Pengantar Sejarah Singkat Kabupaten Manggarai barat

lahan kritis. Iklim mikro kawasan pegunungan seperti bagian dari Kecamatan Sano Nggoang, Kuwus dan Lembor cocok untuk budidaya kakao. Tanaman perkebunan lainnya, seperti kapuk, kemiri, cengkeh dan vanili berdasar kesesuaian lahan dan iklim mikro yang ada merupakan tanaman-tanaman perkebunan yang cocok untuk dikembangkan di Manggarai Barat. Namun demikian, pengembangan tanaman perkebunan juga harus dikendalikan ketika ada indikasi mulai merambah kawasan konservasi atau lindung http:manggaraibaratkab.go.id diunduh pada tanggal 16 April 2014.

2.2.3.3 Kehutanan

Luas kawasan hutan di Kabupaten Manggarai Barat tahun 2006 adalah 130.152, 83 ha, atau 44 dari total wilayah. Kawasan hutan yang terluas berada di Taman Nasional yaitu 24 dari total luas hutan. Berdasarkan data tahun 2006, jumlah rumah tangga yang mengusahakan tanaman kehutanan adalah 24.316 keluarga. Jumlah terbesar ada di Kecamatan Lembor 6.604 keluarga. Tanaman kehutanan yang paling banyak diusahakan masyarakat adalah pohon jati 97.140 pohon. Lokasi penanaman tanaman kehutanan terbesar ada di Kecamatan Macang Pacar. Sumbangan sub-sektor kehutanan dalam PDRB Manggarai Barat tahun 2006, masih sangat kecil bahkan yang paling kecil di antara sektor Pertanian. Pada saat ini permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan potensi kehutanan adalah masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan konservasi, produksi dan hutan lindung, serta masih minimnya perluasan kawasan hutan untuk kepentingan konservasi dan peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Beberapa kawasan di Manggarai Barat telah mengembangkan atau memperkuat kearifan lokal terkait hukum adat yang melindungi kelestarian hutan, dimana aspek-aspek pelestarian hutan termasuk sangsi-sangsi bagi pelanggarnya semakin dimasyarakatkan. Masyarakat Tado dan masyarakat sekitar Danau Sano Nggoang adalah bagian dari masyarakat adat yang mencoba melestarikan hutan. Upaya-upaya civil agro-forestry juga perlu terus dikembangkan, khususnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar kawasan hutan, dengan pengembangan budidaya terpadu hutan dan peternakan, hutan dengan hortikultura, dan sejenisnya http:manggaraibaratkab.go.id diunduh pada tanggal 16 April 2014.

2.2.3.4 Perikanan

Kabupaten Manggarai Barat memiliki luas wilayah darat dan laut sebesar 9.450,00 Km2. Dari total luas wilayah tersebut, 64 adalah wilayah laut perairan atau seluas 6.052,50 Km2. Sektor perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya, merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Kabupaten Manggarai Barat. Hamparan ekosistem terumbu karang sangat kaya dengan keanekaragaman biota lautnya juga banyak dijumpai di perairan laut Kabupaten Manggarai Barat. Potensi terumbu karang ini potensial untuk pengembangan wisata bahari. Beberapa yang telah dikembangkan sebagai objek wisata bahari antara lain Kawasan Taman Nasional Komodo, yang telah dijadikan kawasan konservasi laut. Potensi kehidupan laut di taman nasional ini tercatat sebanyak 259 jenis karang dan 1.000 jenis ikan seperti Barakuda, Marlin, Ekor kuning, Kakap Merah, Baronang, dan lain-lain. Perairan di Manggarai Barat, khususnya di Selat Molo dikenal memiliki arus laut yang kuat, yang disebabkan oleh perubahan arus harian antara kawasan lautan lepas Lautan Hindia dan laut pedalaman seperti di kawasan Kepulauan Komodo-Rinca dan Laut Flores. Arus laut harian yang kuat di Selat Molo ini ke depan dapat dimanfaatkan sebagai sumber listrik tenaga arus laut, walaupun saat ini tenaga listrik tersebut masih dalam tahap pengembangan atau penelitian. Perairan Kabupaten Manggarai Barat memiliki potensi perikanan yang amat besar, diantaranya potensi ikan kerapu, kakap, bawal, lencang, dan ekor kuning. Potensi pengembangan perikanan budidaya laut yang cukup prospektif adalah mutiara, rumput laut, teripang, kerapu, baronang, udang dan bandeng. Usaha budidaya ini dapat dikembangkan di perairan Komodo dan sekitarnya http:manggaraibaratkab.go.id diunduh pada tanggal 16 April 2014.

