Rusaknya RE diketahui juga berkontribusi menyebabkan hilangnya kemampuan untuk mensintesis protein dan menghasilkan penurunan jumlah produksi kompleks
yang juga berdampak pada perlemakan hati Timbrell, 2008. Selain mekanisme perlemakan hati yang telah disebutkan, CCl
4
menyebabkan berbagai kerusakan di hati melalui beberapa mekanisme lainnya dengan menyerang molekul-molekul seluler. Metabolit-metabolit CCl
4
yang menyerang molekul seluler akan menghasilkan ROS, termasuk O
2 -
, H
2
O
2
, dan radikal hidroksil. Banyaknya jumlah ROS yang terbentuk akan menyebabkan
kondisi stres oksidatif, yaitu kondisi disaat kapasitas pertahanan tubuh tidak mampu untuk menetralisir ROS. ROS juga menyebabkan mekanisme pertahanan
antioksidan semakin melemah. Konsentrasi intraseluler GSH, aktivitas SOD dan catalase
CAT akan berkurang, serta juga menyebabkan berkurangnya sistem detokfikasi yang diproduksi oleh GSH Bhattacharjee and Sil, 2007.
Mekanisme kerusakan yang disebabkan oleh CCl
4
dan manifestasi klinis yang dihasilkan mirip dengan mekanisme dan manifestasi klinis perlemakan hati
akibat peranan stres oksidatif Pacana and Sanyal, 2015. Oleh karena itu, kondisi tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl
4
dapat menggambarkan kondisi perlemakan hati pada tikus. Hasil pengukuran ALT dan AST pada penelitian ini
juga mendukung pernyataan tersebut. Hasil pengukuran aktivitas serum ALT pada tikus terinduksi CCl
4
adalah 156,1 ± 7,7 UL, sedangkan aktivitas serum AST pada tikus terinduksi CCl
4
adalah 674,3 ± 5,5 UL. Jika dibandingkan dengan hasil kontrol CMC, secara statistik
aktivitas serum ALT berbeda bermakna p=0,000. Aktivitas serum AST jika
dibandingkan dengan hasil kontrol CMC secara statistik juga berbeda bermakna p=0,000. Kenaikan aktivitas serum ALT yang merupakan parameter utama dalam
penelitian ini besarnya sekitar 3 kali. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa terjadi perlemakan hati pada tikus betina galur Wistar terinduksi CCl
4
. Adanya kenaikan lebih dari 3 kali dapat mengindikasikan bahwa kerusakan yang
terjadi pada hewan uji cenderung bukan steatosis sederhana, namun telah mulai terjadi juga penggelembungan hepatosit, inflamasi, stres oksidatif, ataupun
kematian sel yang lebih mirip dengan kondisi NASH, penyakit tahap lanjut dari steatosis
Depner, Lytle, Tripathy, and Jump, 2015.
3. Kelompok kontrol FHEMM
Kontrol FHEMM digunakan untuk melihat pengaruh pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari terhadap aktivitas serum ALT dan AST tikus normal.
Perlakuan pada kelompok kontrol FHEMM disesuaikan dengan perlakuan pada kelompok perlakuan namun tanpa pemberian CCl
4
. Kelompok kontrol FHEMM diberi FHEMM dosis III secara p.o. satu kali sehari selama enam hari berturut-turut.
Dosis III dipilih karena diasumsikan aktivitas senyawa pada dosis tertinggi 137,14 mgkgBB adalah yang paling besar sehingga mampu mewakili aktivitas
pada dosis II 68,57 mgkgBB dan dosis I 34,28 mgkgBB. Apabila FHEMM memiliki efek peningkatan aktivitas serum ALT dan AST pada dosis I dan dosis II,
diduga efek tersebut akan lebih besar pada dosis III, sehingga pengamatan efek peningkatan aktivitas serum ALT dan AST cukup dilakukan dengan menggunakan
dosis III.
