Penghitungan tahun 1965 Rp. 5.000.- x Rp. 125.000.-Rp. 200.- x 25 tahun x 12 bulan = Rp. 937.500.000..- sembilan ratus tiga puluh tujuh juta lima
ratus ribu rupiah atau majelis hakim dapat mengabulkan ganti kerugian dengan rumusan
sebagai berikut : Rata-rata gajiupahpenghasilan dan tunjangan sejak terjadi stigma G30S
danatau PKI x harga emas sejak terjadi stigma G30S danatau PKI dibagi harga emas sekarang x jumlah tahun usia produktif x jumlah bulan dalam
setahun = TOTAL
Wakil Kelompok II, yang belum mendapatkan pensiun pegawai negeri SIPILTNIPOLRI ;
Hitungan pada tahun 1983 Rp. 112.500.- x Rp. 125.000.-Rp. 2.700.- 25 tahun x 12 bulan = Rp. 1.562.500.000.- satu milyar lima ratus enam puluh
dua juta lima ratus ribu rupiah atau majelis hakim dapat mengabulkan ganti kerugian dengan rumusan
sebagai berikut : Rata-rata uang pensiun dari tiga per empat gaji sejak terkena stigma G30S
danatau PKI x harga emas sejak terjadi stigma G30S danatau PKI dibagi harga emas sekarang x jumlah tahun usia pensiun x jumlah bulan dalam
setahun = TOTAL
Wakil Kelompok III, korban penelitian khusus LITSUS dan tidak bersih lingkungan dengan tuduhan terlibat PKI secara langsung maupun tidak
langsung, sehingga dikeluarkan dari tempat kerjanya danatau sulit dapat mencari pekerjaan danatau dihambat jenjang karirnya ;
Gajiupahpenghasilan dan tunjangan Rp. 4.000.000.- x 14 tahun x 12 bulan = Rp. 672.000.000.- enam ratus tujuh puluh dua juta rupiah
Uang pensiunpesangon Rp. 3.000.000.- x 25 tahun x 12 bulan = Rp. 900.000.000.- sembilan ratus juta rupiah
TOTAL Rp. 1.572.000.000.- satu milyar lima ratus tujuh puluh dua juta rupiah
atau majelis hakim dapat mengabulkan ganti kerugian dengan rumusan sebagai berikut :
Rata-rata gajiupahpenghasilan dan tunjangan x Jumlah tahun masa produktif bekerja saat terkena penelitian khusus x Jumlah bulan dalam
setahun = TOTAL dan
Rata-rata uang pensiunpesangon x Jumlah tahun usia pensiunpesangon x Jumlah bulan dalam setahun = TOTAL
157
Wakil Kelompok IV, yang dicabut tunjangan veteran danatau jasa-jasa kepahlawanannya ;
Rp. 1.000.000.- x 40 tahun x 12 bulan = Rp. 480.000.000.- empat ratus delapan juta rupiah
atau majelis hakim dapat mengabulkan ganti kerugian dengan rumusan sebagai berikut :
Tunjangan veteran sekarang x Jumlah tahun saat terkena stigma G30S dan atau PKI sampai dengan sekarang x Jumlah bulan dalam setahun = TOTAL
Wakil Kelompok V, yang dirampas tanah, bangunan danatau dirusak, dibakar, dihilangkan harta bendanya ;
Rata-rata luas tanah dan bangunan 1.000.- meter x Rp. 1.000.000.- = Rp. 1.000.000.000.- satu milyar rupiah
atau majelis hakim dapat mengabulkan ganti kerugian dengan rumusan sebagai berikut :
rata-rata Luas tanah dan luas bangunan x harga tanah dan bangunan sesuai dengan NJOP terkini = TOTAL
Wakil Kelompok VI, yang dikeluarkan dari sekolah danatau tidak dapat melanjutkan jenjang pendidikan karena dituduh terlibat G30S danatau dituduh
tidak bersih lingkungan orang tuanya terlibat PKI ; Upahgajipenghasilantunjangan Rp. 5.000.- x Rp. 125.000.-Rp. 200.- x 25
tahun x 12 bulan = Rp. 937.500.000.- sembilan ratus tiga puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah
dan Uang Pensiunpesangon Hitungan pada tahun 1983 Rp. 112.500.- x Rp.
125.000.-Rp. 2.700.- x 25 tahun x 12 bulan = Rp. 1.562.500.000.- satu milyar lima ratus enam puluh dua juta lima ratus ribu rupiah
TOTAL Rp. 2.500.000.000.- dua milyar lima ratus juta rupiah atau majelis hakim dapat mengabulkan ganti kerugian dengan rumusan
sebagai berikut : Rata-rata gajipenghasilantunjangan sejak terjadi stigma G30S danatau PKI x
harga emas sejak terjadi stigma G30S danatau PKI dibagi harga emas sekarang x jumlah tahun usia produktif x jumlah bulan dalam setahun =
TOTAL
dan Rata-rata uang pensiun dan pesangon dari tiga per empat gajipenghasilan
tunjangan sejak terkena stigma G30S danatau PKI x harga emas sejak terjadi stigma G30S danatau PKI dibagi harga emas sekarang x jumlah tahun usia
pensiun x jumlah bulan dalam setahun = Total
158
Wakil Kelompok VII, yang dihambat kreasi seni dan dihambat untuk mempublikasikan hasil-hasil pemikirannya berupa buku-buku dan seni
pertunjukan ; Rp. 5.000.000.- x 40 tahun x 12 bulan = Rp. 2.400.000.000.- dua milyar
empat ratus juta rupiah atau majelis hakim dapat mengabulkan ganti kerugian dengan rumusan
sebagai berikut : Rata-rata Penghasilan kreasi seni dan budaya x Jumlah tahun sejak terjadi
stigma G30S danatau PKI sampai dengan sekarang x Jumlah bulan dalam setahun = TOTAL
4. Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT V untuk membayar ganti kerugian immateriil kepada anggota kelompok-anggota kelompok yang terwakili oleh
PARA PENGGUGAT sebesar Rp. 10.000.000.000.- Sepuluh Milyar Rupiah ; 5. Memerintahkan kepada TERGUGAT I untuk membentuk Tim Penghitungan
Kerugian Korban stigmatuduhancap terlibat G30S danatau stigmatuduhan cap PKI yang bertugas melakukan verifikasi anggota kelompok dengan
menggunakan bukti saksi yang menyatakan sebagai korban stigma terlibat G30S danatau stigma PKI danatau surat dari instansi tertentu, menghitung
kerugian dengan kerugian yang telah ditulis danatau dengan rumusan yang telah diajukan, menyalurkan ganti kerugian materiil dan immateriil kepada
anggota kelompok yang telah diverifikasi serta menghitung jumlah anggota- anggota kelompok yang masing-masing diwakili oleh PARA PENGGUGAT dari
Wakil Kelompok I sampai dengan VII ; ;
6. Memerintahkan TERGUGAT I dan TERGUGAT V untuk membayar secara tunai kerugian materil maupun immateril kepada PARA PENGGUGAT melalui
Tim Penghitungan Kerugian Korban stigmatuduhancap terlibat G30S danatau stigmatuduhancap PKI dengan bentuk transfer rekening Bank ke
masing-masing anggota kelompok yang berjumlah 20.000.000 dua puluh juta orang atau setidak-tidaknya TERGUGAT I dan TERGUGAT V dapat menyata-
kan hutang diatas akta autentik ;
7. Memerintahkan kepada TERGUGAT II, TERGUGAT III, TERGUGAT IV secara bersama-sama dengan TERGUGAT I dan TERGUGAT V menyatakan permin-
taan maaf secara tertulis yang diumumkan melalui 5 lima stasiun televisi nasional, 5 lima stasiun radio nasional dan 10 sepuluh media cetak
nasional yang berisi kesengajaan dan kelalaian berbuat dan tidak berbuat sesuatu atas kebijakan yang melanggar hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
PARA PENGGUGAT sebagai korban stigmatuduhancap terlibat G30S danatau stigmatuduhancap PKI ;
8. Memerintahkan kepada TERGUGAT I untuk segera mengeluarkan kebijakan mencabut peraturan-peraturan dan menghilangkan stigmatuduhancap terlibat
G30S danatau stigmatuduhancap PKI yang sangat diskriminatif terhadap warga negara dan menyatakan bertentangan dengan hak-hak asasi manusia,
159
yang berlaku danatau berada ditingkat pemerintah pusat maupun tingkat daerah ;
9. Memerintahkan TERGUGAT I untuk segera mengembalikan dan memulihkan harkat dan martabat PARA PENGGUGAT sebagai manusia terhormat
sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945 dengan memenuhi dan melin- dungi hak-hak korban stigmatuduhancap terlibat G30S danatau stigma
tuduhancap PKI ;
10. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada upaya verzet, banding atau kasasi ;
11. Memerintahkan PARA TERGUGAT untuk membayar biaya perkara ; SUBSIDAIR
Apabila Mejelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat lain maka kami mohon putusan yang seadil-adilnya Ex Aeguo Et Bono
Jakarta, 12 April 2005 Hormat kami,
KUASA PARA PENGGUGAT LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA
Uli Parulian Sihombing, S.H. Asfinawati, S.H. Gatot, S.H. Ikhana Indah B, S.H. Nurul Amalia, S.H. Tri Wahyuni, S.H. Erna Ratnaningsih, S.H. Ines Thioren
Situmorang, S.H .Hermawanto, S.H. Nurkholis Hidayat, S.H. Freddy Alex Damanik, S.H.
0 0 0 0 0 0 TRAGEDI 1965 BERAWAL DARI TAHUN 1948
Oleh Asvi Warman Adam
Menurut Anthony Reid Revolusi Nasional Indonesia, 1996, peristiwa Madiun 1948 penting bukan hanya dari segi jumlah korban yang cukup besar pada kedua pihak,
tetapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan santri dan kiri abangan. Warisan kebencian itu yang masih tersisa dalam buku Kesaksian
Korban Kekejaman PKI 1948 yang disunting Fadli Zon dan diluncurkan awal September 2005 di hotel Ambhara Jakarta bersamaan dengan diskusi yang digelar
oleh Ridwan Saidi cs tentang peristiwa 1948 dan 1965.
Mengenai korban dari pihak santri bahkan para kiai tahun 1948 sudah sering disebut dalam buku pelajaran sejarah. Tetapi korban dari pihak kiri juga banyak sebagai-
mana oleh Roeslan Abdulgani Casperr Schuuring, Roeslan Abdulgani, Tokoh
160
Segala Zaman, 2002. Roeslan menyaksikan pengadilan tidak resmi yang dilakukan oleh tentara. Beberapa orang dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi di depan mata
Roeslan. Malamnya menurut Roeslan ia menangis keras. Demikian pula mantan Perdana Menteri Amir Syaridudin ditembak mati bersama beberapa tokoh kiri lainnya
lainnya tanpa melalui pengadilan. begitu tega memakan anak-anaknya sendiri.
Di luar dua pandangan dari kutub ekstrem yakni kalangan militer Peristiwa Madiun 1948 adalah pengkhianatan PKI dan kelompok kiri Peristiwa Madiun 1948 adalah
provokasi Hatta, sudah muncul suara lain yang lebih jernih seperti Hersri Setiawan. Hersri sastrawan Lekra yang sempat bermukim di negeri Belanda, mempertanyakan
apakah peristiwa Madiun itu coup detat atau coup de ville, upaya perebutan kekuasaan secara nasional atau hanya perlawanan pada tingkat kotadaerah ?
Negara Madiun ?, terbit 2002 dan dicetak ulang dengan revisi tahun 2003. Sudah diterjemahkan tulisan David Charles Anderson yang menyoal apakah peristiwa
Madiun itu lebih tepat dilihat sebagai persoalan intern tentara 2003. Skripsi yang bagus dari Soe Hok Gie, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Kisah Pemberon-
takan Madiun 1948 terbit 1997 juga membahas persoalan ini.
Arsip Rusia mengenai aspek ini sudah dimanfaatkan oleh Larissa Efimova dalam artikelnya Who gave instructions to Indonesian Communist Leader Muso in 1948.
Madiun 1948 tidak ada hubungan dengan Moscow. Yang menarik adalah sebuah disertasi yang sedang ditulis oleh mahasiswa
Indonesia pada School of Politics, University of Nottingham, Inggris yang mencoba melihat tragedi 1965 itu sebagai pertentangan kelas. Kelas priyayi diwakili oleh
tentara bersekutu dengan santri dalam perseteruan melawan dan menghancurkan kelas abangan komunis. Sebagian komandan tentara yang membasmi G30S1965
adalah juga prajurit yang sudah berperan sama tahun 1948. Keterlibatan Banser NU dalam pengganyangan G30S1965 antara lain karena tahun 1948 kerabat mereka
termasuk korban.
Dimensi geografis Bila sebelumnya tragedi 1965 seakan hanya berlangsung di pulau Jawa, maka kini
sudah mulai terbit buku-buku tentang dampak peristiwa tersebut di daerah. Pembantaian di Bali tahun 1965 disinggung dalam buku I Ngurah Setiawan Bali,
Narasi dalam Kuasa, 2005. Dua artikel mengenai masalah 1965 di Nusa Tenggara Timur yang masing-masing ditulis Paul Webb dan Steven Farram diterjemahkan dan
disatukan dalam sebuah buku Di-PKI-Kan, Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur. Dampak tragedi 1965 terhadap perempuan di Sumatera Barat
ditulis oleh Yenny Narni, dosen sejarah Universitas Andalas Padang. Pembantaian di daerah Painan dilaporkan oleh Bakry Ilyas alm. Sudah ada artikel lepas mengenai
peristiwa 1965 di Sumatera Selatan antara lain ditulis seorang eksil di Swedia. Pengalaman seorang tapol di Sumatera Utara sudah terbit tetapi laporan secara
menyeluruh mengenai daerah ini tampaknya belum dikerjakan.
Sudah bermunculan pula buku-buku yang ditulis oleh kelompok eksil Eropa seperti biografi Umar Said Pengalaman Hidup Saya tiga buku yang ditulis oleh Koesni
Sulang di antaranya tentang Restoran Indonesia di Paris. Bagaimana melawan rezim diktator Orde Baru dengan masakan, ini kisah unik. Biografi tokoh perempuan
161
Fransisca Fanggidaej ditulis oleh Hersri Setiawan berdasarkan wawancara di negeri Belanda.
Aspek keluarga Sudah terbit beberapa buku tentang Aidit dan keluarganya. Budi Kurniawan dan Yani
Adriansyah menulis tentang pengalaman pahit saudara, anak dan keponakan DN Aidit Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit. Tesis Peter Edman
pada sebuah universitas di Australia telah diterjemahkan menjadi Komunisme ala Aidit, Kisah PKI di bawah kepemimpinan DN Aidit 1950-1965. Tentunya akan
menarik bila dapat diterbitkan dalam bahasa Indonesia, disertasi sejarawan Perancis Jacques Leclerc tentang dialektika antara desa dengan kota seperti dianalisis melalui
pidato-pidato Aidit.
Selain Asahan Alham Aidit yang menulis novel berlatar perang Vietnam, Sobron Aiditlah yang paling produktif menulis. Terakhir bukunya berjudul Catatan Spiritual di
balik sosok Sobron Aidit. Sobron yang waktu kecil khatam Quran itu kemudian beralih beragama ke Kristen Protestan pada usia lanjut. Ia mengatakan bahwa
Tuhannya tetap yang dulu, tetapi yang berganti hanya ritual. Cita-citanya kini adalah membeli sebuah gereja, karena anggota Perki Persatuan Kristen Indonesia di
Almere, Belanda melakukan misa dengan menyewa tempat.
Aspek agama ini sebetulnya dibahas oleh Hersri Setiawan dalam kisah tentang pulau Buru. Ada di antara tapol di kamp kerja paksa itu yang berganti agama karena
alasan praktis, misalnya demi dapat libur dalam seminggu. Namun di antara korban 1965 ada pula penganut Islam yang taat seperti Haji Ahmadi Mustahal dan Hasan
Raid keduanya telah menulis memoar.
Kalangan keluarga korban peristiwa 1965 sudah mulai ada yang berani bersuara dan mengakui jatidiri mereka seperti peragawati terkenal Okky Asokawati dan Dr Ikrar
Nusa Bhakti. Walaupun ada pula yang sampai akhir hayatnya masih membantah seperti Alm Cacuk Sudaryanto Belajar Tanpa Henti, ditulis bersama Bondan
Winarno. buku Jangan Menoleh Ke Belakang, Okky menceritakan bahwa ayahnya adalah AKBP Anwas Tanuamijaya yang namanya tercantum sebagai wakil ketua
Dewan Revolusi yang kemudian ditahan belasan tahun di penjara Cipinang, Nirbaya dan Salemba. Untuk menghidupi keluarga, ibunya terpaksa bekerja memberi les
piano dan bahasa Inggris. Karena tidak memiliki kendaraan pribadi, setiap minggu dengan bergelantungan di atas bus mereka sekeluarga pergi menyenguk sang ayah
di penjara.
Makin banyak terbit karya sastra dengan tema atau latar belakang tragedi 1965, demikian pula film dokumenter tentang peristiwa ini. Yang ditunggu tentunya
pandangan pemerintah atau buku putih tentang peristiwa 1965 setelah 40 tahun berlalu. Tahun 2004 Presiden Megawati telah meminta kepada Mendiknas Malik
Fadjar untuk menulis ulang sejarah 1965. Maka disusunlah sebuah tim yang diketuai Prof Taufik Abdullah untuk menulis buku tersebut dengan beranggotakan 25 penulis.
Tanggal 12-13 April 2005 telah dibahas hasil penelitian itu dalam sebuah lokakarya di Jakarta. Namun naskah yang ada masih jauh dari harapan dan sulit diprediksi
kapan bisa terbit.
162
Yang lebih dekat tentulah buku dokter Ribka Ciptaning yang akan diluncurkan tanggal 1 Oktober 2005 dengan pembicara kunci KH Abdurrachman Wahid dan Ali
Sadikin. Sebelumnya Ciptaning menulis buku Aku Bangga Jadi Anak PKI 2002. Apa judul buku barunya ? Tunggu sajalah, pasti mengagetkan.
Dr Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI 0 0 0 0 0
Cofdri77 wrote:
Berbagai Versi tentang Sebuah Tragedi.
Tragedi 30 September telah terjadi 40 tahun yang lalu. Banyak fakta objektif yang bersifat mutlak dan tidak bisa dipungkiri; antara lain keterlibatan PKI; ambiguitas
Soekarno; intrik dalam tubuh militer khususnya AD; serta kedekatan hubungan personal antara pelaku utama G 30 S dengan Mayjen Soeharto, Pangkostrad
Pangkopkamtib.
G 30 S juga tidak dapat diabaikan begitu saja, mengingat bahwa peristiwa tersebut menjadi triggering factor bagi operasi paling efektif pembasmian suatu ideologi di
sebuah negara. Stigmatisasi yang diterapkan Soeharto terhadap mereka yang tidak terlibat langsung dengan komunisme -- misalnya melarang anak-anak eks tapol
untuk menjadi pegawai negeri -- juga merupakan cara yang efektif untuk menutup kemungkinan bangkitnya komunisme di negeri ini.
Telah banyak penelitian, kajian ataupun literatur yang mengkaji collapse-nya komunisme di Indonesia, baik yang ditulis oleh pakar dari luar negeri maupun dalam
negeri. Berbagai versi tentang G 30 S pun muncul. Setidaknya, ada enam teori yang ada dalam penulisan mengenai peristiwa tersebut, masing-masing adalah sebagai
berikut :
a. Pelaku Utama G 30 S adalah PKI dan Biro Khusus Dengan memperalat unsur ABRI, tokoh-tokoh Biro Khusus PKI merencanakan
putsch ini sejak lama. Tujuannya untuk merebut kekuasaan dan menciptakan masyarakat komunis di Indonesia. Tentu saja, pemerintah Orba adalah pihak yang
pertama kali menyetujui teori pertama ini. Buku Putih Pengkhianatan G 30 SPKI yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara 1994 merupakan penjelasan secara
lengkap atas peristiwa paling tragis itu. Sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh adalah penulis domestik pertama yang menulis versi ini, bukunya berjudul
Percobaan Kup Gerakan 30 September di Indonesia, terbitan Jakarta, 1968. Penulis luar negeri yang dikategorikan masuk dalam versi ini adalah Arnold Brackman,
penulis buku The Communist Collapse in Indonesia, terbitan New York tahun 1969.
b. G 30 S adalah Persoalan Internal AD Versi kedua beranggapan bahwa G 30 S adalah persoalan internal AD yang
didalangi sebuah kelompok terbatas. Persiapan gerakan dilakukan secara teliti oleh kelompok tersebut, dengan cara menyusupi PKI. Versi kedua ini ditulis oleh MR.
163
Siregar Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, Kasus Indonesia: Sebuah Holokaus yang Diterima sesudah Perang Dunia Kedua - terbit pertama kali tahun 1993 di
Amsterdam. The 30 September Movement karya Coen Holtsappel juga termasuk dalam versi kedua ini. Demikian pula Cornell Paper A Preliminary Analysis of the
October 1, 1965: Coup in Indonesia karya Ben Anderson dkk, yang diterbitkan di Ithaca, 1971. Whose Plot ? New Light on the 1965 Events karya WF. Wertheim juga
mengacu pada versi yang memojokkan ABRI, khususnya Angkatan Darat ini. Buku karya Wimandjaja K. Litohoe, Primadosa, juga mengarah pada sintesis bahwa G 30
S merupakan kudeta yang dirancang oleh sekelompok orang AD dibawah pimpinan Soeharto.
Penyusunan Mozaik ... Bisa dikatakan bahwa tahun 1965 merupakan puncak krisis politik di Indonesia.
Tahun ini diawali dengan hancurnya BPS Barisan Pendukung Soekarno sebuah barisan yang sebetulnya bercorak oposisi terhadap Soekarno tetapi menggunakan
kamuflase politik .. salah satu anggota BPS yang sampai sekarang masih hidup adalah Ibu Sudjinah, beliau pernah ditahan lama sekali oleh rezim Orde Baru,
sekarang beliau mengajar bahasa Inggris private dan juga sedang mempersiapkan memoarnya untuk diterbitkan.
Keputusan Presiden Soekarno untuk keluar dari PBB juga merupakan salah satu pemicu dari keributan-keributan yang kemudian terjadi di tahun 1965. Dengan
keluarnya Indonesia dari PBB, otomatis perselisihan antara Soekarno dan Nekolim semakin meruncing tajam. Keluarnya RI dari PBB menyebabkan timbulnya spekulasi
bahwa kita akan semakin dekat dengan Kawan di Utara yang dalam hal ini adalah RRT. Bahkan terdengar sas-sus bahwa kemungkinan Indonesia akan mendapat
senjata nuklir dari pemerintah RRT yang pada masa itu dipimpin oleh PM Chou En Lai.
Situasi Indonesia sangatlah buruk, dengan turunnya ekspor dan besarnya pinjaman untuk keperluan tentara, mendongkrak utang luar negeri jadi US 2,4 miliar. Tapi
yang paling berpengaruh terhadap gejolak politik dalam negeri kondisi kesehatan Bung Karno. Ia menolak anjuran tim dokter dari Wina, Austria, agar penyakit
ginjalnya dioperasi. Keengganannya itu disebabkan nasihat seorang dukun yang meramalkan bahwa ia akan mati oleh pisau. Kemudian ia berkonsultasi dengan para
dokter-dokter dari Cina dan memilih cara pengobatan secara akunpunktur. Sempat dalam salah satu pidatonya di bulan Januari 1965, Bung Karno mengejek desas-
desus Nekolim yang mengeluarkan rumors tentang sakitnya.
Faktanya, gangguan kesehatan Bung Karno tidak dapat disembunyikan lagi. dalam suatu pertemuan umum tanggal 05 Agustus 1965, ia diserang sakit yang kemudian
timbullah desas-desus kuat bahwa ia sedang dalam keadaan gawat. Kecemasan perebutan kekuasaan pun akhirnya timbul. Hal lain terjadi adalah ketika
pada tanggal 30 September 1965, siang hari beberapa jam sebelum penculikan para jenderal-jenderal TNI AD, ditengah-tengah pidatonya, Presiden Soekarno
terpaksa berhenti. Rupanya disebabkan oleh kurang enak badan. Beberapa menit kemudia, ia melanjutkan pidatonya.
164
Dan kemudian terjadilah peristiwa tragis itu. Sekelompok orang menyusun sebuah rencana - yang masih spekulatif apakah berada dalam sebuah skenario besar atau
bukan - yang rentetannya sangat panjang. Dini hari 1 Oktober 65, enam jenderal dan satu perwira pertama AD menjadi korban kelompok tersebut. Peristiwa ini dengan
cepat merubah peta politik Indonesia. Pilar kekuasaan Presiden Soekarno, yakni golongan kiri baik yang komunis maupun nasionalis sama - sama hancur. Ayunan
pendulum politik bergeser pada AD. Terbunuhnya jenderal-jenderal loyalis terhadap Soekarno, semakin memperburuk posisi dan kondisi sang Founding Father
tersebut
Kendati sangat menyadari bahwa PKI berada di sisi yang tidak menguntungkan dan demikian juga dengan AURI, Presiden Soekarno tetap memainkan kartunya yang
benar-benar sudah sangat lemah untuk mempertahankan kekuasaan. Dia tinggal memiliki beberapa jenderal AD yang masih dapat dipercaya, serta segelintir politisi
yang loyal. Namun seberapa jauh ia mampu bertahan ? ...
0 0 0 0 0
Surat Soekarno kepada Dewi
Soekarno prihatin sekali dengan situasi pasca G 30 S, ketika terjadi saling bunuh diantara sesama bangsa Indonesia. Soekarno memandang, pembantaian terhadap
orang-orang komunis yang dilakukan di seluruh negeri, merupakan sesuatu yang merusak hasil kerjanya selama duapuluh tahun.
Kita memang harus melihat sikap Soekarno sebagai sikap seorang negarawan, founding father, yang berobsesi membangun Indonesia yang plural -- bahkan
pluralitas ideologi yang digambarkannya dalam konsep yang kini jadi utopis, yakni NASAKOM. Keprihatinan Soekarno terhadap aksi pembantaian orang-orang
komunis, tampaknya dilandaskan pada aspek persatuan bangsa.
Bulan November 1965, Presiden Soekarno membentuk Factfinding Comission Komisi Pencari Fakta untuk menertibkan, membersihkan dan menyelesaikan
oknum-oknum sipil yang tersangkut G 30 S. Panitia Presidium -- juga disebut sebagai Panitia III Menteri -- ini beranggotakan Oei Tjoe Tat dari Partindo, Brigjen.
Pol. Moedjoko secara politis dekat dengan Waperdam III Chairul Saleh dan H. Aminnudin Aziz seorang tokoh Nadhlatul Ulama. Namun akhirnya Panitia itu gagal
total. Sementara situasi politik semakin panas. Demonstrasi terus terjadi. Universitas Res Publica sekarang menjadi Universitas Trisakti didemonstrasi, ditembaki dan
dibakar massa
Soekarno tidak sanggup lagi mempertahankan kekuasaan. Perlahan tapi pasti, dia dilolosi oleh kekuatan baru, yakni aliansi antara AD, mahasiswa, serta masyarakat
yang tidak sepaham dengan PKI maupun aliran kiri pada umumnya. Ratna Sari Dewi, istri ketiga Bung Karno, bertutur bahwa beberapa hari sebelum 30
September 1965, Presiden Soekarno memanggil Jenderal Yani. Bung Karno bertanya, Saya mendapat informasi tentang Dewan Jenderal yang mau bikin kudeta
165
pada 05 Oktober. Apakah kau tahu? Jenderal Yani menjawab: Saya tahu. Mereka sudah ada di tangan saya. Bapak enggak usah khawatir. Bung Karno percaya Yani.
Tetapi nyatanya, Jenderal Yani menjadi salah satu korban penculikan G 30 S. Ketangkasan Mayjen Soeharto meredam aksi G 30 S memancing kecurigaan Dewi.
Katanya, Sepertinya, Soeharto sudah tahu semua, seakan telah direncanakan. Bagaimana dia bisa memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30 September
dan segera bertindak. Begitu Cepat. Kalau belum tahu rencana G 30 S, ia tak mungkin bisa melakukannya.
Bagaimana dengan Soekarno ?, apakah dia mengetahui gerakan tersebut ? Menurut Ratna Sari Dewi, Bapak tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. ... Tanggal
01 Oktober, Bapak masih ada di Jakarta dan saya bisa mengunjungi dia di Halim. Jadi hari itu, Bapak tidak kirim surat. Ini surat tanggal 2 yang dikirim dari Istana
Bogor. Isinya, dia baik-baik saja, sedang sibuk menghadiri petemuan dengan para petinggi militer guna menyelesaikan konflik militer. Bapak membantah keterlibatan
PKI dan hanya menyebut konflik dua kelompok militer.
Memang, tanggal 02 Oktober itu Bung Karno mengirimkan surat kepada istri yang konon paling dicintainya itu. Begitulah kebiasaan Bung Karno bila dia tidak sempat
berkunjung ke Wisma Yaso, tempat kediaman Ratna Sari Dewi. Aktifitas Bung Karno dalam hari-hari pertama setelah G 30 S meletus, memang tidak banyak. Mobilitasnya
sangat terbatas. Pada tanggal 1 pagi di Halim, sorenya ke Istana Bogor, dan tinggal disana untuk beberapa hari sambil memantau situasi.
Esoknya, tanggal 3 Oktober, Dewi kembali mendapat surat dari suaminya. Isinya secara detail: surat Soekarno kepada Dewi :
... Dewi sayangku, saya senang menerima dua pucuk suratmu. Saya senang kamu
mendengar perkataanku dan terima kasih kamu menaruh perhatian. Pranoto agak lemah, tapi hanya dia di Mabes Angkatan Darat yang bisa berhubungan dengan
pihak kiri dan kanan. Saya menunjuk dia sebagai care-taker Panglima AD untuk menangani urusan sehari-hari AD. Komando AD tetap ada di tangan saya. Segera
sesuatunya tentang kembali, saya akan menunjuk Komandan AD definitif. Saya tidak tahu dimana Yani atau apa yang sesungguhnya terjadi dengannya. Segera
sesuatunya aman, saya akan kembali ke Jakarta. Saya tetap memikirkanmu. Kamu tahu betapa cintaku kepadamu.”
1000 cium, Soekarno
Dari surat tertanggal 03 Oktober 1965 yang dikirim dari Istana Bogor, diketahui banyak hal penting. Pertama, Soekarno menghendaki AD dipegang orang yang
netral, tidak condong ke kanan atau kiri. Keinginan seperti ini sangat logis, apalagi mengingat jiwa nasionalisme Soekarno yang amat orientasi pada persatuan.
Kedua, Soekarno belum mengetahui nasib Yani dan jenderal-jenderal lain yang diculik Gerombolan 30 September. Apa yang tertulis dalam surat Soekarno ini,
166
barangkali agak kontradiktif dengan dugaan Ulf Sundhaussen bahwa pada tanggal 03 Oktober, Soekarno sudah mengutus salah seorang perwira Cakrabirawa untuk
mengambil jenasah para jenderal. Sebuah surat tertanggal 05 Oktober dikirimkan lagi kepada Dewi. Isinya antara lain:
“Sayangku, Dewi. Hari ini pemakamaan enam jenderal dan satu ajudan jenderal. ... Soebandrio dan Leimena tidak mengikutiku menghadiri upacara pemakaman karena
alasan keamanan. Mereka mengatakan tak ada seorang pun yang yakin apa yang terjadi pada suasana upacara yang emosional begitu. Sayangku, perasaanmu benar:
...... adalah seorang mata-mata. Namanya tertulis didalam daftar orang-orang yang kita curigai. Saya memanggil enam jenderal yang lain untuk berbicara dengan
mereka setelah upacara pemakaman itu: Moersid, Sutardio, Ashari, Dirgo dan Adjie dari Bandung. Mereka adalah jenderal-jenderal yang berpengaruh di Angkatan
Darat. Untuk jenderal-jenderal yang terbunuh, kita tunggu hasil investigasi rahasia kita: apakah mereka benar-benar akan melakukan kudeta terhadap saya atau tidak ?
Informasi bertentangan satu sama lain. Benar, mereka semua communistophobie. Tentang Mr. P., saya akan menceritakan kepadamu nanti. Saya tidak dibawah
pengaruh seorang pun. Jangan khawatir tentang itu. Begitu kondisi mereda, saya akan pindah ke Jakarta. Saya sangat rindu kamu, istriku. Oh, cintaku, aku cinta
kamu.
Oh, 1000 cium, Soekarno
Ada yang janggal dari surat ini. Yakni pernyataan Bung Karno sendiri bahwa dia menghadiri acara pemakaman para jenderal yang terbunuh. Menurut banyak
sumber, Bung Karno tidak hadir dalam acara tersebut. Sejumlah analis memperkirakan, ketidakhadiran Presiden dalam acara pemakaman para jenderal
Pahlawan Revolusi yang memungkinkan pidato Nasution menjadi headline yang abadi bernuansa politis. Tindakan itu mencerminkan pandangannya, bahwa G 30 S
adalah persoalan intern tentara, khususnya AD.
Pernyataan lain dari isi surat Bung Karno kepada Dewi adalah soal Mister P. Siapakah dia ? Betulkan dia mata-mata ? agaknya, hanya Bung Karno dan Dewi
sendiri yang tahu tentang hal ini. Tanggal 08 Oktober, kembali Soekarno berkirim surat. Isinya antara lain:
Dewi sayangku, jangan salah sangka terhadap saya. Saya tersenyum pada Sidang Kabinet untuk menunjukkan kepada dunia bahwa saya aman dan bisa menguasai
keadaan. Kamu tahu pers Nekolim mengatakan saya jatuh atau hampir jatuh. Juga untuk memberi rakyat keyakinan dan kekuatan. Tahukah kamu bahwa saya
menyatakan jenderal-jenderal yang terbunuh itu Pahlawan Revolusi dan saya menaikkan pangkatnya setingkat lebih tinggi ? Tahukah kamu bahwa saya
memutuskan untuk memakamkan Irma Suryani anak perempuan Nasution di Taman Pahlawan ? Hanya lantaran keluarga Nasution memutuskan pemakaman
putrinya di Kebayoran. Saya tidak tahu tentang Nyonya Martono. Mengapa kamu
167
begitu marah padaku ? Itu membuatku sedih dan terpisah. Tenanglah, sayang. Saya segera ke Jakarta kembali. Saya akan berbicara denganmu. Tenanglah, Dewi.
Jangan membuat aku terpisah. Aku cinta kamu. 1000 cium,
Soekarno Seandainya surat-surat Soekarno itu sungguh-sungguh otentik, bisa saja semua itu
menjadi bahan kajian sejarah yang sangat penting. Dalam surat-surat yang bersifat pribadi, biasanya tercurah banyak hal tanpa kamuflase. Otentisitas sejarah
sebetulnya bisa didapatkan dari sana, tentu seandainya pemilik dokumen pribadi itu tidak berkeberatan surat-surat pribadi itu diuji otentisitasnya.
Betapa pun pengakuan Dewi Soekarno tentang suaminya di hari-hari beraksinya G 30 S, memberikan nuansa yang lain.
0 0 0 0 0
IBRAHIM ISA dari BIJLMER ----------------------
25 Agustus 2005
KUSNI ANAK DAYAK - PUTRAINDONESIA
Bukan sekedar karena ia kukenal baik, bukansekedar, karena ia sahabat dekatku. Bukan pula karena ia tergolongorang yang terhalang pulang menurut istilah Gus
Dur. Bukan --- bukansekadar itu saja, yang membikin aku menulis hari ini. Penyebabnya, ialah, karena bagikunama J.J. Kusni - nama aslinya Kusni Sulang -
menyandang suatu pengertian dan makna yang lebih fundamentaldan lebih aktual. Pada nama Kusni terlukis nasib dan perjuangan seorang seniman Dayak mantan
anggota Lekra Lembaga Kebudayaan Rakyat, warganegara Indonesia yang cinta daerah dan asal etnisnya Dayak, seorang patriot yang mencintai dan membela
Republik Indonesiasejak masa mudanya, ketika masih berkarya dan bergiat di Jogyakarta. Sampai dewasa ini hak-hak politiknya, hak-hak kemanusiaannyatelah
dirampas oleh rezim Orba, paspor Indonesia dan kewarganegaraanya telah dicabut tanpa alasan sah, tanpa proses pengadilan apapun. Bukan sekadar alasan-alasan
itu sajayang menyebabkan aku menulis kalii ini. Hal-hal itu dengan sendirinya adalah penting, bahkan amat penting
Yang menjadi penyebab langsungaku menyorotipenyair dan penulis Kusni Sulang sekarang i ini,terus terang --- pemicunya, ialah sebuah artikel yang ditulis di.k.
berbahasa Inggris, Jakarta Post,Agustus 2005. Tulisan itu adalah tentang sahabatku, Kusni, berjudul EXILED WRITER TRIES TO RECLAIM RIGHT TO BE
INDONESIAN, ditulis oleh wartawan s.k. tsb, Evi Mariani. Diterjemahkan dengan
168
bebas ke dalam bahasa Indonesia, menjadi sbb: SEORANG PENULIS EKSIL BERUSAHA UNTUK MENGKLAIM KEMBALI HAK MENJADI ORANG INDONESIA.
Tentu, maksud sang wartawan ialah, bahwa Kusni secara hukum berusaha mem- peroleh kembali hak kewarganegaraannya, yang secara sewenang-wenang telah
dirampas oleh rezim Orba, atas tuduhan terlibat ataupun berindikasi terlibat dengan G30S. Atau karena ketika itu Kusni adalah seorang anggota LEKRA, suatu
organisasi kebudayaan Indonesia yang beraliran progresif, pendukung politik Presiden Sukarno dan Pancasila.LEKRA dikenal sebagai sebuah organisasi kebuda-
yaan Indonesia yang paling masal keanggotaannya dan yang kegiatannya merakyat, yang melakukan kegiatan untuk melaksanakan prinsip KEBUDAYAAN DARI, DAN
UNTUK RAKYAT. Yang jelas perampasan hak kewarganegaraan Kusni itu dilakukan oleh rezim Orba di luar hukum, bertentangan dengan hak warganegara Indonesia
sesuai dengan UUD- RI. Sebagaimana halnya rezim Orba telah mencabut ratusan paspor dan kewarganegaraan orang-orang Indonesia yang pada tahun 1965 sedang
studi atas tugas negara, melakukan kegiatan persahabatan antara Indonesia dengan negeri lain, ataupun sedang berkunjung ke luar negeri untuk urusan negara maupun
pribadi.