2.2.3.5 Peternakan

Potensi peternakan di Kabupaten Manggarai Barat dilakukan melalui pengembangan terpadu antara ternak dengan kawasan perkebunan maupun dengan kawasan padang rumput. Berdasarkan data kawasan yang cukup luas untuk melakukan usaha ternak adalah di Kecamatan Komodo 63.314 Ha, Kecamatan Sano Nggoang 21.745 Ha dan Kecamatan Lembor 19.619 Ha. Untuk pemeliharaan ternak babi, kambing dan ayam tersebar merata di semua wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Sumbangan sub-sektor peternakan dalam PDRB Manggarai Barat tahun terakhir, yakni tahun 2005 adalah 8,47 dari total PDRB, prosentase ini cukup besar dari pada sumbangan sub-sektor perkebunan atau perikanan-kelautan. Berdasarkan data tahun 2005, jumlah populasi ternak di Kabupaten Manggarai Barat adalah ternak besar 24.413, ternak kecil 32.155 dan ternak unggas 75.960 ekor. Pada saat ini, permasalahan yang dihadapi untuk meningkatkan produksi hasil ternak antara lain adalah lambatnya usaha penyediaan bibit ternak yang berkualitas, penyediaan sarana peternakan, keterbatasan kualitas pakan ternak, kesepakatan masyarakat untuk menetapkan lahan peternakan dalam arti status fungsi secara hukum lahan untuk menjamin pemeliharaan ternak, berjangkitnya berbagai jenis penyakit ternak baik pada sapi, kerbau, babi, kambing dan ternak unggas. Berdasarkan data pemotongan hewan ternak selama 2 tahun, dari 2003-2004 menunjukkan konsumsi daging di Kabupaten Manggarai Barat mengalami peningkatan yang signifikan, khususnya konsumsi untuk daging sapi dan babi http:manggaraibaratkab.go.id diunduh pada tanggal 16 April 2014.

2.2.3.6 Pertambangan

Potensi pertambangan di Kabupaten Manggarai Barat tergolong kecil. Beberapa mineral yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti emas, marmer, tobeki, timbal, seng, gamping dan mangan telah diidentifikasi terdapat di beberapa wilayah yang ada di 7 kecamatan pada kabupaten ini. Namun demikian, riset yang mendalam mengenai kandungan bahan tambang dan kelayakan usaha eksplorasinya belum dilakukan Sumbangan sub-sektor pertambangan pada PDRB Manggarai Barat berasal dari kegiatan penggalian, yakni penggalian bahan tambang Golongan C, dimana pada data selama tahun 2003-2004 berdasar PDRB harga konstan 2000 menunjukkan angka yang relatif tetap, yakni Rp. 7,3 milyar atau sekitar 2,25 dari total PDRB. Bahan galian golongan C, yakni: Bahan galian pasir dan batu Andesit: berasal dari endapan sungai, banyak dilakukan di sungai Wae Mese. Daerah ini merupakan pensuplai pasir terbesar untuk pembangunan di kota Labuan Bajo. Penggalian batu belah banyak dilakukan di sekitar Marombok. Daerah lain yang dinilai banyak mengandung bongkah andesitik untuk batu belah adalah daerah landai sebelah selatan kota Labuan Bajo. Lempung: lempung merupakan material berbutir halus, baik sebagai endapan aluvial di sebelah timur kota Labuan Bajo, tepatnya di timur dan selatan Marombok. Lempung banyak digunakan untuk bahan pembuatan batu bata. Tanah Urug: dengan ukuran butir lanau sampai pasir halus banyak ditambang di daerah sekitar DAS Wae Mese, morfologinya berupa perbukitan, secara geologi tersusun oleh batuan pasir tufa. Bagian atas dari lapisan pasir tufa mengalami pelapukan lanjut hingga rendah sampai ketebalan 10 m, merupakan material yang digali untuk tanah urug http:manggaraibaratkab.go.id diunduh pada tanggal 16 April 2014.

