .1 Pertanian

Masyarakat Manggarai termasuk masyarakat Manggarai Barat merupakan bagian dari enam kelompok etnis di pulau Flores. Manggarai adalah bagian dari Manggarai-Riung. Dalam masyarakat tradisional Manggarai termasuk Manggarai Barat terdiri dari 38 kedaluan hameente, yakni: Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Lelak, Wotong, Todo, Pongkir, Pocoleok, Sita, Torokgolo, Ronggakoe, Kepo, Manus, Rimu, Welak, Pacar, Reho, Bari, Pasat, Nggalak, Ruis, Reo, Cibal, Lambaleda, Congkar, Biting, Pota, Rembong, Rajong, Ngoo, Mburak, Kempo, Boleng, Matawae, Lo’o dan Bajo. Dari setiap kedaluan bersemi mitos atau kisah kuno mengenai asal usul leluhurnya dengan banyak kesamaan, yaitu bagaimana nenek moyangnya datang dari laut atau seberang, bagaimana nenek moyangnya turun dari gunung, menyebar dan mengembangkan hidup dan kehidupan purbanya serta titisannya. Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda dan sebagainya. Cina Pengaruh Cina cukup kuat dan merata di seluruh propinsi NTT. Di Manggarai, pengaruh Cina dibuktikan dengan ditemukannya barang-barang Cina seperti guci, cermin, perunggu, uang cina dan sebagainya. Pengaruh Cina dimulai sejak awal masehi. Dari benda-benda yang ditemukan di Warloka terdapat sejumlah benda antik dari Dinasti Sung dan Ming, dibuat antara tahun 960 sampai tahun 1644. Jawa Pengaruh Jawa terutama berlangsung pada masa Hindu. Di Timo, pada tahun 1225 telah ada utusan dari Jawa. Diberbagai daerah di NTT ditemukan mitos mengenai Madjapahit, sedangkan di Manggarai label Jawa jadi toponimi di beberapa tempat, seperti Benteng Jawa. Bugis, Makasar, Bima. Pengaruh Bugis, Makasar di NTT termasuk luas, di Flores, Solor, Lembata, Alor dan Pantar. Sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya menguasai Flores Barat bagian selatan, tetapi juga seluruh Manggarai. Mereka menyetorkan upeti atau pajak ke Sultan Goa. Kesultanan Goa berjaya di Flores sekitar tahun 1613 –1640. Pengaruh Goa tampak pada budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1722 Sultan Goa dan Sultan Bima berunding. Hasil perundingan daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot yang dimenangkan Cibal. Pertentangan antara Cibal dan Todo, kemudian melahirkan Perang Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli Wudi. Perang Weol I dimenangkan oleh pihak Cibal tetapi dalam perang Weol II dan Perang Bea Loli, Cibal mengalami kekalahan. Bima saat itu membantu Todo. Kenyataan ini mengkokohkan posisi