Tanpa adanya tulisan wartawan Jakarta Post Evi Mariani sekalipun, masyarakat budaya Indonesia cukup kenal siapa J.J. Kusni, atau nama J.J. Budhisaswati pen-
name-nya sebagai penulis dan penyair .Tiga buah bukunya telah terbit di Indonesia, a.l. kumpulan syair berjudul Sansana Anak Naga dan Tahun-tahun
Pembunuhan . Kusni sering menulis, menulis dan banyak sekali menghasilkan tulisan bermutu tentang masalah-masalah budaya Indonesia, Perancis memper-
kenalkan budaya Perancis kepada pembaca-pembaca Indonesia, tetapi terutama yang menyangkut budaya suku Dayak. Kusni juga menulis mengenai pembelaan
HAM, menggugat pelanggaran besar Orba terhadap Hak-Hak Azasi Manusia; mengenai pembantaian lebih sejuta warganegara Indonesia yang tak bersalah pada
tahun-tahun 1965-66-67. Dan mengenai puluhan juta warganegara Indonesia lainnya, terutama keluarga eks-tapol dan yang dituduh atau dianggap berada diluar
hukum Indonesia,dan oleh rezim Orba ditempatkan di luar masyarakat dengan diberi cap tidakbersih lingkungan. Kurang lebih 20 juta warganegara Indonesia, tanpa
proses pengadilan apapun, sampai dewasa ini masih terus didiskriminasi. Hak mereka dicabut untuk menjadi guru, pegawai negeri, tentara dan polisi, tidak boleh
jadi lurah, bahkan jadi dalangpun dilarang. KTP mereka sebagai penduduk sah Indonesia, itupun sampai sekarang masih didiskriminasi. Seorang warganegara
Indonesia bila sudah mencapai 70 tahun, berhak memperleh kartu penduduk seumur hidup. Tapi puluhan juta warganegara yang patuh hukum,banyak diantara mereka
dulu aktif ambil bagian dalam perjuangan anti kolonialisme dan dalam kegiatan membela Republik Indonesia,dewasa ini karena menyandang stempel keluarga eks-
tapol,maka menderita diskriminasi selama rezim Orba sampai saat tulisan ini dibuat.
Memang Kusni pertama-tama adalah anak Dayak. Sekaligus adalah putra Indonesia Diantara orang-orang yang terhalang pulang, Kusni termasuk yang langka
sehubungan dengan prestasi yang dicapainya di bidang ilmu, di bidang studi. Hasil itu diperolehnya biarpun hidup dalam keadaan sulit, harus melakukan kerja badan
seringkali lebih dari 8 jam sehari, apakah itu sebagai sopir truk, sebagai pelayan toko ataupun ikut membangun Restoran Indonesia yang diprakarsai oleh Umar Said -
169
Paris. Sebagai hasil ketekunan studinya ia berhasil memperoleh gelar Ph.D pada suatu universitas di Paris. Desertasinya yang disokong oleh mendiang Profesor
Wertheim dari Belanda, adalah mengenai masalah TURBA, t u r u n k e b a w a h, suatu kegiatan riset di Indonesia pada zaman pemerintahan Presiden Sukarno dulu,
dimana Kusni turut ambil bagian..
Seperti halnya Kusni, juga sahabatku lainnya bernama TM Siregar tergolong orang yang terhalang pulang. Sambil kelayaban di luar negeri, karena paspornya dicabut
KBRI rezim Orba, dan sudah mencapai tingkat manula ketika itu 70th, namun masih menyempatkan diri untuk melanjutkan studinya dan memperoleh gelar Ph.D.
doktor di Universitas Wageningen beberapa tahun yang lalu. Karya ilmiahnya, desertasinya berkenaan dengan Perubahan di Pedesaan Tiongkok dewasa ini.--
Chinas Economic Reform -- From Rural Focus to International Market --.T.M. Siregar sudah kembali ke Indonesia, tetapi masih menyandang paspor w.n. Belanda. Ia
harus menempuh prosedur lika-liku untuk memperoleh kembali hak kewarga- negaraannya. Suatu bukti lagi, di Indonesia, keadilan itu bukan hadiah penguasa,
tetapi hanya bisa diperoleh melalui perjuangan. Padahal, ketika menjabat Presiden RI. Abdurrahman Wahid, telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1, Tahun 2000,
untuk merehabilitasi hak-hak kewarganegaraan orang-orang yang terhalang pulang.Presiden Wahid menugaskan Menhamkam Yusril Ihza Mahendra ketika itu,
pergi ke Den Haag bertemu dengan para warganegara yang terhalang pulang itu, dan selanjutnya mengurus rehabilitasi mereka itu. Celakanya, Yusril bukan saja tidak
melaksanakan tugas negara itu, tetapi bahkan melempar Isntruksi Presiden No 12000 itu ke laci meja tulis kantornya untuk selanjutnya memeti-eskannya.
Di Eropah dewasa ini masih ada ratusan orang Indonesia yang terhalang pulang , yang nasibnya sama seperti Kusni, Umar Said, T.M. Siregar. Ada yang sudah
meninggal di luarnegeri, seperti almarhum penyair Agam Wispi, almarhum pelukis Basuk Resobowo, dan almarhum dokor pedagogik Waluyo,yang hak-hak kewarga-
negaraan dan politiknya sebagai orang Indonesia telah dengan sewenang-wenang dicabut oleh rezim Orba. Sebagaimana halnya duapuluh juta manusia Indonesia
yang menderita diskriminasi sosial, politik dan ekonomi, oleh rezim Orba dan orang- orang Indonesia yang terhalang pulang, semua mereka itu berhak memperoleh
kembali kewarganegaraan Indonesianya. Karena, --- itu adalah hak mereka yang dijamin oleh UUD-RI. Maka, bila penguasa terus melakukan diskriminasi tsb, tidak
sungguh-sungguh berusaha untuk menangani serta mengkoreksi politik Orba yang salah itu, berarti pemerintah terus membiarkan pelanggaran terhadap UUD RI dan
HAM, terhadap sejumlah besar warganegara sendiri.
Adalah kewajiban pemerintah sekarang ini yang menyatakan akan melaksanakan HAM dan memberlakukan Reformasi, untuk merehabilitasi mereka. Apalagi bila
dikaitkan dengan janji pemerintah untuk merealisasi usaha mencari kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi nasional, maka bukankah janggal sekali bila pemerintah
yang begitu santer bicara tentang rekonsiliasi masih saja menyumbat telinga dan menutup mata terhadap keadaan lebih duapuluh juta warganegara Indonesia, yang
disebabkan oleh fitnahan dan tuduhan rekayasa keterlibatan dengan G30S, sampai dewasa ini masih menderita lahir dan bathin.
170
Mengangkat kasus J.J. Kusni dalam usahanya untuk memperoleh kembali hak kewarganegaraan Indonesanya, bagiku -- sekaligus mengangkat nasib dua puluh
juta warganegara Indonesia yang sampai saat ini masih didiskriminasi di Indonesia, sebagai akibat pelanggaran HAM yang oleh Orba sejak berdirinya rezim tsb.
0 0 0 0 0
Sementara DPR sedang sibuk mempertimbangkan pemberian amnesti, abolisi dan rehabilitasi bagi anggota GAM; baik pemerintah RI maupun kalangan GAM,
ternyata melupakan orang-orang Aceh lain. Itulah orang-orang Aceh yang dicap anggota PKI dan semua onderbouwnya, pendek kata orang Aceh yang
beraliran kiri. Jangankan pengampunan atau pemulihan nama baik, orang- orang Aceh kiri ini, seperti halnya orang-orang kiri Indonesia lainnya, tidak
pernah memperoleh perhatian. Salah satunya adalah Tom Iljas yang sekarang menetap di Swedia. Berikut ini penuturan Tom Iljas kepada Radio Nederland.
Pedih
Tom Iljas [TI]: Pedih memang. Pedih. Kalau saya bilang waktu itu istilahnya iri hati ya karena mereka itu jelas-jelas angkat senjata, berontak, hendak memisahkan diri
dari Indonesia. Sekarang dengan tercapainya TI: Betul. Itu tidak hanya Aceh. Setiap pemberontakan yang terjadi, sejak adanya
republik, apakah itu DI TII, apakah itu Permesta PRRI, apakah itu di Papua, atau di Poso, di mana-mana di Maluku. Semuanya sesudah diselesaikan, sebagian juga
ditindas secara militer, tapi sesudah selesai kan tidak berkelanjutan diskriminasinya. Sesudah selesai kemudian ada masalah rekonsiliasi, apakah kekeluargaan kan
diselesaikan dengan baik-baik.
Saya ambil contoh ya, Ahmad Hussein yang waktu itu pentolan pemberontakan di Sumatra Barat, PRRI. Di Jakarta, mereka hidup sendiri, hidup senang. Tidak pernah
dibawa ke pengadilan. Jadi pedagang kaya, diberi fasilitas oleh pemerintah. RN: Sementara, pihak GAM yang mengangkat senjata pada ujung akhirnya juga
begitu. Artinya memperoleh hak-hak sipil-lah singkatnya. TI: Sepenuhnya, malah GAM dikasih modal, dikasih tanah, dan sebagainya.
RN: Jadi kalau menurut Anda, mengapa ini ada suatu perbedaan seolah-olah ada khusus buat yang PKI atau yang dianggap bekas PKI atau nasionalis kiri ini?
Berontak dulu
TI: Saya tidak tahu kenapa. Saya pernah bercanda sama beberapa diplomat dari KBRI di Stockholm ya. Apa ya kira-kira, apa barangkali kita ini tidak punya kekuataan
untuk dibikin bargaining ya. Tidak punya organisasi, tidak punya senjata kayak GAM sehingga tidak ada yang menggubris. Itu kepala bagian politik di KBRI sini bilang
pada saya, Pak Tom berontak dulu saja supaya bisa digubris. Bergurau tapi.
RN: Tapi ini bergurau-gurau yang sangat sinis ini. TI: Sangat sinis, memang.
171
RN: Jadi seolah-olah angkat senjata dulu dong biar bisa kembali hak sipilnya. TI: Ya, artinya ndak punya apa-apa, ndak punya organisasi, ndak punya kekuatan
untuk dibikin bargaining, orang ndak ada yang menggubris. Kecuali Gus Dur, tidak ada yang menggubris sejak zaman Habibie sampai sekarang.
RN: Ya, Anda menyebut Gus Dur. Maksudnya ketika itu Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra pergi ke Belanda?
TI: Ya, betul. Satu-satunya yang mengangkat isu ini cuma Gus Dur walaupun oleh Yusril tidak ditindaklanjuti setelah dia pulang dari Belanda, kan?
RN: Tapi ketika itu, Anda berharap banyak? TI: O ya, tentu saja. Tidak hanya saya yang berharap banyak waktu itu. Banyak
sekali. Semua pada gembira kan. RN: Anda siap pulang ketika itu?
TI: Kenapa tidak? RN: Tapi poinnya di mana, sekedar untuk pulang atau hak-hak sipil?
Minta maaf dulu
TI: Kalau sekarang ya, kalau bicara soal itu kalau dilihat dari kenyataannya memang para eks mahasiswa atau yang terdampar di luar negeri, sekarang sudah banyak
yang tua dan sakit. Soal-soal begini tentu juga diperhatikan efek ekonomisnya. Mungkin malah menjadi beban saja di Indonesia. Tapi kuncinya bukan di situ.
Masalahnya itu, kami-kami ini kan orang yang tidak bersalah. Pemerintah belum pernah menyatakan minta maaf apalagi merehabilitasi atau kompensasi. Minta maaf
saja tidak. Jadi intinya dulu yang diselesaikan. Kalau itu sudah selesai, masalah dalam praktek mungkin juga ada yang tidak bisa pulang karena kesehatan tapi itu
soal lain.
RN: Jadi maksud Anda, kalau soal pribadi ada yang tua ada yang muda, atau ada yang sakit ada yang sehat, ini soal masing-masing. Artinya soal pulang soal masing-
masing. Tapi yang lebih prinsipil soal maaf? TI: Betul. Masalahnya di-clearkan. Kalau memang kami ini salah, seperti saya, mbok
di bawa ke pengadilan. Saya bersedia. Tidak tahu salahnya, tidak pernah dihukum, ndak pernah diadili, tapi 40 tahun hak-haknya dirampas.
RN: Tapi ini kalau menyangkut GAM kan tidak ada soal maaf memaafkan. Artinya keduanya menandatangani suatu perjanjian. Keduanya berjanji secara bermartabat.
Masalahnya, kalau GAM memperoleh hak sipil. Seharusnya Anda kan menuntut hak sipil bukan soal maaf?
TI: Soalnya dua. Antara GAM dengan RI memang maaf-memaafkan tidak ada, karena mereka memang mengangkat senjata. Jadi sekarang ada perjanjian kedua
belah pihak yang bermartabat. Kalau saya itu, itu bukan orang yang mengangkat senjata tapi ndak tahu salahnya, dihukum.
172
Kan yang menghukum yang harus meminta maaf, begitu. Bahwa saya menuntut apa tidak, itu soal saya. Selama ini juga kita menuntut melalui beberapa organisasi di
Jakarta,tapi kan ndak ada yang menggubris. Demikian Tom Iljas, salah seorang Aceh kiri yang kini menetap di Swedia.
Kolom IBRAHIM ISA 14 Agustus 2005.
------------------------------------------------------------------------------- SAMA-SAMA EKSIL - TAPI DIDISKRIMINASI -
Wawancara Tom Iljas dengan RCTI: Dari sahabat baik saya Tom Iljas Stockholm, Sweden, baru saya terima transkrip
wawancara sahabat saya itu dengan wartawan RCTV Rajawali Citra Televisi Indonesia, yang berlangsung pada pagi hari, tanggal 11 Agustus, 2005. Pandangan
yang diajukan oleh Tom Iljas, adalah unik. Suatu pandangan salah seorang yang menurut istilah Gus Dur adalah orang yang terhalang pulang. Orang yang
terhalang pulang jumlahnya meliputi ratusan orang. Mereka itu adalah produk kesewenang-wenangan politik Orba yang tanpa proses apapun telah mencabut
paspor dan kewarganegaraan mereka atas tuduhan terlibat atau berindikasi terlibat dengan G30S. Sesudah Presiden Suharto digulingkan Mei 1998 oleh Gerakan
Reformasi, berdiri pemerintah Presiden Abdurrahman sebagai hasil pemilu yang jurdil. Selanjutnya Presiden RI telah mengeluarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun
2000, dan khusus mengirimkan Menkumdang Yusril Ihza Mahenra ke Belanda, untuk mengurus kepulangan mereka-mereka yang terhalang pulang itu.
Tetapi Menteri Yusril punya politik lain. Beliau tidak melaksanakan Instruksi Presiden yang dibanggakannya dan dijanjikannya akan dilaksanakannya ketika beliau
mengadakan pertemuan dengan para orang yang terhalang pulang di Belanda. Kongkritnya, di KBRI Den Haag, pada Januari 2000. Instruksi Presiden itu dipeti-
eskan oleh Menkumdang Yusril sampai saat ini. Yusril jangankan menjamah, bicara- pun tidak lagi mengenai masalah kepulangan ini. Tidak ada kesimpulan lain tentang
menteri ini: Munafik
Tindakan sewenang-wenang Menkumdang Yusril memang punya latar belakang politik pemerintah yang mendiskiminasikan orang-orang yang terhalang pulang
yang selama puluhan tahun diperlakukan sewenang-wenang tanpa melalui proses hukum apapun. Padahal mereka-mereka itu sebagian terbesar di kirim bertugas ke
luarnegeri untuk studi demi nantinya mengabdi pada pembangunan Republik Indonesia. Mereka ke luarngeri atas tugas pemerintah Presiden Sukarno. Tuduhan
terlibat dengan G30S yang dialamatkan kepada mereka-mereka itu, dilakukan penguasa Orba tanpa bukti apapun, semata-mata fitnah dan rekayasa. Politik peme-
rintah terhadap mereka-mereka ini samasekali berbeda --- dengan politik yang dijalankan pemerintah terhadap orang-orang eksil seperti orang-orang GAM dulu
terhadap orang-orang PRRI-Permesta. Mereka itu GAM dan dulu PRRI-permesta jelas-jelas telah melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah
173
Republik Indonesia. GAM jelas berniat hendak mendirikan negara sendiri, yang bisa membawa akibat tercabik-cabiknya Republik Indonesia.
Tapi pemerintah melakukan perundingan dan mencapai persetujuan dengan GAM Wawancara Tom Iljas, adalah jeritan keadilan yang timbul dari hati nurani dan di-
alamatkan kepada pemerintah Indonesia Sudah waktunya pemerintah Indonesia mengkoreksi pelanggaran HAM yang
dilakukan Orba terhadap warganegaranya sendiri yang tak bersalah, yang ketika itu sedang mengemban tugas negara. Sudah waktunya pemerintah mengambil langkah
nyata untuk merehabilitasi orang-orang yang terhalang pulang. Lebih-lebih lagi merehabilitasi -hak politik dan kewarga-negaraan sekitar dua puluh juta warganegara
tak bersalah Indonesia, dikenal sebagai korban peristiwa 65. Pada saat-saat ketika seluruh bangsa akan memperingati Ultah Ke-60 Republik Indonesia, para korban 65
itu masih mengalami tuduhan, diksriminasi dan stigmatisasi - atas tuduhan sewenang-wenang, terlibat atau berindikasi terlibat dengan G30S.
Pemerintah Indonesia, bila sungguh-sungguh hendak menegakkan negara hukum Indonesia, bila benar-benar hendak memberlakukan HAM, maka harus mengambil
langkah nyata merehabilitasi para korban 65 dan semua orang-orang yang ter- halang pulang, seperti Tom Iljas, yang hak-hak kewarganegaraan dan politiknya
telah dirampas sewenang-wenang oleh rezim Orba..
Mari ikuti wawancara Tom Iljas di bawah ini: Interview Tom Iljas dng RCTI Rajawali Citra Televisi Indonesia, Sdri. Devi Trianna.
============================================== Pandangan saya, sebagai orang Indonesia yang telah lama tinggal di Swedia,
terhadap GAM dan orang-orangnya yang bermukim di Swedia Sebelum menjawab yang diajukan, Tom Iljas menguraikan singkat latarbelakang
dirinya. Tom adalah salah seorang dari sekelompok orang-orang Indonesia yang terhalang
pulang karena dikaitkan dengan peristiwa 30S. awal tahun 60-an Tom Iljas tugas belajar dari PTIP. ketika selesai studinua, peristiwa 30S. Passport Iljas ditahan oleh
bagian imigrasi KBRI. Sampai sekarang surat ketrangan bahwa paspornya masih tersimpan .
Sebelum peralihan kekuasaan tahun 6566, salah satu kriteria yang tidak tertulis dalam memilih pemuda-pemuda untuk belajar keluar negeri ketika itu yalah kecinta-
an kepada bangsa dan Tanahair Indonesia patriotisme. Sebagai contoh: kasus Tom Iljas sendiri, yang mendapat tugas belajar keluar negeri atas surat rekomendasi
Bupati Pesisir Selatan dan Gubernur Sumatera Barat kepada PTIP. Dalam surat rekomendasi itu diingatkan Tom Iljas melawan pemberontakan PRRI. Salinan dari
surat rekomendasi tsb sampai sekarang masih ia simpan
174
Selanjutnya di jelaskannya bahwa kebanyakan dari para pemuda yang dikirim belajar keluarnegeri ketika itu adalah seperti itu. Atau orang tuanya, pamannya, anggota
famili lainnya, ikut mendirikanmembela Republik Indonesia, atau ia sendiri pernah ikut aktiv dalam membela Republik Indonesia, umpamanya aktiv dalam demonstrasi-
demonstrasi perjuangan pembebasan Irian Barat. Kebanyakan mereka dikirim belajar kenegeri-negeri blok sosialis karena biayanya sangat murah. Setelah
peristiwa 30S pemuda-pemuda dengan semangat cinta tanahair yang berkobar- kobar ini tidak bisa pulang dan tidak bisa mengabdikan ilmu yang dituntutnya di
Indonesia.
Selesai menngisahkan sedikir latar belakang tentang dirinya, Tom Iljas kemudian menjawab pertanyaan yang diajukan oleh wartawan RCTV, sbb:
Saya dan GAM -- Sama-sama eksil -- Tetapi Pendirian Bertolak Belakang: Secara lahiriah memang ada kesamaan antara saya dan orang-orang seperti saya
dengan orang-orang GAM, yaitu sama-sama eksil Indonesia di Swedia. Tetapi, dari latarbelakang yang saya uraikan tadi mudah dipahami bahwa saya dan GAM secara
politik diametral berseberangan. Saya termasuk orang-orang yang membela keutuhan Republik Indonesia sedangkan GAM justru angkat senjata untuk memisah-
kan diri dari RI.
Namun, meskipun bertentangan secara diametral, tetapi sesuai dengan hukum yang berlaku din Swedia, kami tidak saling mengganggu, Tidak pernah terjadi bentrok
apapun, tetapi juga tidak saling berhubungan. Karena bermukim dinegeri kecil, sudah barang tentu kadang-kadang bertemu dipasar, ditoko, dsb. Kadang-kadang
bertegur sapa tetapi pembicaraan tidak menyentuh urusan politik masing-masing.
Sehubungan dengan keberadaan -orang Indonesia di Swedia, satu hal yang tidak dimengerti oleh pemerintah Indonesia yalah bahwa hukum dinegeri ini tidak seperti di
Indonesia. Pemerintah bolak-balik mengirim Ali Alatas kemari mendesak pemerintah Swedia untuk menindak GAM. Ini tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah Swedia,
karena dinegeri ini orang tidak bisa dihukum atas dasar pandangan politik atau ideologi. Setiap orang dijamin secara hukum untuk berpendapat dan berserikat.
Selama seseorang tidak melakukan tindakan kriminal ia tak bisa dihukum. Di Indonesia seseorang bisa dihukum karena pandangan politik atau ideologi yang
berbeda dengan penguasa.
Apakah GAM mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah Swedia, apakah organisasinya diakui pemerintah, dsb., bisa dijawab singakt: saya tidak. Mereka,
orang-orang GAM, menghidupi keluarganya seperti penduduk lainnya, kebanyakan malah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang orang setempat enggan melakukannya
seperti cleaning service. Yang tidak bekerja karena berbagai sebab mendapat tunjangan sosial, persis seperti orang-orang lainnya. Mengenai organisasinya diakui
atau tidak, selama ADART organisasinya tidak bertentangan dengan undang- undang Swedia tidak ada alasan bagi pemerintah Swedia untuk melarangnya.
MENYAMBUT PERDAMAIAN DI ACEH Tanggapan saya atas perundingan perdamaian: Atas pertanyaan yang diajukan oleh
wartawan RCTV, dijelaskan sbb: saya menyambut tercapainya perdamaian di Aceh.
175
Dengan demikian penderitaan rakyat Aceh yang berkepanjangan itu bisa diakhiri, dan rakyat Aceh bisa hidup dalam kedamaian, bebas dari rasa takut dan bisa
membangun Aceh untuk hari depan yang lebih baik. Tetapi saya menyambutnya dengan rasa agak iri hati. Coba diurut saja, PRRI
Permesta memberontak, DITII memberontak, Kahar Muzakar di Sulawesi mem- berontak, RMS di Maluku, di Papua, GAM di Aceh, dan entah dimana lagi.
Semuanya diselesaikan dengan rekonsiliasi, amnesti, kekeluargaan dan entah apa lagi namanya. Ahmad Husein pentolan pemberontakan PRRI 1958 setelah PRRI
dihancurkan ia hidup mewah di Jakarta segala fasilitas dari pemerintah, tak pernah dibawa kepengadilan dan tak menerima sangsi hukum apapun.
Bandingkan dengan saya dan orang-orang seperti saya, yang sejak Desember 1959 sampai terjadinya peristiwa 65 tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Tidak
tahu salahnya, dituduh terlibat peristiwa 30 September dan hak-hak kewarga- negaraan dicabut tanpa proses pengadilan apapun, dan sampai hari ini pemerintah
tidak menggubris samasekali, menutup mata, kuping dan hati nuraninya. Bahkan seorang diplomat KBRI Stockholm sendiri secara bergurau pernah bilang pada saya,
Pak Tom harus berontak dulu baru digubris. Saya kemukakan pada wartawan tsb. bahwa Ini kan sangat tidak adil, sangat tidak manusiawi.
Kameramen yang mendampingi dan mendengarkan wawancara tsb menyela dan mengusulkan kepada penginterview agar temanya dibikin dua, satu soal GAM dan
satu lagi soal orang-orang terhalang pulang, dijadikan tema tersendiri. Usul itu saya sokong, sekaligus saya tambahkan bahwa sebenarnya dengan sikap permusuhan
yang ditunjukkan pemerintah-pemerintah sejak orde baru, yang rugi bukan saja para eksil itu tetapi juga Indonesia secara keseluruhan.
Bahwa sebenarnya para eks mahasiswa dan ilmuwan yang terdampar diluarnegeri itu cukup potensial, contohnya ada seorang ahli ilmu pendidikan yang mempunyai
prestasi internasional, yang baru saja meninggal, Dr Sophian Walujo. Sebuah copy artikel Mengenang Dr Sophian Walujo dengan lampiran-lampirannya yang sudah
saya siapkan saya serahkan pada penginterview untuk dibaca bila ada waktu. Maksudnya untuk menggugah perhatiannya untuk mengadakan liputan tersendiri ttg
orang-orang terhalang pulang.
Demikianlah pokok-pokok isi wawancara tsb Tom Iljas, Sweden, 138-22005
0 0 0 0 0 KORBAN PELANGGARAN HAM 1965-66: MENGGUGAT
Menyongsong HUT 102 Lahirnya Bung Karno Oleh: M.D.Kartaprawira
Dewasa ini telah banyak penelitian mengenai peristiwa Gerakan 30 September G30S, yang mengakibatkan jungkirbaliknya sejarah Indonesia. Di jaman rezim
Orde Baru penguasa dengan mesin propagandanya terus menjejalkan kepada
176
masyarakat bahwa gerakan tersebut didalangi oleh PKI dan bahkan berdasarkan TAP MPRS XXXIII1967 Bung Karno dituduh terlibat G30SPKI . Sesudah jenderal
Soeharto tersisih dari kekuasaan, dan mulai berjalan era reformasi terbukalah kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat. Akibatnya terkuak beberapa versi
lainnya mengenai G30S, a.l. bahwa G30S tersebut didalangi oleh Soeharto sendiri yang ingin memusnakan saingan-saingannya dalam ABRI dan PKI sebagai
pendukung Soekarno, demi meluangkan jalan untuk merebut kekuasaan. Juga ada versi terlibatnya CIA dalam G30S dan dinas intelijen Inggris, yang terus mengincar
Soekarno sebagai tokoh gerakan Asia Afrika yang membahayakan kepentingan imperialis di kedua benua tersebut. Demikianlah kita kenal versi G30SPKI, G30S
Soeharto, G30SCIA dll.
Lepas versi mana yang benar mengenai G30S, siapapun tidak bisa mengingkari bahwa pembunuhan yang diperkirakan sekitar 1 sampai 3 juta orang, penahanan
tanpa proses hukum puluhan ribu orang secara massal, pencabutan paspor orang- orang yang didakwa tersangkut G30S di luar negeri, dan lain-lainnya adalah
pelanggaran HAM berat yang harus dituntaskan masalahnya.[1][1] Apalagi akibat pelanggaran HAM tersebut diderita juga oleh anak-cucu si korban yang didis-
kriminasikan dalam kehidupaan bermasyarakat dan bernegara sampai dewasa ini dalam berbagai masalah.
Pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM harus mendapat perhatian besar, sebab hak-hak tersebut adalah alami sejak manusia lahir di dunia bahkan dari
spektrum yuridis bayi yang masih dalam kandungan pun sudah memiliki hak-hak tertentu. Pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM harus lepas dari batasan-
batasan agama, etnik, suku golongan dan status kepartaian. Hal ini berarti: tidak pandang siapa yang menjadi korban pelanggaran, penguasapenyelenggara negara
berkewajiban menegakkan keadilan bagi korban yang bersangkutan. Di sisi baliknya berarti: tidak pandang siapa yang melakukan pelanggaran HAM, mereka harus
ditindak sebagai penjahatpelanggar HAM dan mendapat konsekwensi setimpal. Bahkan eksistensi TAP MPRS No.XXV1966 yang direkayasa rejim Soeharto dan
yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, pun tidak bisa dijadikan dasar untuk melegitimasi kejahatan kemanusiaan tersebut dan melakukan praktek impunity.
Maka TAP tersebut yang selalu dijadikan landasan untuk tindakan melanggar HAM harus dicabut.
Tapi kenyataan yang terjadi di Indonesia kita lihat kejanggalan-kejanggalan dalam pembelaan dan penegakan HAM: penuh diskriminasi. Seperti kita ketahui di
Indonesia terdapat banyak pelanggaran HAM, antara lain Tragedi Kemanusiaan 1965, Peristiwa Malari, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari Lampung,
Peristiwa 27 Juli, penculikan aktivis pro-demokrasi, Tragedi Mei 1998, penembakan mahasiswa Trisakti, dll. Tapi mengapa Tragedi Kemanusiaan 1965-66, yang
merupakan kejahatan kemanusiaan BERAT di Indonesia dan di dunia kurang mendapat perhatian dari para peduli HAM di Indonesia dan penguasa? Kemung-
kinan besar hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa para korbannya adalah orang- orang komunisPKI atau pendukung-pendukungnya.
Berhubung dengan itu, maka setidak-tidaknya ada dua hal yang perlu diperjelas;
177
Pertama, penegakan keadilan terhadap korban pelanggaran HAM harus tidak ter- gantung kepada apakah mereka itu orang komunis atau nasionalis, PKI atau PNI,
Islam atau non-Islam, Jawa atau bukan-Jawa, pribumi atau keturunan asing dll, dsb. Tapi praktek di Indonesia membuktikan adanya diskriminasi dalam law enforcement,
yang seharusnya tidak boleh terjadi di dalam negara yang konstitusinya mencantum- kan RI sebagai negara hukum.
Kedua, adanya suatu asumsi salah bahwa korban pelanggaran HAM 1965-66 adalah hanya orang-orang PKI, ormas-ormasnya dan para simpatisannya saja. Pada hal
tidak demikian kenyataannya, sebab termasuk sebagai korban 1965 juga orang- orang nasionalis-demokrat-patriot para pendukung Bung Karno [2][2] PNI, Partindo,
Baperki yang banyak juga jumlahnya. Tapi rezim militaris orba yang berencana merebut kekuasaan dari presiden Soekarno memilih strategi pengikisan kaum
komunis dan ideologinya di bumi Indonesia sebagai tahap pertama untuk masuk ke tahap kedua – mengikis kaum nasionalis-demokrat pendukung setia Bung Karno dan
merebut kekuasaan dari presiden Soekarno.
Bahkan Bung Karno sendiri setelah dikudeta oleh jenderal Soeharto dijadikan tapol tahanan politik dengan isolasi yang ketat dari dunia luar. Tidak ada orang yang
mengetahui apa yang terjadi dengan Bung Karno yang dalam keadaan sakit kronis di dalam tahanan tersebut. Tapi yang jelas Bung Karno meninggal di dalam tahanan
tersebut. Agaknya memang sudah diskenariokan demikan itu oleh rejim Soeharto. Mengenai hal itu masing-masing dari kita bisa membuat kesimpulan sendiri-sendiri.
Tapi yang jelas lawan-lawan politik Bung Karno yakni Rejim Orde Baru, CIA, KAMIKAPPI dsb. merasa lega dan puas.
Pentapolan Bung Karno, menyusul pencopotannya dari jabatan presiden, yang berakhir dengan kematiannya dalam tahanan adalah suatu matarantai skenario
komplotan jenderal Soeharto dkk. pendiri rejim Orde Baru dengan CIA untuk melikwidasi Soekarno, yang merupakan musuh bebuyutan bagi kaum imperialis dan
kolonialis di benua Asia-Afrika.
Untuk mensukseskan strategi tahap pertama tersebut, maka semua mesin perang dan propaganda ditujukan terhadap penghancuran PKI dan pendukung-pendukung-
nya. Hal itu dapat dimengerti: Pertama, penghancuran PKI dan pelarangan ideologi komunisme di Indonesia adalah sesuai dengan strategi Amerika dalam era perang
dingin melawan negara-negara blok komunis, di mana jendral Soeharto dan jenderal- jenderal kanan lainnya mendapat bantuan dan dukungannya; Kedua, dengan
memfokuskan propaganda dan penghancuran PKI yang dituduh mendalangi atau tersangkut G30S, rezim Orba berusaha untuk tidak menimbulkan resistensi dari
massa kaum nasionalis-demokrat dari pendukung-pendukung setia Bung Karno. Dengan demikian sukseslah strategi tahap pertama untuk membuka jalan ke strategi
tahap kedua – penghancuran kekuatan Soekarno.
Jadi tidaklah salah mereka yang berpendapat bahwa penghancuran PKI hanyalah sasaran antara, sedang sasaran pokok adalah Bung Karno. Sebab Bung Karno pada
era Perang Dingin yang juga merupakan era Kebangunan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika melawan kolonialisme, peranannya sangat membahayakan kepentingan kaum
imperialis dan kolonialis. Bung Karno bukan saja sebagai Bapak Pemersatu Bangsa Indonesia, tetapi juga tokoh dunia Pemersatu Bangsa-bangsa Asia-Afrika di
178
samping Ahmed Sekuture, Mudibo Keita, Gamal Abdel Naser, Julius Nereire, Ali Butho, dll. dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Pada kurun
waktu pasca Konferensi Bandung 1955 rakyat Asia-Afrika yang masih berada di bawah penindasan kaum kolonialis-imperialis mengangkat senjata melawan
penindasnya. Dan satu demi satu muncullah negara-negara muda berdaulat: Guinea, Guinea-Bissau, Mozambik, Angola, Mali, Kongo Kinshasa, Kongo Brazza-
ville, Tanzania, dll. Dengan demikian jelas bahwa Bung Karno juga pejuang pembela hak asasi rakyat Asia-Afrika yang dirampas oleh kaum kolonialis-imperialis puluhan-
ratusan tahun lamanya.
Karena peranan Bung Karno yang demikian itulah kaum imperialis CIA dengan jalan apa saja berusaha melikwidasi Soekarno. Karena PKI adalah pendukung
Soekarno yang paling utama dan merupakan musuh ideologis kaum imperialisme CIA, maka merekalah yang pertama-tama harus dihancurkan. Akibat kehancuran
PKI perimbangan kekuataan politik di Indonesia berubah tajam, sehingga Soekarno dapat dijatuhkan dari kekuasaan pemerintahan. Dia ditahan tanpa proses hukum dan
mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, sampai akhir hayatnya. Demikianlah Bung Karno sebagai tapol rezim Orde Baru Soeharto dan korban pelanggaran HAM
1965-66. Jadi penyelesaian masalah pelanggaran HAM 1965-66 bukanlah semata- mata masalah orang PKI, tapi masalah nasional.
Pada tanggal 28 Maret 2003 telah tiba di Negeri Belanda delegasi Pembela Korban Pelanggaran HAM 1965-66 terdiri dari dr. Ribka Ciptaning, Ir. Setiadi Reksoprodjo
dan mantan Letkol Heru Atmodjo yang bertujuan mengikuti Sidang Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa. Perjuangan pembelaan korban pelanggaran HAM
1965-66 sudah berlangsung cukup lama, terutama oleh Komite TapolNapol di bawah pimpinan Gustaf Dupe SH, yang kemudian disusul timbulnya Pakorba
Paguyuban Korban Orde Baru di bawah pimpinan Simon Tiranda, YPKP dibawah pimpinan Ibu Sulami. Sedang LSM-LSM di bidang kemanusiaan tidak tampak
gregetnya dalam kegiatannya yang berkaitan dengan pelanggaran HAM 1965-66, sehingga menimbulkan pertanyaan dan kesan yang negatif. Mengapa mereka hanya
meramaikan masalah pelanggaran HAM di Timtim, Aceh, Papua, Tanjung Priok, Trisakti dll., sedang mengenai masalah pelanggaran HAM 1965-66 tampak adem
ayem saja? Maka dari itu tidak dapat dipersalahkan kalau timbul pertanyaan sinis dari masyarakat: apakah hal tersebut ada hubungannya dengan masalah donasi luar
negeri? Apakah ada pesanan-pesanan tertentu dari donator?
Memang baru-baru ini KOMNASHAM telah mempunyai sub-komisi yang menangani masalah pelanggaran HAM 1965. Meskipun demikian hal itu masih belum bisa
meyakinkan bahwa pintu pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM 1965-66 sudah terbuka lebar. Masih memerlukan bukti yang tentu tidak akan tampak segera.
Bahkan bagi sementara orang terbentuknya Sub-komisi HAM 1965 tersebut dianggap kewajaran akibat gencarnya kritik yang dilakukan oleh organisasi
masyarakat Komite TapolNapol, Pakorba, YPKP dan para peduli HAM lainnya melalui tulisan-tulisan di media internet khususnya misalnya dari Nederland dan
Perancis. Makanya cepat atau lambat masalah tersebut mesti mencuat dan perlu ditangani penyelesaiannya., tidak tergantung ada atau tidak usaha-usaha dari
sementara LSM yang mau memikirkan penyelesaian pelanggaran HAM 1965. Demikianlah munculnya Sub-Komisi masalah HAM 1965 dalam KOMNASHAM
179
merupakan suatu proses alami perkembangan dalam masyarakat yang sudah tidak mungkin lagi bisa menyembunyikan secara abadi pelanggaran HAM 1965-66 di
dalam negara yang konstitusinya menyatakan sebagai negara hukum. Bagaimana- pun juga terbentuknya Sub-Komisi Masalah HAM 1965 dalam KOMNAS-HAM harus
disambut dengan baik.
Dewasa ini dalam kaitannya dengan penyelesaian masalah korban pelanggaran HAM 1965-66 dan pelanggaran HAM lainnya muncul bermacam-macam panda-
ngan tentang perlunya Rekonsiliasi Nasional antara para korban dan pelaku pelang- garan HAM. Di bawah ini adalah 3 dari bermacam-macam skema mekanisme rekon-
siliasi nasional:
1. Rekonsiliasi harus mengungkap kebenaran dan keadilan, untuk itu harus terlebih dulu mereka yang tersangkut dalam pelanggaran HAM harus diadili di
pengadilan. Kemudian kepada yang bersangkutan diberi grasi, sedang kepada para korban
diberi rehabilitasi dan kompensasi atas hak-haknya yang terlanggar. 2. Rekonsiliasi harus mengungkap kebenaran dan keadilan, yang dilaksanakan oleh
suatu komisi rekonsiliasi. Komisi itulah yang akan bertindak sebagai pengadilan. Antara pihak-pihak yang berlawanan kemudian saling maaf-memaafkan dan
kepada para korban diberi rehabilitasi dan konpensasi, sedang kepada pihak lainnya diberi grasi.
3. Rekonsiliasi harus mengungkap kebenaran dan keadilan, tapi untuk itu pertama - tama Pemerintah harus terlebih dulu merehabilitasi semua para korban yang
tidak terbukti bersalah atau tidak pernah diadili secara hukum. Mereka kemudian diberi konpensasi sesuai dengan kemampuan Negara saat ini. Baru kemudian
para pelanggar HAM diadili secara hukum oleh pengadilan biasa atau penga- dilan komisi rekonsiliasi untuk mengungkap kebenaran dan keadilan. Rekon-
siliasi Nasional menjadi tuntas setelah mereka yang dinyatakan bersalah men- dapatkan grasi.