2.3 Sejarah Singkat Kabupaten Manggarai barat

Berdasarkan penyelidikan para arkeolog ethnograf di Manggarai termasuk Manggarai Barat telah ditemukan beberapa jejak kehidupan purba, antara lain dapat dilihat dari pola perkampungan masyarakat purba dan penemuan fosil purba di beberapa tempat di Manggarai dan Manggarai Barat. Dalam perkampungan purba selalu ditemukan unsur zaman batu. Fenomena tehnologi purba, bagaimana orang zaman dahulu kala membangun mosaik hidup dan kehidupannya dengan unsur batu sebagai fondasi pola perkampungan, serta khusus untuk Compang yang dihayati sebagai mesbah persembahan. Masyarakat Manggarai Barat merupakan bagian dari masyarakat Manggarai. Pada zaman reformasi, Manggarai mengalami perubahan dengan melakukan pemekaran wilayah menjadi Manggarai dan Manggarai Barat. Perubahan ini terjadi pada tahun 2003. Pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga secara historis antara masyarakat Manggarai dan Manggarai Barat tidak dapat dipisahkan diantara keduanya. Masyarakat Manggarai termasuk masyarakat Manggarai Barat merupakan bagian dari enam kelompok etnis di pulau Flores. Manggarai adalah bagian dari Manggarai-Riung. Dalam masyarakat tradisional Manggarai termasuk Manggarai Barat terdiri dari 38 kedaluan hameente, yakni: Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Lelak, Wotong, Todo, Pongkir, Pocoleok, Sita, Torokgolo, Ronggakoe, Kepo, Manus, Rimu, Welak, Pacar, Reho, Bari, Pasat, Nggalak, Ruis, Reo, Cibal, Lambaleda, Congkar, Biting, Pota, Rembong, Rajong, Ngoo, Mburak, Kempo, Boleng, Matawae, Lo’o dan Bajo. Dari setiap kedaluan bersemi mitos atau kisah kuno mengenai asal usul leluhurnya dengan banyak kesamaan, yaitu bagaimana nenek moyangnya datang dari laut atau seberang, bagaimana nenek moyangnya turun dari gunung, menyebar dan mengembangkan hidup dan kehidupan purbanya serta titisannya. Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda dan sebagainya. Cina Pengaruh Cina cukup kuat dan merata di seluruh propinsi NTT. Di Manggarai, pengaruh Cina dibuktikan dengan ditemukannya barang-barang Cina seperti guci, cermin, perunggu, uang cina dan sebagainya. Pengaruh Cina dimulai sejak awal masehi. Dari benda-benda yang ditemukan di Warloka terdapat sejumlah benda antik dari Dinasti Sung dan Ming, dibuat antara tahun 960 sampai tahun 1644. Jawa Pengaruh Jawa terutama berlangsung pada masa Hindu. Di Timo, pada tahun 1225 telah ada utusan dari Jawa. Diberbagai daerah di NTT ditemukan mitos mengenai Madjapahit, sedangkan di Manggarai label Jawa jadi toponimi di beberapa tempat, seperti Benteng Jawa. Bugis, Makasar, Bima. Pengaruh Bugis, Makasar di NTT termasuk luas, di Flores, Solor, Lembata, Alor dan Pantar. Sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya menguasai Flores Barat bagian selatan, tetapi juga seluruh Manggarai. Mereka menyetorkan upeti atau pajak ke Sultan Goa. Kesultanan Goa berjaya di Flores sekitar tahun 1613 –1640. Pengaruh Goa tampak pada budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1722 Sultan Goa dan Sultan Bima berunding. Hasil perundingan daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot yang dimenangkan Cibal. Pertentangan antara Cibal dan Todo, kemudian melahirkan Perang Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli Wudi. Perang Weol I dimenangkan oleh pihak Cibal tetapi dalam perang Weol II dan Perang Bea Loli, Cibal mengalami kekalahan. Bima saat itu membantu Todo. Kenyataan ini mengkokohkan posisi Bima di Manggarai, hingga masuknya pengaruh ekspedisi Belanda pertama tahun 1850 dan ekspedisi kedua tahun 1890 dibawah pimpinan Meerburg. Ekspedisi yang terakhir pada tahun 1905 dibawah Pimpinan H.Christofel. Kehadiran Belanda di Manggarai, membuahkan perlawanan sengit antara Belanda dan rakyat Manggarai di bawah Pimpinan Guru Amenumpang yang bergelar Motang Rua tahun 1907 dan 1908. Namun sebelum menghadapi perlawanan Motang Rua, Belanda mendapat perlawanan dari Kraeng Tampong yang akhirnya tewas ditembak Belanda dan dikuburkan di Compang Mano. Kerajaan lain yang pernah berkuasa di Manggarai adalah Kerajaan Cibal, Kerajaan Lambaleda, Kerajaan Todo, Kerajaan Tana Dena dan Kerajaan Bajo. Pada saat ini bukti serajah tentang kerajaan tersebut yang masih tersisa adalah Kerajaan Todo, walaupun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Referensi tentang penelusuran tentang kerajaan-kerajaan Manggarai sulit untuk didapatkan. Pengaruh Belanda ada sejak adanya 3 kali ekspedisi Belanda ke Manggarai, yaitu tahun 1850,1890, dan tahun 1905. Pengaruh Belanda di Manggarai terutama pada didirikannya sekolah-sekolah dan agama Katolik. Pada abad ke-16, Belanda berekspansi ke Flores Barat untuk menguasai Manggarai. Penguasaan Manggarai tidak dilakukan secara langsung oleh Belanda, tetapi melalui Kerajaan Goa yang berkedudukan di Makasar. Jadi, Manggarai di bawah kekuasaan Kerajaan Goa. Saat itu orang-orang Sulawesi memang telah memeluk agama Islam. Kehadiran Kerajaan Goa di Manggarai tidak menyebarkan agama. Kerajaan Goa hanya menjalankan pemerintahan yang digariskan Belanda. http:manggaraibaratkab.go.id diunduh pada tanggal 16 April 2014.

2.4 Agama

Penduduk Kabupaten Manggarai Barat terbagi dalam beberapa agama yang tersebar di semua kecamatan. Jumlah pemeluk agama menurut golongan agama pada tahun 2011 adalah Katolik sebanyak 179.760 jiwa, Protestan sebanyak 1.878 jiwa, Islam sebanyak 45.525 jiwa, Hindu sebanyak 181 jiwa, Budha sebanyak 21 jiwa dan lainnya sebanyak 230 jiwa. Jumlah sarana ibadah di Kabupaten Manggarai Barat, yaitu 21 Gereja Katolik, 139 Kapela, 8 Gereja Protestan, 125 Mesjid, 7 Mushola dan 1 Pura. Khusus untuk jamaan haji di Kabupaten Manggarai Barat pada tahun 2011 telah memberangkatkan 320 jemaah dengan penyebarannya terdapat di Kecamatan Komodo 282 orang, Kecamatan Boleng 12 orang, Kecamatan Sano Nggoang 3 orang, Kecamatan Lembor 17 orang dan Kecamatan Macang Pacar 6 orang http:manggaraibaratkab.go.id diunduh pada tanggal 16 April 2014.

