Patologi Hati PENELAAHAN PUSTAKA
oleh sel penghadir antigen APC, melalui protein histokompatibilitas utama yang diekspresikan ke permukaan sel. Sel dendritik DC adalah APC yang berperan
dalam infeksi hepatitis B dan C, contoh APC lainnya adalah sel kupffer. Toll-like receptors
TLR dapat mendeteksi molekul inang dan juga derivat yang berasal dari materi asing seperti bakteri dan virus sehingga sel dendritik dapat menyerang HCV
secara langsung. Dendritik sel mengaktifkan beberapa limfosit yaitu sel T naive CD4+, sel T CD8+, sel natural killer NK, dan sel T natural killer NKT Burt et
al. , 2012.
Sel naive CD4+ distimulasi oleh sitokin interleukin-4 IL-4 untuk berdiferensiasi menjadi sel T Th-2 CD4+. Sel T tersebut mensekresikan sitokin
Gambar 7.
Skema Respon Inflamasi Burt et al., 2012.
yang menstimulus sel B menjadi matang dan mensekresikan antibodi clonotypic. Stimulasi dari interleukin-12 IL-12 mengaktifkan sel T naive CD4+ untuk
berdiferensiasi menjadi sel T Th-2 CD4+. Sel tersebut mensekresikan interferon- IFN dan interleukin-2 IL-2, yang menstimulasi pengaktifan sel T CD8+
menjadi limfosit sitotoksik CTL Burt et al., 2012. NK, NKT dan CTL yang telah teraktifasi mensekresikan IFN , yang
memiliki efek antiviral pada hepatosit. Sel-sel tersebut juga dapat berinteraksi langsung dengan hepatosit untuk mempengaruhi sitolisis. Tumor necrosis factor-
α TNF
α yang disekresikan oleh CTL juga dapat menginduksi apoptosis hepatoseluler melalui jalur sinyal kematian. Melalui cara ini, infeksi HBV biasanya
dapat dibersihkan kecuali pada kondisi sistem imun yang tidak adekuat. Pada kasus infeksi HCV biasanya tidak dapat terbesihkan secara sempurna, karena
ketidakstabilan gen dari HCV dan pengembangan mutasi HCV, serta keadaan inadekuat imun alami untuk membersihkan virus dari hepatosit yang terinfeksi
Burt et al., 2012. Beberapa proses degeneratif pada hepatosit dapat berpotensi kebali pulih
misalnya seperti pada akumulasi lemak steatosis dan bilirubin kolestasis, namun beberapa kondisi atau dalam keadaan yang parah dan ketika kerusakan tidak dapat
pulih kembali akan terjadi kematian sel. Hepatosit mati melalui dua mekanisme utama, yaitu nekrosis dan apoptosis. Dalam nekrosis hepatosit, sel mengalami
pembengkakan karena regulasi osmotik yang cacat pada membran sel mengakibatkan cairan masuk kedalam sel, yang kemudian membengkak dan pecah.
Bahkan saat sebelum pecah, konten sitoplasma selain organela akan terbawa ke
bagian luar sel. Makrofag mendatangi situs kerusakan tersebut dan menandai situs nekrosis hepatosit karena sel-sel yang mati pada dasarnya pecah dan menghilang.
Bentuk kerusakan ini merupakan bentuk kematian sel yang paling banyak terjadi pada kerusakan iskemikhipoksia dan merupakan bagian signifikan dari respon stres
oksidatif Kumar et al., 2015. Apoptosis merupakan peristiwa yang dapat terjadi pada keadaan normal
ataupun pada keadaan patologis ketika sel menjadi rusak dan tidak dapat pulih kembali. Apoptosis hepatosit merupakan bentuk aktif dari kematian sel terprogram
yang menghasilkan penyusutan hepatosit, kondensasi kromatin inti sel piknosis, fragmentasi kromatin inti sel karioreksis, dan fragmentasi seluler menjadi
beberapa bagian yang disebut badan apoptosis yang bersifat asidofili Kumar et al., 2015.
Ketika terjadi kerusakan parenkim yang meluas, sering terdapat bukti adanya confluent necrosis atau nekrosis konfluen yang berarti kerusakan hepatosit
yang parah pada suatu zona. Kondisi ini dapat terlihat pada kasus kerusakan iskemik atau toksik akut ataupun pada infeksi virus yang parah atau hepatitis
autoimun. Nekrosis konfluen dapat terjadi ketika terdapat sebuah zona hepatosit disekitar vena sentral mengalami kerusakan. Rongga yang dihasilkan akan diisi
oleh sel debris, makrofag, dan sisa dari jaringan retikulin. Dalam bridging necrosis atau nekrosis penghubung, zona ini dapat menghubungkan vena sentral ke saluran
portal, atau menghubungkan portal-portal yang berdekatan. Meskipun pada penyakit seperti hepatitis viral yang hepatositnya menjadi target utama serangan,
adanya kerusakan vaskuler melalui inflamasi atau trombosis juga menyebabkan
kematian parenkim akibat luasnya kematian hepatosit dalam suatu zona Kumar et al.