Tiga macam skema mekanisme rekonsiliasi tersebut mungkin bisa menjadi bahan pemikiran untuk memecahkan masalah rekonsiliasi yang sangat rumit di Indonesia.
Dari skema-skema tersebut di atas tampak adanya tiga unsur penting dalam rekonsiliasi: pengungkapan kebenaran dan keadilan; pemberian rehabilitasi dan
kompensasi kepada satu pihak; dan pemberian grasi kepada pihak lain. Kalau salah satu unsur tidak ada, rekonsiliasi bisa tidak akan terjadi.
Kiranya perlu digarisbawahi, bahwa dalam masalah rekonsiliasi nasional yang menyangkut pelanggaran HAM 1965-66 pemberian rehabilitasi dan kompensasi
terlebih dulu oleh pemerintah kepada para korban yang tak pernah terbukti kesalahannya berdasarkan hukum, adalah sangat penting sekali, bahkan secara
moral dan yuridis dapat dipertanggungjawabkan. Seyogyanya pemerintah memper- hatikan hal tersebut secara serius.
Pengalaman Rekonsiliasi di Afrika Selatan menampakkan dengan jelas keberadaan ketiga unsur tersebut. Sehingga praktis dalam rekonsiliasi di sana berlaku impunity –
bebas dari hukuman bagi mereka yang bersalah. Hal inilah yang agaknya bagi
180
sebagian masyarakat kita sangat berat untuk diterima. Tapi apakah kita ingin selamanya menjadi tawanan sejarah?
Menurut hemat penulis setidak-tidaknya ada tiga syarat pokok untuk terbukanya pintu rekonsiliasi nasional:
Pertama, harus dicabut TAP MPRS No XXXIII1967 tentang pencopotan kekuasaan Soekarno sebagai presiden. Sebab akibat dari pelaksanaan TAP tersebut Bung
Karno beserta banyak pendukung-pendukungnya ditahan tanpa proses hukum. TAP tersebut tidak saja merupakan legitimasi kudeta Soeharto, tapi juga merupakan
pelanggaran HAM.
Kedua, harus dicabut TAP MPRS No.XXV1966 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya beserta ajaran marxisme-leninisme di Indonesia.
Sebab pelarangan sesuatu ideologi adalah merupakan pelanggaran HAM seseorang dan bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Ketiga, semua peraturan-peraturan hukum diskriminatif terhadap para korban pelanggaran HAM 1965-66 harus dihapus secara tuntas dan konsekwen. Tanpa
pecabutan peraturan-peraturan tersebut sama saja melanjutkan kesempatan tindakan pelanggaran HAM seperti telah terjadi di masa lalu.
Sangat menggembirakan bahwa delegasi Korban Pelanggaran HAM 1965-66 telah sukses dalam melaksanakan misinya di Sidang Komisi HAM PBB di Jenewa. Tapi
bagaimanapun juga kesuksesan tersebut baru merupakan keberhasilan awal yang perlu ditindak lanjuti dalam skala makronya yang penuh tantangan. Sebab kita
melihat dan menyadari bahwa berdasarkan fakta-fakta dan kondisi yang ada di Indonesia dewasa ini masalah pelanggaran HAM 1965 ini masih terus menghadapi
tantangan serius dari pihak oponen. Setidak-tidaknya fakta-fakta berikut ini akan memperkuat kesadaran dan memberikan gambaran yang lebih jelas bahwa dalam
peta politik di Indonesia kekuatan Orba masih kuat di mana-mana di Legislasi, Birokrasi, Yudikasi dan Ormas-ormas:
- Masih dipertahankannya sekuat tenaga TAP MPRS XXV1966 oleh mereka, sebab dengan TAP inilah mereka akan melakukan sepakterjang politiknya, termasuk
mengenai masalah korban pelanggaran HAM 1965-66. - Diterimanya Pasal 90g RUU Pemilu di DPR belum lama ini, di mana hanya
anggota-anggota fraksi PDIP yang menentangnya, berarti suatu legitimasi atas diskriminasi hak warganegara mantan tapolnapol untuk dipilih sebagai anggota DPR
di pusat maupun daerah.
- Dalam masalah rekonsiliasi Wapres Hamzah Haz dengan tegas menyatakan bahwa “Tidak setuju memaafkan PKI, sebab menyangkut masalah ideologi” Sinar
Harapan 2032003. Sesungguhnya logika akan bertanya: apakah si korban yang harus meminta maaf, apalagi tidak terbukti kesalahannya?
Jadi dari fakta-fakta tersebut, meskipun ada langkah sukses delegasi Korban Pelanggaran HAM 1965-66 di Jenewa, dan meskipun dalam Komnas HAM juga telah
terbentuk Komisi yang menangani masalah HAM 1965, perjuangan untuk penyele- saian pelanggaran HAM 1965-66 belum jelas perspektifnya. Dengan demikian, kita
181
masih memerlukan perjuangan yang berat dan panjang. Apalagi satu kenyataan bahwa di samping kekuatan Orde Baru masih kuat di mana-mana, kekuatan
nasionalis-demokrat dan kekuatan kiri lainnya masih terus cakar-cakaran dan berantam satu sama lain. Ironis? Jelas ironis, tapi itulah kenyataannya. Tentu
kekuatan Orba senyum-tertawa dengan puasnya. Semoga kekuatan anti Orde Baru menyadari perlunya persatuan perjuangan dan melakukan politik perjuangan yang
tepat seperti diajarkan Bung Karno.
Nederland, 20 Mei 2003 Sekretaris Korwil PDI Perjuangan Nederland,
anggota Indonesia Legal Reform Working Group Nederland. [1] Kesimpulan tersebut telah diambil dalam Sarasehan di Leuven, Belgia 2000 dan
di Zeist, Nederland 2001. Dalam Sarasehan di Leuven tampil sebagai nara- sumber: Sitor Situmorang, Mr. Paul Moedikdo, Hersri Setiawan, Dr. Coen
Holtzappel, Nany Nurrachman Sutojo. Sedang dalam Sarasehan di Zeist tampil sebagai narasumber: Hasan Raid, Dr.Coen Holtzappel, Mr. Paul Moedikdo dan
Murtini.
[2] Selain Bung Karno, juga banyak menteri-menteri kabinetnya yang ditahan bertahun-tahun oleh rezim Suharto: Ir.Setiadi Reksoprodjo Menteri Listrik dan
Ketenagaan, Drs. Soemadjo Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, Oei Tju Tat SH Menteri Negara dpb. Presidium, Astrawinata SH Menteri
Kehakiman, Armunanto Menteri Pertambangan, Soedibjo Menteri Negara Front Nasional, Mayjen TNI Dr. Soemarno Sastroatmodjo Menteri Dalam
NegeriGubernur Jakarta Raya, Soetomo Martopradoto Menteri Perburuhan, Mayjen TNI Achmadi Menteri Penerangan, Yusuf Muda Dalam Menteri Urusan
Bank Sentral, J.Tumakaka Menteri Sekjen Front Nasional, Letkol Imam Sjafei Menteri dpb. Presiden Urusan Keamanan, Dr. Soebandrio Waperdam I,
Chaerul Saleh Waperdam III, Ir. Soerachman Menteri Irigasi dan Pembangunan Masyarakat Desa, Drs. M. Achadi Menteri Transmigrasi dan
Koperasi, Sitor Situmorang tokoh sastrawan, Simon Tiranda tokoh pemuda Marhaenis, dll.
0 0 0 0 0
http:www.progind.netmoduleswfsection G30S, Terlibatkah Soeharto?
Tulisan oleh James Luhulima ini, dimuat di Kompas, pada tanggal 27 Oktober, 2004,
Kompas, 27 Oktober 2004
- SETIAP kali memasuki bulan September dan Oktober, ingatan selalu menerawang jauh ke belakang, tepatnya ke peristiwa Gerakan 30
September G30S tahun 1965 yang sampai kini masih tetap menyimpan misteri.
182
Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang yang menguasai informasi, akan menguasai dunia. Pepatah itu tidak mengada-ada, karena kenyataan itulah yang
terjadi pada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Kostrad Mayor Jenderal Soeharto sewaktu Peristiwa G30S terjadi.
Ia adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ABRI yang tahu persis tentang apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini
hari itu. Data yang telah dipublikasikan selama ini menyebut-kan, pada tanggal 30 September 1965 malam, Soeharto telah diberi informasi oleh Kolonel Infanteri Abdul
Latief, Komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam V Jaya, bahwa akan dilakukan penjemputan paksa terhadap para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat,
termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Agak aneh, mengapa Soeharto tidak melaporkan informasi yang diterimanya dari Latief kepada Jenderal Ahmad Yani, atasannya. Kemungkinannya hanya dua, ia
terlibat atau ia hanya menggunting dalam lipatan, yakni mengambil keuntungan dari gerakan yang dilakukan orang lain.
Dalam pledoinya, Latief mengungkapkan, selain bertemu dengan Soeharto pada tanggal 30 September 1965 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat RSPAD, dua
hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965 tanggal 29 September 1965-Red, ia juga menghadiri acara kekeluargaan di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus Salim.
Pada pertemuan pertama, Latief memberi tahu adanya isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Menanggapi
pemberitahuan itu, Soeharto mengatakan, ia sudah mengetahui hal itu dari seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang datang sehari
sebelumnya 28 September 1965-Red.
Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri Soekarno Kabinet Dwikora, dalam Memoir Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, yang
diterbitkan oleh Hasta Mitra, menyebutkan, ia bertemu dengan Subagiyo di dalam tahanan, dan Subagiyo mengatakan, ia telah memberi tahu Soeharto mengenai akan
adanya peristiwa penting pada tanggal 30 September 1965 itu. Dan, pada pertemuan kedua di RSPAD, Latief menyebutkan ia dan rekan-rekannya akan menjemput paksa
para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Adanya pertemuan antara Kolonel Abdul Latief dengan Mayor Jenderal Soeharto menjelang peristiwa G30S membuat kecewa Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal
Idris, yang sebagai Kepala Staf Kostrad pada tanggal 11 Maret 1966 memimpin pasukan tanpa identitas yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional.
Ditemui wartawan ketika melayat ke rumah Jenderal Besar Purnawirawan AH Nasution, 6 September 2000, Kemal Idris mengatakan, dengan meninggalnya Pak
Nas makin sulit pula upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G30S yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang. Apa yang kita kecewa
adalah karena Soeharto dua kali didatangi oleh Kolonel Abdul Latief dan dia Soeharto menerima laporan bahwa akan terjadi sesuatu pada tanggal 30 Septem-
ber 1965. Saya sangat kecewa sekali kepada Soeharto yang tidak mengambil tinda-
183
kan apa pun untuk pengamanan hingga timbul kesan saat itu, seolah-olah biarlah ada orang mati supaya dia berkuasa, ujar Kemal Idris.
Ternyata setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, muncul data baru, yang diungkapkan oleh Wakil Komandan Batalyon
530Para Brigade 3Brawijaya Kapten Soekarbi kini, Mayor Purnawirawan. Dalam wawancaranya dengan tabloit berita Detak, yang dimuat dalam edisi 29 September-5
Oktober 1998, Soekarbi mengatakan, dalam Radiogram Panglima Kostrad Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21 September 1965, yang ditandatangani oleh Mayor
Jenderal Soeharto, isinya perintah agar Batalyon 530Para Brigade 3Brawijaya disiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan
perlengkapan tempur garis pertama.
Pertanyaan yang segera muncul, mengapa Soeharto meminta Batalyon 530 disiapkan dengan perlengkapan tempur garis pertama? Apalagi kemudian yang
terjadi adalah sebagian dari anggota pasukan Batalyon 530 terlibat dalam peristiwa G30S. Tidak diketahui apakah perintah serupa diberikan pula kepada Batalyon
454ParaDiponegoro, yang sebagian anggota pasukannya juga terlibat dalam peris- tiwa G30S.
Dengan adanya radiogram tersebut, muncul dugaan bahwa Soeharto sudah tahu mengenai akan adanya peristiwa G30S, paling tidak sejak tanggal 21 September
1965, atau sembilan hari sebelumnya. Sebab, dengan memberikan pasukan Batalyon 530 itu perlengkapan tempur garis pertama, Soeharto telah memfasilitasi
anggota pasukan tersebut untuk melakukan gerakannya.
Belum lagi hampir semua pelaku inti G30S memiliki hubungan yang dekat dengan Soeharto, mulai Brigadir Jenderal Soepardjo, Kolonel Untung, Kolonel Abdul Latief,
sampai Sjam Karuzzaman. Itu sebabnya, pada saat G30S berlangsung, Soeharto hanya menunggu perkembangan, dan pada saat yang tepat, dengan cepat mengam-
bil langkah-langkah yang diperlukan, di saat orang-orang lain, termasuk panglima dan perwira tinggi angkatan lainnya, masih bertanya-tanya apa yang sesungguhnya
terjadi.
Karena mengetahui siapa saja yang telah dijemput paksa dan siapa saja yang melakukannya, maka saat itu pada prinsipnya Soeharto dapat melakukan apa saja
yang dikehendakinya, termasuk dengan mudah membasmi pelaku-pelaku G30S dan mencari kambing hitam untuk dituduh sebagai penanggung jawab atas peristiwa
G30S.
Sebagai orang yang memiliki seluruh informasi, Soeharto secara leluasa member- lakukan keadaan darurat. Kemudian menelepon MenteriPanglima Angkatan Laut
Laksamana Madya RE Martadinata, MenteriPanglima Angkatan Kepolisian Komisa- ris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, dan Deputi Operasi Angkatan Udara Komodor
Leo Wattimena. Dan, kepada mereka, Soeharto memberi tahu untuk sementara Angkatan Darat dipegang olehnya, serta meminta agar mereka tidak mengadakan
pergerakan pasukan tanpa sepengetahuannya dalam hal itu, Panglima Kostrad.
Sebagai kambing hitam, ia menuduh MenteriPanglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dani berada di pihak yang salah, dan Pangkalan Angkatan Udara
184
Halim Perdanakusuma disebutkan sebagai markas pelaksana G30S. Dengan demikian, kehadiran Presiden Soekarno di Pangkalan Angkatan Udara Halim dicitra-
kan sebagai keberpihakan Soekarno pada G30S. Itu belum semua. Dengan penguasaannya atas seluruh media massa nasional,
Soeharto berhasil menjadikan versinya atas peristiwa G30S sebagai satu-satunya kebenaran. Dan, bagi orang-orang yang dianggap berseberangan diberi label
terlibat G30S, dan dijadikan tahanan politik.
Sejumlah purnawirawan AURI di bawah pimpinan Sri Mulyono Herlambang, lewat buku Menyibak Kabut Halim 1965 membantah bahwa Lubang Buaya yang
digunakan sebagai Markas Kelompok G30S berada di wilayah AURI. Tempat tersebut justru berada di wilayah Angkatan Darat.
PADA tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Mayor Jenderal Soeharto memerintah- kan seorang perwira Kostrad, Kapten Mudjono, untuk memanggil Komandan
Batalyon 530 Mayor Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan. Karena Mayor Bambang Soepeno
tidak ada ditempat, maka Wakil Komandan Batalyon 530 Kapten Soekarbi, yang memimpin pasukan di lapangan, bertanya apakah ia bisa mewakili. Perwira itu
menjawab tidak bisa. Namun, pukul 07.30, perwira Kostrad itu kembali lagi, dan mengatakan, Kapten Soekarbi diperbolehkan menggantikan Mayor Bambang
Soepeno. Tidak lama kemudian datang menghadap pula Wakil Komandan Batalyon 454 Kapten Koencoro.
Pasukan yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan adalah anggota dua batalyon yang diundang Panglima Kostrad Mayor Jenderal
Soeharto ke Jakarta untuk mengikuti peringatan HUT ke-20 ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Sebab itu, Soeharto dengan mudah memanggil pemimpin kedua
batalyon itu, dan memerintahkan agar menarik kembali pasukan mereka ke Markas Kostrad.
Soekarbi membantah pernyataan yang menyebutkan bahwa Kostrad tidak tahu kehadiran pasukannya di sekitar Istana dan Monumen Nasional, mengingat anak
buahnya bolak-balik ke Markas Kostrad untuk menggunakan kamar kecil toilet. Berbeda dengan Soeharto, yang pada pukul 06.30 , sudah mengetahui identitas
pasukan yang berada di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan, Presiden Soekarno dan regu pengawalnya sama sekali masih tidak tahu-menahu
mengenai apa yang terjadi.
Pada tanggal 30 September 1965, malam, Presiden Soekarno tidak tidur di Istana Merdeka. Menjelang tengah malam, Soekarno meninggalkan Istana Merdeka menuju
ke kediaman istrinya, Ny Ratnasari Dewi, di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto kini, Museum Satria Mandala. Dalam perjalanan ke sana, Soekarno singgah di Hotel
Indonesia untuk menjemput Ny Dewi, yang tengah menghadiri resepsi yang diada- kan Kedutaan Besar Irak di Bali Room.
Keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Presiden Soekarno keluar rumah, memasuki mobil kepresidenan, dan bergegas ke Istana Merdeka. Pagi itu,
185
Soekarno dijadwalkan menerima Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena dan Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani.
Di dalam mobil, Suparto, staf ajudan yang mengemudikan mobil itu, memberi tahu informasi yang diperolehnya dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi DKP
Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, yakni bahwa pada pukul 04.00, ada penemba- kan di rumah Menteri Koordinator Pertahanan dan KeamananKepala Staf Angkatan
Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena, yang letaknya bersebelahan.
Presiden Soekarno langsung memerintahkan Suparto untuk memberhentikan mobil yang baru bergerak beberapa meter itu. Ia langsung memanggil Mangil dan meminta
penjelasan tentang penembakan tersebut. Kemudian Soekarno bertanya, Baiknya bagaimana, saya tinggal di sini dulu atau
langsung kembali ke Istana? Mangil menjawab, Sebaiknya Bapak tinggal di sini dulu, karena saya masih harus menunggu laporan dari Inspektur I Jatiman Kepala
Bagian II DKP yang tadi saya perintahkan untuk mengecek kebenaran berita tersebut. Mendengar jawaban itu, Soekarno menghardik Mangil dengan nada keras,
Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi, sampai sekarang belum diketahui dengan jelas…Soekarno dan regu pengawalnya kemudian meninggalkan Wisma
Yaso menuju Istana Merdeka. Rencananya mereka akan melalui Jembatan Semang- gi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, dan
Jalan Merdeka Utara.
Sewaktu rombongan Presiden Soekarno melintas di atas Jembatan Dukuh Atas, menjelang Bundaran Hotel Indonesia, Jatiman menghubungi Mangil dan
membenarkan ada tembakan di rumah Jenderal AH Nasution dan Dr Leimena. Ia juga menginformasikan tentang adanya pasukan Angkatan Darat yang terasa
sangat mencurigakan di sekitar Istana dan kawasan Monumen Nasional. Mendengar informasi itu Mangil memutuskan untuk menjauhkan Soekarno dari
pasukan tersebut. Pada saat yang sama, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel CPM Maulwi Saelan menghubungi Mangil lewat handy-talkie dan
memerintahkan untuk membawa Soekarno ke rumah istrinya yang lain, Ny Harjati, di kawasan Slipi, di sebelah lokasi Hotel Orchid sekarang. Rombongan kemudian
membelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan, Tanah Abang Timur, Jalan Jati Petamburan, dan ke arah Slipi, ke rumah Ny Harjati.
Saelan menunggu Soekarno di rumah Ny Harjati. Begitu tiba, pukul 07.00, Soekarno segera masuk ke dalam rumah, diikuti Saelan. Soekarno segera memerintahkan
Saelan mengontak semua panglima angkatan. Namun, sejak malam hingga pagi itu, jaringan telepon lumpuh sehingga Saelan meminta Suparto untuk menghubungi
secara langsung.
Saelan kemudian mendatangi Mangil di luar, dan mengupayakan untuk mencari tempat yang aman bagi Soekarno. Berbagai gagasan pun bermunculan, tetapi
setelah Suparto kembali pada pukul 08.30 dan melaporkan bahwa ia berhasil mengadakan kontak dengan MenteriPanglima Angkatan Udara Laksamana Madya
Omar Dani di Pangkalan Angkatan Udara Halim, maka diputuskan untuk membawa Soekarno ke sana.
186
Soekarno menyetujui hal itu karena itu sesuai dengan Standard Operating Procedure SOP Tjakrabirawa. Bahwa jika dalam perjalanan pengamanan Presiden terjadi
sesuatu hal yang mengancam keamanan dan keselamatan Presiden, maka secepatnya Presiden dibawa ke Markas Angkatan Bersenjata terdekat. Alternatif lain
adalah menuju ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma karena di sana ada pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar. Atau, pelabuhan Angkatan Laut,
tempat kapal kepresidenan RI Varuna berlabuh. Atau, bisa juga ke Istana Bogor karena di sana diparkir helikopter kepresidenan Sikorsky S-61V.
Sekitar pukul 09.30, rombongan Presiden Soekarno tiba di Pangkalan Angkatan Udara Halim. Presiden disambut Omar Dani dan Komodor Leo Wattimena, yang
karena ketidaktahuannya atas apa yang terjadi, dapat ditarik ke kubu Soeharto siang harinya. Sementara itu, sekitar pukul 06.00, Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan
G30S, berangkat ke Istana untuk melaporkan peristiwa G30S kepada Presiden Soekarno. Karena Soekarno tidak berada di Istana, Soepardjo sempat menunggu
selama dua jam di sana. Setelah mendapatkan informasi bahwa Soekarno berada di Halim, maka ia segera menyusul ke Halim. Pukul 10.00, ia bertemu dengan
Soekarno dan melaporkan mengenai gerakannya. Namun, Soekarno menolak untuk mendukung gerakan itu, dan meminta ia menghentikan gerakannya untuk
menghindari pertumpahan darah.
Namun, penguasaan atas pasukan dan media massa saat itu membuat Soeharto bisa melakukan tindakan apa saja yang dikehendakinya melalui kaki tangannya.
Bahkan, Soekarno, lewat kesaksian Brigjen Sugandhi, Kepala Pusat Penerangan Hankam, dan ajudan Presiden Soekarno sendiri, Kolonel Marinir Bambang
Widjanarko, dikatakan bertanggung jawab atas G30S.
Uniknya, Bambang Widjanarko yang memberikan kesaksian bahwa Soekarno terlibat dalam peristiwa G30S, tetap ditugaskan mendampingi Soekarno sampai jabatannya
sebagai Presiden Indonesia resmi dicabut oleh MPRS. Kesaksian Sugandhi dibantah oleh Oei Tjoe Tat, yang juga hadir dalam jam minum
kopi pagi koffie uurtje pada tanggal 30 September 1965. Cerita Sugandhi tentang apa yang terjadi pagi itu, menurut Oei Tjoe Tat, mengada-ada. Seperti Sugandhi,
kesaksian Bambang Widjanarko pun dibantah oleh Kolonel CPM Maulwi Saelan dan Ajun Inspektur Polisi Tingkat I Sogol Djauhari Abdul Muchid, bertugas di bagian
Higiene dan Dinas Khusus Kepresidenan. Sogol disebut Bambang Widjanarko sebagai orang yang menyerahkan surat Untung tentang penjemputan paksa para
jenderal kepada Soekarno tanggal 30 September 1965 malam.
Pertanyaan besar yang mengganjal, adalah mengapa sama sekali tidak ada yang mempersoalkan, mengapa Soeharto tidak melaporkan adanya gerakan untuk
menjemput paksa para jenderal Angkatan Darat kepada atasannya, Jenderal Ahmad Yani, yang tewas dalam aksi penjemputan paksa itu? Kutipan dari tulisan James
Luhulima, selesai
0 0 0 0 0 0
187
SURAT RAHASIA SOEHARTO ? Hadji Muhammad Soeharto
Logo Militer dilingkari semacam bunga
RAHASIA
Tanggal: 10 September 1998 Ditujukan kepada:
Isi berita: Mas Wir: berargumentasi dengan Habibi harus dihindari betul, cukup dengan pakai
memo pribadi saja dikirim via ajudan. Tentang film G 30 S PKI selain tidak diputar ada baiknya dimusnahkan saja karena ada kejanggalan tentang saya sebagai orang
kepercayaan pak Yani kok tidak ikut dihabisi pagi itu dan Yasir Hadibroto telah pernah bicara tentang telah dibunuhnya DN Aidit setelah ditangkap atas perintah
saya. Selain itu adalah soal Mas Mashuri Mantan Mempen tahu betul bahwa saya tidak tidur saat mau dibangunkan pagi itu. Letkol Latief walau sudah tua dan lumpuh
di penjara masih sangat berbahaya saat dia buka mulut harus diperhatikan.
Tekanan untuk menghapuskan Dwi fungsi ABRI sangat berbahaya dan lebih berbahaya lagi kalau A.U dan A.L. merasa bahwa dwi fungsi yang dimaksud adalah
dwi fungsinya Angkatan Darat.Dwi fungsi akan berarti jabatan Gubernur, Bupati, Walikota, DPR, BUMN-BUMN, Menteri, Dirjen, Sekjen dan Duta Besar akan di isi
oleh orang-orang sipil dan keadaan ini akan membuat Jenderal-Jenderal AD kalap dan menggerakkan pemberontakan di mana-mana seperti di zaman Soekarno.
Kegagalan panen akan berkepanjangan, Gudang KUD di daerah sudah kosong, Gudang Bulog juga akan kosong karena beras di luar negeri sudah diborong oleh
perusahaan asing yang saham-sahamnya dikuasai anak-anak; bahaya mati kelaparan mengancam. Rekayasa mengkoordinir penjarahan sama saja halnya
dengan rekayasa DOM Aceh, Timor Timur, Irian, Tanjung Priok dll, lebih-lebih setelah GOLKAR jadi musuh rakyat dan SI MPR dianggap sidang abunawas.
Satu-satunya jalan mencegah disintegrasi adalah tindakan Tiannamen dan undang- undang darurat diberlakukan, dan trio reformasi Amin Rais, Mega, Sultan
Hamengkubuwono bisa dipindahkan oleh Yapto ke Sukabumi atau Balikpapan; Kalau di DPR sudah tidak ada anggota ABRI, maka penciutan 50 anggota TNI AD
pasti terjadi untuk dijadikan anggota POLRI serta disemua kabupaten dan kecamatan anggotanya TNI akan dikosongkan dan diganti dengan POLRI.
Kepalangtanggung basah, lebih baik pecah daripada retak. Selamat melaksanakan tugas
Menteri Pertahanan Keamanan RI
188
Tanda tangan
Sdr. Soebagioanggota DKP Yth:
Surat ini tolong dipelajari dan diteliti H.M. Soeharto
Dan ditindak lanjuti: Terimakasih.
Tanda tangan
Wiranto
0 0 0 0 0 0
Surat Ben Anderson dan Ruth McVey APA YANG TERJADI DI INDONESIA?
« Oktober 1965 » Bahan ini adalah judul surat Prof.Dr. Benedict Anderson dan Prof. Dr. Ruth
McVey, tertuju kepada Editor Penerbit New York Review of Books. Surat tsb ditulis pada tanggal 9 Februari 1978. Seperti karya-karya analitis dan studi
politik Ben Anderson mengenai Indonesia yang banyak ditulis dan diwawan- carainya, meskipun itu ditulis atau dikatakan di beberapa waktu yang lalu,
namun, sebagian besar masih relevan. Ben melakukan studi dan analisanya mengenai politik Indonesia, secara luas dan mendalam, independen dan
obyektif. Tulisannya kali ini yang saya publikasikan kembali secara berseri, ditulis bersama cendekiawan Barat lainnya, Ruth McVey, sebagai respons
terhadap tulisan cendekiawan Francis Galbraith [1913-1986], berjudul APA YANG TERJADI di INDONESIA? Suatu Pertukarfikiran.
Studi analitis Ben dan Ruth mengkonfrontasikan tuduhan Galbraith bahwa kaum Komunis, PKI, beralih ke penggunaan cara kekerasan dalam suatu kup,-- dengan
kenyataan sebagaimana yang dikemukakan oleh studi dan analisis CIA. Ben dan Ruth juga mengemukakan bahwa hasil studi CIA menunjukkan bahwa fakta dan data
ketika itu PKI justru menjauhkan diri dari tindakan kekerasan, dan tak pernah menantang tentara. Dikemukakan juga oleh Ben dan Ruth bahwa tuduhan tindakan
kekerasan yang dilakukan orang-orang KomunisPKI sekitar aksi-aksi di pedesaan, -- sesungguhnya itu adalah suatu gerakan untuk melaksanakan suatu program land-
reform yang sudah lima tahun sebelumya diundangkan.
Selanjutnya tulisan Ben dan Ruth menggugat klaim pimpinan tentara yang menuduh PKI melakukan kup, karena kenyataannya ialah, apa yang dinamakan kup itu,
bukanlah suatu gerakan untuk menggulingkan Sukarno atau pemerintahan Indonesia, tetapi suatu pembersihan terhadap dalam pimpinan Angkatan Darat
dengan tujuan untuk membawa perubahan tertentu dalam komposisi kabinet.
Baiklah dimulai saja dengan menterjemahkan tulisan Ben Anderson dan Ruth McVery, sbb:
189
Surat Ben Anderson dan Ruth McVey 1 APA YANG TERJADI di INDONESIA?
Oleh Benedict R. Anderson, Ruth McVey. Sebagai respons terhadap APA YANG TERJADI DI INDONESIA?
Suatu Pertukarfikiran 9 Februari 1978.
Kepada Redaksi: Selaku Cendekiawan Cornell terhadap studi yag mereka lakukan mengenai kup 1
Oktober, 1965 di Indonesia, Francis Galbraith - 1913-1986- menyinggung dalam serangannya terhadap kritik Amnesty International mengenai pelanggaran HAM
yang menyeluruh di negeri itu lihat suratnya di Timbangan Buku The New York, 9 Februari, 1978 , kami menganggap bahwa catatan dia itu patut sedikit dikomentari.
Pandangan tuan Galbraith mengenai hal ihwal sederhana: kup tahun 1965, di mana 6 jendral dibunuh, adalah suatu percobaan perebutan kekuasaan komunis
yang ceroboh. Ia beranggapan bahwa Partai Komunis Indonesia PKI telah melakukan berkali-kali percobaan berdarah untuk menggulingkan pemerintahan di
Indonesia, yaitu, dalam tahun 1926, 1948 dan 1965- tetapi mengabaikan menyebut bahwa yang pertama itu tadi adalah suatu pemberontakan terhadap kekuasaan
kolonial Belanda Kegemaran Partai pada kekerasan, dikatakannya, didemonstrasi- kan sebelum terjadinya kup oleh kenyataan bahwa ia menstimulir konflik di
pedesaan Djawa Timur dengan suatu program penyitaan tanah yang dilakukan secara paksa oleh para pengikut PKI. Pembaca yang tak waspada sebaiknya
dinasihatkan bahwa program ini, yang dilaksanakan dalam tahun 1964 adalah suatu perocbaan untuk memperoleh kerelaan compliance dengan ketentuan-
ketentuan land-reform dan bagi-hasil, yang sudah diundangkan lima tahun sebelumnya. Banyak dari kekerasan sesungguhnya dalam tahun 1964 adalah
resultat dari ulahnya tuantanah untuk secara ilegal menarik sewa tanah yang biasa tinggi waktu itu dalam menghadapi perlawanan kaum tani yang meningkat.
Sesudah kup, tulis Tuan Galbraith, PKI memimpin percobaan tinkgat-dua untuk menguasai Indonesia. Mereka membunuh siapa saja yang menentang mereka;
kaum non-Komunis memukul balik. Yang terjadi sesungguhnya bukanlah itu, bila seandainya kita percaya pada versi
sejarah kup menurut CIA, yang oleh Tuan Galbraith direkomendasikan sebagai sesuatu yang memberikan penjelasan yang baik sekali mengenai apa yang terjadi
dan mengapa. Catatan Ben dan Ruth: CIA, Directorate of Intelligence, Indonesia - 1965: The Coup That Backfired, 1968 cukup aneh, satu-satunya studi CIA
mengenai politik Indonesia yang pernah dipublikasikan atas inisiatif badan itu CIA sendiri. Karena meskipun adanya pandangan tinggi Tuan Galbraith terhadap
usaha historiografi CIA, tampaknya aneh, ia seperti tidak mengetahui pendapat- pendapat CIA itu.
190
Kenyataannya, studi CIA itu sangat spesifik mengenai ketiadaan kekerasan yang dipicu oleh kaum Komunis. Dalam komentarnya mengenai kegiatan PKI ketua Aidit
di Jawa Tengah segera setelah terjadi kup, CIA mencatat bahwa ia Aidit memperingatkan orang-orang bawahannya:
Apapun yan terjadi tidak mengizinkan PKI diprovokasi melakukan tindakan kekerasan demikian dinyatakannya kepada orang-orang yang berkumpul men-
dengarkannya bahwa tidak boleh ada demonstrasi mendukung kup. Suatu kehe- ningan yang tegang dan siaga terasa dimana-mana, tetapi tidak ada tanda-tanda
kegiatan PKI dimanapun Halaman 77-79
Di Sumatra, demikian laporan CIA menyatakan, kaum komunis tidak pernah menantang tentara dalam kekerasan besenjata apapun yang ternyata adalah
penuturan tentang PKI menyerah pada tentara di seluruh Indonesia sesudah kup. halaman 63.
Kenyataannya, berlawanan dengan klaim Tuan Galbraith, studi CIA itu berulang- kali, secara tidak berhati-hati mengungkap tentang ketidak-mungkinan the
implausibilities terjadinya hal itu dalam versi resmi tentang kup dalam versi pemerintah Suharto. Satu hal, terdapat problim mengenai sumber-sumber.
Penguasa militer Indonesia telah menyebarkan ribuan halaman bahan-bahan mengenai kup, sedikit sekali yang bisa dipercaya dan tidak ada yang tanpa
purbasangka. Studi CIA itu semuanya menggunakan dan menambahkan bahan koleksi yang dubius ini.
Umpamanya, bahan itu mengutip statement-statement oleh para pemimpin tinggi komunis Nyono dan Sakirman sebgai bukti bahwa rapat-rapat Politbiro PKI yang
dikatakan memutuskan untuk melancarkan kup itu halaman 225-227. Bahwa pernyataan Nyono itu bertentangan sekali dengan kenyataan yang jelas-jelas
tentang gerak-gerik Aidit, dan bahwa pernyataan -nya itu bersumber dari suatu pengakuan, begitu tidak masuk akalnya sehingga itu harus digantikan dalam
jangka waktu beberapa jam saja, oleh suatu versi yang sudah disempurnakan dibiarkan saja berlalu tanpa disebut-sebut lagi. Catatan Ben dan Ruth: Mengenai
hal ini, lihat A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indoneisia Ithaca, Cornel Modern Indonesia Project, 1971, halaman 157-162.
Studi itu mengemukakan bahwa statement Sakirman dinyatakan di pengadilan; bila betul begitu, maka itu dilakukan secara posthumus, karena penguasa militer
Indonesia menyatakan bahwa ia Sakirman sudah ditembak mati ketika mencoba untuk melarikan diri segera sesudah ia ditangkap.
Seperti halnya rezim Suhartro, studi CIA itu gagal untuk menghasilkan suatu penjelasan yang mungkin terjadi mengenai tujuan-tujuan para pencetus kup yang
dimaksudkan itu; penjelasannya memang secara tak disadari meruntuhkan kasus anti-komunis yang menurut imajinasinya sedang disusunnya itu.
Ambillah misalnya soal mengapa PKI ujung-ujungnya kok menempuh kekerasan. Dalam situasi dimana Indonesia sedang meluncur lancar kearah kiri, dengan
Sukarno dan PKI dalam posisi memimpin, saatnya tampak dekat sekali dimana kaum Komunis akan mengambil alih negeri - bisa terjadi dengan meninggalnya
191
Sukarno, atau bahkan sebelum itu. Kebanyakak peninjau di Barat mengakui ini. Orang-orang Indonesia tampaknya pasrah. Tentu saja, PKI punya alasan kuat
mempercayainya. Pada tanggal 12 Oktober 1964 [Aidit]menjawab serentetam pertanyaan mengenai
PKI dan revolusi Indonesia dengan suatu klaim yang tak pernah terjadi sebelumnya bahwa Diantara partai-partai Komunis di dunia PKI adalah satu-satunya partai
yang paling punya otoritas untuk bicara mengenai peralihan secara damai ke sosialisme, karena PKI ambil bagian dalam pemerintahan baik di pusat maupun
lokal dan punya potensi nyata untuk melaksanakan politiknya. [Halaman 168-170].
Ataukah suatu faktor yang tak terduga - seperti keadaan sakitnya presiden karisma- tik Indonesia, Sukarno, penyokong PKI - mendorong para pemimpin Komunis untuk
melakukan komplot kup? Laporan CIA mengedepankan kemung-kinan ini kemudian meninggalkannya mengingat keadaan segar-bugar Sukarno dan kenyataan bahwa
tidaklah mungkin bahwa partaiPKI akan bergerak karena asumsi bahwa Sukarno bagaimanapun akan mati. halaman 260
Suatu alasan kedua yang mungkin bagi PKI untuk beralih ke kekerasan ialah, bahwa partai khawatir suatu perebutan kekuasaan oleh pimpinan tentara, oponen
utama PKI. Para perwira muda yang akutil membunuh para jendral, bukankah, mengumumkan bahwa mereka melindungi Sukarno dari suatu kup yang akan
segera dilancarkan oleh Dewan Jendral yang diukung oleh CIA. Tetapi bila suatu kup tentara akan segera terjadi, mengapa Aidit - yang secara politik dekat dengan
Sukarno, dan selalu berhubungan dekat dengannya halaman 234-5 tidak memberikan sinyal-bahaya kepada Presiden mengenai bahaya yang mengancam
mereka berdua, terbanding mengambil tindakan sendiri? Dan bila Sukarno tidak melibatkan dirinya dalam kup studi CIA berspekulasi bahwa mungkin ia terlibat,
mengapa ia bertindak demikian, dalam suatu cara yang tidak menggunakan apapaun dari otoritasnya yang legitim dalam jabatannya, atau dukungan popula-
ritasnya yang begitu besar dan yang tak bisa tidak mempersatukan opini dalam tentara menentangnya?
Meskipun adanya teka-teki enigma ini, studi CIA memastikan bahwa dalam bulan November 1964 PKI mendirikan suatu organisasi rahasia untuk menyusup dan
melakukan subversi terhadap kekuatan bersenjata Indonesia. Namanya Biro Khusus, katanya dikepalai oleh seseorang bernama Sjam. Biro Khusus ini memang
amat rahasia: Tampaknya, hanya sejumlah kecil orang saja di Politbiro yang tahu tentang adanya Biro Khusus ini; samasekali tidak jelas apakah ada orang lain
kecuali Aidit yang tahu tentang identitas orang yang mengepalai organisasi tsb. [Halaman 265-266, dan cf halaman 101].