2.5 Kesenian Manggarai Barat

2.5.1 Seni Tenun, Seni Suara, Seni Musik, dan Seni Tari

Kesenian tradisional dengan ciri khas daerah yang berkembang di Manggarai Barat adalah seni tenun, seni suara, seni musik dan seni tari. Dalam seni tenun, corak tenun yang banyak berkembang adalah hitam gelap dengan berbagai motif warna-warni. Setiap motif tenun terkandung makna filosofis. Pada seni suara kegiatan menyanyi dilakukan secara tradisional. Pada umumnya berkaitan dengan berbagai upacara adat. Berbagai syair yang sakral banyak dilagukan dengan irama yang khas dengan diiringi musik tradisional sederhana seperti gong, gendang, kombeng dan suling. Untuk lagu daerah yang terkenal adalah sanda dan mbata. Untuk seni musik, jenis alat musik tradisional masyarakat Manggarai adalah gendang, gong, kerontong, dan nyiru. Untuk melestarikan seni tari dan seni suara, ada 14 sanggar seni di Kabupaten Manggarai Barat yang secara rutin melakukan kegiatan latihan tari. Sebagian besar sanggar dikelola oleh sekolah dan masyarakat. Pada saat ini, even penyelenggaraan pentas seni tari dan seni suara belum secara rutin dilakukan. Pementasan dilakukan berdasarkan pemesanan. Sanggar tari tersebut menjalin kerjasama dengan pihak tour untuk melakukan pementasan bagi wisatawan. Ada beberapa jenis tarian yang sering ditampilkan, yaitu tari Caci, Nunundake, Sanda, Pepak, dan Sae.

2.5.2 Pola Perkampungan Dan Rumah Adat Masyarakat Manggarai

Kampung tradisional di Manggarai Barat berbentuk bundar dengan pintu saling berhadapan. Bentuk bulat menyarankan makna keutuhan atau kebulatan. Bentuk kampung demikian diperkuat oleh tuturan ritual. Secara mistis kampung dibagi atas tiga, yaitu pa’ang bagian depan, ngandu pusat, dan ngaung atau musi bagian belakang kampung. Arsitektur tradisional termanifestasikan dalam bentuk rumah gendang dan compang. Rumah Gendang – rumah tradisional Manggarai Barat biasa disebut dengan nama Mbaru Gendang atau Mbaru Tembong. Bentuknya menyerupai seperti kerucut yang terbuat dari rerumputan kering. Struktur bangunan menerus dari atap sampai lantai http:manggaraibaratkab.go.id diunduh pada tanggal 16 April 2014.

2.5.3 Kerajinan Tangan

Jenis kerajinan yang ada di Kabupaten Manggarai Barat , antara lain kerajinan kain tenu n, kerajinan patung komodo, kerajinan songkok. Khusus untuk ke ra jianan tenun, pada saat ini telah ada satu kelompok tenun di Kabupaten Manggarai Barat, yaitu kelompok Teratai Maha Karya. Untuk kerajinan patung komodo, dilakukan oleh penduduk yang bermukim di Taman Nasional Komodo http:manggaraibaratkab.go.id diunduh pada tanggal 16 April 2014.