, 2015. Regenerasi dari kematian hepatosit terjadi utamanya melalui replikasi
mitosis hepatosis yang berdekatan dengan sel yang telah mati, walaupun ketika terdapat nekrosis konfluen yang signifikan. Hepatosit hampir menyerupai sel punca
atau stem cell dalam kemampuannya untuk melanjutkan replikasi walaupun dalam keadaan kerusakan kronis selama bertahun-tahun, sehingga pembaruan oleh sel
punca biasanya bukan bagian yang signifikan dalam perbaikan parenkim. Dalam keadaan gagal hati akut yang parah, terdapat aktivasi dari relung sel punca
intrahepatik, yang dinamakan kanal Hering, namun kontribusi dari sel punca dalam pembaruan hepatosit dalam keadaan ini masih belum jelas. Walaupun begitu, pada
kebanyakan penderita penyakit kronis yang hepatositnya telah mencapai kondisi penurunan fungsi replikatif, terdapat bukti jelas dari aktivitas sel punca yang terlihat
dalam pembentukan reaksi duktular Kumar et al., 2015. Sel utama yang terlibat dalam pembentukan jaringan parut adalah sel
stelata hepatik Gambar 8. Dalam keadaan tidak aktif, sel tersebut adalah sel penyimpanan vitamin A. Dalam keadaan kerusakan akut dan kronis, sel stelata
dapat menjadi aktif dan menjadi miofibroblas yang sangat fibrogenik. Proliferasi sel stelata hepatik dan pengaktifan sel ini menjadi miofibroblas dimulai oleh
serangkaian perubahan termasuk peningkatan produksi platelet-derived growth factor receptor
β PDGFR- β dalam sel stelata. Pada waktu yang sama, sel kupffer dan limfosit mengeluarkan sitokin dan kemokin yang memodulasi pengeluaran gen
di sel stelata yang terlibat dalam fibrogenesis. Hal ini, termasuk perubahan
transforming growth factor β TGF- dan reseptornya yaitu metalloproteinasse 2 MMP-2, serta penginhibisi jaringan MMP-1 dan MMP-2 atau tissue inhibitors of
metalloproteinase 1 dan 2 TIMP-1 dan TIMP-2 Kumar et al., 2015.
Ketika sel-sel stelata dirubah menjadi miofibroblas, sel-sel tersebut melepaskan faktor komotaksis dan vasoaktif, sitokin, serta faktor pertumbuhan.
Miofibroblas merupakan sel kontraktil, kontraktilitas tersebut di stimulasi oleh endhothelin
-1 ET-1. Stimulus untuk pengaktifan sel stelata dapat berasal dari beberapa sumber. Pada inflamasi kronis, stimulus melalui tumor necrosis factor
TNF, limfotoksin, dan interleukin- 1β IL-1 , dan produk perioksidasi lipid.
Stimulus juga dapat berasal dari sitokin dan kemokin yang diproduksi oleh sel kupffer, sel endotelial, hepatosit dan sel epitelial duktus empedu. Selain itu stimulus
juga dapat berasal dari respon terhadap gangguan pada matriks ekstraseluler, serta stimulasi langsung oleh toksin dari sel stelata. Jika kerusakan persisten, proses
pembentukan jaringan parut dimulai, sering kali terjadi pada ruang Disse. Kondisi
Gambar 8.
Fibrosis Hati Burt et al., 2012
ini lebih sering terdapat pada penyakit perlemakan hati alkoholik dan non alkoholik, namun juga merupakan mekanisme umum pada pembentukan jaringan parut pada
bentuk kerusakan hati kronis lainnya Kumar et al., 2015. Zona kematian parenkim berubah menjadi septum fibrosa padat melalui
kombinasi retikulin yang telah kolaps, pada zona luas yang hepatositnya mati dan tidak dapat pulih serta sel stelata telah teraktifkan. Pada stadium akhir penyakit hati
kronis, septum fibrosa ini mengelilingi sel yang masih bertahan hidup, serta meregenerasi hepatosit sehingga menimbulkan jaringan parut menyebar yang
dideskripsikan sebagai sirosis Kumar et al., 2015. Sel lain yang mungkin berkontribusi signifikan pada pembentukan
jaringan parut pada situasi berbeda, termasuk diantaranya dalah fibroblas portal. Reaksi duktular juga memiliki peranan, melalui aktivasi dan perekrutan semua sel
fibrogenik, serta mungkin juga melalui transisi epitelial-mesenkimal. Peran dari sel- sel lain ini dan prosesnya masih belum diketahui secara pasti Kumar et al., 2015.
Apabila suatu kerusakan kronis berujung pada pembentukan jaringan parut diinterupsi misalnya pembersihan infeksi virus hepatitis, penghentian penggunaan
alkohol, maka aktivasi sel stelata akan berhenti, jaringan parut berkondensasi, menjadi lebih padat dan tipis, kemudian, karena adanya produksi MMP oleh
hepatosit, jaringan parut akan hilang. Melalui cara ini, jaringan parut dapat kembali pulih. Perlu diingat bahwa pada penyakit hati kronis kemungkinan terdapat area
dari progresi dan regresi fibrosis, pada saat penyakit aktif maka akan terjadi
progresi fibrosis sedangkan pada saat penyembuhan penyakit akan menghasilkan regresi dari fibrosis Kumar et al., 2015.