Karena Aidit sudah mati, otoritas CIA mengenai adanya Biro ini hanyalah Sjam sendiri - yang namanya barangkali tidak tepat mengucapkannya, Sham. Untung, dia
ternyata adalah saksi yang paling koperatif. Begitu Tentara bisa membikin Sjam bicara, tampaknya ia juga ingin sekali menceriterakan segala sesuatu yang ia
ketahui tentang kup itu - hampir-hampir dari perasaan bangga, tampaknya [halaman 76 dan 76a, note]. Barangkali sikapnya yang suka ngomong itu ditimbul-
kan oleh pengalaman 10 tahun sebagai informan profesional untuk intel militer tentara, yang melaporkan tindak-tanduk PKI dan parpol-parpol lainnya halaman
192
107. CIA mengambil fakta-fakta ini untuk menunjukkan begitu meng-gemparkan- nya penetetrasi PKI ke dalam aparat militer -- tetapi dengan sendirinya itu bukan
satu-satunya cara hal itu bisa diartikan. Apa tujuan manipulasi subversif Biro Khusus terhadap perwira-perwira militer? Mengejutkan sekali, tampaknya, bukan
untuk merebut kekuasaan: Karena sekarang jelas bahwa kup Indonesia itu bukanlah suatu tindakan untuk menggulingkan Sukarno danatau mendirikan
pemerintah Indonesia [sic]. Hakikatnya , tindakan itu adalah suatu pembersihan terhadap pimpinan Angkatan Darat, yang dimaksudkan untuk terjadinya suatu
perubahan tertentu dalam komposisi kabinet. Dalam pengertian ini, adalah lebih tepat untuk menyatakannya sebagai suatu pembersihan, dan bukan suatu kup.
[N.p.; dari kata pengantar oleh John Kerry King, Kepala DDI Special. Research Staff; dan cf. halaman 29-30].
2 APA YANG TERJADI DI INDONESIA?
Oleh: Prof.Dr. Benedict Anderson dan Prof. Dr. Ruth McVey Sabtu ini saya publikasikan bagian-2 bahan berjudul Apa yang terjadi di
Indonesia. Bagian pertama telah disiarkan pada tanggal 25 Agustus y.l. Bahan tsb adalah sepucuk surat yang dikirimkan oleh Prof.Dr. Benedict Anderson
dan Prof. Dr. Ruth McVey, tertuju kepada Editor Penerbit New York Review of Books. Surat tsb ditulis pada tanggal 9 Februari 1978. Seperti karya-karya analitis
dan studi politik Ben Anderson lainnya mengenai Indonesia yang banyak ditulis dan diwawancarainya, meskipun itu ditulis atau dikatakan beberapa waktu yang lalu,
namun, sebagian besar isinya masih relevan. Bahkan amat relevan ketika saat ini sedang dalam suasana mengingat kembali Peristiwa Tragedi Nasional dalam tahun
1965. Luas diketahui di kalangan dunia penelitian politik internasional maupun Indonesia, studi dan analisa Ben Anderson mengenai politik Indonesi,dilakukannya
secara luas dan mendalam, independen dan obyektif. Maka, meskipun tulisan tsb dibuat 27 tahun y.l., namun, isinya tetap relevan.
Di bagian 2 ini menarik dan patut diperhatikan apa yang disimpulkan oleh Ben dan Ruth McVey dari studinya sekitar APA YANG TERJADI DI INDONESIA pada bulan
Oktober 1965, sbb: Saya kutip lengkap bagian ini, I.Isa: Hakikatnya, problim utama bagi Suharto pada tanggal 1 Oktober bukanlah grup kup
itu, tetapi Presiden Sukarno, yang menentang klaim Suharto untuk memimpin tentara dan mengedepankan Pranoto yang lebih dipercayainya -- saingan lama
Suharto.
Tidak sekali Ben Anderson mengemukakan bahwa apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965, akhirnya adalah suatu tindakan pembersihan di kalangan tentara
Indonesia, yang berakhir pada penumbangan Presiden Sukarno dan penghancur- kan samasekali PKI dan kekuatan Kiri lainnya yang mendukung Presiden Sukarno.
Tulisannya kali ini yang saya publikasikan kembali secara berseri, ditulis bersama cendekiawan Barat lainnya, Ruth McVey, sebagai respons terhadap tulisan cende-
kiawan Francis Galbraith [1913-1986], berjudul APA YANG TERJADI di INDONESIA? Suatu Pertukarfikiran.Berikut ini adalah sambungan surat Ben
Anderson daRuth McVey, kepada Editor NY Book Review:
193
Pembersihan ini -- pembunuhan terhadap enam jendral tingkat atas -- terlaksana pada lewat tengah malam oleh Letkol Untung yang tak terkenal dan satu batalyon
pasukan halaman 64. Suatu cara drastis aneh yang dimaksudkan untuk menjamin suatu perombakan kabinet; aneh sedikit orang untuk menjamin imunitas terhadap
retribusi oleh sesama perwira. Komentar Studi CIA tidak kurang mengherankan:
Ia memperlihatkan, baik sukses program Biro Khusus melakukan subversi di dalam AD sehingga PKI bisa berbuat seperti melakukan penculikan seluruh komando
tertinggi Tentara, maupun terjadinya suatu keadaan dimana terlihat situasi umum ketidak-siapan [sic] PKI pada saat menhadapi tantangan-menyeluruh dari fihak
militer. halaman 180.
Sebagai kompensasi terhadap ketiadaan kekuatan militer yang menyedihkan itu, orang mestinya menantikan para pelaku kup itu akan menggunakan semaksimal
mungkin nama dan otoritas Sukarno. Namun, anehnya, mereka tidak berbuat demikian, bahkan tidak dalam siaran mereka pada saat kemenangan pertama.
Analisis CIA itu bingung oleh kenyataan ini: Hampir tidak dapat dibayangkan bahwa siapapun yang melakukan kup di Indonesia dalam tahun 1965, tidak akan mencoba
untuk menggunakan otoritas Sukarno untuk merebut dukungan umum di belakang gerakan itu
Kenyataan bahwa Sukarno disebut hanya sebagai seseorang yang dilindungi oleh grup pelaku kup menciptakan suatu kesan yang samar-samar bahwa kup tsb
mungkin anti-Sukarno. halaman 22.Suatu kesalahan aneh yang dibuat kaum komunis yang dilindungi Sukarno. Lebih aneh lagi, sebagaimana halnya dibikin
jelas oleh studi CIA itu, para pelaku-kup tidak memobilisasi dukungan massa sesuatu yang dapat dilakukan oleh kaum Komunis:
Bila PKI yang melakukan kup itu. mengapa ia gagal untuk melancarkan propaganda menyeluruh untuk mendukungnya. PKI mampu sekali untuk itu, untuk memobilisasi
opini umum di Indonesia halaman 128. SAatu-satunya pengecualian terhadap kepasifan yang menimbulkan tanda tanya
ini,ialah munculnya editorial dalam suratkabar PKI pada tanggal 2 Oktober, yang, dengan membenarkan tindakan para pemimpin kup telah memberikan tentara
dokumen justifikasi bagi kemusnahan PKI sendiri halaman 67. Adalah meng- herankan bahwa tajuk rencana tanggal 2 Oktober itu, munculnya sesudah kup itu
gagal, begitu tergesa-gesa, sedangkan pada hari sebelumnya koran-koran Komunis jelas behati-hati. Laporan CIA itu berasumsi bahwa para redaktur berfikir kup masih
berjalan lancar ketika suratkabar itu diletakkan di atas percetakan pada sore tanggal 1 Oktober Halaman 68, namun di tempat lain diberitakan bahwa pada
petang hari telah jelas bahwa kup itu telah gagal. Lebih aneh lagi ialah, munculnya surat kabar itu tidak distop oleh Jendral Suharto, yang pada malam hari tanggal 1
Oktober telah menguasai ibukota dan telah menempatkan semua media di bawah kontrol militer yang ketat. Bagaimana bisa editorial yang memberatkan melibatkan
itu muncul di kiosk-kiosk penjualan koran pada keesokan harinya? Laporan CIA tsb mengarahkan bahwa editorial itu dibuat sebelumnya halaman 68. Barangkali itu
yang terjadi, tetapi tidak mesti hal itu dilakukan oleh pimpinan Partai.
194
Bila, seperti bukti-bukti itu menyarankannya, kup itu dimaksudkan bukan untuk memperluas, tetapi sebaliknya untuk menghancurkan kekuatan kaum Komunis,
maka tidak masuk akal bahwa manuver seperti itu diluncurkan oleh pimpinan tentara, hal mana berakhir dengan kematian-berdarah yang bersangkutan. Tetapi
eselon yang lebih tinggi tentara Indonesia keadaannya jauh dari bersatu. Salah seorang dari jendral senior yang tidak dimasukkan dalam klik-klik sekitar dua
jendral tertinggi Nasution dan Yani -- adalah orang yang oleh kup dinaikkan ke singgasana kekuasaan, yaitu Jendral Suharto. Suharto ketika itu komandan KOS-
TRAD, tentara cadangan strategis pilihan, dan sesudah Yani, adalah jendral yang paling senior yang sedang dinas aktif. Ia hanya memelihara hubungan yang sangat
dingin dengan Nasution dan Yani. Catatan Ben dan McVey: Bertindak atas dasar informasi yang diperoleh oleh Pranoto, kepala staf Suharto, Nasution telah
memecat Suharto dari jabatannya sebagai komandan divisi Jawa Tengah maksud- nya Divisi Diponegoro -- I.Isa dalam tahun 1959 karena ia Suharto terlibat
penyelundupan. Lihat Harold Crouch, Tentara Indonesia dalam Politik: 1960-1971 tesis PH.D, Monash University, 1975, halaman 164,207 dan 228.
Seperti yang dicatat oleh CIA, ia Suharto bukan orang yang disasar oleh grup yang melakukan kup -- pasti merupakan kesalahan besar para perancang kup. Ini
teristimewa menarik karena tiga yang diatas dari perancang kup itu punya alasan khusus untuk mengetahui Suharto itu orang yang seperti apa dan mengapa
KOSTRAD itu begitu penting: Letkol Untung, Brigjen Supardjo dan Kolonel Latief pernah atau masih berada langsung di bawah Suharto. Beberapa saat sebelum
kup, Latif memimpin latihan-latihan gabungan untuk menguji pertahanan ibukota -- maka tidaklah mungkin bahwa ia tidak tahu instalasi-instalasi apa yang vital bagi
penguasaan militer atas kota.
Namun Suharto tidak diganggu. Benar sekali, tidak ada percobaan apa-apa untuk menduduki atau mengepung Markas Besar KOSTRAD, dimana Suharto menegak-
kan komando kontra-kupnya. Dan meskipun pasukan-pasukan kup merebut instalasi-instalasi sipil pusat, mereka tidak mencoba untuk menguasai komunikasi
KOSTRAD yang amat canggih, suatu sistim darurat militer utama, dengan mana Suharto langsung mengumpulkan kendali kekuasaan di tangannya sendiri.
Hakikatnya, problim utama bagi Suharto pada tanggal 1 Oktober bukanlah grup kup itu, tetapi Presiden Sukarno, yang menentang klaim Suharto untuk memimpin
tentara dan mengedepankan Pranoto yang lebih dipercayainya -- saingan lama Suharto.
Marilah kita ikuti bagian terakhir dari surat Ben dan Ruth tsb:
3 APA YANG TERJADI DI INDONESIA, Oktober 1965 ?
Surat Prof Dr Ben Anderson dan Prof. Dr. Ruth McVey 9 Februari 1978 Ini adalah bagian terakhir surat Ben Anderson dan Ruth McVey, pakar Indonesianis
berbangsa Amerika yang ditujukan kepada New York Times Book Review. Isinya mengkritisi tanggapan pakar lainnya bernama Francis Galbraith yang secara
sederhana menarik kesimpulan gampang-gampangan mengenai apa yang terjadi di Indonesia, pada tanggal 1 Oktober 1965. Ben dan Ruth malah menunjukkan fakta-
195
fakta bahwa analisis CIA lebih patut diperhatikan, karena mengandung fakta-fakta yang banyak orang kurang memperhatikannya.
Dalam bagian terakhir dari surat Ben dan Ruth, mereka minta perhatian pada kenyataan, bahwa apa yang terjadi di Indonesia sesudah 1 Oktober 1965, setelah
dibunuhnya 6 jendral dan seorang perwira menengah, -- adalah p e m b a n t a i a n m a s a l, pembunuhan besar-besaran yang tidak ada taranya dalam sejarah
Indonesia. Tetapi yang oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini seperti terlupakan saja. Tak ada yang dimintai pertanggungan-jawabnya mengapa ratusan
ribu, bahkan lebih satu juga manusia Indonesia yang tak bersalah, telah dibunuh, tanpa proses pengadilan apapun.
Sungguh sulit dimengerti, bahwa begitu lama dunia politik, kalangan ilmuwan, khususnya ilmu sejarah di Indonesia bisa bungkam begitu lama mengenai masalah
tsb. Kalau ada sesuatu yang teramat serius yang merupakan problim besar dalam hati nurani dan bawah-sadar bangsa ini setelah 60 tahun hidup sebagai bangsa
merdeka, ialah k e b u n g k a m a n n y a terhadap pelanggaran HAM terbesar yang terjadi pada dirinya sendiri.
Surat Ben dan Ruth itu ditulis 27 tahun yang lalu. Problim-problim dan analisis yang mereka ajukan masih tetap relevan. Masih tetap saja belum terjawab. Ada berita
gembira bahwa baru-baru ini dinyatakan oleh kalangan yang bersangkutan mengenai arsip negara, bahwa mereka akan mengadakan penelitian dan pelaca-
kan, dimana surat asli yang terkenal dengan nama SUPERSEMAR itu ? Namun, yang lebih penting lagi ialah berusaha mencari kebenaran, mengadakan penelitian
dan studi yang mendalam oleh yang bertanggung-jawab, oleh pemerintah, mengenai masalah ini: APA YANG TERJADI DI INDONESIA pada 1 OKTOBER
1965. Demi penulisan sejarah bangsa ini, untuk menjadi pelajaran di masa depan, khususnya bagi generasi baru kita: Adalah tanggung jawaba seluruh masyarakat,
terutama penguasa, pemerintah dalam usaha mencari jawaban terhadap masalah tsb; sampai dimana penguasa, aparat, terlibat dan bertanggungjawab atas
pelanggaran HAM demikian kolosalnya pada tahun-tahun 1965, 1966 dan 1967?
Dalam kenyataannya, problim utama Suharto pada tanggal 1 Oktober bukanlah grup yang melakukan kup itu, tetapi Presiden Sukarno., yang menolak klaim
Suharto untuk menjadi pemimpin tentara dan sebaliknya mengajukan Pranoto yang lebih dipersacaya - seorang saingan lama Suharto.
Namun akhirnya, -- setelah mengepung pangkalan udara dimana Sukarno berlindung, dan setelah ia memberikan hakikatnya suatu ultimatum kepada
Presiden Sukarno - Suharto memperoleh apa yang dikehendakinya. Apakah perha- tian CIA terhadap semua ini? Barangkali hanya menyerupai suatu keprihatinan
historiographis yang keilmiah-ilmiahan. Atau barangkali Lembaga itu CIA, memiliki koneksi yang lebih erat terbanding pada apa yang disimpulkan oleh analisisnya
sebagai yang dikatakan mungkin terbukti merupakan salah satu peristiwa terpenting pada periode pasca [Perang Dunia II]. Dampak repercusions politik dari
kup tsb tidak hanya telah mengubah seluruh arah sejarah Indonesia tetapi ia merupakan efek mendalam terhadap cakrawalascene politik dunia, khsususnya
yang menyangkut Asia Tenggara halaman 70.
196
Memang, bagi CIA, tampaknya hal itu punya nilai tanpa suatu risiko kecil untuk mengakhiri menggelundungnya dengan lancar ke Kiri satu bangsa yang kelima
besarnya didunia, khususnya pada saat dimana Amerika Serikat sedang sibuk melakukan perlawanan terhadap kemajuan menyeluruh kaum Komunis di Vietnam.
Bila memang begitu, Lembaga itu CIA rendah hati sekali mengenai apa yang dicapainya. Tetapi hal itu mungkin bisa dimengerti, karena move itu tidak hanya
melibatkan enam orang jendral, tetapi, melibatkan suatu pogrom pengejaran yang menyertainya, yang merupaikan salah satu dari pembantaian terbesar dalam
zaman kita.
Sebagaimana disimpulkan oleh analisa CIA: Dalm hal jumlah yang telah dibunuh, pembantaian anti-PKI di Indonesia merupakan salah satu dari pembunuhan masal
yang paling buruk pada abad keduapuluh, sama seperti pembersihan yang dilakukan Sovyet dalam tahun 1930-an, pembunuhan masal Nazi selama Perang
Dunia II, dan pertumpahan darah Maois pada permulaan tahun 1950-an.
Pada tanggapan kedua, kup Indonesia itu pasti merupakan salah satu dari peristiwa yang paling penting di abad keduapuluh, jauh lebih penting terbanding peristiwa-
peristiwa lainnya yang telah memperoleh banyak publisitas. [halaman 71, nota]. Benedict Anderson
Profesor of Government Cornel University, Ithaca, New York
Ruth McVey - Reader in Politics, School of Oriental and African Studies, London, England.
Sumber: TEMPO Edisi 1-7 Maret 2004 REVISI KUHP: JAUH DARI SEMANGAT REKONSILIASI
Oleh: Bambang K. Prihandono “Nichts ist so erschuetternd wie Schweigen“. Tak ada yang menggetirkan seperti
kebungkaman, ungkap Leo Baeck, presiden Reichsvertretung-Jerman Yahudi. Ia, yang menjabat presiden di era kepahitan sejarah bangsa Yahudi 1933-1943, mesti
mendokumentasikan dan mengungkapkan kepedihan sejarah holocaust Zygmunt Bauman, Dialektik der Ordnung, 2002. Mungkin, ia tak pernah membayangkan
bahwa sejarah peradaban umat manusia di berbagai belahan bumi, atas nama ideologi dan kepentingan ekonomi-politik, selalu menunjukkan konflik berdarah.
Politik barbar. Jutaan manusia mesti lenyap dari muka bumi karena menjadi „yang lain“ atau the other. Ia tak juga membayangkan bahwa di tahun 60-an, di negeri yang
demikian jauh dari ladang pembantaian Auschwitz tercipta ladang-ladang baru pembantaian. Di sungai, di jalanan, di depan rumah, bahkan di kantor-kantor resmi
penguasa keamanan telah berubah menjadi ruang jagal. Itulah, Jawa dan Bali pada masa pancaroba politik 1965-1966.
Kepentingan politik, ekonomi dan ideologi adalah pemicu konflik, yang berujung pada pembantaian jutaan manusia tertuduh komunis. Sebuah ketetapan, Tap MPRS
XXV 1966, pun menjadi landasan „moral“ pembungkaman nurani kemanusiaan.
197
Bertahun-tahun kemudian, sejarah pahit itu terpendam, dengan segala kegetirannya. Pasca kejatuhan rejim Orde Baru, tuntutan akan keadilan bagi korban mulai
bermunculan secara terbuka. Tema rekonsiliasi menjadi agenda yang diupayakan berbagai kalangan. Anehnya, ditengah kecenderungan arus gerakan rekonsiliasi,
justru ada „perlawanan“ dari pemerintah dengan adanya rencana Revisi KUHP. Salah satu tema pokok „revisi“ adalah tetap mencantumkan ideologi Komunisme dan
Leninisme sebagai paham terlarang. Maka, pertanyaannya, nalar apakah yang bersembunyi dibalik gagasan tersebut? Dan apa pula implikasinya?
Pelarangan Ideologi. Secara sederhana, ada dua hal yang selalu menjadi perdebatan tentang pelarangan
ideologi Komunisme Leninisme. Pertama, ideologi bisa atau tidak dipidanakan; kedua, landasan „trauma sejarah“ di masa lalu. Kita perlu menelisik lebih jauh, untuk
menemukan sesuatu yang berada di seberang beyond pelarangan ideologi. Maka, penelusuran akan definisi „ideologi“ pun penting untuk dikerjakan, demi memperoleh
keluasan perspektif.
Mengacu pada Philosophisches Wörterbuch 1997, ideologi adalah imagi dan kesadaran dari individu atau kelompok yang berkembang sesuai dengan konteks
historis masyarakat. Ideologi juga memerankan sebuah fungsi sosial di masyarakat, yaitu sebagai pemicu motivasi. Maka, Komunisme, Kapitalisme dan bahkan Agama
bisa dikategorisasikan sebagai ideologi. Seiring dengan perkembangan historis masyarakat, maka ideologi pun mengalami kerumitan dan keragaman tafsir. Semula,
ideologi dianggap netral, namun sejak Marx memblejeti wataknya, terbukti bahwa ideologi juga menyimpan kepalsuan. Marx membongkar ideologi sebagai moda
kekuasaan, yang sering digunakan oleh kelas penguasa politik dan kapital untuk menyembunyikan kepentingan-kepentingan kelasnya. Ideologi tak lebih sebagai
“kesadaran palsu“, di mana selalu menyembunyikan kebenaran demi kepentingan politik-ekonomi. Ideologi lalu menjadi pembenar dari ambisi kekuasaan. Dalam
konteks ini, agama yang sering dianggap berada dalam “langit suci“, bisa pula terjebak menjadi ideologi yang menipu penganutnya sendiri. Penyebabnya adalah
elite agama dan politik, yang selalu mengeksploitasi agama demi keuntungan kelasnya sendiri. Sejarah Eropa abad pertengahan dengan peran gereja dan negara
yang bercampur menunjukkan kasus tersebut.
Tafsir ideologi tersebut, tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme, yang mengajar- kan bahwa persaingan bebas perlu untuk kemajuan umat manusia. Implikasinya,
sistem kepemilikan, alat-alat produksi, dan hak-hak kebebasan pribadi perlu dijamin. Ideologi, dengan demikian, berwajah multi-tafsir dan abstrak lihat Kurt Lenk,
Ideologiekritik und Wissenssoziologie, 1972.
Jika ideologi bermain dalam wilayah kesadaran dan multi-tafsir, maka menjadi ganjil dan demikian sulitnya hal itu dipidanakan. Meski demikian, bagi kalangan “pro-
revisi”, ideologi Komunisme dan Leninisme bisa dipidanakan dan dikriminalkan. Landasan argumennya pun bukan terletak pada konsepsi ideologi, namun mencari
pada basis “trauma-sejarah”, bahwa masa lalu Partai Komunis menciptakan teror dan konflik sosial. Benarkah?
198
Trauma sejarah akan kekerasan adalah hal yang tak terelakkan, jika sebuah bangsa mengalami peristiwa getir, kejam, dan pelecehan hak-hak azasi manusia di masa
lalu. Hanya, bila yang diingat hanya “kekejaman” satu pihak dan melupakan kekejaman pihak lain, hal itu adalah manipulasi sejarah. Itulah yang dikerjakan terus-
menerus oleh rezim Orde Baru: mereproduksi terus menerus wacana “anti-komunis”. Rezim simulacra. Hasilnya, rezim ORBA menarasikan bahwa „si komunis“ adalah
„yang lain“, sosok pengancam atau penghancur tatanan sosial politik. Dunia kehidupan si komunis“ mesti pula dibedakan dan dibungkam Budiawan, When
Memory Challenges History, 2000.
Lebih jauh, di sana tak hanya terjadi pemalsuan sejarah, namun bersarang pula penalaran sejarah“. Penalaran itu adalah “logika politik” yang dibangun dengan
mengabaikan dimensi korban dan tindakan politik barbar. Pembungkaman atas lawan politik dianggap sebagai “kewajaran”. Pembunuhan atas jutaan manusia
adalah wajar, politik yang mengenyahkan lawan adalah kenormalan. Salah satu jalan „penetralan“ atau „penormalan“ sebuah peristiwa kekejaman adalah dengan
institusionalisasi hukum, sebagai bagian tak terpisahkan dari birokrasi. Ketetapan MPRS XXV Th. 1966 pun menjadi bukti, bahwa atas nama hukum, penyingkiran dan
pelupaan „yang lain“ menjadi legitim.
Pada titik ini, hukum tidak menjalankan fungsinya sebagai pendorong dan penjaga gawang proses demokrasi, namun hukum lebih menampilkan sebagai pelayan dan
pelegitim dari kelompok kepentingan. Rencana Revisi KUHP yang tetap memper- tahankan pelarangan ideologi Komunisme dan Leninisme, pun dapat dibaca tak
sekedar sebagai ideologi dapat diadili atau tidak, namun disana bersarang nalar „berpolitik“. Nalar yang mengklasifikasikan antara „kami“ dan „yang lain“. Nalar yang
mengesahkan bahwa „yang lain“ wajar untuk dibungkam dan dilenyapkan.
Semangat Rekonsiliasi yang Menjauh. Rekonsiliasi adalah agenda sebuah bangsa yang punya pengalaman sejarah pahit,
untuk membangun peradaban baru. Negeri-negeri pasca-otoritarian, yang selalu haus akan korban, menuntut bahwa peradaban yang lebih baik hanya akan tercapai
lewat jalan rekonsiliasi. Jalan ke titik rekonsiliasi biasa melalui proses hukum dan proses kultural. Proses hukum bertujuan untuk memperoleh keadilan bagi korban
dan sanksi bagi pelaku kekerasan. Niscaya, proses hukum ini tak bisa berjalan tanpa adanya proses kultural. Proses penyembuhan luka-luka batin. Pada titik inilah
perlunya pengakuan, proses mendengar“ jeritan luka-luka batin. Hal ini penting, sebab para korban telah kehilangan jati-dirinya sebagai manusia akibat pembung-
kaman dan pengkambing-hitaman. Marta Minow Between Vengeance and Forgiveness: Facing History after Genocide and Mass Violence 1998 dalam
Budiawan 2003 secara gamblang menyebut, bahwa membiarkan korban bercerita dan memaknai cerita sebagai testimoni adalah sebuah penghargaan dan bantuan
untuk korban menemukan jati dirinya kembali.
Jika rekonsiliasi mensyaratkan dua hal tersebut, maka pelanggengan larangan ideologi Komunisme dan Leninisme pada rencana Revisi KUHP jelas semakin
membisukan“ para korban. Maka, persoalannya bukan pada ancaman bangkitnya sebuah ideologi, namun lebih ancaman akan pembrangusan proses rekonsiliasi. Kita
bisa membayangkan, bahwa para korban tak akan mampu bersuara, sebab beban
199
masa lalunya tetap menjadi tertuduh“, kambing hitam“ dan biang kerok kekejaman“. Ketakutan yang tetap menjerat dunia batin“ para korban kekerasan.
Hilangnya empati pada korban, tentu berimplikasi pada hilangnya proses memba- ngun demokrasi. Hal ini disebabkan karena kungkungan nalar, bahwa yang lain“
adalah musuh telah menjadi kabut penghalang ke arah pencerahan-pencerahan budi. Jauh-jauh hari Theodor Adorno 1971, seorang filsuf dan sosiolog Yahudi yang
selamat dari kekejian NAZI, telah merefleksikan bahwa generasi baru Jerman mesti tidak lagi mengulangi tindakan barbar. Belajar pada sejarah pahit kamp pembantaian
Auschwitz dan “refleksi diri” adalah cara pencapaian pencerahan untuk membangun pendidikan “kedewasaan” Erziehung zur Muendigkeit. Sebuah pendidikan yang
menghargai harkat kemanusiaan.
Meminjam refleksi Adorno untuk meneropong kasus-kasus kekerasan di Indonesia, kita menemukan bahwa empati pada korban masih jauh dari harapan. Alih-alih
menghormat para korban, kita masih menyaksikan sebuah peristiwa pembongkaran makam korban kekerasan 1965 pun diserang dengan makian, kekerasan dan
penolakan. Dan kini, kita pun dikejutkan kembali oleh gagasan untuk melanggengkan pelarangan ideologi. Maka, gagasan pelarangan itu tak lebih sebagai kontradiksi
proses demokratisasi, bahkan semakin menjauhkan diri dari proses rekonsiliasi.
Akhirnya, sejarah pahit, memang, mesti menjadi pelajaran berharga untuk memba- ngun peradaban. Jika kita berdiri pada posisi “korban”, tentu korban para kiai atau
non-komunis tidak dibenarkan, demikian pula korban terhadap orang-orang tertu- duh komunis ditolak untuk dilanggengkan. Kita tidak bisa lagi berdalih bahwa proses
politik bunuh-membunuh terjadi karena dalam situasi “dibunuh atau membunuh”. Kita memerlukan pendidikan politik yang mencerahkan, yang menerobos kebekuan
dendam. Semuanya demi generasi baru Indonesia sendiri.
Penulis, staf pengajar tetap Program Studi Sosiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
0 0 0 0 0 0
Soebandrio; Kesaksianku tentang G30S
BAB I:PROLOGG-30-S KONFLIK KUBU
Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan Amerika Serikat AS. Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia terjadi antara
Kapitalis dipimpin AS melawan Komunis RRT dan Uni Soviet. AS sedang bersiap- siap mengirim ratusan ribu pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara.
Sementara di Indonesia Partai Komunis PKI merupakan partai legal. Saat kebenci- an AS terhadap Indonesia memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden
Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras: Go to hell with your aid.. Seba- gai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebija-
kan berani: Berdiri pada kaki sendiri.
200
Dasar sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera dan Sulawesi, hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau yang
belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk yang
merupakan pasar potensial, sehingga ada harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia akan makmur tanpa bantuan Barat. Ini pula yang mengilhami sikap
konfrontatif Bung Karno: Ganyang Nekolim neo-kolonialisme imperialisme. Bung Karno menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi
bangsa yang besar.
Akibatnya, sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS ini didukung oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak ASmenghentikan bantuan-
nya, mereka malah membangun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira dan pasukan Indonesia. Melalui ope-
rasi intelijen yang dimotori oleh CIA, mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf
TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera Utara dan Sumatera
Tengah militer berupaya mengambilalih kekuasaan, tetapi juga gagal. Militer – dengan pasokan bantuan AS -seperti mendapat angin untuk menganggu Bung
Karno. Namun, Bung Karno masih mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer yang sangat loyal pada Bung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan
Bung Karno terus dirancang.
Sayangnya, konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu juga tidak stabil. Bung Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun kondisi memang sangat
rumit. Ada tiga unsur kekuatan yang mendominasi politik Indonesia, yaitu: 1.Unsur Kekuatan Presiden RI
2.Unsur Kekuatan TNI AD 3.Unsur Kekuatan PKI Partai Komunis Indonesia.
Unsur kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur
hidup, yakni Ir. Soekarno yang akrab dipanggil Bung Karno. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini.
Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu: Kubu Yani Letjen TNI Ahmad Yani dan Kubu Nasution Letjen TNI Abdul Haris Nasution. Soeharto awalnya termasuk dalam
Kubu Nasution, walaupun kelak mendirikan kubu sendiri.
Sedangkan unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh sekitar 17 juta anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan
Gerwani. Dengan jumlah itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni Soviet. Dalam Pemilu 1957 PKI menempati urutan ke-4. Dan,
sebagaimana umumnya partai besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, MenkoKetua MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua
DPRGR dan Nyoto Menteri Urusan Land-reform.
201
Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan.
Yang disebut dewan ini hanya penggalangan massa oleh kubu Nasution, namun mereka terang-terangan menyebut diri sebagai pemerintahan tandingan. Penyebab
utamanya adalah karena mereka tidak suka melihat kemesraan hubungan Soekarno- PKI.
Gerakan Kubu Nasution tidak cukup hanya menggalang massa sipil, namun juga mempengaruhi militer agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai petinggi militer,
bagi Nasution, itu adalah hal mudah. Caranya, antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk
membentuk Gerakan Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah awal usaha melibatkan militer ke dalam kegiatan politik yang kelak dilestarikan oleh Orde Baru.
Di sisi lain, Kubu Nasution menggalang simpati rakyat dengan membentuk BKS yang melibatkan para pemuda, partai politik, para petani, yang menyatu dengan militer di
bawah payung TNI AD.
Saat itu saya langsung membuat kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat regional karena memanfaatkan Perjuangan Pembebasan Irian Barat hingga tingkat desa
melibatkan petani. Maka, lengkaplah suatu gerakan menentang pemerintah yang terencana dengan rapi, cerdik dan memiliki kekuatan cukup potensial. Berdasarkan
laporan intelijen saya, CIA berada di belakang Nasution
Presiden Soekarno akhirnya mengetahui gerakan menentang pemerintah itu. Soekarno tahu bahwa pemerintah sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang
keroknya adalah Nasution. Maka, Soekarno pun langsung menghantam ulu hati persoalan dengan cara membatasi peranan Nasution. Jabatan Nasution sebagai
Kepala Staf Angkatan Bersenjata tetap dipertahankan, tetapi peranannya dibatasi. Nasution diberi tugas oleh Soekarno dalam urusan administratif pasukan. Nasution
dilarang ikut campur urusan operasional prajurit. Itu sama artinya Nasution dimasuk- kan ke dalam kotak.
Gerakan Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai Menpangad. Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di
balik itu Yani mendapat misi khusus dari Presiden agar membatasi desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini semacam operasi intelijen. Akibatnya, hubungan
Nasution dengan Yani memburuk.
Mulanya, konflik Nasution-Yani tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan elite saja yang memahami situasi yang sebenarnya, sejak Yani diangkat. Tetapi, bebe-
rapa waktu kemudian Yani mengganti beberapa Panglima Daerah Militer Pangdam. Para Pangdam yang diganti kemudian diketahui bahwa mereka adalah orang-
orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah peta situasi yang sesungguhnya.
Itu gerakan militernya. Sedangkan gerakan sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio saya memindahkan kedudukan Nasution
dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang akhir tahun 1963. Tentu saja Nasution harus tunduk pada perintah Presiden. Tidak
ada alasan dia untuk mbalelo. Sebab, di kalangan tentara sendiri sudah khawatir
202
terjadi perpecahan ketika hubungan nasution dengan A. Yani memanas, sehingga jika seandainya Nasution melakukan tindakan membangkang, pasti tidak akan
didukung oleh pasukan di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah dihitung secara cermat oleh Nasution. Itu sebabnya ia tunduk.
Langkah selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu nasution. Antara lain, PARAN Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah
komisi penyelidik anti korupsi yang dibentuk Nasution dibubarkan pada awal tahun 1964. Sebagai gantinya, Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling
Aparatur Revolusi KOTRAR yang dipimpin oleh orang kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio saya. Untuk memperkuat, Yani ditunjuk oleh Presiden menjadi Kepala
Staf KOTRAR.
Dari perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah merupakan kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari posisi strategis
dan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan begitu, politik Negara dalam Negara yang sempat diciptakan oleh Nasution berubah menjadi sangat lemah.
Melihat kondisi demikian, para pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas. Mereka khawatir, konflik antara Nasution dan Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan
bawah. Kalau itu terjadi, tentu akibatnya bisa fatal. Kekhawatiran ini lantas disampai- kan kepada Presiden. Karena itu, Presiden Soekarno menugaskan beberapa perwira
senior, termasuk Mayjen Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat, untuk menemui Nasution. Tugasnya, menyarankan kepada Nasution agar menyesuaikan
diri dengan jalur yang sudah digariskan oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai ada pembangkangan.
Dua kubu yag berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani berada di pihak Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan Bung
Karno. Sementara, Soeharto yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung berpihak kepada Nasution.
Konflik antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu hari di awal tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal AD di Mabes
AD. Sebenarnya Nasution dan Yani juga diundang dalam pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak datang. Mereka diwakili oleh penasihat masing-masing.
Padahal, pertemuan itu diselenggarakan dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil, pertemuan penting itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena
mereka yang berkonflik tidak datang sendiri dan hanya diwakili.
Pada pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini pertemuan dihadiri oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD. Dalam pertemuan
itu Nasution dan Yani juga tidak datang. Namun pertemuan itu melahirkan doktrin baru yang diberi nama:Tri Ubaya Sakti. Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya berisi
tiga janji jujur dari jajaran AD. Saya sudah lupa isi lengkapnya, namun substansinya demikian: TNI berhak memberikan saran dan tugas politik tak terbatas kepada
Presiden RI.
Doktrin itu menimbulkan kecemasan baru di kalangn elite politik dan masyarakat intelektual, karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD mempertahankan politik
203
Negara dalam Negara yang sudah dirintis oleh Nasution. Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap Kubu Yani yang didukung oleh Presiden Soekarno.
POLITIK MUKA DUA
Soeharto, salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan Nasution, berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto memiliki memori
buruk dengan Nasution maupun Yani. Penyebabnya adalah perilaku Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi saat Soeharto masih di Divisi Diponegoro.
Ceritanya, saat di Divisi Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan pengusaha Cina, Liem Sioe Liong kelak mendapat perlakuan istimewa dari
Soeharto, sehingga Liem menjadi pengusaha terbesar Indonesia. Perkawanan antara Soeharto dan Liem ini, antara lain, menyelundupkan berbagai barang.
Soeharto pernah berdalih bahwa penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu
mengetahuinya. Bahkan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepen- tingan Kodam, tetapi duitnya masuk kantong Soeharto dan Liem.
Saat mengetahui ulah Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan sampai menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai memalu-
kan korps. AH Nasution lantas mengusulkan agar Soeharto diadili di mahkamah militer dan segera dipecat dari AD. Namun, Mayjen Gatot Subroto mencegah,
dengan alasan bahwa perwira ini masih bisa dibina. Gatot lantas mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni dan disekolahkan di Sekolah
Staf Komando Angkatan Darat Seskoad di Bandung.
Presiden Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima oleh Dan Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya mengajarkan
pendidikan kemiliteran, tapi juga bidang ekonomi dan pemerintahan. Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai guru teori Negara dalam Negara.
Karena itulah, saat Soeharto ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dengan Nasution, ia berada di posisi serba tidak enak. Yani pernah menempelengnya,
sedangkan Nasution pernah mengusulkan agar dia dipecat dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi, toh Soeharto memilih berpihak ke Nasution, sehingga
yang kelihatan adalah bahwa Soeharto berada di dalam Kubu Nasution.
Namun akhirnya Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk ketika kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi Nasution
terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia tidak efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap
Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution. Keakraban AS dengan Nasution - dari perspektif AS –
awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung Karno yang cenderung lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan Soeharto sudah
menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri.
Awal Januari 1965 di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd, datang sepucuk surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia, Yoga Soegama
kelak dijadikan Kepala Bakin oleh Soeharto. Pengirimnya adalah Pangkostrad
204
Soeharto. Isinya: Yoga ditawari pulang ke Jakarta dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik bagi Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965
Yoga sudah tiba di Jakarta, langsung menghadap Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim. Mereka bermusyawarah di sana. Itulah awal terbentuknya Kubu
Soeharto.
Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga indikasi: Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal. Seharusnya
penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah perwira AD. Tetapi, kenyataannya Yoga
ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad Mayjen Soeharto. Kedua, tujuan kepula- ngan Yoga ke tanah air adalah bersama-sama Soeharto menyabot sabotase politik-
politik Bung Karno. Ketiga, mereka bertujuan menghancurkan PKI. Tiga indikasi ini bukan kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali Moertopo salah satu
anggota trio Soeharto-Yoga dengan rasa bangga dan tanpa tedeng aling-aling secara blak-blakan. Ali mengungkap hal itu dengan gaya seperti orang tidak
berdosa.