2.6 Rangkuman

Dongeng Orong Agu Kode dalam konteks sejarah sudah ada sejak zaman kerajaan. Pada tahun 1722 Manggarai di bawah pemerintahan kerajaan Bima. Di dalam dongeng diceritakan sebuah pulau yang bernama pulau Dima. Pulau Dima sama artinya Bima, tetapi masyarakat Manggarai pada zaman dulu menyebut Bima dengan Dima. Hampir semua dongeng daerah Manggarai Barat memiliki nilai agama, nilai budaya, dan nilai kesenian. Nilai agama dapat dilihat dari keempat varian dongeng tersebut, yaitu kepercayaan akan kekuatan Matahari. Nilai budaya juga tercermin dalam dongeng tersebut, yaitu budaya gotong royong dimana pada para monyet bekerja sama membuat perahu yang diminta oleh burung Bangau atau Orong. Begitu pula nilai kesenian terdapat dalam dongeng Orong Agu Kode, yaitu seni suara. Dimana burung Bangau atau Orong menyanyikan lagu yang berisikan doa atau semacam mantra. 47

BAB III TRANSKRIPSI DAN PERBANDINGAN TEKS DONGENG

ORONG AGU KODE

3.1 Pengantar

Dalam Bab ini akan dipaparkan transkripsi dongeng Orong Agu Kode dan juga terjemahan dari dongeng tersebut. Transkripsi ialah pengubahan dari bentuk wicara lisan menjadi bentuk tertulis. Dalam melakukan studi sastra lisan, sedapat mungkin diusahakan terjemahan kata demi kata terjemahan harafiah. Meskipun demikian, mengingat konteks kalimat, kelancaran bahasa Indonesia, dan kejelasan pengertian, penerjemahan kata demi kata secara konsisten tidak selalu mungkin. Dalam kasus yang demikian, terjemahan harafiahnya ditempatkan dalam catatan Taum, 2011: 243-245.

3.2 Transkripsi Dongeng Orong Agu Kode DONGENG ORONG AGU KODE Bangau dan Monyet

Teks A Teks Bahasa Manggarai “Da’at pande da’at ita. Di’a pande di’a ita”. Mamur mose de kraeng Kode. Danong ca mongko hang ata minak na ngasang na boa Mbahong. Eme baru ket Mbahong hitu bae na ruis na. Ca leso ge bantang ise Kode agu Orong mo kawe boa Mbahong. Ita olo de Kode. Mai hi a ga wetok boa hitu. Laing di’a wetok le hia, lempok ket boa hitu mo one isung de Kode. Retang tu de Kode ra “Cacong kela. Mata aku gra”. “Co’o ra kela?” Jaong de Orong. “Boa ra kela mo ket one isung gaku e”. Jaong de Orong, “susah o kela. Mata ite tu ga”. Mai jaong de Kode ga, “Campe ra kela”. Nggo’o jaong de Orong, “aku ket ndetuk e o kela, landing mo one tuka gaku e ding ga”. Mai jaong de Kode gra, “Maram da kela tamang mose ge aku”. “Neka susa kela, ho’o kesa dite ho”. Ndetuk tu le Orong boa ho’o wa tuka ko di’i. Mai jaong de Kode ga, “Nia ro kela ga?” “Hae, wa tuka e ko kela”, wale de Orong. “Darat na koe na boa Mbahong hang ket lahu”. Patok, nduti du wulu de Orong e ra gelang taung wulu de Orong. Retang de Orong ro, toe ngance lelap. Mo Orong ho’o ga eta wewo watu ngaji agu Leso. Paro Leso paro mai Leso todo taung wulu gaku Todo taung onr racap na Paro Leso mai eta mai Leso todo taung wulu gaku Todo taung wulu kelor, todo taung eta tuni musi na. Mane kole tana, mai jaong de Orong ho’o Paro Leso mai sale mai Leso todo taung wulu gaku Todo taung wulu racap na Laing ca todo taung wulu de Orong ngance te lelap e Orong hitu ga. Mo Orong hitu ga lelap ger le ger lau toto senang laing. Laing ca todo wulu weki na. Pas pas pas naring Mori todo taung wulu gaku Di’a Mori go Pas pas pas naring Mori todo taung wulu gaku Di’a Mori go