Hasil statistik aktivitas serum ALT kontrol FHEMM dibandingkan dengan kontrol CMC berbeda tidak bermakna p=0,997. Aktivitas serum AST kontrol
FHEMM dibandingkan dengan kontrol CMC secara statistik juga berbeda tidak bermakna p=0,987. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian FHEMM dosis
137,14 mg.kgBB tidak menyebabkan peningkatan aktivitas serum ALT dan AST pada tikus betina galur Wistar.
4. Kelompok perlakuan
Kelompok perlakuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kelompok yang mendapatkan pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari dan
diinduksi dengan hepatotoksin CCl
4
. Dalam penelitian ini terdapat tiga kelompok perlakuan yang diberi perlakuan sama kecuali dosis FHEMM yang diberikan.
Kelompok perlakuan dosis I diberi FHEMM dosis 34,28 mgkgBB, kelompok perlakuan dosis II diberi FHEMM dosis 68,57 mgkgBB, sedangkan kelompok
perlakuan dosis III diberi FHEMM dosis 137,14 mgkgBB. Tiap kelompok diberikan FHEMM sesuai dengan dosis yang telah ditetapkan dengan frekunsi
pemberian satu kali sehari selama enam hari berturut-turut secara p.o. kemudian pada hari ketujuh diinjeksi CCl
4
. Pengambilan darah tikus melalui sinus orbitalis diambil 24 jam setelah injeksi CCl
4
sesuai dengan hasil orientasi. Hasil pengukuran aktivitas serum ALT dan AST kelompok perlakuan
dibandingkan secara statistik dengan kontrol hepatotoksin dan kontrol negatif untuk dilihat efek pencegahan kenaikan aktivitas serum ALT dan AST tikus betina galur
Wistar terinduksi CCl
4
. Perbandingan antara masing-masing kelompok perlakuan juga dilakukan untuk melihat ada tidaknya kekerabatan antara dosis FHEMM
dengan efek pencegahan kenaikan aktivitas serum ALT dan AST tikus betina galur Wistar terinduksi CCl
4
. Aktivitas serum ALT pada tikus yang diberi FHEMM dosis 34,28
mgkgBB dan CCl
4
adalah 134,3 ± 8,0 UL. Dengan membandingkan hasil ini dengan kontrol CMC diketahui bahwa terjadi peningkatan aktivitas serum ALT dari
keadaan normal, yang secara statistik berbeda bermakna p=0,000, sedangkan bila dibandingkan dengan kontrol CCl
4
diketahui bahwa pemberian FHEMM dosis 34,28 mgkgBB dapat sedikit mencegah kenaikan aktivitas serum ALT, yang secara
statistik berbeda tidak bermakna p=0,126. Berdasarkan perhitungan dari data yang diperoleh diketahui bahwa pemberian FHEMM dosis 34,28 mgkgBB memiliki
efek pencegahan kenaikan aktivitas serum ALT pada tikus betina galur Wistar terinduksi CCl
4
sebesar 20,11. Walaupun demikian, secara statistik pemberian FHEMM dosis 134,3 ± 8,0 UL tidak terbukti memiliki efek pencegahan kenaikan
aktivitas serum ALT pada tikus betina galur Wistar terinduksi CCl
4
. Aktivitas serum AST pada tikus yang diberi FHEMM dosis 34,28
mgkgBB dan CCl
4
adalah 412,5 ± 20,6 UL. Hasil ini menunjukkan adanya peningkatan aktivitas serum AST dari keadaan normal, yang secara statistik
berbeda bermakna p=0,001 terhadap kontrol CMC. Dibandingkan dengan kontrol CCl
4
dapat diketahui terdapat pencegahan kenaikan aktivitas serum AST, yang secara statistik berbeda bermakna p=0,001. Dari hasil ini diketahui bahwa secara
statistik terbukti bahwa pemberian FHEMM dosis 34,28 mgkgBB dapat mencegah kenaikan serum AST, dan dari hasil perhitungan pemberian FHEMM dosis 34,28
mgkgBB memiliki efek pencegahan kenaikan sebesar 45,98.