Bagi Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa. Padahal dia sudah melangkahi garis hubungan hierarki dan komando. Dengan cara
yang melanggar aturan itu dia membentuk kubunya. Pokok-pokok masalah yang menjadi perhatian kubunya sama sekali tidak menyangkut hal yang berkaitan dengan
Panglima AD, tetapi menyangkut politik nasional dan internasional. Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno dan PKI.
Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut Kelompok Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka
bergerak di bawah permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah
teruji saat mematahkan rencana pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro. Kekompakan mereka dilanjutkan di Jakarta.
Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi
Pangdam Diponegoro. Rencana pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga
mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan
menggunakan strategi yang kotor namun terselubung.
Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira
Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi, Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutus-
kan bahwa Soeharto harus tampil sebagai Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk bersama-sama menolak pencalonan
Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu
harus berpacu dengan waktu.
205
Namun, ternyata skenario Soeharto melalui Yoga ini tidak didukung oleh para perwira peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira
kesehatan Kolonel dr.Suhardi yang menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain tidak.
Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto. Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua
orang utusan Kodam Diponegoro hendak ke Jakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebar-
kan.
Berdasarkan memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto. Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut –
dikatakan Yoga – agar ridak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal
ini tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri.
Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyata- kan bahwa pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang diminta mem-
bantu Yoga melancarkan operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya adalah mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima
Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau mungkin kedua-duanya.
Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu
komplotan Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak
perlu terjun langsung.
Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi
Pangdam Diponegoro. Dari proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar
sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang
paling berat risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi.
Saya menyimpulkan demikian, sebab hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan komplotannya ketika ia melakukan percobaan kudeta pada 3 Juli 1946. Namun
kudeta itu gagal dan Soeharto berbalik arah mengkhianati komplotannya sendiri. Soeharto menangkap komplotannya dan berdalih mengamankan negara.
Soal itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli 1946 dilancarkan di bawah pimpinan Tan Malaka dari Partai Murba. Tan Malaka mengajak
kalangan militer Jawa Tengah, termasuk Soeharto. Yang akan digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir. Awalnya, 20 Juni 1946 PM Sjahrir dan kawan-kawan diculik
di Surakarta. Penculiknya adalah kelompok militer di bawah komando Divisi III dipim-
206
pin oleh Sudarsono. Soeharto selaku salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam penculikan itu.
2 Juli 1946 kelompok penculik berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua batalyon. Pasukan lantas dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis
seperti RRI dan Telkom. Malam itu juga mereka menyiapkan surat keputusan pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya akan
ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana Negara Yogyakarta, esok harinya.
SK dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat nomor 1, 2 dan 3. Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat nomor dua
berbunyi demikian: Atas desakan rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yag berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala
Negara hari ini memberhentikan seluruh kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogya- karta, 3 Juli 1946, tertanda: Presiden RI Soekarno.
Tetapi percobaan kudeta ini ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan
penculik, berbalik menangkapi komplotan penculik. Ia berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan penculik merupakan upaya Soeharto mengamankan
penculik.
Itulah karakter Soeharto dan ia bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik arah dari penjahat menjadi menyelamat. Malah, dalam buku otobiografinya,
Soeharto menyebut sekilas peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya dia balik sendiri. Pada awal Indonesia merdeka itu Soeharto sudah
menerapkan politik Bermuka Dua.
EMBRIO DEWAN JENDERAL
Pada akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini kunjungan kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Di sana saya disambut
hangat. Bisa jadi sambutan itu karena Indonesia punya PKI. Saya diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak, Perdana Menteri Chou En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung
Liu Shao-Chi? dan Menlu Chen Yi. Kami tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung Karno dikagumi oleh banyak pemimpin
negara-negara lain. Konferensi Asia-Afrika di Indonesia yag sukses, gerakan negara- negara Non-Blok ide Bung Karno, membuat beliau dikagumi oleh para pemimpin
dunia, termasuk pemimpin RRT.
Inti pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Ini peralatan lengkap, mulai dari senjata
manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis. Juga tanpa syarat.
Mendapat tawaran itu, saya atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi saya belum bisa menjawab, sebab bukan kapasitas saya untuk menerima atau
menolak. Saya harus melaporkan hal ini kepada Presiden. Dan begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya laporkan kepada Bung Karno. Saya lihat, tanpa
banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan: Ya, diterima saja. Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya begitu. Terlepas apa kepentingan RRT
207
memberikan persenjataan gratis kepada kita, asal bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak diterima?
Pernyataan Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa
akan segera menyiapkan barang tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi kepada kami, kapan barang bisa dikirim. Hal ini saya sampaikan kepada Bung Karno.
Namun, masalah ini macet sampai di sini. Bung Karno tidak segera menjawab, kapan barang itu bisa dikirim. Pihak RRT juga tidak mengirimkan barang tersebut.
Baru sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu
persenjataan untuk empat angkatan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian dianggap sudah cukup. Karena itu, agar bantuan
senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal, Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang dikirim cukup untuk 40
batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu. Sebab tujuannya memang untuk memanfaatkan maksimal pemberian senjata gratis RRT.
Tetapi – ini yang sangat penting – Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima. Beliau hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama dengan
angkatan yang sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan angkatan lain. Hal ini perlu saya tegaskan, karena kemudian beredar
isu bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci,
bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu.
Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Bahkan masuk di dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu Bung Karno
tidak dapat membantah isu tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan Soeharto sampai beliau meninggal dunia.
Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak lagi berpikir jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul
analisis, hanya pimpinan bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir, karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi
sangat berbahaya. Semua tahu bahwa Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang berpikiran jernih, tetapi mereka tidak berani
mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru bicara politik – apalagi membahas sejarah versi Orba – bisa membuat yang bersangkutan tidak lagi bisa
pulang ke rumahnya?
Meskipun saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel buruh dan petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad
Letjen A Yani sudah menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk Angkatan Kelima. Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Mereka
tidak setuju ada angkatan lain. Empat angkatan dianggap sudah cukup.
Setelah Yani menyampaikan sikapnya kepada Presiden, masalah ini kemudian menjadi pembicaraan di kalangan elite politik. Dan pembicaraan tentang itu menjadi
208
berlarut-larut. Juga muncul banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima. Muncul pula berbagai praduga tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu.
Sementara, Bung Karno sendiri tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut. Saya sebagai orang yang paling dekat dengan Bung
Karno saat itu pun tidak diberitahu. Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh Presiden di Istana Negara pada tanggal 1
Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani akan ditanya lagi tentang Angkatan Kelima.
Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat panggilan dari Presiden, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya
mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat menyebar. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD
bahwa pengganti Yani adalah orang kedua di AD, yakni Gatot Subroto.
Namun Yani dibunuh beberapa jam sebelum ia menghadap Presiden Soekarno. Jika diperkirakan Yani dibantai sekitar pukul 04.00 WIB, berarti empat jam kemudian
mestinya ia menghadap Presiden.
BAB II: GERAKAN YANG DIPELINTIR BUNG KARNO MASUK ANGIN
Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu
adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus 1965. Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu
adalah sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung
Karno sedang kritis. Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah.
Dari peristiwa itu seperti ditulis di berbagai buku lantas dianalisis bahwa PKI – yang saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno – merasa khawatir pimpinan
nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun,
1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya meletus
G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang G30S. Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada
dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya – Bung Karno, DN Aidit dan dokter RRT – ketiga-tiganya tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan
perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah
sejarah versi plintiran.
209
Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr. Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang sekaligus dekat
dengan Bung Karno. Saya juga mengetahui secara persis peristiwa kecil itu. Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh seorang dokter Cina yang
dibawa oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain: Bung Karno
sebelum dan sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan yang saya lakukan didampingi oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung
Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno
hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan-
jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan
yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.
Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas disimpul- kan bahwa karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih
kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang didalangi oleh PKI. Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti
bahwa kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika mem- benarkan PKI berontak atau menyebarkan kesan image bahwa dengan cerita itu
PKI memiliki alasan untuk melakukan kudeta.
Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam
mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit
mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno meninggal. Masih menurut Sjam,
Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan di banyak buku.
Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina saya lupa nama-
nya, Leimena dan saya sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya tidak diadili dengan tuduhan terlibat G30S,
sehingga tidak relevan saya ungkapkan.
Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar. Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak
masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan
sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab
210
dengan PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar bugar?
Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi
seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut
legitimasi rakyat. Jika PKI memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian killing field. Sebab, AD akan – dengan seolah-olah terpaksa –
membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung
PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih.
Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak.
Peran Aidit sangat besar, dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung
PKI dalam peristiwa itu belum pernah diungkap secara jelas.
Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
DEWAN JENDERAL
Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima. Dan seperti diungkap di bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan
persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon
dari RRT diterima Bung Karno. Hanya tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno
belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu.
Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu. Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu.
Empat angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden. Isu terus
bergulir, sehingga kelompok perwira yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah bahwa Dewan Jenderal
akan melakukan kup terhadap Presiden.
Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana. Yani rupanya merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak
menyetujui Angkatan Kelima. Yani malah sudah siap kursinya Menpangad akan diberikan kepada orang lain. Saat itu juga beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani
sebagai Menpangad akan digantikan oleh wakilnya, Mayjen Gatot Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965
pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik dan dibunuh.
Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri. Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa – ia
211
memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan kese- lamatan Presiden. Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului
gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana ini disampai- kan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto mendukung. Malah Untung
dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung lengkapnya simak sub-bab
Menjalin Sahabat Lama.
Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil saya di BPI Badan Pusat Intelijen, tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya
dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan,
langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab
Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan
kudeta.
Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo Pangkopur II. Dari Soepardjo saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar.
Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri baru. Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu datang
dari empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang. Dua nama yang disebut terdahulu adalah
orang NU sedangkan dua nama belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi
Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman salah satu
korban G30S yang membacakan susunan kabinet. Susunan kabinet versi Dewan Jenderal – menurut rekaman itu – adalah sebagai
berikut: Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri
Letjen A Yani sebagai Waperdam-I berarti menggantikan saya merangkap Menteri Hankam,
Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri, Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri,
Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman, Ibnu Sutowo kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto menjadi
menteri Pertambangan.
212
Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung
Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali
sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya. Bisa
untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa Dewan Jenderal - yang semula kabar angin - benar-benar ada.
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya adalah telegram klasifikasi sangat rahasia dari
Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kemen- trian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris
sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia soal Borneo sebagian wilayah Kalimantan. Saat itu Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang baru merdeka.
Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan ke Borneo.
Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan
terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas
lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta
dan menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan- bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang
peredaran film porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk
menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia.
Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama ’our local army friends.’ Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku
yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa
dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat saya yakin bahwa
Dokumen Gilchrist itu otentik.
Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya
terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya
menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga mem- bakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai
negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpul-kan, Bung
Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.
213
Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil.
Saya mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja
dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer yang
menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi?
Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah provokasi pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika
diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk dipastikan.
Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa waktu sebelum G30S meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S
Parman guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati karena isu bakal adanya penculikan terhadap jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak
ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu.
Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya
menjawab: Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi
akan mencarikan bukti.
Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah anggota Trio Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang disam-
paikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat dengan Yani. Info tersebut tentu untuk memancing, apakah
Parman sudah tahu. Sekaligus – jika memungkinkan – mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu tersebut. Dan karena Parman adalah teman dekat
Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan sebagai mewakili persiapan Yani.
Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal benar-
benar ada. Parman tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi selanjut- nya. Ini juga bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini saya kaitkan
dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama sekali.
Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info, sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali belum siap mengantisipasi
kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan memanipulasi kelompok Letkol
Untung, belum tercium oleh kelompok lawan: Kelompok Yani.
Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan khususnya bila Parman tidak berhasil dibunuh, maka peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu bisa
berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi tindakan Soeharto ini benar-benar strategis.
214
PERAN AMERIKA SERIKAT
Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal? Sudah jelas AS takut Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung
kiri, maka proyek mereka ada dua: hancurkan PKI dan gulingkan Bung Karno. Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya kepentingan ekonomis di
Indonesia dan secara umum di Asia. Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan Indonesia
memiliki segalanya di bidang tambang dan hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan Malaysia dan Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di
Indonesia Caltex serta beberapa perusahaan lainnya – bagi AS – harus aman. Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan kepentingan AS di
Indonesia. Namun mereka kesulitan mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS untuk membujuk Bung Karno agar mengubah sikap politiknya tetapi gagal.
Secara politis Bung Karno juga sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum
dan simpati terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan politik Non-Bloknya.
Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya Presiden, target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan –
sehingga PKI masuk ladang pembantaian – sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk angin.
Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada gerakan perebutan kekuasaan, maka akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh PKI.
Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh militer. Dan karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi oleh militer.
Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS bisa membantu dengan isu senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani
terhadap Angkatan Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya disimpan di rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen
tersebut menurut saya otentik, namun mengapa dibocorkan?
Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan November 1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut meng-
herankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi
pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para pemuda membantai PKI. Pada saat
obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika
yang sangat aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI.
Baru beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamuflase; hanya sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh
lebih penting. Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk membantu tentara dan pemuda membantai PKI. Sayangnya, pengetahuan saya tentang hal ini sudah
215
sangat terlambat. Bung Karno sudah menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut bermain dalam rangkaian G30S.
Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat tinggi nilainya untuk menja- min dominasi AS diAsia Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di bidang subversif
sudah dibuktikan dengan tampilnya agen-agen CIA yang berpengalaman meng- hancurkan musuh di berbagai negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah
dikecam habis-habisan oleh rakyat AS sendiri.
Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green Dubes AS untuk Indonesia. Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di
Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan. Di sana ia sukses menjalan- kan misi AS membantu pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee yang
kemudian memimpin pemerintahan militer selama tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones menjelang meletusnya G30S. Jadi pemain penting
asing dalam drama 1 Oktober 1965 itu adalah Green dan Jones.
Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan komunis di Indonesia. Apalagi pada Februari 1965 AS memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis
konsentrasinya – khusus untuk penghancuran komunis – terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara, mereka butuh mitra lokal.
Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan panggilan Sjam sebagai spion. Sjam adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di
PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN Aidit. Sebaliknya, para perwira kelompok kontra
Dewan Jenderal memberi informasi kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar, apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke
dalam tubuh PKI atau orang PKI yang disusupkan ke dalam AD. Tetapi jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki mitra lokal yang berdiri di dua
kubu yang berseberangan.
Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus 1965 ia mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya
sakit Presiden. Juga Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden meninggal. Itu dikatakan setelah Aidit dibunuh.
Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak para jenderal datang dari dia sendiri, namun itu atas perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah
satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September 1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia
ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto beberapa hari setelah G30S di Boyolali, Jateng.
Jika Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil. Keterangannya sangat menguntung- kan pihak yang menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun berstatus
tahanan, Sjam diadili dan dihukum mati. Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri.
216
MENJALIN SAHABAT LAMA
Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia menjalin hubungan dengan dua sahabat lama - Letkol TNI AD Untung Samsuri dan
Kolonel TNI AD Abdul Latief – beberapa waktu sebelum meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan pasukan yang menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan
Latief hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu.
adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Jateng. Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani.
Selama beberapa bulan berkumpul dengan saya di Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal
kepada atasannya, sebagaimana umumnya sikap prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti dari fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum diek-
sekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu hanya sandiwara,
katanya suatu hari pada saya. Kenapa begitu? Karena ia percaya pada Soeharto yang mendukung tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan dibeberkan di
bagian lebih lanjut.
Sekitar akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka berkumpul lagi. Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat
dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto adalah Panglima Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah Soeharto yang bertugas di garis depan. Dalam
tugas itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian
akirnya sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI.
Keberanian Untung di medan perang sampai ke telinga Presiden. Karena itu Untung dianugerahi Bintang Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya.
itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis komando. Presiden Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana,
Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung masuk
ke Kostrad menjadi anak-buahnya, karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata, Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan
elite kawal Istana. Soeharto hanya bisa kecewa.
itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu
semakin memuncak. Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik
bisa mengarah ke suatu kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang kharismatik yang didukung oleh rakyat dan sebagian besar perwira
Angkatan Bersenjata, kecuali sebagian kecil perwira AD. Di sisi lain, PKI – seperti sudah saya sebutkan di muka – saat itu memiliki massa dalam jumlah sangat besar.
Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin tajam.
217
Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto bersyukur bahwa Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung di
sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut kekuasaan negara. Maka hubungan Soeharto-Untung kembali
membaik, meskipun beberapa waktu sebelumnya Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu
kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah Tien menghadiri resepsinya di Kebumen.
Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang sangat wajar, memang. Tetapi jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu
sarana transportasi dan terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak benar- benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri perni-
kahan Untung. Langkah Soeharto mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian
Soeharto terhadap Untung yang begitu besar.
Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang
tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan
Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya ketika itu ibu-kota RI hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini
disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar
2000 personil termasuk pemuda gerilyawan diharuskan mengenakan janur kuning sobekan daun kelapa di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan tanda
khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati.
Soeharto di kemudian hari mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini
sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun
bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam
Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Latief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran.
Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang
begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai
penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta bantuan
pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara
kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di seantero Yogyakarta.
218
Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan
pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa pasukan.
Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa ditinggal di medan
pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan juga di bawah kompi Latief yang tewas 50 orang.
Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai
makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah
yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak berbasa-basi
misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk menggempur belanda yang
ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka.
akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan
pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja – menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan
Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya yang kini terbukti tidak benar. Namun soal Soto babat
menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di Mahkamah Militer
dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan
Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti disalahkan oleh pihak yang menang.
Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan
Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan lama dengan Latief . Jika Untung didatangi
oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto
mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto.
cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-
teman lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini bersama Untung dan Latief memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu:
Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana.
Tidak ada orang yang bisa membaca konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio ini tidak meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di jajaran
219
militer. Namun saya sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa persahabatan mereka bisa menggoyang Istana. Paling tidak mereka bisa memper-
kuat apa yang sudah dirintis oleh Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik antara Bung Karno dan AD sudah semakin tajam.
Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan Brigjen Soepardjo berasal dari Divisi Siliwangi yang kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur II.
Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan persahabatan – di luar jalur komando – Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan
pemting pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut
kepada Soeharto. Ternyata Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama
Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro.
Pada saat yang hampir bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto. Untung juga melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan
kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan bahwa ia punya rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu,
sebelum mereka melakukan kudeta. Untung memang merupakan pembantu setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana
Cakra Bhirawa, sikapnya sudah benar.
jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu- ragu, kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada Untung:
Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya. Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-
main: Baik. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya.
dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak berkaitan dengan pertemuan Soeharto dengan Untung. Saya lupa lebih dulu mana, antara Latief bertemu
Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto. Yang pasti itu terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya hubungan Soeharto-Untung terpisah dari
hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan Jenderal. Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief juga terjalin baik meskipun sudah
berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal.
Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang, Surabaya dan
Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September
1965. Jelas, pasukan ini didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal. Dalam komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah
pasukan Soeharto dari daerah dan Kostrad.
220
G30S meletus dan Soeharto balik menggempur pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu didalangi PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan
pasukan dari Bandung, Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5 Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional. Rombongan
pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal jika dikaitkan dengan Hari ABRI. Yang terpenting: dari
laporan intelijen yang saya terima dan dikuatkan dengan cerita Untung pada saya ketika kami sudah sama-sama dipenjara, pasukan bantuan Soeharto itu dimaksud-
kan untuk mendukung Untung yang akan menggempur Dewan Jenderal. Ini sudah dibahas oleh Untung dan Soeharto.
penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965. Pertemuan dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita
Latief kepada saya pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap
Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah pak
Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah, kata Latief.
Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu
anaknya Hutomo Mandala Putera Tommy Soeharto yang ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini Latief melaporkan penculikan para jenderal akan
dilaksanakan pukul 04.00 WIB sekitar lima jam kemudian. Kali ini juga tidak ditanggapi oleh Soeharto.
yang akan melapor kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu
bertemu dengan Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu 30 September 1965 pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo sedang ada
urusan, sedangkan Untung kurang berani bicara pada Soeharto. Soepardjo lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif panggilan Latief, kamu saja yang meng-
hadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo.
Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan
kepada teman-temannya bahwa Soeharto berada di belakang mereka. Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief kepada
Soepardjo dan Untung: Soeharto berada di belakang mereka. Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal.
Ada yang menarik dari pengakuan Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia
bercerita kepada dua pihak: Pertama kepada wartawan Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968. Saat itu ia ditanya oleh Brackman mengapa Soeharto
tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan diculik.
221
Kepada Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua hari sebelum 1 Oktober 1965 anak lelaki saya yang berusia 3 tahun Hutomo Mandala Putera alias Tommy
Soeharto ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965 banyak kawan-kawan saya menjenguk anak saya dan
saya juga berada di RSPAD. Di antara yang datang adalah Latief yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya sangat terharu atas keprihatinannya pada anak
saya. Tetapi ternyata Latief adalah orang penting dalam kup yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke RSPAD bukan untuk menengok anak saya, tetapi untuk mengecek
keberadaan saya. Untuk membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di RSPAD Gatot Subroto? Ternyata Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto
hingga tengah malam, lantas pulang ke rumah.
Pada Juni 1970 Soeharto diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga mengajukan pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa
Soeharto tidak termasuk dalam daftar perwira AD yang diculik pada tanggal 1 Oktober 1965?
Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian: Latief datang ke RSPAD pukul 23.00 WIB bersama komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya. Tetapi itu
tidak dilakukan, sebab ia khawatir membunuh saya di tempat umum.
MELETUSLAH PERISTIWA ITU
G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut Turba Turun ke bawah. Pada 28 September 1965 saya
berangkat ke Medan, Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan Indonesia Timur. Saat ke Medan rombongan saya berangkat
bersama rombongan Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun kemudian kami berpisah. Rombo-
ngan Sri Muljono berangkat ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya ke Medan.
Tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung oleh Presiden Soekarno dan diberitahu kejadian sehari sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk segera ke
Jakarta. Ada pesan Presiden agar saya berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawat- mu bisa ditembak jatuh, pesan Presiden. Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta
dengan pesawat. Saya tentu saja sempat was was, sebab yang mengingatkan saya bukan orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya langsung menuju Istana
Bogor menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian saya mengetahui alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya hati-hati. Sebabnya
adalah saat Sri Muljono menuju ke Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet sehingga pesawat berputar-putar mencari tempat landasan. Akhirnya pesawat
mendarat secara darurat di dekat Bogor.
Saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah dibanding sebelum saya berangkat ke Medan. Wajah Bung Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang
mendiskusikan berbagai hal. Saya mendapat laporan bahwa pada saat itu Bung Karno sudah berada dalam tawanan Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan
meninggalkan Istana Bogor.
222
Sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di Jakarta. Tujuh perwira AD diculik yang kemudian dibunuh pada dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega dan para
intel anak buah saya di BPI. Sampai berhari-hari kemudian saya terus mengumpul- kan informasi dari para kolega dan anak-buah saya. Rangkaian informasi yang saya
terima tentang kejadian seputar 30 September 1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya catat, sebagian tidak.
Masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi yang saya terima, termasuk berbagai gejala yang sudah saya ketahui sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di
sini. Namun paparan saya akan terasa kurang menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan dengan sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di beberapa
bagian saya kutip sebagian cerita versi Soeharto sebagai pembanding.
Tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke
Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya, saya melaporkan kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden - yang menamakan diri
Dewan Jenderal – termasuk bocoran rencana Dewan Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang Dokumen Gilchrist. Semua laporan bertumpuk menjadi
satu di benak Bung Karno. Dengan akumulasi aneka laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa
gerangan yang bakal terjadi.
Pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya di RSPAD Gatot Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. Menurut-
nya, saat meninggalkan RSPAD itu ia sendirian tanpa pengawal dengan mengen- darai jeep Toyota. Dari RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk
ke Jalan Merdeka Timur. Ia mengaku di sana sempat merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar Jalan Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi Soeharto
terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan pasukan yang berkumpul di Monas.
Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur ini dikatakan Soeharto di beberapa kesempatan terbuka. Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia mengaku
dibangunkan oleh seorang tetangganya dan diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke markas
Kostrad, kata Soeharto.
Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:
1. di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia menyetir mobil sendirian, tanpa pengawal. Jangankan dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia
selalu dikawal. 2. ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku melihat puluhan prajurit
berkumpul dan merasakan sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan. Sebagai seorang komandan pasukan, tidakkah dia ingin tahu apa yang akan
dilakukan oleh puluhan prajurit yang berkumpul pada tengah malam seperti itu? 3. pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui
bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada berita televisi seperti sekarang semisal Liputan 6 Pagi SCTV yang dengan
223
cepat bisa memberitakan suatu kejadian beberapa jam sebelumnya. Radio RRI saja baru memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00 WIB.
Yang sebenarnya terjadi:
Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di dekat Monas itu akan bergerak mengambil para anggota Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang men-
datangkan sebagian besar kira-kira dua-pertiga pasukan tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat: Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang
diterima dengan senang hati oleh Untung.
dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung dengan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monas.
Selain itu, beberapa jam sebelumnya Soeharto menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja
tengah malam itu Soeharto mengendarai jeep sendirian, meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah ia dengan tenangnya melewati tempat berkumpulnya
pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu ditakutkan.
Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan mengatakan kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok pasukan berkumpul di dekat Monas dan ia membiarkan
saja. Jika ia memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya dan
di berbagai kesempatan terbuka. Dengan pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di dekat Monas, bisa menyeret dirinya dalam kesulitan besar. Masak
seorang Panglima Kostrad membiarkan sekelompok pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam, padahal dia melihatnya sendiri.
sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis dalam buku biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan Merdeka Timur
dan melihat persiapan sekumpulan pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad. Di Makostrad ia memberi pengarahan kepada sejumlah pasukan bayangan dan operasi
Kostrad yang mendukung gerakan pengambilan para jenderal. Dengan kronologi yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak perlu ada cerita Soeharto pulang ke
rumah lantas tidur.
pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan mengatakan bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada di Makostrad.
Tapi prosesnya dari RSPAD, pulang dulu, lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad.
Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang tidak bersalah dalam G30S, maka pengakuannya itu merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak
mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H Agus Salim tetangga Soeharto mengetahui ada penculikan para jenderal dan membangunkan tidur Soeharto pada
pukul 05.30 WIB. Padahal penculikan dan pembunuhan para jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya, sekitar pukul 04.00 WIB.
Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta 1 Oktober 1965 adalah mengapa para jenderal itu tidak dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya
224
jika anggota Dewan Jenderal diisukan akan melakukan kudeta, mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk diminta penjelasannya tentang isu rencana kudeta.
Masalahnya tentu bakal menjadi lain jika para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk konfirmasi.
Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah ditentukan jauh sebelum peristiwanya meletus. Dari perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak
ditentukan oleh kekuatannya melainkan oleh masa kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah masa kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa
hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung, Latief dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G30S, tetapi umurnya hanya beberapa jam saja.
Setelah itu pelakunya diburu dan dihabisi. Soeharto dengan melikuidasi G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia kepada atasannya, Yani dan teman-teman
jenderal yang dibunuh. Ia tampil sebagai pahlawan.
Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada pengakuan dari salah satu pelaku penculikan. Menurut Serma Boengkoes Koman-
dan Peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan yang memimpin prajurit penjem- put Mayjen MT Haryono, di militer tidak ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap
atau hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon Untung adalah tangkap para jenderal itu, kata
Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman.
MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak diperbolehkan masuk rumah oleh istri MT Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil Presiden
kok dini hari. Karena itu pintu rumah tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak jelas apakah Haryono langsung tewas di tempat atau dibunuh kemudian
setelah semua jenderal dikumpulkan di Pondok Gede Lubang Buaya.
Saat dijemput oleh sejumlah pasukan di rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan karena penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena pada hari itu ia
memang dijadwalkan untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00 WIB. Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal Angkatan
Kelima. Yani menolak ide Presiden tentang Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah sudah beredar isu bahwa Yani akan digantikan oleh wakilnya
yaitu Gatot Subroto.
dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa pertemuan dengan Presiden Soekarno diajukan beberapa jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan
masih mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara penjemputnya menimbul- kan kegaduhan di keluarga Yani yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan
kepada penjemputnya akan ganti pakaian. Tetapi ketika tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti baju, jenderal, maka seketika Yani menempeleng
tentara tersebut. Perkataan prajurit seperti itu terhadap jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan. Lantas Yani masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani diberon-
dong tembakan.
Penculikan para jenderal yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang sudah banyak ditulis di berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang terbit
225
setelah Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip seperti itu sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi.
Penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965 G30S itu sampai kini masih ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar
negeri. Tetapi jelas substansi peristiwa itu tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan kudeta yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama sekali tidak benar.
Peristiwa itu merupakan provokasi yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD didukung dengan baik oleh imperialisme internasional.
Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi secara licik dan efektif serta dikelola secara maksimal oleh seorang fasis berbaju kehalusan feodal Jawa yang
haus kekuasaan dan harta. Dialah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan puncak manifestasi konflik
antara pimpinan AD dan PKI, tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik konservatif dengan aspirasi kapitalisme yang pembangunannya bergantung pada
imperialisme internasional di satu fihak, melawan PKI dengan prinsip politik anti- imperialisme dengan aspirasi negara yang merdeka penuh dan demokrasi berkeadi-
lan sosial di pihak lain.
Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin politik konsevatif yang mengklaim sebagai paling demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka
berhadapan dengan kemajuan-kemajuan pesat PKI yang dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal. Dari konflik tersebut para pimpinan AD dan
sekutunya lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara mambantai anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI.
Dari kacamata internasional - terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones – peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni
penyembelihan rakyat yang dilakukan PKI. Sebaliknya ini adalah bagian dari intrik berdarah yang direncanakan secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan Soeharto.
DARI DETIK KE DETIK
1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi Wisma Yaso. Pagi-pagi setelah mendapat kabar
mengenai penculikan para jenderal, ia berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh tentara.
Menurut ajudan, pasukan tersebut tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan menuju Istana.
Waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan perjalanan ke Istana. Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana. Lantas Parto
mengusulkan „Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke tempat lain“, katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam
protokoler pengamanan presiden, jika pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden bisa
diterbangkan ke mana saja secara cepat.
226
Asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin Parto juga Bung Karno tidak tahu bahwa para jenderal diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung
Karno belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima
laporan dari Brigjen Soepardjo.
Pagi itu juga berada di Halim. Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia
adalah pimpinan AURI. Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar Dhani berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di
tempat lain sekitar Halim. Setelah Bung karno terbang ke Istana Bogor prosesnya dirinci di bagian lebih lanjut, Aidit terbang ke Jawa Tengah.
Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia mela-
wan. Tetapi menurut laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang memerintahkan tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan
begitu Aidit tidak dapat bicara yang sebenarnya.
Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa
orang tentara. Para tamu itu memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah itu Aidit tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di
Brebes.
Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan
instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi bahwa beberapa jenderal baru saja diculik. Belum
ada informasi mengenai nasib para jenderal, meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh.
Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak diminta tenang. Semua pasukan harap stand-by di posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya boleh
bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan pemerintahPresiden. Hindari pertumpahan darah.
Demikian antara lain isi instruksi Presiden.
Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak didukung oleh
Presiden. Instruksi lantas disambut Soeharto dengan memerintahkan anak-buahnya menangkap Untung dan kawan-kawan.
Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga
mengutarakan niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto
malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap.
227
Soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun
pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang
didatangkan dari daerah, katanya. Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati
dan benar-benar dieksekusi.
Bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden -–mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian – Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko
yang berada di Halim agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan
ditangkap. Di Makostrad Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di bawah
pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim.
Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus bingung. Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati
Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko.
Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto.
Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima
Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana Menteri-II Leimena mengatakan Bung Karno harus
berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor.
Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan ia harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju
ke istana Bogor - menuruti nasihat Leimena - dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno tiba di Istana Bogor.
Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang fajar. Penggempuran itu saya nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab –
seperti saya sebutkan terdahulu – sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan
psikologis terhadap Bung Karno yang saat itu benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung karno ditekan tentara seperti saat itu.
Pukul 14.00 WIB - masih pada 1 Oktober 1965 – kepada Kapten Kuntjoro ajudan Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh Soeharto menyatakan bahwa ia adalah
anggota Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang lolos dari target penculikan sedang diamankan di Markas
Kostrad. Saya berkesimpulan Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin bahwa posisinya aman, sehingga tidak
perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto mengatakan:
228
Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta.
Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan
membantu pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada
tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3 Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi.
Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta merangkak yang berhasil. Dalam kudeta yang disebut terakhir ini,
Soeharto memperoleh dua manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya menda-
pat predikat pahlawan karena menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir.
Namun pada hari itu Jumat 1 Oktober 1965 kondisi negara benar-benar tidak menentu. Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama
tentang penculikan para jenderal melalui RRI disiarkan oleh Untung. Intinya diumum- kan bahwa kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagal-
kan. Anggota Dewan Jenderal sudah diculik dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka
diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak ada nama Soekarno.
Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masya-
rakat bingung. Sekitar pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan mengumum- kan bahwa pagi hari itu telah terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh
kelompok pimpinan Untung. Tindakan tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali
AD Menpangad karena Menpangad A Yani diculik.
Demi perubahan dalam sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan
siapa, karena ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD. Padahal bebe-
rapa jam sebelumnya siang hari Bung Karno sudah memutuskan untuk mengambil- alih fungsi dan tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto Rekso
sebagai pelaksana sehari-hari care-taker Menpangad.
2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombo-
ngan mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan pengawal presiden yang boleh membawa senjata masuk ke
dalam Istana. Namun barangkali karena kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan bersenjata. Kedatangan Soeharto ini
tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah atau buku kesaksian pelaku sejarah.
Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain
229
protes, Soeharto juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan
terhadap pimpinan AU yang diduga terlibat dalam G30S. Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan memanggil
para panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto untuk membahas semua
tuntutan Soeharto itu. Rapat berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan sebagai
Panglima Pemulihan Keamanan.
Awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu. Surat kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa
pertama. Namun ini tidak pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa aneh. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang
kendali militer. Pembunuhan para jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan instruksi untuk ABRI. Ini
menunjukkan bahwa Presiden masih memegang kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad Yani diculik. Maka
kedatangan Soeharto minta surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan memotong kewenangan Presiden?
Toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat kuasa itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno.
Tetapi kalau kita kembali mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu
dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD.
Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor, Soeharto menyatakan agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak
itu Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto. Setelah para pembantu dekat Bung Karno sadar bahwa Bung Karno menjadi
tawanan Soeharto, para pembantu jadi teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk
pergi ke Bali? Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan – yang paling hati-hati – ke Istana Bogor. Di kalangan orang
dekat Bung Karno muncul pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani, tentu akan lain ceritanya.
Sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi menjeru- muskan Bung Karno. Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno. Saran-
nya ke Istana Bogor memang langkah hati-hati. Selain karena jaraknya lebih dekat dibanding Bali atau Madiun istana bogor memang tempatnya presiden atau
termasuk simbol negara. Siapa sangka Soeharto berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di sana?
Karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya Leimena mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan
230
bersikap begitu keras terhadap Presiden. Leimena berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak
Leimena urusi tugasnya sendiri. Saya yang kuasa sekarang. Mendengar itu Leimena mundur.
Tidak berapa lama kemudian masih hari itu juga ganti Waperdam-III Chaerul Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan Leimena. Jawaban Soeharto
juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang. Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto.
Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari Presiden. Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak
mungkin ada dua panglima dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker Menpangad yang ditunjuk dalam waktu bersamaan.
Maka praktis pengangkatan terhadap mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya Soeharto sebagai Panglima Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban terus bertindak, sehingga pergolakan di kalangan elite politik pun tidak dapat dicegah.
Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki power untuk memimpin negara.
Pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan hanya tokoh-
tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu
tindakan yang sangat mengerikan.
PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno mengumumkan 3 Oktober 1965 Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Kopkamtib. Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut
Kopkamtib saja orang sudah ngeri. Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja nama yang menakutkan bagi masyarakat.
Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama menjadi Bakorstanas atau
Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya. Perkembangan ini tentu di luar
dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa.
Tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad, menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah
Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia KAMI. Inilah
embrio gerakan mahasiswa yang didukung oleh tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan Kostrad.
Beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak mendukung G30S. Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup,
lantas dewan Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan
231
Soeharto, mestinya Bung Karno langsung mendukung G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno malah menghentikan gerakan itu?
Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum
dalam Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal. Dewan Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa
konsultasi dengan Presiden.
Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto: 1. kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto merupa-
kan salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka. 2. mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh melakukan
kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung yang sebenarnya disokong oleh Soeharto.
3. Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto. 1.
Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar- benar terwujud.
NASIBAH NASUTION
Meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga
arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin. Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani tiada. Saat itu dia sudah
menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di saat TNI AD terpecah secara tidak transparan dalam kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu
Nasution ditakuti oleh kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden
Soekarno. Dia terkenal anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S dia lolos, tapi anaknya tewas sehingga wajar menyan-
dang gelar pahlawan.
Sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman
melakukan manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara
efektif di pusat dan daerah.
Tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki
Nasution sebagai pencetus gagasan Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan Bung Karno lihat Bab II. Di saat Yani masih ada pun,
spekulasi yang berkembang adalah bahwa jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah:
Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama besarnya.
232
Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia – seperti halnya Yani – tidak mewaspadai isu Dewan Jenderal. Dia benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang
bakal terjadi akibat isu tersebut. Dia benar-benar tidak tahu – bahkan tidak menduga – bahwa Soeharto yang pangkatnya lebih rendah berhasil menggosok Letkol Untung
untuk menghantam Dewan Jenderal. Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade Irma Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa.
Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD tidak melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang menggunakan
Nasution sebagai umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution
digunakan oleh Soeharto menjadi momok bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani menentang gagasan Bung Karno.
Mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution, tentu ada contohnya. Salah satunya - berdasarkan informasi akurat yang
saya terima - adalah sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB Nasution bertemu dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan pagi
itu – 1 Oktober 1965 – Soeharto memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta bantuan Kodam Jaya untuk menyem-
bunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di Makostrad itu tidak
dihadiri oleh Nasution.
Memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa penculikan para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga berhasil
mengajak Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar menyatukan pasukannya di bawah pasukan Kostrad untuk menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula
instruksi Presiden ke Mabes ABRI agar semua pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden baca Dari Detik ke Detik.
Akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya: Nasib para jenderal yang diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik
sudah disiapkan di Makostrad. Bila Menpangad tiada Menpangad A Yani diculik maka yang menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya
sendiri. Pada bagian terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil-alih kendali AD. Maka rapat memutuskan bahwa instruksi
Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain itu secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali militer dan menunjuk Mayjen Pranoto sebagai
pelaksana sehari-hari caretaker Menpangad tidak perlu dipatuhi.
Rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak- buahnya untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawa-
nya ke Makostrad. Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih stres berat karena baru saja lolos dari pembunuhan dan langsung dimasukkan ke dalam ruang
rapat. Peserta rapat masih berkumpul lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah diambil beberapa jam sebelumnya. Nasution
hanya diberitahu bahwa rapat sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai.
233
Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution. Dalam kondisi biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi
sangat penting. Rapat itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena,
pertama, dengan dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus menghormati Pangkos- trad Soeharto. Dari cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas Nasution dibawa
ke Makostrad, bisa jadi membuat ia merasa seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah lolos dari rentetan tembakan. Kedua, rapat toh
sudah hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya.
Peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang rapat. Dengan begitu seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang
diambil dalam rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menim-
bulkan kesan: Soeharto berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution dikenal anti-komunis. Ini sekaligus untuk
menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis – baik dari militer maupun sipil – ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad saat itu dijadikan
momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno.
Satu kalimat Nasution yang ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai. Bunyinya demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan
keamanan agar masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat
atau mungkin untuk menenangkan diri Nasution sendiri. Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta, ulam tiba. Soeharto memang sedang menunggu
orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak perlu menunggu lama, esoknya
dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno minta kuasa.
Akhirnya Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib
BAB IIIA: KUASA BERPINDAH PERAN MAHASISWA
Masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965 sampai Maret 1966 atau selama sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai presiden,
tetapi sudah tidak punya kuasa lagi. Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepat menjadi tawanan Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada keputusan
penting yang dikeluarkan oleh pemerintah. Soeharto lebih banyak menentukan kebijakan negara, namun secara formal dia adalah Menpangad.
Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai pada ajal politik. Beliau masih punya pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan Parpol-
Parpol besar dan kecil. Para pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi PKI, namun mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya
memulihkan wibawa, walaupun Bung Karno akrab dengan PKI.
234
Tampak ada dualisme sikap para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi lain mendukung Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya
juga menentang PKI, namun sebagian mendukung Bung Karno. Sebagaimana umumnya menghadapi masa transisi, sebagian perwira merasa khawatir tentang
posisi mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi jika Soeharto menjadi pemimpin kelak.
Di sisi lain, proses kudeta merangkak belum berakhir. Manuver Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada empat tahap:
1. menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira tertinggi. 2. Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan Bung Karno
3. Melumpuhkan para menteri pembantu presiden 4. Melumpuhkan Bung Karno.
Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S Soeharto bukan perwira yang diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih Mayjen, ia juga
pernah memiliki cacat saat menyelundupkan barang di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan puncak ia harus melewati proses panjang. Sampai di sini sudah
dua tahap tercapai: para jenderal saingannya sudah dihabisi dan PKI sudah digempur. Kendati demikian, Bung Karno masih juga punya pengaruh. Selain itu
para menteri juga masih ada walaupun sudah tidak berfungsi.
Mengimbangi – lebih tepat melumpuhkan – sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto mengerahkan mahasiswa. Seperti disebut di bagian terdahulu, pada akhir
Oktober 1965 di rumah Brigjen Sjarif Thajeb, atas perintah Soeharto dibentuk KAMI. Nah, sejak itu demo mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak mengkritik
Presiden Soekarno. Saat itulah muncul slogan Tritura tri atau tiga tuntutan rakyat:
1. bubarkan PKI
2. bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI 3. urunkan harga kebutuhan pokok.
Bung Karno - yang masih menjabat sebagai presiden -lantas membubarkan KAMI. Tetapi setelah KAMI bubar muncul kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI
Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia. Tujuannya tetap sama: berdemo mengkritik Presiden Soekarno. Dan karena demo itu didukung oleh tentara tentu saja
para pemuda dan mahasiswa berani. Ini yang kemudian disebut kelompok pemuda Angkatan ’66, kelompok yang diprakarsai oleh Soeharto.
Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat memang melambung tinggi. Saya tahu persis melonjaknya harga itu terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya Soeharto
dibantu oleh dua pengusaha Cina: Liem Sioe Liong dulu bekerjasama menye- lundupkan barang dan Bob Hasan juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah.
Itu dilakukan di tenggang waktu antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya: inflasi melambung sampai 600, defisit anggaran belanja negara
semakin parah sampai 300. Rakyat tercekik. Untuk membeli beras, gula dan
235
minyak orang harus antri. Inilah operasi intelijen yang sukses melumpuhkan ekonomi negara.
Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan di Jateng yang paling tahu adalah Mayjen Pranoto. Saat Soeharto sebagai Panglima
Divisi Diponegoro, Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto sudah sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis memanfaatkan jabatan yang dilakukan Soeharto,
dibantu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan barang dulu dibongkar oleh Pranoto sehingga akhirnya diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani
menempeleng Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi caretaker Menpangad 1 Oktober 1965 bukan
semata-mata perebutan jabatan dengan cara kotor tetapi juga ada faktor dendam pribadinya.
Gerakan mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus diteriakkan hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok melambung.
Dia pula yang mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut penurunan harga. Sedangkan rakyat jelas mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan mereka
sejalan dengan keinginan rakyatpun yang menjadi presiden saat itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Apalagi Presiden Soekarno dilarang meninggalkan Istana Bogor. Di
sini semakin jelas kelicikan Soeharto. Cara Soeharto menjatuhkan Soekarno benar- benar efektif walaupun di mata rakyat saat itu tidak kelihatan.
Menilai hanya sebagian mahasiswa yang berdemo dengan motivasi tercekik oleh harga bahan kebutuhan pokok sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan
anak kecil. Sebagian dari mereka pasti tahu bahwa harga kebutuhan pokok melejit akibat rekayasa Soeharto. Mereka adalah kaum intelektuil yang mengikuti
perkembangan negara mereka. Tetapi gerakan mereka didukung oleh tentara dan rakyat – dua kekuatan utama bangsa ini – sehingga sebagian yang sadar akan
kondisi yang sebenarnya tidak berani menentang arus. Semua pasti mencari selamat bagi diri sendiri. Mereka terpaksa terbawa arus, ikut menentang pemerintah.
Pada tanggal 10 Januari 1966 ribuanmahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD
kelak diganti menjadi Kopassus Sarwo Edhi berpidato di tengah ribuan mahasiswa untuk mengobarkan semangat mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi berpidato
ribuan mahasiswa bergerak turun ke jalan menuju kantor PK untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Di PK mereka bertemu dengan Wakil Perdana Menteri-III
Chaerul Saleh. Mahasiswa menyampaikan tuntutan mereka kepada Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi Chaerul sambil lalu.
Mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan. Pendapat umum yang dibentuk melalui surat kabar menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu murni. Ini jelas menyesat-
kan masyarakat. Bahan kebutuhan pokok sengaja dimusnahkan oleh Soeharto. Di sisi lain, mahasiswa bergerak didukung oleh tentara yang dipimpin Soeharto. Jadi
mana bisa tuntutan mereka dikatakan murni? Satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni – menurut saya – adalah: bubarkan PKI.
236
Sebagai gambaran: kelak setelah Soeharto berkuasa dan kepentingan politiknya sudah tercapai, ia memberangus mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan
menteri PK mengeluarkan peraturan NKK Normalisasi Kehidupan Kampus dan BKK Badan Koordinasi Kemahasiswaan. Itu terjadi di pertengahan 1970-an.
Intinya: mahasiswa dilarang berdemo. Saya di dalam penjara mengikuti berita itu dan mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri dengan bekas salah satu senjatanya,
mahasiswa. Akhirnya ia juga jatuh tersungkur antara lain akibat tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPRMPR pertengahan Mei 1998.
Tidak pernah menyesal pada sikap pemuda dan mahasiswa Angkatan-66. Kondisi dan situasi negara saat itu memungkinkan mereka bersikap begitu. Generasi muda
di mana pun di dunia ini cenderung berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de facto
pemimpin Indonesia sejak 1 Oktober 1965 adalah Soeharto, walau secara de jure ia adalah Menpangad.
Karno memang masih sebagai Presiden RI dan pemerintah masih berdiri, tetapi kondisi negara tak terkendali, baik oleh penggempuran besar-besaran tentara
terhadap rakyat untuk membersihkan PKI maupun oleh kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu susah-susah mencari tahu apakah ini hasil rekayasa
atau murni ketidak-mampuan pemerintah, sehingga rakyat secara jelas menyaksikan drama kejatuhan Bung Karno dari tampuk kekuasaannya.
Gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab Tritura yang dikobarkan
oleh mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah hasil rekayasa TNI AD. Dengarkan cuplikan pidato Soekarno yang sebagian sempat saya catat. Bunyinya
demikian: Saya tidak akan mundur sejengkalpun. Saya tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak dapat bicara lain. Ayo….Siapa yang membutuhkan
Soekarno, setuju dengan Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh kekuatanmu. Pertahankan Soekarno. Berdirilah di belakang
Soekarno. Tunggu komando …
Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang paling keras. Dengan pidato Bung Karno yang berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno masih punya
pendukung, termasuk dari Angkatan Bersenjata. Para menterinya masih lengkap. Jabatannya masih Presiden RI. Maka semua pihak khawatir Indonesia bakal me-
masuki pergolakan sangat hebat dalam waktu dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari G30S.
Setelah itu - pada malam hari berikutnya – saya selaku Wakil Perdana Menteri-I membentuk Barisan Soekarno. Anggotanya semua menteri. Tujuannya tentu untuk
membela Presiden. Front Nasional yang sudah ada sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno.
Tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di Istana. Mereka menyatakan sepakat menjadi bagian paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan
bagian dari upaya pendukung Soekarno untuk come back, walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI, pun secara formal pendukung terdepan masih Menteri
Negara.
237
Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada tindak-lanjut dari pidatonya yang keras itu. Tidak ada perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya sudah siap
membela. Para pendukungnya pun tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain menyerukan: tunggu komando…Seruan ini ditaati para pendukung-
nya. Dan komando ternyata tidak juga kunjung datang. Seandainya komando benar- benar diserukan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia.
SUPER SEMAR
Sebuah sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10 Maret 1966 Soeharto mengadakan pertemuan di rumahnya di Jalan H Agus Salim. Pertemuan dihadiri
oleh Pangdam Jaya Mayjen Amir Machmud, Pangdam Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti pembicaraan: Soeharto selaku Menpangad minta duku-
ngan untuk mendapatkan suatu mandat penuh dari Presiden RI Soekarno. Tujuan- nya adalah agar dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara, di
samping untuk menciptakan suasana aman dan politik yang stabil. Tiga jenderal yang menghadap akhirnya sepakat dengan ide Menpangad.
Soeharto menyampaikan pidato penting. Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi negara yang tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan
persoalan bangsa. Merka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan tindakan kongkrit. Ia menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk
boleh saja berdemo di saat Sidang Kabinet yang akan diselenggarakan esok harinya 11 Maret 1966 di Istana Merdeka.
Akibatnya luar biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman
Istana. Pasukan Kawal Presiden Cakra Bhirawa berupaya menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai terpaksa meletuskan tembakan peringatan ke udara.
Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan oleh Pasukan Kawal Presiden. Soeharto tidak hanya menggerakkan mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada
mereka dengan mengerahkan tentara belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris. Tujuan mereka antara lain
menangkap saya. Soeharto juga sudah setuju.
Mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Mereka bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil
menteri peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi. Istana pun dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda
pengenal itu herhadap-hadapan dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak dekat.
Berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan begitu Soekarno akan menyerah tanpa syarat. Keadaan benar-benar gawat, sebab bisa timbul korban yang
sangat besar. Saya menilai Soeharto adalah pembunuh berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja demi terwujud ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau
Pasukan Cakra Bhirawa saat itu bertindak keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan darah yang luar biasa. Sebab mahasiswa akan bertahan mati-
matian karena merasa mendapat angin dan didukung oleh tentara. Juga bisa terjadi perang kota antara pasukan Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa identitas.
238
Hebatnya, dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak datang dengan alasan sakit batuk. Informasi sakitnya Soeharto ini disampaikan oleh Amir Machmud beberapa
waktu kemudian. Menurut pengakuan Amir Machmud - seusai mengikuti Sidang Kabinet – ia bersama Basuki Rachmat dan M Yusuf mendatangi rumah Soeharto.
Soeharto sakit tenggorokan sehingga tidak dapat bicara keras. Saat kami datang ke rumahnya dia masih mengenakan piyama dengan leher dibalut, kata Amir Machmud.
Tetapi seorang intelijen saya melaporkan bahwa pada sore harinya Soeharto memimpin rapat di Makostrad. Di sini semakin jelas bahwa Soeharto adalah
pembohong besar.
Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat seharusnya dia ikut maka ada 3 risiko yang bakal dihadapi oleh
Soeharto: 1.
dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam sidang Bung Karno akan bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang
telah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan pengacau-pengacau itu. Maka perintah Presiden
itu bakal ibarat buah simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak dimakan bapak tewas.
1. Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di
mata para demonstran yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi Nasution untuk tampil sebagai presiden.
1. Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa
berakibat fatal bagi Soeharto. Tentu Bung Karno bisa segera memerintah- kan Pasukan Cakra Bhirawa untuk menangkap Soeharto seketika itu juga.
Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan buruk itu adalah nyakit pura-pura sakit. Bukankah ini membuktikan bahwa Soeharto licin
dan pembunuh berdarah dingin? Ia tidak peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan tentara bisa menimbulkan konflik besar yang menghasilkan
banjir darah bangsanya sendiri.
Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Di beberapa buku juga disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat
kemudian pengawal presiden, Brigjen Sabur, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat
kemudian Presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis saat keluar sepatu
saya copot karena terburu-buru.
Benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu - mungkin karena kegerahan duduk lama bersepatu - tetapi sepatu yang dicopot itu tidak
kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang secara
mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu.
Begitu keluar dari ruang sidang – ini yang tidak ada di dalam buku-buku sejarah – saya sempat bingung, akan ke mana? Saya mendapat informasi, pasukan tak
239
dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan
bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya – dan mobil semua menteri – sudah digembosi
oleh para demonstran.
Kondisi hiruk-pikuk di sekitar Istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal
saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat
menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan.
Sepeda saya terus meluncur ke selatan. Tujuan saya pulang. Sampai di Bundaran Air Mancur perempatan Bank Indonesia saya melihat begitu banyak mahasiswa
dan tentara. Mereka tidak hanya berada di sekitar Istana tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini perasaan saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini
saya sudah lolos. Tetapi bisakah melewati ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka seketika itu juga saya memutuskan untuk kembali, berbalik arah. Saya kembali
ke Istana. Hebatnya, saya sampai di Istana lagi tanpa diketahui oleh para demonstran.
Di dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa begitu keluar dari ruang sidang, saya langsung memburu Bung Karno naik helikopter.
Yang sebenarnya terjadi seperti saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali di Istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau
baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya tadi tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian
saya melihat Bung Karno didampingi oleh para ajudan berjalan menuju heli.
Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah – ketika berlari menuju heli tanpa sepatu – saya dilihat banyak orang sehingga ditulis
di koran-koran: Dr. Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno
menuju Istana Bogor.
Sebenarnya begitu meninggalkan ruang sidang Bung Karno tidak langsung menuju heli, tetapi ada tenggang waktu cukup lama. Saya sudah menggenjot sepeda dari
Istana ke Bundaran Air Mancur dan kembali lagi. Mungkin setelah meninggalkan ruang sidang Bung Karno masih mengadakan pertemuan dengan para ajudan dan
penasihat militer untuk membahas situasi, sehingga hal itu menguntungkan saya. Seandainya tidak bertemu Bung Karno, entah bagaimana nasib saya.
Setelah peristiwa itu saya merenung. Untungnya saat itu saya dan Leimena lolos dari target penangkapan mereka. Seandainya saya tertangkap atau dihabisi, maka bakal
terjadi bentrokan hebat. Bung Karno dan pasukannya yang masih setia tidak akan tinggal diam. Akibatnya bisa banjir darah. Kalau itu terjadi pasti Soeharto akan
berbalik mengkhianati teman-temannya yang semula dia tugaskan untuk mengerah- kan pasukan mengepung Istana. Percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang gagal menjadi
240
dasarnya. Juga bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung untuk membantai para jenderal menjadi buktinya.
Petang Istana Bogor didatangi oleh tiga jenderal Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf. Ketika itu tiga Waperdam saya, Leimena dan Chaerul Saleh sudah di
sana. Leimena dan Chaerul menyusul kami ke Istana Bogor melalui jalan darat. Kami bertiga sempat istirahat di paviliun. Ketika tiga jenderal datang Bung Karno meine-
rima mereka di gedung utama. Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di paviliun. Beberapa jam kemudian saya, Chaerul dan Leimena
dipanggil oleh Bung Karno masuk ke ruang pertemuan. Di sana ada tiga jenderal itu. Namun saat kami masuk sudah ada kesepakatan antara mereka dan Bung Karno.
Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya disodori
surat yang dibaca oleh Bung Karno, sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa tetapi intinya ada empat hal. Presiden Soekarno
memberi mandat kepada Soeharto untuk:
1. mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin
kerjasama dengan unsur-unsur kekuatan lainnya. 2. Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan
yang akan dilaksanakan 3. Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya
4. mandat wajib
melestarikan ajaran Bung Karno. Soal urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya berisi seperti itu.
Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan setuju,
padahal dalam hati saya tidak setuju. Bukankah Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali keamanan negara berada di tangan Presiden? Saya
merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan Presiden terancam oleh pihak yang
menekan agar surat tersebut dikeluarkan. Tetapi kalimat unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru. Bahkan lebih hebat lagi, naskah Supersemar yang mem-
buat Soeharto ditunjuk sebagai pengemban Supersemar menjadi presiden tanpa melalui proses pemilu dan dipilih MPR kini sudah tiada. Tidak jelas keberadaan
surat yang begitu penting.
„Ban, setuju?“ Tanya Bung Karno lagi. „Ya”, bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami
jawab saya. Lantas dipotong oleh Bung Karno: „Tapi kau setuju?“ „Kalau bisa, perintah lisan saja“, kata saya memberanikan diri. Saya lirik, tiga
jenderal itu melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram men- dengar kalimat saya yang terakhir itu. Tetapi saya tahu mereka tidak bisa berbuat
banyak. Suasana saat itu terasa tegang.
241
Lantas Amir Machmud menyela: “Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak”..
Bung Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar
setuju. Akhirnya saya setuju. Chaerul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno
lantas teken tanda tangan. Tiga jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang mengutus mereka. Bahkan mereka menolak ketika ditawari
Bung Karno untuk makan malam bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam, ujar salah seorang dari mereka. Dengan wajah berseri mereka membawa surat
bersejarah yang kemudian dinamakan Supersemar.
Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto langsung mengumumkan pembubaran PKI. Uniknya, pembubaran PKI itu menggunakan surat keputusan Presiden nomor 113
tahun 1966. Saat diumumkan juga dibacakan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Enam hari kemudian 15 menteri yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja
Soeharto tidak melapor lebih dahulu kepada Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru sampai ke tangan Soeharto tengah malam dan esok siangnya ia
langsung mengambil kebijakan itu. Untuk penangkapan 15 menteri, alasannya adalah agar para menteri itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan
rakyat yang tidak terkendali. Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni: para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan bentuk kolektif pemerinta-
han. Jadi bisa saja ditangkap. Yang jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang: terlibat G30SPKI – tuduhan yang sangat ditakuti
seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI.
Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya sebagai: Bung Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, bukan perintah
memulihkan keamanan Ibukota. Sebagai orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya sangat yakin tujuan Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi 15 menteri
adalah rangkaian strategi untuk meraih puncak kekuasaan. Seperti disebut di muka, strategi Soeharto ada empat tahap:
- habisi para jenderal saingan - hancurkan PKI
- copoti para menteri - jatuhkan Bung Karno.
Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir. Bung Karno pun bereaksi. Tidak benar jika Bung Karno diam saja. Beliau meme-
rintahkan Leimena menemui Soeharto menanyakan hal itu: Bagaimana ini? Surat perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan untuk pembubaran PKI. Kok
malah main tangkap, kata Leimena kepada Soeharto.
242
Tetapi Soeharto tidak menggubris. Seperti terjadi pada tanggal 3 Oktober 1965 - saat Leimena protes pada Soeharto karena Bung Karno ditawan di Istana Bogor -
Soeharto menyatakan: Pak Leimena jangan ikut campur. Sekarang saya yang kuasa.
Kembali ke Istana Bogor melaporkan reaksi Soeharto. Dan Bung Karno terdiam, tetapi dari wajahnya kelihatan jelas bahwa beliau sedang marah. Dari laporan
Leimena kami tahu bahwa saat itu situasi Jakarta sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja bersiaga di setiap ujung jalan, tentara ada di mana-mana.
Mereka dikenali sebagai pasukan Kostrad dan Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali ini untuk menakut-nakuti anggota PKI yang jumlahnya masih sangat besar saat itu.
Mungkin pula ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan kuasa agar tidak menghalang-halangi pembubaran PKI atau
mungkin juga ditujukan untuk kedua-duanya.
15 menteri yang ditangkapi adalah: 1. Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI
2. Waperdam-II Chaerul Saleh 3. Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo
4. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo 5. Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
6. Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam 7. Menteri
Pertambangan Armunanto 8. Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman
9. Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo 10. Menteri Kehakiman Andjarwinata
1. Menteri Penerangan Asmuadi
12. Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafii 13. Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka
14. Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi 1.
Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo
Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang masih aktif menjalankan tugas, namun Soeharto tanpa rasa malu sedikit pun menyatakan bahwa kekuasaannya diperoleh
secara konstitusional. Padahal ketika menangkap kami para menteri perintah Soeharto kepada tentara yang melaksanakan berbunyi demikian: Tangkap dulu
mereka, alasannya cari kemudian.
Itulah filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya. Persis seperti dilakukan Soeharto pada tragedi 1 Oktober 1965. Beberapa jam setelah para jenderal dibunuh,
kelompok bayangan Soeharto langsung mengumumkan: G30S didalangi PKI. Lantas Soeharto memerintahkan: Basmi dulu partai itu PKI, bukti-bukti cari kemudian.
243
Apakah ini konstitusional seperti yang sangat sering dikatakan Soeharto ketika dia memerintah?
MELENGGANG KE ISTANA
Kini sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian tahap terakhir: jatuhkan Bung Karno. Setelah Supersemar – ketika Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi
para menteri setia – Bung Karno sebenarnya sudah setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan para menterinya yang masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik
tinggal tunggu waktu.
PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI – yaitu DN Aidit, Njoto dan Lukman – ditangkap hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah kehilangan powernya
menolak memerintahkan mengadili mereka entah mengapa. Persoalan ini lantas diambil-alih oleh Soeharto. Para pimpinan PKI itu diadili dengan cara tersendiri.
Soeharto memerintahkan tentara menembak mati ketiganya. Dan ketiganya memang didor tanpa melalui proses hukum yang berlaku.
perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar jika saya katakan bahwa Soeharto tidak ingin kedoknya memanipulir G30S terbongkar di pengadilan jika tiga pimpinan PKI
itu diadili. Sedangkan saya yang mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa Soeharto terlibat G30S.
Supersemar, Soeharto membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang merupakan bagian dari MPRS. Caranya dengan merampas kursi yang semula diduduki oleh
anggota PKI dan menggantinya dengan orang-orang Soeharto sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh MPRS yang sebagian besar sudah diisi orang-orangnya
bersidang. Inti sidang adalah mengukuhkan Supersemar secara konstitusional.
dengan itu pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan. Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan PKI ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga dan teman mereka halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian terbesar sepanjang
sejarah Indonesia. Tidak ada yang tahu persis berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada yang mengatakan 800.000, ada yang mengatakan 1.000.000. Yang paling tinggi
adalah pernyataan Sarwo Edhi Wibowo yang katanya mencapai 3.000.000 manusia.
Dalam sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS
tahun 1963 yang mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Juga menyatakan pemberian gelar Pemimpin Besar Revolusi terhadap Bung Karno tidak
memiliki kekuatan hukum. Asal diketahui, pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup bukan datang dari Bung Karno. Juga bukan dari pendukung
setia Bung Karno PKI. Pengangkatan itu atas usulan perwira AD sendiri, yakni Brigjen Suhardiman.
Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS. Beberapa hari kemudian – 5 Juli 1966 – MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku
Pengemban Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada di
bawah kekuasaan Presiden Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto selaku
244
Ketua Presidium Kabinet. Sejak itu secara formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno.
Nasution yang baru terpilih menjadi ketua MPRS segera menyanyikan lagu gubahan Kelompok Bayangan Soeharto. Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution tampil, yang
meminta Presiden Soekarno melengkapi pertanggung-jawaban kepada MPRS tentang sebab-sebab G30S kemudian dinyatakan ditutup begitu saja. Pada
Desember 1966 Panglima AU Oemar Dhani ditangkap, menyusul kemudian para perwira pendukung Bung Karno lainnya. Mereka semua dihukum bertahun-tahun
tanpa kesalahan yang jelas.
Proses selanjutnya: praktis Soeharto memimpin Indonesia. Perlahan namun pasti Soeharto melenggang menuju kantor di Istana Negara. Soekarno yang katanya
akan dikudeta oleh PKI secara politis sama sekali sudah tidak berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas
peristiwa berdarah G30S. Menanggapi itu Bung Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan UUD 1945 yang harus dipertanggung-jawabkan mandata-
ris MPRS hanya persoalan yang ada dalam GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban.
Sejak itu Bung Karno secara formal dilarang mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau peraturan. Secara non-formal Bung Karno sudah ditahan di Istana Bogor sejak
2 Oktober 1965. AD yang diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh Nasution menyokong keputusan Soeharto untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Saat itu pula Soeharto memerintahkan Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS yang dibuat antara tahun 1960 hingga 1963.
Sidang Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno masih boleh hadir dalam kapasitas tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam sidang itu Bung Karno
diharuskan oleh Soeharto agar bicara yang intinya mengutuk G30S dan harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di dalamnya. Juga harus membenarkan
pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di luar dugaan, ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang diberi judul Nawaksara. Inti pidato tersebut sama
sekali menyimpang dari yang diperintahkan oleh Soeharto. Pidato Bung Karno itu intinya juga tidak mengandung penyesalan akibat proses pengambil-alihan
kekuasaan. Tetapi pidato ini ditentang oleh para opsir dan para ulama.
tanggal 17 maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya: dikeluarkan Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi
menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai terpilih presiden oleh MPRS hasil pemilu yang akan datang. Dengan begitu
Soeharto sudah benar-benar menggantikan Soekarno. Saat itulah Soeharto menegaskan bahwa tentara memiliki peran sosial politik yang tidak terbatas kelak
hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI DALAM NEGARA. Saat itu pula ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal negara. Soeharto saat itu mulai
menyusun kekuatan agar kekuasaan berada di satu tangan: tangan dia sendiri.
Sebaliknya, terhadap Presiden Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
245
- Presiden Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab konstitusio-
nalnya -
Presiden Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan Haluan Negara. Karena itu MPRS memutuskan melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik
sejak saat itu sampai dengan Pemilu yang akan datang -
Juga menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara Pjs
Presiden Soeharto hingga terpilihnya presiden hasil Pemilu. - Pjs Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap MPRS.
- Persoalan hukum yang menyangkut Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum yang berlaku dan pelaksanaannya diserahkan kepada Pjs Presiden.
Secara garis besar tindakan Soeharto sejak sebelum G30S sampai pembubaran kabinet bentukan Bung Karno disebut pegamat asing sebagai creeping coup kudeta
merangkak. Proses kudetanya tidak langsung menghantam dan musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang dilakukan secara mengendap-endap. Kata mereka itu kudeta
khas Indonesia. Coba saja, setelah kekuasaan beralih Bung Karno masih berstatus sebagai Presiden RI.
Saat itu – bahkan sampai sekarang – saya melihat proses peralihan kekuasaan tersebut sangat unik. Selain unik, juga sangat membahayakan Soeharto sendiri
seandainya perkembangan situasi mengalami pembalikan. Tetapi rupanya Soeharto sudah memperhitungkan semua dengan sangat matang. Terbukti, sama sekali tidak
ada bahaya. Malah, setelah itu Soeharto memperkukuh kekuasaannya dengan memreteli semua keputusan MPRS yang dirasa memberi kewibawaan kepada Bung
Karno.
Kudeta merangkak bukan pilihan Soeharto. Jika prosesnya bergerak secara merang- kak, itu karena terpaksa. Soeharto tidak bisa begitu saja tampil ke puncak pimpinan
nasional. Ia harus melewati para jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang saat itu begitu kuat.
AKHIR HAYAT UNTUNG
Ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati. Jalur hukum di atas vonis
pengadilan – seperti naik banding dan kasasi – sengaja ditutup sehingga mau tidak mau saya harus menerima vonis hukuman mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada
saat itu. Dari posisi orang nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati.
Menjalani hukuman awal di Penjara Cimahi Bandung. Di sana berkumpul orang- orang yang senasib dengan saya dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S. Di
antaranya adalah Letkol Untung yang memang komandan G30S. Selama beberapa bulan kami berkumpul di penjara walaupun berbeda ruangan. Saya dan Untung
sudah sama-sama divonis hukuman mati. Baik saya maupun Untung tidak diberi hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih tinggi yakni naik banding, apalagi kasasi.
246
Suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari selnya oleh beberapa sipir. Diberitahu- kan bahwa Untung akan dieksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani
hidupnya. Saya dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara benar-benar terhanyut dalam suasana haru. Saya bukan hanya terharu tetapi juga
bingung, sedih, bahkan panik. Sebab Ahmad Durmawel oditur militer yang mengadili saya saat itu memberitahukan bahwa saya akan mendapat giliran dieksekusi
empat hari kemudian. Saya ingat saat itu hari Selasa. Berarti saya akan dieksekusi pada hari Sabtu.
Untung dijemput untuk dibawa keluar penjara, saya sempat menemui Untung. Saat itu ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir, seperti lazimnya orang yang akan
dieksekusi. Mungkin karena Untung sedang panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa saya akan dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan saya dan
Untung benar-benar luar biasa. Kami memang hanya berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati kami tidak karuan. Untung segera akan
ditembak, sedangkan saya empat hari lagi.
itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat hingga sekarang. Bahkan saya ingat suasana hening saat Untung menyampaikan kata perpisahannya pada saya.
Para sipir dan tentara berwajah angker yang selalu siaga menjaga Untung, mengawasi kami dari jarak agak jauh. Mereka seperti maklum dan memberi kesem-
patan terakhir bagi Untung untuk berpesan kepada saya.
Untung mengatakan demikian: Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita ketemu lagi di sana katanya sambil menunjuk ke atas. Untung mengucapkan
kata perpisahan dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang gagah berani itu tidak menangis, tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat
panik. Ia benar-benar tidak menyangka bakal dikhianati oleh Soeharto.
Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya bahwa tidak mungkin Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah
sahabat Soeharto dan ia mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S, bahkan memberi bantuan pasukan. Karena itu dia sangat yakin bahwa dia tidak akan
dikhianati oleh Soeharto. Tetapi toh kenyataannya berakhir demikian. Menanggapi perkataan Untung, saya tidak bisa bicara apa-apa. Saya hanya mengangguk-
angguk. Para sipir dan tentara yang menjaga kami menyaksikan semua adegan singkat tapi mengharukan ini.
Menjelang senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat berjalan menuju pintu gerbang untuk meninggalkan Penjara Cimahi. Saya mengamati keberangkatan
Untung dari penjara. Ia berjalan tegap. Mungkin ia segera bisa menguasai perasaan- nya yang begitu gundah. Tetapi mungkin pula ia sudah pasrah kepada takdir Allah
bahwa memang sampai di situlah perjalanan hidupnya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung dieksekusi di sebuah desa di luar kota Bandung. Saya sudah tidak
sempat sedih lagi memikirkan nasib Untung, hidup saya sendiri akan berakhir sebentar lagi. Bila mengingat hari-hari itu, saya membayangkan Untung kecele
salah duga dengan kata perpisahannya kepada saya sesaat sebelum meninggal- kan penjara karena ternyata dia tidak menjumpai saya di alam sana.
247
Terus terang, setelah Untung dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak takut jika hari kematiannya sudah ditentukan. Tetapi – inilah keajaiban –
Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar sepengetahuan saya, mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui
ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian. Isi surat dua petinggi negara adidaya itu – ini juga ajaib – hampir sama.
Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak terlibat. Soal, apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan, bagi saya
tidak perlu dipikirkan lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain. Yang penting bagi saya, mereka sudah membantu saya dalam kondisi sangat
panik. Dan ternyata kawat singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi ditembak mati.
Tentang mengapa dua orang pimpinan negara Barat membantu saya, sungguh tidak saya ketahui. Yang tahu persis hanya mereka berdua. Saya tidak pernah meminta
bantuan mereka. Logikanya, tidak ada waktu bagi saya untuk minta bantuan kepada orang lain, apalagi pimpinan negara lain. Hitung saja, saya diberitahu tentang hari
eksekusi saya sekitar lima hari sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan panik.
Lagipula, bagaimana caranya saya minta bantuan kepada mereka? Saya berada di dalam penjara dan dalam pengawasan ekstra ketat, terutama pada hari-hari menje-
lang eksekusi. Namun jangan lupa, saya dulu adalah Menteri Luar Negeri. Saya akrab dengan mereka berdua. Ketika perundingan tentang pembebasan Irian Barat,
saya banyak melobi pejabat di dua negara itu. Juga dalam tugas-tugas yang lain.
Tetapi bagaimana pun saya juga tetap tidak tahu bagaimana mereka begitu yakin bahwa saya tidak terlibat G30S sampai-sampai mereka dengan keputusan yang luar
biasa berani mengirimkan kawat ke Jakarta. Akibat kawat itu pula hukuman saya diubah dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
KARIR SAYA
Jika ada yang bertanya: lantas mengapa PKI dituduh sebagai dalang G30S? Maka saya akan balik bertanya: siapa yang menuduh begitu? Jika PKI mendalangi G30S
atas inisiatif Aidit, maka Indonesia bakal menjadi lautan darah. Bukan hanya banjir darah seperti yang sudah terjadi. Betapa ngeri membayangkan PKI dengan 3 juta
anggota didukung 17 juta anggota organisasi onderbouwnya berperang melawan tentara yang hanya ratusan ribu. Bila genderang perang benar-benar ditabuh, alang-
kah hebat pertempuran yang terjadi.
Namun seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan perlawanan berarti pada saat dibantai. Itu karena tidak ada instruksi melawan. Aidit malah lari dan lantas ditembak
mati. Bung Karno - yang juga bisa menjadi panutan PKI – tidak memerintahkan apa- apa.
Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan atau stigma terlibat PKI bukan hanya saya terima sendirian. Banyak tokoh yang tidak disukai oleh Soeharto dituduh PKI. Ini bertujuan
politis, agar kekuasaan Soeharto langgeng. Bagi saya tuduhan itu lebih keji lagi.
248
Saya tidak hanya dituduh PKI, tapi juga dilontarkan julukan yang menyakitkan hati. Saya dijuluki Durno.
Target penghancuran diri saya oleh kelompok Soeharto sebenarnya hanya sasaran antara. Tujuan utamanya adalah menjatuhkan Bung Karno. Seperti sudah saya
sebut, skenario Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada 4 tahap: 1. menyingkirkan para perwira yang menjadi saingan beratnya, seperti A Yani
dan Nasution ini terwujud di G30S 2. PKI, partai besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno ini terlaksana
setelah PKI dituduh mendalangi G30S. 3. memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya ini tercapai saat
menangkapi 15 menteri - termasuk saya – sekitar sepekan setelah keluar surat perintah 11 Maret 1966.
4. Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan cara seolah-olah konstitusionil melalui ketetapan MPRS.
Nah, saya termasuk sasaran antara tahap ke-3. Saya bersama 14 menteri ditangkap tanpa alasan jelas. Mula-mula saya ditangkap dengan cara sopan oleh tentara: Maaf,
pak, kami diperintahkan agar mengamankan Bapak dari kemungkinan amukan rakyat, kata tentara yang menangkap saya. Lantas, kami 15 menteri dikumpulkan di
suatu ruangan sekitar Senayan.
Beberapa hari kemudian baru kami menyadari bahwa kami bukan diamankan tapi ditangkap. Para tentara itu mulai bertindak kasar. Akhirnya kami dipenjarakan. Untuk
menghancurkan nama baik kami, Soeharto menuduh kami teribat PKI. Bahkan menambahi saya dengan julukan Durno. Kami dihinakan dan tersiksa lahir dan batin
di penjara demi tujuan Soeharto meraih kekuasaan.
Saya memang pernah aktif dalam organisasi politik tapi di PSI Partai Sosialis Indonesia. Kalau di PKI, saya sama sekalibukan anggota atau simpatisan, walaupun
pada saat saya masih di puncak kekuasaan dengan merangkap tiga jabatan sangat penting, orang-orang PKI banyak mendekati saya. PKI juga mendekati Bung Karno.
Malah, anggota dan pimpinan PKI ada yang menjadi anggota kabinet, bahkan anggota ABRI.
BAB IIIB: BIO-DATA KUASA BERPINDAH
Agar lebih jelas, saya paparkan sekilas biografi saya. Saya lahir di Kepanjen selatan Malang, Jatim, 15 September 1914. Ayah saya, Kusadi, adalah Wedono Kepanjen.
Ibu saya, Sapirah, adalah ibu rumah tangga biasa. Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara.
Saya dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk ukuran posisi ayah di desa kecil Kepanjen saat itu, keluarga kami cukup terhormat. Masa kanak-kanak saya
habiskan di Kepanjen. Saya sekolah di SR Sekolah Rakyat setingkat SD di sana. Lulus SR, saya masuk MULO setingkat SMP di Malang. Sebab, saat itu di
Kepanjen belum ada sekolah MULO. Lulus MULO saya lanjutkan ke AMS tahun
249
1928. Saya masuk sekolah terlalu dini, sehingga pada usia 14 tahun saya sudah tamat AMS.
Tamat AMS, saya memilih melanjutkan ke sekolah kedokteran di Jakarta. Tempat- nya di Jalan Salemba yang kemudian berubah menjadi Universitas Indonesia. Saat
itu saya memang ingin menjadi dokter – sebuah keinginan yang bisa dibilang muluk untuk ukuran rakyat Indonesia saat itu. Anak-anak rakyat biasa saat itu paling tinggi
hanya sekolah SR. Saya bisa ke sekolah lanjutan, sebab ayah saya merupakan petinggi, walaupun hanya petinggi desa.
Tetapi, dari lima saudara saya, hanya saya yang paling menonjol di sekolah, sehingga bisa melanjutkan sampai ke sekolah kedokteran. Semasa sekolah kedokte-
ran, saya banyak kenal dengan para pemuda pejuang, termasuk Bung Karno. Saya sering ikut diskusi-diskusi mereka. Dari sana saya juga dikenal para pemuda pejuang
itu. Saya sendiri menjadi tertarik bergaul dengan mereka.
Saya menyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal, yakni tujuh tahun. Tercapailah keinginan saya menjadi dokter. Lantas saya mengambil brevet dengan spesialisasi
bedah perut. Saya selesaikan ini dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka, pada tahun 1938 saya sudah mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itu jumlah
dokter umum masih sangat jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidak salah, dokter ahli bedah hanya ada lima orang. Tiga dari Jakarta, termasuk saya, dua dari
Surabaya Universitas Airlangga.
Sebelum lulus, tahun 1936 saya menikah dengan Hurustiati, seorang mahasiswi tapi beda fakultas dengan saya. Ketika saya sudah lulus, ia masih kuliah. Usia kami
hanya berbeda beberapa tahun. Saya sedikit lebih tua. Begitu lulus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter di Semarang
sekarang RS Dr. Karjadi. Hanya beberapa bulan kemudian saya dipindahkan ke Jakarta sekarang RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Ahli bedah di sana saat itu hanya
dua orang, termasuk saya. Untuk menyalurkan hobi berdiskusi saat mahasiswa, saya masuk PSI. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, pada 1940 saya sudah
menjadi wakil ketua PSI.
Akhirnya saya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak praktek pribadi. Sepanjang hidup saya juga tidak pernah praktek dokter pribadi. Karir saya di kedokteran selesai
sampai di situ, sebab saya jenuh dengan pekerjaan yang menurut saya monoton. Saya lebih tertarik berorganisasi. Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaan
dikumandangkan oleh Bung Karno.
Sekitar tahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi wakil pemerintah Indonesia di Inggris, berkedudukan di London. Penunjukan itu tiba-tiba saja. Tidak
melalui proses, misalnya, menjadi pegawai negeri dulu. Mungkin karena saat itu jumlah manusia tidak sebanyak sekarang. Dan, penunjukan Presiden Soekarno
langsung saya terima. Istri saya juga setuju.
Ini sebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaan Indonesia belum diakui PBB. Sehingga saya tidak dipanggil duta besar, baik di Indonesia maupun di Inggris. Bung
Karno hanya menyebut jabatan saya: Wakil Pemerintah Indonesia di Inggris.
250
Sebelum berangkat ke London, saya was-was. Tetapi setelah di Inggris, keberadaan saya ternyata diterima oleh Pemerintah Inggris. Memang tidak ada penyambutan
saat saya datang. Saya juga tidak membayangkan akan disambut. Lantas saya membuka kantor di London. Inilah embrio Kedutaan Besar RI untuk Inggris. Dan,
itulah awal saya meniti karir di pemerintahan. Jika banyak orang menempati jabatan Dubes sebagai pos buangan, saya malah memulai karir dari pos itu.
Tahun 1950 baru saya disebut Duta Besar RI untuk Inggris berkedudukan di London. Bagi saya sebenarnya tidak ada perubahan. Hanya sebutannya saja yang berubah.
Namun, kemudian reaksi pemerintah Inggris terhadap keberadaan saya di sana secara bertahap berubah ke arah positif. Saya sering diundang ke acara-acara
kerajaan, sebagaimana diperlakukan terhadap para duta besar dari negara-negara merdeka lainnya.
Dari seringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu saya sering berdekatan dengan Ratu Elizabeth. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya bahwa berdekatan
dengan Ratu Elizabeth kelak bisa menyelamatkan nyawa saya dari eksekusi hukuman mati yang tinggal menunggu hari soal ini sudah diungkap di muka. Saya
hanya menjalankan tugas negara. Dan, dalam menjalankan tugas, antara lain, harus menghadiri acara-acara seremonial tersebut.
Pada tahun 1954 Presiden Soekarno menarik saya dari London, dan memindahkan saya ke Moskow. Resminya jabatan baru saya adalah Duta Besar RI untuk Uni
Soviet di Moskow. Dua tahun di sana, lantas saya diperintahkan pulang ke Jakarta. Tiba di tanah air saya ditunjuk oleh Presiden menjadi Sekretaris Jenderal
Departemen Luar negeri, menggantikan Roeslan Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlu menggantikan Ali Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali turun
jabatan menjadi Dubes RI untuk AS di Washington.
Setahun kemudian saya dipanggil oleh Bung Karno. Setelah menghadap, Bung Karno berkata demikian: Bandrio, kamu saya tunjuk menjadi Perdana Menteri. Saya
kaget. Itu merupakan suatu loncatan jabatan yang luar biasa – dari Sekjen Deplu menjadi Perdana Menteri. Menanggapi ini saya mengatakan, minta waktu berpikir.
Sesungguhnya saya menolak tawaran itu. Saya merasa tidak enak dengan para senior saya. Memang, saya merasa Bung Karno menaruh simpati pada saya. Tolok
ukurnya adalah bahwa Bung Karno sering menugaskan saya membuat naskah pidatonya. Bahkan, pada suatu hari Bung Karno berpidato di Markas PBB. Sebelum
tampil Bung Karno meminta saya membuatkan naskah pidato, padahal saya di Jakarta. Namun, tugas itu tetap saya laksanakan. Walaupun saya jarang bertatap
muka dengan Bung Karno, terasa sekali dia bersimpati pada saya. Tapi, saya merasa belum mampu menjadi Perdana Menteri. Apalagi saya belum lama pulang ke
tanah air, sehingga saya kurang memahami perkembangan situasi terakhir.
Menolak tawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas jalan keluarnya adalah bahwa saya bicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya minta tolong Suwito menghadap Bung
Karno, untuk menyampaikan keberatan saya. Sambil menyampaikan ini ia mengusulkan nama Djuanda. Ternyata Bung Karno setuju. Jadilah Djuanda Perdana
Menteri. Untuk menjalankan tugasnya dia dibantu oleh presidium yang disebut Wakil
251
Perdana Menteri Waperdam. Ada dua Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid dan Waperdam-II Hardi. Selanjutnya saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan.
Setelah Djuanda meninggal dunia, tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno – saya sendiri, Menteri Pangan Leimena, dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh. Tujuannya
adalah untuk mencari pengganti Djuanda dari tiga menteri ini. Proses pemilihannya unik sekali, sehingga tidak saya lupakan.
Bung Karno memberi kami masing-masing tiga batang korek api. Semula kami bingung. Bung Karno menyatakan bahwa ini pemilihan yang adil dan demokratis.
Masing-masing diberi sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan karena sudah dipatahkan oleh Bung Karno, dan setengah batang dengan pentolan juga
sudah dipatahkan sebelumnya. Bung Karno meletakkan sebuah kantong di meja.
Cara permainannya, batang korek utuh merupakan simbol saya, setengah batang tanpa pentolan menjadi simbol Leimena, dan setengah batang dengan pentolan
mewakili Chaerul. Bung Karno minta, masing-masing memilih satu saja untuk dimasukkan ke dalam kantong. Saat memasukkan korek ke kantong, tangan harus
menggenggam supaya tidak diketahui yang lain. Pemilihan pun dimulai.
Saya memasukkan setengah batang korek tanpa pentolan. Artinya, saya memilih Leimena. Lantas disusul Leimena dan Chaerul. Meskipun bentuknya sangat seder-
hana, tetapi inilah pemilihan Perdana Menteri Indonesia. Suasana hening. Bung Karno memandang masing-masing menteri yang memasukkan korek ke sebuah
kantong. Sampai semuanya menggunakan hak pilihnya.
Apa yang terjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan isi kantong itu secara blak- blakan. Yang tampak: sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan, dan
setengah batang dengan pentolan. Lengkap. Bung Karno geleng-geleng kepala. Hasil suara seimbang untuk tiga kandidat. Pemilihan macet. Kami saling meman-
dang satu sama lain. Lantas kami saling terbuka. Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilih saya, Chaerul pilih dirinya sendiri.
Leimena kemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana Menteri. Alasannya, Indonesia butuh perhatian penuh di bidang luar negeri. Terutama
menyangkut Irian Barat yang statusnya belum jelas. Untuk itu perlu diplomasi internasional. Orang yang tepat adalah Soebandrio, ujarnya. Bung Karno ternyata
setuju dan memanggil ajudannya Brigjen Sabur untuk menuliskan keputusan di kertas kop kenegaraan.
Sebelum terlaksana, saya minta bicara. Saya katakan, tidak perlu merombak kabinet. Sebaiknya Bung Karno selain Presiden juga Perdana Menteri didampingi
oleh para Waperdam. Nah, Waperdamnya adalah kami bertiga. Bung Karno juga setuju. Lalu Leimena main tunjuk, saya Waperdam-I, Leimena Waperdam-II, Chaerul
Waperdam-III. Hebatnya, tanpa banyak bicara lagi semuanya sepakat.
Tidak lama kemudian saya dibebani satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka, saya merangkap tiga jabatan. Semakin jelas bahwa Presiden mempercayai saya.
Walaupun cukup berat, namun saya laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya masih sempat melaksanakan ibadah haji.
252
Sebagai imbalan, selain digaji, saya juga diberi rumah cukup di Jalan Imam Bonjol 16, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk ukuran saat itu rumah tersebut sudah cukup
mewah. Di rumah itu pula saya memiliki perpustakaan. Kelak perpustakaan saya ini dihancurkan oleh penguasa Orde baru.
Tahun 1958 anak saya yang pertama lahir, dan kami beri nama Budojo. Ternyata hanya itu anak saya, sebab dia tidak punya adik lagi.
Saat saya menjadi pejabat tinggi negara, ada yang unik. Saya menjadi tukang khitan beberapa anak pejabat. Ceritanya, para pejabat itu tahu bahwa saya adalah dokter
ahli bedah. Saat itu sudah banyak dokter ahli bedah. Tapi, entah mengapa mereka minta tolong saya untuk mengkhitankan anak mereka. Ada beberapa anak pejabat
yang sudah saya khitan. Saya hanya menolong mereka dengan ikhlas.
Sejak mengundurkan diri dari RS, saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapa teman menyayangkan bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu
jumlah dokter masih sedikit. Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalam kancah politik, saya tinggalkan bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai
dengan bidang pendidikan saya itu. Ya, saya harus memilih, dan saya sudah menentukan. Jadinya, saya hanya menjadi tukang khitan anak pejabat.
Sepanjang saya menjadi pejabat tinggi negara, memang ada beberapa tokoh PKI yang akrab dengan saya. Sebagai pejabat tentu saya akrab dengan pimpinan PKI,
DN Aidit. Juga dengan beberapa tokoh PKI lainnya. Tetapi, saya tidak masuk ke dalam keanggotaan partai itu. Saya juga tidak aktif di PSI, sejak menjadi pejabat
negara. PKI saat itu adalah partai besar. Mereka tentu memiliki ambisi politik tertentu, sehingga mereka tidak hanya mendekati saya, tetapi juga pejabat tinggi
negara lainnya, termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk ke dalam jajaran kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang partai besar dan
legal. Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI.
Sebagai gambaran, salah satu partai besar saat ini tidak perlu saya menyebut namanya menempatkan tokohnya di jajaran kabinet. Bahkan, ada yang masuk ke
jajaran ABRI. Bukankah itu hal yang wajar? Dan, kalau para pimpinan partai itu mendekati pimpinan puncak, presiden dan orang-orang terdekatnya, juga wajar.
Kondisinya berubah menjadi tidak wajar setelah partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang. Itulah PKI.
Saat G30S meletus - seperti sudah saya sebutkan di muka - saya sedang bertugas di Medan. Kami keliling daerah untuk memantapkan program-program pemerintah.
Begitu saya diberitahu oleh Presiden Soekarno, saya langsung pulang, dan tiba di istana Bogor bergabung dengan Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965. Setelah
itu kondisi negara tidak menentu. Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965.
Sejak itu pula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan propaganda bahwa G30S didalangi oleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak mati di Jawa Tengah. Namun
muncul pengakuan tertulis Aidit – yang sangat mungkin merupakan rekayasa – bahwa ia yang mendalangi G30S. beberapa tokoh PKI lainnya juga ditembak mati,
tanpa proses pengadilan. Semua ini adalah cara untuk membungkam PKI, agar tidak
253
bicara. Memang, pada 1 Oktober 1965 Aidit berada di Halim, pusat pasukan G30S berkumpul. Namun, saya dengar istri Aidit mengatakan bahwa pada tanggal 30
September 1965, malam hari, Aidit diculik dan dibawa ke Halim. Aidit terbang ke Yogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim.
Saya sangat yakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya ingat saat saya dan Aidit sama-sama menjenguk Bung Karno yang sedang sakit. Setelah saya periksa, Bung
Karno ternyata hanya masuk angin. Tetapi, disebarkan isu bahwa Bung Karno sedang sakit berat, paling tidak bisa lumpuh. Isu tersebut merupakan propaganda
yang ditujukan untuk konsumsi publik di luar PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui, karena Aidit bersama saya menjenguk Bung Karno. Propaganda itu bertujuan untuk
memberi alasan keterlibatan PKI dalam G30S. Propaganda itu akan membangun opini publik bahwa PKI bergerak merebut kekuasaan sebelum didahului oleh pihak
lain, mengingat sakit kerasnya Bung Karno.
Yang mengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang didatangkan oleh Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta, Dokter Leimena, dan saya sendiri. Tanpa
berniat membela Aidit, saya yakin bahwa bukan Aidit yang mendalangi PKI, sebab saya tahu persis. Kalau Aidit mendukung pembunuhan anggota Dewan Jenderal,
memang ya. Dalam suatu kesempatan, saya dengar Aidit mendukung gerakan membunuh anggota Dewan Jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudeta
terhadap Presiden. Sebab, kalau sampai Presiden terguling oleh kelompok militer, maka nasib PKI selanjutnya bakal sulit. Tetapi, Aidit hanya sekadar mendukung
dalam bentuk ucapan saja.
Tetapi akhirnya propaganda Soeharto melalui media massa sukses. Kesan bahwa PKI mendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya dengan cerita
pembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok Gerwani yang menari- nari sambil menyiksa para jenderal. Dikabarkan bahwa mata para jenderal dicungkil,
kemaluannya dipotong, tubuhnya disayat-sayat. Penyiksaan keji ini diberi nama Upacara Harum Bunga – suatu nama yang sangat kontras dengan kekejiannya.
Sungguh suatu cerita yang mengerikan.
Cerita ini diperkuat dengan pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan kawan- kawan yang mengaku sebagai orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa Jamilah itu.
Tetapi cerita ini dipublikasikan oleh pers yang sudah dikuasai Soeharto. Dalam sekejap kemarahan rakyat terhadap PKI tersulut.
Padahal, cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti, setelah Soeharto tumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal dulu bicara di
televisi: mayat para jenderal itu utuh, Sama sekali tidak ada tanda-tanda penyiksaan. Memang kulit mayat terkelupas, tetapi berdasarkan penelitian, itu karena mayat
tersebut terendam di dalam air sumur selama beberapa hari.
Saya bukan PKI. Memang, saya pernah menyerukan penghentian pembantaian terhadap pimpinan dan anggota PKI oleh AD pada pertengahan Oktober 1965. Itu
saat-saat awal PKI dibantai. Seruan saya ini atas perintah Presiden Soekarno yang tidak menghendaki pertumpahan darah. Bung Karno saat itu masih memegang
kendali. Beberapa jam setelah G30S meletus, ia memerintahkan agar semua pasukan bersiap di tempatnya. Jangan ada yang bergerak di luar perintah Presiden.
254
Sebab, pada dasarnya Bung Karno tidak menghendaki pertumpahan darah. Namun perintah Presiden tidak digubris. Seruan saya juga tidak dihiraukan. Pambantaian
PKI terus berlangsung. Malah, sejak itu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah ditugaskan di
Moskow. Saya juga pernah ditugaskan berkunjung sebagai Menlu ke Beijing, RRC dan diberi tawaran bantuan senjata gratis oleh pimpinan RRC. Sedangkan Moskow
dan Beijing adalah poros utama komunis. Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itu lantas saya dicap pro-PKI. Saya sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidak
dapat berbuat banyak menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah semua itu karena saya menjalankan tugas negara?
Saya merasa cap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai habis- habisan. Pada Sidang Kabinet 11 Maret 1966 di Istana Negara saya menjadi incaran
pembunuhan tentara, meskipun saat itu saya masih pejabat tinggi negara. Ketika Istana Negara dikepung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris dibantu oleh
pasukan RPKAD kelak berubah menjadi Kopassus pimpinan Sarwo Edhie, jelas saya diincar. Dari laporan intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersama
pasukannya akan membunuh saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapi akhirnya saya lolos.
Beberapa hari setelah itu baru 15 menteri ditangkap, termasuk saya. Jika sebelumnya cap pro-PKI terhadap diri saya tidak terbuka, sejak saya ditangkap cap
itu semakin menyebar secara luas. Malah, Soeharto menambahi julukan baru bagi saya: Durno. Sebagai orang Jawa, tentu saya sangat sakit hati diberi julukan itu.
Sebab, Durno adalah tokoh culas dalam pewayangan. Durno suka mengadu-domba. Soal julukan ini saya tidak tahu bagaimana asal-usulnya. Yang tahu tentu hanya
Soeharto. Tetapi, ini memang bagian dari penghancuran diri saya sebagai pengikut setia Bung Karno. Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelah saya ditahan,
setelah Bung karno mendekati ajal politiknya.
Di dalam penjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau disiksa mental, sudah jelas. Interogasi tak habis-habisnya hanya untuk tujuan menjatuhkan mental.
Sebagai mantan pejabat tinggi negara, saat itu mental saya sudah jatuh. Dari pemegang kekuasaan negara berubah menjadi orang tahanan. Mungkin saya
mengalami depresi. Istri saya tentu mengalami hal yang sama. Anak saya satu- satunya masih kecil.
Saya diadili di Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan buat saya bukan sebagai PKI atau terlibat G30S. Sama sekali tidak menyinggung dua hal
pokok itu. Padahal, saya sudah dicap pro-PKI. Saya sudah dijuluki Durno. Saya diadili karena ucapan saya bisa menimbulkan kekacauan saat saya berkata:
Kalau ada teror, tentu bakal muncul kontra-teror. Beberapa setelah G30S meletus, para pemuda yang dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno diadili. Mereka
didukung oleh AD untuk melakukan demonstrasi dan melancarkan teror bagi Bung Karno serta para pendukungnya. Suatu saat saya mengatakan, jika ada teror dari
para pemuda maka bakal muncul kontra-teror entah dari mana.
255
Nah, ucapan saya ini dinilai bisa memancing kekacauan. Saya dituduh melakukan subversi. Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi hukuman mati. Benar-
benar pengadilan sandiwara. Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara
’konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini. Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma.
Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.
Dan, pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S dan PKI di awal kepemimpinan Soeharto, kemudian berdampak sangat buruk bagi Indonesia. Sejak
itu sampai sekarang, pengadilan sandiwara merupakan hal lumrah. Pengadilan sandiwara kasus seputar G30S merupakan semacam yurisprudensi rujukan bagi
serentetan amat panjang pengadilan sandiwara berikutnya. Moral aparat hukum rusak berat. Pengadilan berbagai kasus di-subversi-kan berikutnya: Tanjung Priok,
Lampung, demonstrasi mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diadili dengan pengadilan sandiwara merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus korupsi.
Salah menjadi benar, benar menjadi salah.
Ini sama sekali bukan pelampiasan dendam saya terhadap Soeharto. Tak kurang Presiden KH Abdurrahman Wahid tidak ada hubungannya dengan saya sampai
melontarkan pernyataan bahwa seluruh hakim Jakarta akan diganti dengan hakim impor.
Di dalam penjara, awalnya saya mengalami depresi. Kesalahan saya satu-satunya adalah menjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesal
menjadi pengikut setia Bung Karno, sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan, ini merupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik.
Saya masuk sel isolasi, terpisah dengan napi lain. Meskipun saya tidak disiksa fisik, namun direkayasa sedemikian rupa sehingga batin saya benar-benar tersiksa.
Kondisi penjara yang sangat buruk, suatu saat membuat perut saya terluka dan mengalami infeksi. Saya tahu, itu obatnya sederhana saja. Tetapi, pemerintah tidak
menyediakan. Luka saya dibiarkan membusuk digerogoti bakteri. Ketika luka saya sudah benar-benar parah berulat, baru diberi obat. Rupanya pemberian obat yang
terlambat itu memang disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh. Namun sampai kini sering kambuh, rasa nyeri luar biasa.
Di dalam, saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau teman baru beberapa tahun kemudian dibolehkan. Satu-satunya bacaan saya adalah ayat
suci Al-Qur’an. Tetapi, bacaan ini seperti mengembalikan saya pada suasana masa kanak-kanak yang agamis. Saya malah mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak
saya rasakan ketika saya menjadi pejabat tinggi negara.
Akhirnya saya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi negara adidaya, AS dan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur hidup. Tetapi saya
tetap ditempatkan di sel isolasi mulai dari Salemba Rutan Salemba, LP Cimahi, sampai LP Cipinang.
Pada tahun 1978 anak saya Budojo meninggal dunia karena serangan jantung. Ibunya benar-benar mengalami depresi berat. Sejak saya dihukum, hanya Budojo
256
yang membuat ibunya tabah menghadapi cobaan. Saya bisa membayangkan, betapa isteri saya hidup nelangsa. Dari seorang istri pejabat tinggi negara, menda-
dak berubah menjadi ’istri Durno’, disusul anak satu-satunya pun meninggal dunia. Maka, beberapa bulan kemudian istri saya menyusul Budojo, berpulang ke
rahmatullah. Tinggallah saya sendiri. Tetap kesepian di penjara. Tidak ada lagi yang menjenguk.
Tetapi, diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati pada saya. Dia adalah mantan isteri Kolonel Bambang Supeno. Bambang adalah perwira tinggi AD yang
ikut mendukung G30S atas instruksi Soeharto. Namun, seperti nasib perwira pelaku G30S lainnya, Bambang dihukum dan akhirnya meninggal dunia. Istrinya, Sri
Koesdijantinah, janda dengan dua anak, lantas bersimpati pada saya. Kami akhirnya menikah di LP Cipinang pada tahun 1990. Saya sangat kagum pada Sri yang rela
menikah dengan narapidana. Sangat jarang ada wanita setulus dia.
Kini hidup saya tidak sendiri lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus, tetapi setiap pekan ada lagi orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong.
Sri muncul di saat semangat hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia membawa- kan saya nasi rawon kesukaan saya. Juga dua orang anak Sri sangat perhatian.
kepada saya. Sebagai sesama korban Soeharto, kami menjadi bersatu. Saya lantas menjadi sadar bahwa bukan hanya saya korban kekejaman Soeharto. Ada banyak
korban lain yang jauh lebih sengsara dibanding saya. Sri benar-benar membuat hidup saya bersinar kembali.
Pada tanggal 16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya pulang bersama Sri dan anak-anak. Kami menempati rumah besar di Jalan Imam Bonjol 16 yang dulu saya
tinggalkan. Saya seperti bangun tidur di pagi hari. Saya seperti baru saja bermimpi, 30 tahun dalam kegelapan di penjara. Saya seperti menemukan hari baru yang
cerah. Saya bersujud syukur alhamdulillah, masih diberi kesempatan menghirup udara bebas.
Setahun menempati rumah itu, kami merasa kewalahan. Biaya perawatannya sangat mahal. Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, honor Sri tidak
seberapa. Apalagi saya, penganggur tanpa penghasilan. Tiga jabatan sangat penting saya di zaman Presiden Soekarno tidak dihargai sama sekali. Saya tidak diberi uang
pensiun. Akhirnya kami menjual rumah besar itu. Sebagai gantinya, kami membeli rumah lebih kecil di Jakarta Selatan.
Setelah Soeharto tumbang, banyak orang datang kepada saya, menganjurkan saya membuat memoar. Saya sesungguhnya tidak tertarik. Selain tidak memiliki persiapan
yang matang, juga tidak ada gunanya bagi saya mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Toh saya sudah menjalani hukuman 30 tahun. Toh saya sudah menerima
hinaan disebut Durno, PKI, dan sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah legowo. Usia saya sudah senja. Tinggal meningkatkan amal soleh dan ibadah,
sebagai bekal menghadap Sang Khalik, suatu saat nanti. Apalagi Soeharto akhirnya tumbang juga. Kalau saya mengungkap masa lalu, saya bisa larut dalam emosi.
Maka, anjuran itu tidak saya turuti.
Namun, teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun luar negeri terus menghu- bungi saya, baik melalui telepon maupun bertemu langsung. Mereka mengatakan,
257
sejarah G30S sudah dibengkokkan. Kata mereka, saya harus mengatakan yang sebenarnya untuk meluruskan sejarah. Ini bukan untuk anda, tapi penting bagi
generasi muda agar tidak tertipu oleh sejarah yang dimanipulir, kata salah seorang dari mereka.
Diinformasikan bahwa salah satu pelaku sejarah G30S yang amat penting, Kolonel Abdul Latief juga membuat buku berisi pledoinya dulu. Tetapi ada dugaan bahwa
Latief tidak mengungkap total misteri G30S. Sebab, Mingguan terbitan Hongkong, Far Eastern Economic Review edisi 2 Agustus 1990 memberitakan bahwa memoar
Latief yang lengkap disimpan di sebuah bank di luar Indonesia dengan pesan, boleh dipublikasikan jika Latief dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri.
Saya sempat bimbang. Keinginan saya mengubur masa lalu seperti digoyang begitu kuat. Apalagi banyak penulis kenamaan datang kepada saya, siap menuliskan
memoar saya. Dalam kebimbangan itu saya ingat pada seorang wartawan muda yang paling sering mewawancarai saya, Djono W. Oesman. Dia saya hubungi dan
saya minta menuliskan cerita saya, sebab saya percaya padanya. Dia pun setuju. Dialah penyunting buku ini. Hanya saya dan dia yang menyusun potongan-potongan
peristiwa yang saya alami dan saya ingat.
Saya menyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam buku ini. Maklum, G30S adalah masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi saya dalah
pelaku sejarah G30S yang mengalami semua kejadian sebelum, saat meletus, sampai dampak peristiwa itu. Mungkin, inilah sumbangan saya, bagian dari amal
ibadah untuk bekal kehidupan saya di akhirat kelak. Semoga ada manfaatnya. Amin.
KOMENTAR
Teror, teror, dan teror. Tidak henti-hentinya. Saling susul-menyusul. Seolah tiada yang mampu menghentikan teror mental dan fisik yang dimulai sejak 1965,
dilanjutkan pada Pemilu 1972. Gembar-gembor bahaya laten PKI terus didengung- dengungkan, untuk memperkuat rezim Soeharto. Teorinya, penguasa Orde Baru
selalu menciptakan musuh semu bagi rakyat. Rakyat diberi musuh semu berupa momok bahaya laten PKI. Inilah teror mental. Sedangkan bagi mereka yang kritis,
seperti para mahasiswa, dikenakan teror mental dan fisik.
Soeharto yang pada 1966 menggerakkan mahasiswa, dalam perjalanan kekuasaan- nya malah meneror mahasiswa. Terhadap mereka yang kritis dan suka berdemo,
dilakukan penangkapan, interogasi, bahkan disiksa. Pada pertengahan 1970-an sudah beredar anekdot yang mengkritik keserakahan keluarga Soeharto. Misalnya,
kalangan mahasiswa memberi julukan istri Soeharto, Siti Suhartinah biasa dipanggil ibu Tien dengan julukan Ibu Tien Persen. Artinya Ibu Sepuluh Persen. Menurut
pembicaraan di kalangan mereka, ibu Tien sering minta komisi 10 jika ada investor asing masuk ke Indonesia.
Teror yang disebar oleh rezim Orde Baru seolah-olah merupakan unjuk kekuatan setelah membantai jutaan kaum komunis, keluarga, dan simpatisannya. Seolah
diumumkan, jangan macam-macam dengan penguasa. Jangan coba-coba melawan penguasa. Dan, kritik dari generasi muda juga diartikan sebagai melawan penguasa.
Maka, harus dihabisi.
258
Bukti dari kesimpulan ini sudah kita saksikan bersama, bagaimana perjalanan rezim Orde baru membunuh kritik dari masyarakat. Mulai dari teror Pemilu 1972, dilanjut-
kan dengan teror, penangkapan serta penyiksaan terhadap mahasiswa yang berdemo pada 5 Januari 1974 yang dikenal dengan Malari, yang merupakan
singkatan dari Lima Januari.
Lantas dilanjutkan tindakan represif tentara kepada mahasiswa yang berdemo pada tahun 1978. Demo damai umat Islam di tahun 1984 menghasilkan pembantaian
Tanjung Priok. Kekerasan demi kekerasan dialami rakyat. Setelah saya bebas, kemudian Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya, kekerasan menjadi warisan buruk
kepada masyarakat. Perkelahian massal di Sambas, Kalimantan Barat yang saya baca di media massa, memamerkan pembantaian yang mengerikan.
Di koran dipasang foto kepala manusia tergeletak di pinggir jalan. Isu dukun santet di Jatim malah lebih gila lagi. Kepala manusia yang sudah terpenggal, ditusuk dengan
bambu runcing dan diarak keliling kota. Di Malang, tidak jauh dari kota kelahiran saya, kepala manusia yang sudah terpenggal diikat lantas diseret dengan sepeda
motor yang melaju keliling kota. Peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan belakangan ini sudah bukan dilakukan oleh tentara lagi, tetapi oleh rakyat terhadap rakyat.
Tetapi, ini semua adalah warisan dari pembantaian kaum komunis yang sangat brutal di masa lalu – pelajaran buruk yang diwariskan ke generasi berikutnya.
Kudeta merangkak itu bergelimangan darah. Pertama, darah para jenderal yang dibantai pada tanggal 1 Oktober 1965. Kedua, darah Untung dan Soepardjo yang
dimanipulasi. Ketiga, darah Sjam Kamaruzzaman yang dikhianati. Keempat darah jutaan kaum komunis, keluarga, simpatisan komunis, keluarga mereka, kaum buruh,
dan para petani.
Pembaca yang budiman, mengetahui kejahatan kemanusiaan dan tidak mencegah saja sudah merupakan kejahatan terhadap manusia. Lantas, di mana tempat
Soeharto yang luput dari hukum hingga buku ini ditulis? Saya berada di rumah sakit RSPAD Gatot Subroto sampai menjelang tengah malam, lantas pulang ke rumah,
kata Soeharto.
Sekali pun kita mencoba melupakan sejenak bahwa ucapan Soeharto itu dusta, namun pulang ke rumah dan tidur pulas setelah mengetahui pasti bahwa beberapa
jam lagi rekan-rekan jenderal akan bertemu maut, betapa pun adalah kejahatan. Kualifikasi yang bagaimana yang semestinya diberikan terhadap kejahatan Soeharto
yang telah membunuh jutaan manusia dan membuat sebagian lain merana di penjara? Ya, kualifikasi apa?
Penghancuran PKI yang diikuti dengan pembunuhan jutaan manusia mendapat dukungan kekuatan imperialisme internasional, terutama Amerika Serikatyang
mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Ini bentuk penghancuran struktur di suatu negara Indonesia yang sangat besar sejak Perang Dunia-II. Kekejamannya tidak
pernah dibayangkan sebelumnya, oleh siapa pun, termasuk oleh kita sendiri, juga termasuk saya yang menyaksikan langsung semua peristiwa di tingkat elite politik
Indonesia saat itu.
259
Peristiwa ini bukan hanya peristiwa intern Indonesia, tetapi Indonesia dan dunia. Ini merupakan letupan konflik yang sebenarnya sudah lama ada antara mahakuasa
imperialisme internasional dengan hak menentukan nasib sendiri bangsa Indonesia di pihak lain. Indonesia hanyalah tempat peristiwa. Sedangkan karakternya bersifat
dunia. Ini sebuah tragedi yang secara moral merupakan kejahatan peradaban umat manusia. Sebagai konsekuensi logis dari peristiwa ini adalah memfasiskan kehidu-
pan negara, bertentangan dengan harapan ahli-ahli teori modernisasi.
Hasil dari semua itu adalah penyebaran kapitalisme, termasuk ke Indonesia. Tetapi di Indonesia, penyebaran kapitalisme tidak diikuti dengan lahirnya negara borjuis
demokrasi liberal, seperti di AS atau Eropa Barat. Itu tidak tercipta di sini. Sebagai gantinya, ternyata, perkembangan kapitalisme di sini melahirkan negara birokrasi
militer. Pada perkembangan berikutnya melahirkan berbagai persoalan bangsa yang sulit diatasi oleh generasi penerus.
Di sisi lain, kebungkaman terhadap kejahatan manusia dan kemanusaiaan harus segera diakhiri. Atas nama kawan-kawannya, keluarga dan kerabat saya, atas nama
semua anak bangsa yang dibunuh, atas nama anak yang kehilangan orangtua mereka, atas nama anak-anak yang selama bertahun-tahun ikut ibu di penjara, atas
nama golongan mana pun yang sudah dianiaya dan disembelih oleh rezim Soeharto, saya serukan, akhiri kebungkaman ini. Kepada mereka yang merasa sebagai
demokrat, baik di dalam maupun di luar negeri, pecahkan kebungkaman ini. Hari sudah tidak lagi terlalu pagi. Matahari sudah di atas ubun-ubun.
Eksistensi rezim kriminal Soeharto ditegakkan oleh segelintir elite Indonesia, para jenderal fasis, pendukung sipil dan teknokratnya, serta kaum konglomerat yang
kemudian terbukti serakah dan rakus. Mereka mengembangkan model kapitalisme abad ke-18 yang tak manusiawi dalam memacu kapitalisme di Indonesia selama
lebih dari tiga dekade.
Hari ini tidak lagi terlalu pagi kita memasuki titik awal. Saya bangga, karena titik awal ini dimulai oleh generasi muda Indonesia yang tidak ragu menghadapi kekuatan
kriminal dan uang hasil korupsi rezim Orde baru. Luruskanlah sejarah yang telah mereka bengkokkan selama tiga dekade ini. Pecahkan kebungkaman
Dr. H Soebandrio, Kesaksianku tentang G30S, KOMENTAR 18-9-2000 0 0 0 0 0 0
Tentang Matinya Para Jendral
Ben Anderson Orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang
bertimbun dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan
Mahmilub, saya temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu.
Dokumen itu adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang jendral Yani,
Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan, dan seorang letnan muda
260
Tendean yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah kita
miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang telah lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar dan
majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah.
Bagian atas setiap visum et repertum otopsi menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku
Komandan KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat RSPAD. Tim terdiri dari dua orang dokter tentara termasuk Brigjen Roebono
Kertopati yang terkenal itu, dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di antara ketiga orang ini yang paling
senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu ahli paling terkemuka dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul
4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah malam tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh karena
dari berita-berita pers kita ketahui mayat-mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya di mana para pembunuh telah melemparkannya menjelang
siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam setelah pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan
sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut diperhatikan.
Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter tersebut tidak segera
disampaikan kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan.
Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama: 1. pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu;
2. identifikasi atas mayat; 3. eskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan;
4. raian rinci tentang luka-luka; 5. kesimpulan tentang waktu dan penyebab kematian;
6. pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu, 7. bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagai-
mana mestinya. Karena gambaran umum tentang matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana halnya
masyarakat pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita
Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut. Walaupun ada beberapa suratkabar non-militer yang tetap terbit, namun pers kiri
telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedangkan radio dan televisi yang dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya menjelang 1 Oktober,
tidak mengudara. Karena itu perlu diperbandingkan berita-berita yang disajikan oleh
261
suratkabar-suratkabar tentara tersebut, dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang
bisa kita simpulkan dari dokumen-dokumen lampiran itu. Mengingat bahwasanya dua suratkabar tersebut adalah harian-harian pagi, sehingga
edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah ditidurkan sementara para dokter masih menyelesaikan pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka tentang hari
itu barangkali tergesa-gesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang lebar itu. Angkatan Bersenjata memuat beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang telah
membusuk, dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai perbuatan biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan. Berita Yudha
yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat-mayat itu penuh dengan bekas- bekas penyiksaan. Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan sebelum
ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita. Mayjen Suharto sendiri dikutip menyatakan, jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala
jenazah-jenazah itu, betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang- petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September. Suratkabar itu
meneruskan dengan menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah ditembak rubuh di rumahnya, ia dilemparkan hidup-
hidup ke dalam sebuah truk dan terus menerus disiksa sampai penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya. Bukti-bukti tentang penyiksaan ini ditunjukkan dengan
adanya luka-luka pada leher dan mukanya, dan kenyataan bahwa anggota-anggota tubuhnya tidak sempurna lagi. Apa yang dimaksud oleh kata-kata yang agak kabur
itu menjadi lebih jelas pada hari- hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa matanya Yani dicungkil. Berita ini
dikuatkan dua hari kemudian oleh Berita Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam sehelai kain hitam.
Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, tentang bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan
tembakan senjata api di rumah masing-masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan malam dengan deru mesin-
nya yang seperti harimau haus darah. Sementara itu Berita Yudha memberitakan tentang bekas-bekas siksaan pada kedua tangan Harjono.
Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh penteror-penteror biadab, namun
ciri-cirinya masih bisa dikenali. Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya digorok, dan kedua bola matanya dicungkil. Harian ini
pada hari berikutnya mengutip saksi mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara kurban beberapa ada yang matanya keluar, dan
beberapa lainnya ada yang dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan. Pada tanggal 11 Oktober Angkatan
Bersenjata menulis panjang lebar tentang matinya Tendean, dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sesudah diserahkan
kepada para anggota Gerwani Gerakan Wanita Indonesia. Ia dijadikan benda permainan jahat perempuan- perempuan ini, digunakan sebagai bulan-bulanan
sasaran latihan menembak sukwati Gerwani.
262
Begitu suratkabar-suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera serta merta mengikuti. Misalnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah
militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa alat pencungkil yang digunakan untuk jendral-jendral itu telah ditemukan oleh pemuda-pemuda anti
komunis, ketika mereka menyerbu gedung-gedung Partai Komunis, di desa Haru- panggang di luar kota Garut. Walaupun tanpa diterangkan, mengapa partai tersebut
memandang desa itu cocok untuk menyimpannya. Pada tanggal 25 Oktober suratkabar ini juga memuat pengakuan seseorang bernama Djamin, anggota
organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang mengatakan telah menyaksikan bagaimana Jendral Suprapto telah disiksa di luar batas kesusilaan
oleh anggota-anggota Gerwani. Pengakuan-pengakuan serupa itu dimuat berturut- turut, dan memuncak pada cerita menarik tentang Nyonya Djamilah, disiarkan pada
tanggal 6 Oktober oleh Dinas Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan sebagai hamil tiga bulan, pimpinan Gerwani dari
Pacitan berumur lima belas tahun, mengaku bahwa ia dan kawan-kawannya di Lubang Buaya telah menerima pembagian pisau kecil serta silet dari anggota-
anggota pasukan Gerakan 30 September. Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti perintah orang- orang itu pula, mulai memotong dan
menyayat-sayat kemaluan jendral-jendral yang telah mereka tangkap itu. Dibagi- bagikan pisau kecil dan pisau silet... menusuk-nusuk pisau pada kemaluan orang-
orang itu. Api Pantjasila, 6 November 1965. Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang telah dikuasai militer itu, pada tanggal 30 November melukiskan
bagaimana orang-orang Gerwani itu dengan mudahnya telah menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut serta dalam Gerakan 30 September.
Sementara itu pada tanggal 13 Desember Angkatan Bersenjata melukiskan mereka bertelanjang menarikan Tarian Bunga Harum di bawah pimpinan Ketua Partai
Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum terjun dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda Rakyat.
Di dalam cerita-cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan- bulan Oktober, November dan Desember ini -- sementara itu pembantaian besar-besaran terhadap
orang-orang yang berhubungan dengan Partai Komunis terus berjalan -- terkandung dua hal yang sangat menarik diperhatikan. Pertama, ditiup-tiupkan bahwa tujuh
kurban itu mengalami siksaan yang mengerikan -- khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua, ditonjolkan bahwa pelaku-pelaku kejahatan
adalah orang-orang sipil dari organisasi yang berafiliasi dengan komunis.
Apakah yang diberitakan kepada kita oleh laporan para ahli forensik pada tanggal 5 Oktober itu? Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata pun dari para
kurban yang telah dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun masih utuh. Kepada kita bahkan diberitakan bahwa empat berkhitan dan tiga tidak berkhitan.
Kecuali itu, barangkali perlu kurban-kurban itu dibagi ke dalam dua golongan: mereka yang dengan sebagian besar bukti non-forensik menunjukkan telah dibunuh
dengan ditembak selagi masih di rumah oleh para penculik mereka, yaitu Jendral Yani, Jendral Pandjaitan, dan Jendral Harjono; dan mereka yang dibunuh sesudah
dibawa ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman, Jendral Suprapto, dan Jendral Sutojo, serta Letnan Tendean.
263
Golongan I. Berita paling lengkap tentang kematian mereka terbit jauh sesudah peristiwa terjadi: tentang Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; Pandjaitan
dalam Kompas tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 November, dan Berita Yudha tanggal 13 Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha Minggu
tanggal 28 November. Semua pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral-jendral itu telah dibunuh dengan mendadak dan seketika di rumah dengan berondongan
tembakan yang dilakukan oleh anggota-anggota Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah pimpinan operasi Lettu Doel Arief. Gambaran demikian hanya sebagian saja
dibenarkan oleh laporan forensil. Para ahli forensik itu menyatakan bahwa luka-luka pada tubuh Yani sajalah yang merupakan sepuluh luka tembuk masuk dan tiga
tembus. Pandjaitan mengalami tiga luka tembak pada kepala, serta luka robek kecil di tangan. Pada luka-luka yang dialami Harjono timbul tanda tanya, karena tidak
disebut-sebut sebagai akibat tembakan. Penyebab kematiannya rupanya adalah torehan panjang dan dalam pada bagian perut, luka yang lebih mungkin disebabkan
oleh bayonet ketimbang pisau lipat atau silet. Sebuah luka serupa yang tak mematikan terdapat pada punggung korban. Cedera lain satu-satunya digambarkan
pada tangan dan pergelangan tangan kiri, luka-luka disebabkan oleh barang tumpul. Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka-luka ini kecuali
harus mengatakan, bahwa luka-luka tesebut tidak mungkin karena siksaan -- jarang penyiksa memilih pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka -- dan luka
itu barangkali karena mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki dalamnya.
Golongan II. Cerita lengkap tentang matinya korban-korban ini terdapat dalam suratkabar-suratkabar berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita
Yudha serta Angkatan Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha Minggu tanggal 5 Desember; Sutojo, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November.
Terhadap empat orang inilah berita-berita tentang siksaan biadab dan seksual paling banyak diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan forensik adalah sebagai
berikut:
1. S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan
pada kepala; dan, di samping itu, robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, semuanya sebagai akibat benda tumpul dan
keras -- popor bedil atau dinding dan lantai sumur -- tetapi jelas bukan luka- luka siksaan, juga tidak sebagai akibat silet atau pisau lipat.
1. Soeprapto mati oleh karena sebelas luka tembak pada berbagai bagian
tubuhnya. Luka-luka lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari benda tumpul pada kepala dan muka; satu disebabkan oleh
benda keras tumpul pada betis kanan; luka- luka dan patah tulang itu akibat benda tumpul yang sangat keras pada bagian pinggul dan pada
paha kanan atas; dan tiga sayatan yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disebabkan oleh bayonet. Sekali lagi benda
tumpul mempertunjukkan terjadinya benturan dengan benda-benda keras yang besar dan berbentuk tak menentu popor bedil dan batu-batu sumur,
dan bukannya silet atau pisau,
264
1. Sutojo mengalami tiga luka tembak termasuk satu yang fatal pada kepala,
sedang tangan kanan dan tempurung kepala retak sebagai akibat benda tumpul keras. Sekali lagi kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang
tengkorak, dan benda pejal berat yang memberikan kesan popor bedil atau batu-batu sumur.
4. Tendean mati akibat empat luka tembak. Kecuali itu para ahli tersebut menemukan luka gores pada dahi dan tangan kiri, demikian juga tiga luka
akibat trauma pejal pada kepala. Tak terdapat sepatah kata pun di laporan-laporan ini tentang adanya siksaan yang
tak tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan saja karena hampir semua luka-luka bukan tembak itu dilukiskan sebagai akibat dari
benda pejal dan keras, tetapi karena pembagiannya secara jasmaniah pun perge- langan kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan lain-lain -- pada
umumnya tampak sembarangan. Adalah sangat menarik, bahwa sasaran para penyiksa yang lazim yaitu pelir, dubur, mata, kuku, telinga, dan lidah tidak disebut-
sebut. Maka dengan cukup meyakinkan bisa dikatakan bahwa enam orang dari korban-korban itu mati oleh tembakan senjata api perihal Harjono yang mati di
dalam rumahnya tetap membingungkan; dan jika tubuh mereka mengalami tindak kekerasan lain adalah akibat pemukulan dengan gagang bedil yang mematahkan
peluru-peluru mematikan itu, atau cedera yang mungkin diakibatkan karena jatuh dari ketinggian 36 kaki -- yaitu kira-kira tiga tingkat lantai -- ke dalam sumur yang
berdinding batu.
Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada Kantor Berita Indonesia Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang
telah membesar-besarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter- dokter yang telah memeriksa mayat para kurban menyatakan, tentang tidak adanya
perusakan mengerikan pada mata dan alat kelamin sepeti telah diberitakan dalam pers Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965, dan FBIS, 13 Desember 1965.
Sumber: Edi Cahyono 0 0 0 0 0
Orde Baru Sebagai Boneka International Gangster Capitalism
Apakah orde baru adalah pemerintahan boneka buatan Amerika? Inilah pertanyaan yang muncul di benak saya ketika membaca buku yang ditulis oleh Geoff Simons
berjudul Indonesia: The Long Oppression. London: MacMillanN.Y.: St. Martin, July 2000.
Sebagian besar dari uraian Simon tentang kekejaman regim militer dalam masa pemerintahan otoriter orde baru dalam buku setebal 304 halaman itu, bukanlah hal
baru bagi masyarakat kita, yang secara dekat mengamati dan mengalami kekejaman system pemerintahan orde baru.
Sebagaimana terungkap dengan sangat jelas pada judul buku itu, uraian Simons membangkitkan kesadaran dunia internasional pada umumnya dan warga Indonesia
265
pada khusunya akan sebuah bangsa yang membangun sejarahnya lewat suatu opresi yang sangat panjang. Sejarah nasional mencatat bahwa sejak Portugis
mendarat di bumi pertiwi pada abad ke 16 hingga kejatuhan Soeharto pada akhir abad ke 20 ini, masyarakat kita hidup dalam situasi terjajah dari kekuatan opresif
yang satu ke kekuatan opresif yang lain, dari kesadisan kolonialisme asing ke kesadisan kediktatoran penguasa bangsa sendiri orde baru.
Orde baru memulai kekuasaannya dengan darah, menerapkan system kediktatoran- nya dengan darah, dan mengakhiri kekuasaannya juga dengan darah. Sampai pada
akhirnya, orde baru menghantar kita pada babak baru sejarah yang Asvi Warman Adam sejarahwan LIPI sebut sebagai “sejarah korban” Suara Pembaharuan,
3112000.
Dibentengi oleh kekuatan penguasa asing, khususnya Amerika, Inggris, Australia dan Jepang, kelompok negara yang Simons sebut sebagai international gangster
capitalism, penguasa orde baru terus menerapkan system opresi yang tak berperi- kemanusiaan atas rakyat bangsanya sendiri, demi interest imperialisme kooperatif
gaya baru, yang beraksi atas nama agung “globalization”.
Menghadapi berbagai aksi opresi tak berperikemanusiaan selama masa pemerin- tahan orde baru, kelompok negara yang tergabung dalam international gangster
capitalism itu berusaha untuk menghadirkan diri sebagai pahlawan yang ingin menyelamatkan bangsa Indonesia melalui kritikan serta berbagai ancaman embargo
dan lain sebagainya. Tapi siapa harus mengeritik siapa?
Simons melukiskan bahwa Amerika, Inggris, Australia dan Jepang memainkan peran sentral dalam melahirkan figure yang tampil sebagai penguasa yang kejam selama
masa pemerintahan orde baru. Lewat coup d’etat, Amerika telah menghantar Soeharto ke pucuk pimpinan orde baru. Amerika juga telah membesarkan ABRI yang
setelah kejatuhan Soeharto dituduh sebagai kambing hitam atas semua aksi pemerkosaan nilai kemanusiaan di negara ini.
Simons menampilkan perspektif baru penemuan sejarah hasil penelitiannya sendiri untuk melengkapi sekaligus mempertegas kemiripan berbagai warna sejarah yang
muncul sebelum dan sesudah kejatuhan orde baru. Sebelum kejatuhan Soeharto, transparansi sejarah orde baru sudah diungkapkan oleh beberapa ilmuwan asing.
Dalan artikel berjudul Lessons of the 1965 Indonesian Coup 1991, Terry Cavanagh melukiskan penemuan historis serupa. Cavanagh menulis, Kudeta berdarah di
Indonesia merupakan hasil dari niat imperialisme AS untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan alam dan sumber-sumber strategis dari kepulauan yang sering
dinamakan Permata Asia jewel of Asia. Amerika yang sejak awal abad ke 20 telah menguasai eksploitasi minyak bumi Caltex di Sumatera dan karet di negeri ini, pasti
tidak mau kehilangan interest ekonominya ketika PKI berhasil menguasai massa dan kaum buruh untuk berjuang melawan eksploitasi kaum borjuis asing termasuk
Amerika yang pada waktu itu menguasai sebagian besar kekayaan alam di negari ini.
Amerika menyadari bahwa ancaman kekuatan massa terhadap interest ekonomi dan politiknya di bumi pertiwi ini hanya bisa dipatahkan dan dikuasai lewat pembentukan
266
pemeritahan dictator yang dipimpin oleh kaum militer. Untuk itu bantuan finansial, penyediaan perlengkapan perang dan latihan bagi kaum militer Indonesia
merupakan langkah konkrit Amerika untuk mempersiapkan apa yang kita kenal sebagai peristiwa penganyangan PKI. Cavanagh menulis, Kudeta di Indonesia
tanggal 1-2 Oktober 1965 adalah hasil dari sebuah operasi yang sudah lama direncanakan secara hati-hati oleh CIA dan komandan-komandan militer TNI yang
dilatih oleh AS.
Tentu saja keberhasilan Soeharto dan pasukannya menjalankan amanat CIA untuk melaksanakan holocaust pada tahun 1965, serta memulai babak baru pemerintahan
dictator orde baru merupakan kemenangan bagi Amerika untuk menguasai eksploitasi kekayaan alam di negari ini. Cavanagh membenarkan kenyataan ini
dengan melukiskan bahwa setelah kudeta 1965, kegunaan kediktatoran Soeharto bagi kepentingan imperialisme AS telah tergaris bawahi dalam laporan Departemen
Luar Negeri AS ke Konggres AS pada tahun 1975.
Sementara itu, berdasarkan dokumen CIA dan wawancara langsung dengan para diplomat Amerika, khususnya Marshal Green, duta besar Amerika yang sangat
berpengaruh selama masa penganyangan PKI, Mike Head, dalam artikelnya berjudul US Orchestrated Suharto 1965-66 Slaughter in Indonesia , - artikel yang dibagi atas
tiga bagian dan dipublikasikan oleh World Socialist Web Site WSWS edisi 19, 20 da 21 July 1999, - secara tranparant melukiskan keterlibatan diplomat Amerika dan CIA
agen rahasia Amerika, dalam keseluruhan proses penganyangan PKI and perencanaan pembentukan pemerintahan militer dibawah komando Soeharto.
Warna baru penulisan sejarah dari para ilmuwan sejarah asing ini tentu saja bukanlah sesuatu yang begitu mudah untuk segera dipercaya oleh nurani polos anak
bangsa yang selama 32 tahun diindroktinasikan oleh kebenaran sejarah ala orde baru. Selama 32 tahun, kita telah diyakinkan bahwa penguasa orde baru adalah
pahlawan yang telah menyelamatkan bangsa ini dari pengaruh komunis.
Tapi situasi politik setelah kejatuhan orde baru menunjukkan indikasi yang sangat kontras. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa fugur-figur yang sekian lama
dianggap sebagai pahlawan dan penyelamat bangsa, kini tidak lebih dari cuma seorang pengkianat bangsa. Penyembahan atas kesakralannya berubah menjadi
caci-maki atas pengkianatannya.
Dengan meragukan sejarah nasional versi orde baru dan mengungkapkan trans- paransi sejarah versi baru, Simons, Mike dan Cavanangh menantang kita untuk
secara kritis meninjau kembali kebenaran sejarah nasional dan melihat siapa melakukan apa kepada siapa dalam sejarah bangsa kita. Karena sebuah bangsa
yang kuat dan reformasi yang sesungguhnya tidak akan bertahan kalau dibangun di atas kepalsuan sejarah.
Karena itu, kebenaran sejarah nasional harus ditulis kembali oleh anak-anak negeri ini. Karena mengungkapkan kebenaran sejarah adalah bagian utama dari proses
reformasi itu sendiri. Kalau kebenaran sejarah tidak diungkapkan, maka selalu ada kemungkinan bahwa kita akan kembali ke tapak sejarah yang sama. Berpedoman
pada sejarah nasional yang kabur, seorang pengkianatpun bisa dimitoskan sebagai seorang pahlawan.
267
Tentu saja, usaha untuk mengungkapkan kebenaran sejarah yang sesungguhnya bukan hal yang sangat mudah. Tapi harus disadari bahwa pemalsuan sejarah oleh
penguasa yang otoriter bukanlah pengalaman historis yang secara eksklusif hanya terjadi dalam sejarah bangsa kita. Kalau kita mau memberikan sebuah contoh,
sejarah Jepang di bawah Kaisar Showa bisa diangkat sebagai suatu perbandingan.
Di bawah kaisar Showa Jepang juga mengalami situasi represif yang mirip dengan situasi opresif seperti yang kita alami di bawah pemerintah orde baru. Selama Kaiser
Showa masih menduduki kursi kekaiseran di Jepang, tidak ada orang yang berani mengungkapkan kebenaran sejarah sekitar tragedy perang yang diprakarsai oleh
kaisar Showa selama perang dunia II di Asia dari tahun 1931 sampai tahun 1945. Malah setelah kematian kaisar Showa, Jepang membutuhkan 11 tahun lamanya
untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya dari aksi kesadisan sejarah dan mental kolonial Kaisar Showa terhadap bangsa-bangsa di Asia.
Di tengah krisis masa transisi, dimana bangsa berjalan di atas hukum yang borok dan dikomando oleh pemimpin yang membingungkan dan lemah kredibilitasnya,
agak sulit bagi kita untuk menentukan secara pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis kembali kebenaran sejarah bangsa ini. Tapi kesadaran
bahwa sejarah ala orde baru adalah sejarah yang rapuh, palsu dan eksploitatif, harus menjadi awal yang memotivasi kita untuk segera menulis kembali sejarah bangsa
dan membangun konstruksi sejarah yang benar dan kukuh bagi generasi menda- tang.
Karena itu, warna baru dari transparansi sejarah orde baru yang kini ramai diungkapkan baik oleh sejarahwan dalam negeri maupun luar negeri, sebenarnya
harus ditanggapi sebagai suara-suara kritis yang mengundang setiap manusia di negeri ini untuk membebaskan diri dari sikap terpaku pada kebanggaan hampa dan
kekaguman murah atas kesadisan drama politik yang diperagakan oleh international gangster capitalism,yang telah mengunakan kediktatoran orde baru untuk mengem-
bangkan imperialisme kooperatif gaya baru dan mengeksploitasi kekayaan alam di bumi berlabel Jewel of Asia ini. Suara ingin merdeka yang terus diperdengarkan
hingga saat ini di Aceh and Irian jaya mungkin harus dipahami sebagai reaksi ingin merdeka dari penerapan sistem imperialisme kooperatif yang memeras rakyat dan
mengeksloitasi kekayaan alam di daerah itu.
Dalam konteks kedasadaran ini, reformasi, khususnya reformasi historis, harus menjadi awal dari usaha kita untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa
bangsa kita bukan cuma boneka berlabel permata Asia jewel of Asia. Inilah PR yang harus kita jinjing bersama untuk mengarungi arus dasyat globalisasi abad ke
21.
Steven Mere, Mahasiswa Universitas Nanzan, Nagoya, Jepang 1
268
TIGA FAKTOR PENYEBAB G30S
oleh: A. Karim DP KEJADIAN terpenting di tanahair kita dewasa ini ialah terpilihnya Gus Dur dan Mbak
Mega menjadi presiden dan wakil presiden RI yang baru, yang menandai tumbangnya rezim otoriter yang memasung rakyat selama 34 tahun. Saya mengu-
capkan selamat
Sekarang, apa yang kita harapkan dari Gus Dur dan Mbak Mega? Yalah dikembalikannya kedaulatan ke tangan rakyat, dan diberdayakan untuk mengakhiri
ketertindasannya selama 34 tahun. Kemudian, dalam hubungannya dengan sara- sehan kita hari ini, perkenankanlah saya mengingatkan tentang status sosial politik
Bung Karno, ayahandanya Mbak Mega, yang telah memproklamasikan kemerdeka- an Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 itu. Mengutip keterangan seorang
kawan saya yang sarjana hukum, Bung Karno sampai saat itu sesungguhnya masih dalam status sebagai tapol Belanda. Alasannya, masih menurut kawan saya itu,
karena beliau ditinggalkan begitu saja di Padang oleh serdadu-serdadu Belanda yang mengawalnya dari Bengkulu tempat pembuangannya yang terakhir, tanpa
diberi Surat Pembebasan atau diberitahukan bahwa beliau sekarang dibebaskan. Itu berarti, bahwa Bung Karno telah membebaskan dirinya sendiri sebagai tawanan
pemerintah Hindia Belanda. Kemudian, sesudah Hindia Belanda takluk kepada Jepang, pemerintah militer Jepang pun tidak pernah membebaskannya.
Problem ini saya kemukakan di sini, mungkin dengan demikian kita nanti akan mendapat penjelasan dari pakar hukum tata negara, yaitu Prof. Loebby Luqman SH
dan Pieter Kasenda. Beliau berdua yang hadir di sini, juga akan tampil ke mimbar sesudah saya.
Bagi Pakorba kejelasan ini penting untuk penulisan ulang sejarah. Karena sesudah Jenderal Suharto menggulingkan Bung Karno, kembali Bung Karno dijadikannya
tapol. Malah status Bung Karno sebagai tapol Orba itu disandangnya terus, sampai beliau meninggal di dalam tahanan tanpa pernah dibuktikan kesalahannya. Saya
pikir, beliau sangat patut kita angkat menjadi anggota Pakorba anumerta.
Saya ingin mengingat kembali tentang dua tokoh Presiden RI itu. Ketika Bung Karno berjuang hidup-mati untuk kemerdekaan Tanahairnya, Jendral Suharto yang telah
menapolkan Panglima Tertingginya itu, adalah Kopral KNIL dari Tentara Kerajaan Belanda. Ia menerima latihan kemiliterannya di Gombong, dan kemudian dipindah ke
Malang setelah pangkatnya dinaikkan menjadi Sersan. Semua kita mengerti bahwa tugas pokok serdadu KNIL yalah menghancurkan gerakan kemerdekaan. Bukan
berperang melawan musuh dari luar
Dalam otobiografinya yang ditulis oleh G.Dwipayana dan Ramadan K.H, Suharto mengatakan bahwa ia menemukan kesenangan dan tertarik untuk benar-benar bisa
hidup dari pekerjaannya sebagai kopral KNIL. Apalagi lima tahun kemudian, setelah pangkatnya naik menjadi sersan.
Sesudah Jenderal Suharto berhasil menggulingkan Presiden Sukarno pada tahun 1966 dengan menuduhnya sebagai dalang G30S-PKI, beliau lalu dijadikannya
sebagai tapol sampai meninggal di dalam tahanan. Seperti sudah saya kemukakan
269
di atas, tanpa bisa dan tanpa pernah dibuktikan kesalahannya. Sesudah Bung Karno meninggal, barulah Jenderal Suharto mengatakan: “ Kecurigaan bahwa beliau
terlibat dalam G30S-PKI sudah bisa dikesampingkan, karena hal itu belum bisa dibuktikan.” Suharto, Otobiografi, halaman 245.
Jadi, TAP MPRS no.XXXIII1967 yang direkayasa oleh Ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution untuk menggulingkan Presiden Sukarno, sepenuhnya berlandaskan
kepalsuan semata-mata. Karena ternyata setelah meninggalnya, Bung Karno diakui tidak terbukti terlibat G30S-PKI. Mula-mula dikatakan G30S adalah gerakan yang
hendak mengkudeta Presiden Sukarno. Setelah tindakan kudeta ternyata tidak ada, kasusnya dibalik dengan mengatakan Bung Karno adalah G30S-PKI Agung.
Gestapu Agung, kata mereka.
Seminggu sebelum Bung Karno meninggal, yaitu tanggal 15 Juni 1970, Bung Hatta menulis surat kepada Jenderal Suharto yang menyesali sikapnya, karena setelah
tiga tahun “mengusut kasus Bung Karno”, belum juga menghadapkan yang bersang- kutan ke pengadilan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kata Bung Hatta dalam
suratnya, banyak orang percaya bahwa Sukarno tidak bersalah, dan bahwa peristiwa G30S-PKI hanya dipergunakan untuk menjatuhkan Sukarno. Bung Hatta menambah-
kan, bila Sukarno meninggal tanpa dibawa ke pengadilan, ia khawatir para pengikutnya bisa menuduh pemerintah “sengaja membunuh dia”. Baca: Moh, Hatta,
Otobiografi Politik, hal. 701-702.
Bukankah Bung Karno memang telah dengan sengaja dibunuh, seperti yang dikhawatirkan Bung Hatta itu?
Bung Karno telah gugur bersama tiga juta rakyat Indonesia yang dibantai oleh rezim Suharto, seperti diakui oleh Jenderal Sarwo Edhie Wibowo sebelum ia meninggal
kepada Bapak Permadi SH, yang juga anggota pengurus Pakorba dan anggota DPRMPR Fraksi PDI-Perjuangan. Sebetulnya Bapak Permadi SH hanya ingin me-
nanyakan, apakah benar orang-orang G30S yang terbunuh berjumlah dua juta orang seperti yang dikatakan oleh Ibu Ratnasari Dewi, istri Bung Karno yang orang Jepang
itu. Sarwo Edhie menjawab, bukan dua juta tapi tiga juta.
Jika angka yang disebut Jenderal Sarwo Edhie dianggap terlalu banyak, ada angka lain yang lebih sedikit. Yaitu angka dari Panitia Amnesti Internasional yang berpusat
di London, yang menurutnya hanya satu juta saja. Ada lagi angka lain yang menarik, yaitu dari K.H. Abdurahman Wahid alias Gus Dur yang sekarang Presiden kita.
Dalam wawancaranya dengan wartawan mingguan “Editor” No. 49, Th. VI, 4 Sep 1993, Gus Dur menegaskan bahwa “orang Islam membantai 500.000 eks PKI.
Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh mereka yang tidak termasuk orang Islam”, kata Gus Dur.
Pembantaian besar-besaran inilah yang dikenal di dunia sebagai tindakan pemus- nahan umat manusia yang dibenarkan. Apa sebab dikatakan sebagai pemusnahan
umat manusia yang dibenarkan? Sebab, sesudah 34 tahun peristiwa itu berlalu, belum pernah ada komisi resmi yang meneliti kejadian ini. Seolah-olah masalahnya
dianggap telah liwat begitu saja, tanpa perlu pertanggungjawaban dari para pelakunya.
270
Tetapi saya dengar sekarang di Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Latin sudah ada gerakan-gerakan yang bekerja untuk menghimpun data dari kejahatan
penumpasan G30S di Indonesia. Malah saya baca dalam notulen rapat pengurus Pakorba tanggal 30 Sep 1999 yang lalu, adanya ajakan kerjasama dari satu
kelompok di Perancis yang dipimpin oleh istri bekas Presiden Perancis. Mereka ini ternyata malah sudah mempunyai data-data kejahatan Suharto, yang bisa dijadikan
dasar untuk menggugatnya di muka tribunal internasional.
“Pembantaian yang dilakukan oleh massa anti-PKI di Indonesia, merupakan salah satu yang terburuk dalam jajaran pembantaian massa dari abad XX”, tulis Helen
Louise Hunter, seorang peneliti dari CIA. Atau perhatikanlah angka perbandingan yang dikemukakan oleh Bertrand Russel. Ia mengatakan bahwa dalam empat bulan
pembantaian di Indonesia, jumlah orang yang mati sudah sebanyak lima kali lebih besar dibanding dengan jumlah korban mati selama tahun peperangan di Vietnam.
Apakah G30S itu?
Bung Karno dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor 6 Okt 1965, yang dihadiri juga oleh Nyoto, seorang anggota Politbiro dan Wakil Ketua PKI yang menjabat
Menteri Negara diperbantukan pada Sekretariat Negara, mengatakan bahwa G30S terjadi karena adanya tiga faktor. Penilaiannya ini diulangi lagi dalam pidato Peleng-
kap Nawaksara di depan Sidang MPRS pada 19 Jan 1967.
Ketiga faktor dimaksud yalah: 1. Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI.
2. Lihainya Nekolim. 3. Adanya oknum yang tidak beres dalam tubuh kita sendiri.
Sebelum menguraikan tiga faktor yang disebutkan Bung Karno di atas, sebaiknya kita ketahui dulu penilaian Jenderal Suharto dengan Orde Baru-nya mengenai G30S.
Menurut Suharto, dipandang dari sudut mana pun, G30S sama dengan PKI. Itulah sebabnya di belakang nama G30S ditambahkan “PKI”, sehingga menjadi G30S-PKI.
Tentang hal ini diuraikannya panjang lebar di dalam Buku Putih “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”, yang diterbitkan oleh Sekre-
tariat Negara pada tanggal 1 Okt 1994. Yang mengherankan, Buku Putih ini sulit sekali diperoleh, entah disembunyikan di mana. Jangan-jangan karena mutunya di-
anggap oleh Suharto sama saja dengan film G30S-PKI, yang tadinya harus ditayangkan di semua TV setiap tahun, tapi kemudian ditarik dari peredaran, karena
banyak kepalsuan di dalamnya.
Ketika membaca Buku Putih yang tebalnya tiga ratus halaman itu, saya benar-benar dapat menikmatinya seperti membaca sebuah buku komik yang mengasyikkan. Apa
lagi nama saya, A.Karim DP, ikut diserempet-serempet di dalamnya. Saya ditahan empat belas tahun dua belas hari di penjara Salemba. Dan di situlah
saya bertemu dengan para pelaku Gerakan 30 September. Saya bertemu dengan Letnan Kolonel Untung Samsuri, Kolonel Latief, Nyono tokoh pertama PKI Jakarta
Raya. Noorsuhud anggota CC-PKI, semua komandan regu dan anggota-anggota- nya yang mengambil enam jenderal, yang kemudian menjadi “Pahlawan Revolusi” di
271
Lubang Buaya. Saya bisa bertemu dan bergaul dengan mereka karena saya diklasifikasikan sama seperti mereka. Jadi saya dimasukkan sel tahanan yang paling
berat sama dengan mereka. Konsinyesnya kami tidak boleh berbicara satu sama lain, dikunci di selnya sendiri-sendiri. Tapi dalam kenyataannya, selama empat tahun
saya berada satu blok dengan mereka, yaitu di Blok “N” yang juga dikenal sebagai Blok Neraka. Saya berhasil mewawancarai semua mereka, dan rekaman hasil
wawancara itu sampai sekarang masih tersimpan dengan baik dalam ingatan saya.
Untuk ilustrasi, baik saya gambarkan sedikit lokasi Blok “N” yang mengerikan itu. Untuk sampai ke sel kami harus melewati delapan pintu yang semuanya dikunci.
Petugas yang memanggil kami jika akan diperiksa, harus membawa serenteng kunci untuk membukai pintu-pintu besi, dan mengeluarkan kami dari sel yang kemudian
segera menguncinya kembali. Karena itu sampai ada sesama tapol yang berseloroh mengatakan: Makhluk setingkat iblis dan setan pun tidak akan mampu menembus
delapan pintu besi yang selalu terkunci dan menggoda kami. Itulah sebabnya, kami semua aman dari gangguan setan dan iblis. Tema dari sarasehan kita sekarang ini
ialah untuk menjernihkan sejarah yang selama ini telah dibikin keruh oleh film G30S- PKI dan Buku Putih Sekretariat Negara. Dalam hubungan ini ada kejadian yang
menarik ingin saya tuturkan.
Pada tanggal 9 November 1998, di Universitas Indonesia Depok, diselenggarakan Seminar dengan tema “Meluruskan Sejarah”. Kebetulan saya mendampingi Bapak
Manai Sophiaan yang telah berusia 84 tahun dan fisiknya sudah lemah, yang diminta menyampaikan makalah. Makalah itu tebalnya 17 halaman, dengan judul “G30S
sebuah holokaus yang diterima sesudah Perang Dunia II”. Bapak Manai Sophiaan menyebutkan arti holokaus, menurut kamus Inggeris, ialah “a complete desruction of
human lives”. Mengerikan sekali
Waktu moderator membuka kesempatan kepada floor untuk mengajukan tanggapan, seorang peserta bertanya: “Siapa sebetulnya yang membuat G30S itu”? Bapak
Manai Sophiaan menjawab dengan lantang: “Jenderal Suharto” Alasannya sudah disebutkan dalam makalah. Tanggal 21 September 1965 Jenderal
Suharto selaku Panglima KOSTRAD, dengan radiogram no. Rdg. T 29391965 memerintahkan kepada Batalyon 454Diponegoro, 530Brawijaya, 328Siliwangi dan
Kesatuan Artileri dari Cimahi supaya datang ke Jakarta selambat-lambatnya 23 September 1965, dengan membawa perlengkapan tempur GARIS SATU. Bapak
Manai Sophiaan juga mengutip keterangan Kol. Latief di muka sidang MAHMILTI II Jawa Bagian Barat tidak disebutkan tanggalnya yang mengatakan, bahwa Jenderal
Suharto bermuka dua, dengan sebelah kakinya ada di Dewan Jenderal dan sebelah yang lain ada di G30S. Kolonel Latief memastikan bahwa keterlibatan Suharto dalam
gerak ini sudah sejak permulaan sekali. Dua minggu sebelum meletusnya peristiwa G30S, Kol. Latief menghadap Jenderal Suharto mempersoal-kan adanya kegiatan
Dewan Jenderal yang merencanakan coup d’etat terhadap Presiden Sukarno. Dua hari sebelum operasi pengambilan enam Jenderal, ia menemui Suharto lagi.
Pertemuan Latief terakhir dengan Suharto terjadi di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat “Gatot Subroto”, 30 September 1965 pukul 23:00 selama 30 menit. Suharto
berada di RSPAD Gatot Subroto, menunggui anaknya Tomy yang sedang dirawat karena tersiram sup panas.
272
Oleh karena itu untuk menyingkap kabut 1 Oktober 1965 seperti yang dimaksud oleh tema sarasehan ini, saya mencoba bertolak dari penilaian Bung Karno seperti yang
saya kutip di atas tadi. Berikut ini pengalaman dan pengetahuan saya mencermati tiga faktor yang disebut oleh Bung Karno sebagai penyebab terjadinya G30S.
1. Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI
Pada tanggal 23 Juni 1965 delegasi Indonesia Ke Konperensi Asia-Afrika II di Aljazair, yang dipimpin sendiri oleh Presiden Sukarno, berangkat dari Jakarta.
Seperti biasa, anggota delegasi diperkuat dengan ikut sertanya wakil-wakil NASA- KOM. Wakil PKI adalah D.N. Aidit sendiri. Saya ikut dalam rombongan ini sebagai
wartawan.
Konperensi gagal diselenggarakan karena gedung konperensi yang dibangun oleh Uni Soviet, telah diledakkan oleh satu komplotan yang tidak jelas waktu itu. Delegasi
Bung Karno berhenti di Kairo. Di sini diselenggarakan KTT Kecil empat negara, yaitu: Indonesia, Mesir, Pakistan, dan RRT, yang memutuskan menunda konperensi enam
bulan, dan tetap akan diadakan di Aljazair.
Sesudah itu Bung Karno dan rombongan meneruskan perjalanan ke Paris. Di sini para Duta Besar kita di Eropa Barat, Eropa Timur dan Amerika Serikat dikumpulkan
untuk mendapat penjelasan dari Bung Karno mengenai penundaan KAA II tersebut. Aidit juga ikut ke Paris, tapi dari sana ia meneruskan perjalanannya sendiri ke
Moskow. Kesempatan selama berada di Paris, ia gunakan untuk mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin Partai Komunis Perancis. Kebetulan ketika itu
juga sedang berada di sana enam kamerad mereka dari Aljazair, yang melarikan diri dari negeri mereka karena takut ditangkap oleh Kolonel Boumedienne, yang telah
berhasil menggulingkan dan merebut kekuasaan Presiden Ben Bella.
Sekembali Aidit dari pertemuan tersebut, yang katanya diselenggarakan di kantor organ Partai Komunis Perancis L’Humanite, saya mencegatnya di hotel tempatnya
menginap. Saya tanyakan kepadanya mengenai hasil pertemuannya dengan kamerad-kameradnya itu. Pertama-tama dikatakannya, bahwa ia sudah minta
kepada enam kameradnya dari Aljazair supaya mereka segera kembali ke negeri mereka, dan memberikan dukungan kepada Boumedienne. Dalam diskusi yang
mereka lakukan, kata Aidit, berdasarkan bahan-bahan yang disampaikan oleh kamerad-kamerad dari Aljazair, karakter coup d’etat Boumediene dapat dikategori-
kan sebagai coup d’etat yang progresif. Oleh karenanya patut didukung oleh rakyat. Jika 30 dari rakyat mendukungnya, maka coup d’etat itu bisa diubah sifatnya
menjadi revolusi rakyat yang akan menguntungkan perjuangan rakyat Aljazair. Begitu kata Aidit. Ia menjanjikan akan menjelaskan teorinya ini nanti di tanahair,
karena waktu itu ia terburu-buru harus segera berangkat ke lapangan terbang untuk meneruskan perjalanannya ke Moskow.
Aidit mengatakan kepada saya, bahwa di Indonesia sudah diketahui adanya rencana coup d’etat yang akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal untuk menggulingkan
Presiden Sukarno. Coup d’etat yang hendak dilancarkan Dewan Jenderal itu, adalah coup d’etat yang reaksioner, berbeda dengan yang telah terjadi di Aljazair.
273
Saya mendengar dari seorang kader PKI yang ikut bergerak pada tanggal 1 Oktober 1965, Aidit memerintahkan kepada Ketua Biro Khusus PKI Syam Kamaruzzaman,
supaya bergabung dengan perwira-perwira maju yang akan menggagalkan coup d’etat Dewan Jenderal. Selama di dalam tahanan kebetulan saya juga bertemu
dengan beberapa anggota perwira yang disebut sebagai maju. Mereka mencerita- kan, bahwa rapat-rapat persiapan gerakan yang tempatnya berpindah-pindah itu
selalu dipimpin oleh Kamaruzzaman. Adit atau tokoh-tokoh PKI lainnya tidak pernah hadir dalam rapat-rapat ini. Kamaruzzaman mula pertama dibawa oleh Untung, dan
diperkenalkan sebagai intelnya pribadi.
Banyak tokoh-tokoh PKI yang ditahan di Salemba menolak jika dikatakan PKI terlibat dalam G30S. Kamaruzzaman tidak bisa dikatakan mewakili PKI, karena oleh PKI
sendiri kemudian tokoh ini dianggap misterius. Ia bahkan diduga agen CIA yang ber- hasil diselundupkan ke dalam tubuh PKI dan berhasil pula mengibuli Aidit.
Nyono sebagai Sekretaris PKI Komite Daerah Besar Jakarta Raya yang dihadapkan ke sidang Mahmilub, tidak berhasil menghindarkan tuduhan keterlibatan PKI.
Sehingga oleh karenanya ia dijatuhi hukuman mati. Belum sampai coup d’etat Dewan Jenderal menjadi kenyataan, sudah didahului oleh
Gerakan 30 September yang secara tidak profesional membuat pernyataan men- demisionerkan Kabinet Dwikora. Tetapi pendemisioneran itu sama sekali tidak
efektif. Bahkan para anggota Dewan Revolusi, yang ditugasi mengambil alih kekuasaan, tidak seorang pun berfungsi. Karena mereka semua hanya diumumkan
begitu saja, tanpa persetujuan atau dikonsultasikan dengan yang bersangkutan. Saya sendiri mereka angkat sebagai anggota Dewan Revolusi nomor 45. Tapi begitu
diumumkan, langsung saya keluarkan pernyataan penolakan saya terhadap pengkatan itu, yang segera pula disiarkan oleh KB “Antara” dan RRI. Menurut
keterangan rekan-rekan di KB “Antara”, saya adalah orang pertama yang menyatakan menolak pengangkatan Dewan Revolusi. Lain-lainnya seperti Jenderal
Amir Mahmud, Jenderal Umar Wirahadikusumah, KSAL Laksamana Martadinata dll, baru mengeluarkan pernyataan menolak dua atau tiga hari kemudian. Dari PNI ada
enam nama yang dimasukkan sebagai anggota Dewan Revolusi, antara lain saya dan Ibu Supeni.
Walhasil, G30S yang dipimpin oleh Untung Samsuri, hasilnya hanya membunuh enam jenderal. Dan sesudah itu seluruhnya dihancurkan oleh Suharto pada tanggal
1 Oktober 1965 malam.
II. Lihainya Nekolim
Menjelang meletusnya G30S Bung Karno sangat mencurigai seorang diplomat AS, Marshall Green, yang dicalonkan oleh State Department untuk menggantikan
Howard Jones sebagai Dubes AS di Jakarta. Karena diplomat itu, diketahui oleh Bung Karno, selalu membuat keonaran dengan mencampuri urusan dalam negeri
negara-negara di mana dia ditempatkan.
Oleh karenanya, pada suatu hari sesudah sidang kabinet inti, Presiden memanggil saya menghadap dan memerintahkan supaya mengadakan kampanye nasional
menolak Marshall Green. Saya diperintahkan saat itu juga mempelajari konduite
274