KERAGAAN STRUKTUR PASAR INPUT, INTERMEDIET DAN

Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional Jatinangor, 16 November 2013 ISBN: XXXXXX 227

32. KERAGAAN STRUKTUR PASAR INPUT, INTERMEDIET DAN

OUTPUT PADA PETERNAK SAPI MADURA DI KABUPATEN BANGKALAN Fuad Hasan 1 , Andrie Kisroh Sunyigono 2 , dan Aminah Happy Moninthofa Ariyani 3 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Email: fuad.hsn13gmail.com ABSTRAK Program swasebada daging yang dicanangkan sejak 2000 hingga saat ini belum membuahkan hasil yang diharapkan. Pemerintah selalu mengimpor sapi dan daging setiap tahunnya dengan trend yang terus meningkat. Beberapa upaya yang ditempuh untuk mengurangi ketergantungan tersebut adalah pengembangan spesies sapi potong lokal. Oleh karena pengembangan industri sapi Madura di Bangkalan merupakan salah satu strategi yang diyakini mampu berkontribusi besar dalam mendorong pertumbuhan populasi sapi potong lokal. Pengembangan jenis sapi ini akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pertumbuhan populasi sapi potong karena jumlah sapi Madura adalah sekitar 20 dari total sapi yang ada di Jawa Timur yang mencapai 4 juta ekor. Sedangkan jawa timur sendiri adalah sentra produksi sapi potong dengan kontribusi sebesar ± 31. Namun demikian ada beberapa kendala yaitu sebagian besar pelaku usaha adalah peternak kecil dengan permodalan terbatas, teknologi yang masih sederhana dan belum kuatnya rantai komoditas sapi potong. Penelitian tentang struktur pasar pada sapi Madura dilakukan untuk mendorong tercapainya rantai komoditas yang efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui struktur pasar input, intermediet dan output serta hambatan keluar dan masuk pada pasar sapi Madura. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bangkalan yang meliputi Desa Banyior Kecamatan Sepuluh, Desa Kampak Kecamatan Geger dan Desa Jangkar Kecamatan Tanah Merah serta beberapa pasar hewan di Kabupaten Bangkalan, dengan jumlah responden 73 orang yang terdiri dari penyedia bakalan, peternak, pedagang dan prosesorRumah Potong Hewan. Alat analisis yang digunakan adalah deskriptif, rasio konsentrasi, Indeks Gini, Hambatan masuk dan keluar pasar. Hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1 Nilai rasio konsentrasi dari penyedia bakalan dan peternak lebih kecil dibandingkan rasio konsentrasi untuk pedagang dan prosesor. Hal ini menandakan bahwa pedagang dan prosesor mempunyai tingkat konsentrasi pasar yang berimplikasinya pada kuat posisi tawar mereka. 2 Pasar input mempunyai bentuk persaingan sempurna, pasar intermediet cenderung oligopoly demikian juga dengan pasar output. 3 Hambatan utama masuk pasar adalah nilai investasi yang besar, dan permasalahan pemasaran 4 Hambatan keluar pasar adalah nilai investasi yang tinggi dan usaha ini merupakan sumber pendapatan utama. Rekomendasi yang diajukan dari penelitian ini adalah meningkatkan posisi tawar dari penyedia bakalan dan peternak sapi Madura melalui peningkatan kualitas SDM, pengembangan manajemen usaha serta revitalisasi kelompok peternak dan koperasi. Kata Kunci: Sapi Madura, Struktur Pasar, Peternak PENDAHULUAN Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini. populasi dan produksi sapi potong di Indonesia hanya terkonsetrasi di tiga propinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah Subagyo, 2009. Pada tahun 2008, Propinsi Jawa Timur adalah produser terbesar sapi potong dengan total produksi 83.3 ribu ton diikuti oleh Jawa Barat sebesar 52.6 ribu ton dan Jawa Tengah dengan volume produksi 48.9 ribu ton. Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan populasi dan produksi sapi potong, kebijakan dan perhatian pemerintah harus difokuskan pada tiga propinsi ini karena peningkatan populasi sapi potong di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah akan berdampak signifikan pada meningkatnya populasi dan produksi sapi potong di Indonesia. Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional Jatinangor, 16 November 2013 ISBN: XXXXXX 228 Pada periode 1990-2003, share produksi sapi potong di Jawa Timur adalah 25.5 dari total produksi nasional, diikuti oleh Jawa Barat, Jawa Tengah dan DKI Jakarta dengan share masing-masing sebesar 17.95, 12.75 dan 10.15 Kariyasa and Kasryno, 2004. Fenomena yang menarik adalah Jakarta dan Jawa Barat bukan merupakan produsen sapi potong tapi daerah tersebut menempati rangking pertama sebagai daerah penghasil daging sapi. Kondisi ini terjadi karena Jakarta dan Jawa Barat mendatangkan sapi potong dari daerah kain misalnya dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Lampung. Dengan demikian, daerah yang merupakan pusat populasi sapi potong tidak secara otomatis menjadi dari sentra produksi daging sapi. Fenomena di atas diperkuat oleh fakta bahwa Jawa Timur, Lampung dan Jawa Tengah adalah distributor utama sapi potong bagi daerah konsumsi utama yaitu Jawa Barat dan Jakarta. Kecenderungannya, permintaan sapi potong di dua daerah tersebut terus meningkat setiap tahunnya sekitar 11 per tahun. Kebutuhan sapi potong di Jawa barat dan Jakarta adalah berturut-turut sebesar 258.000 ekor dan 220.000 ekor. Pada periode 1990 sampai dengan 2003, jumlah sapi potong yang masuk ke Jawa Barat adalah 42.49 dan Jakarta sebesar 25.74 dari total produksi nasional. Dengan kata lainnya dapat disebutkan bahwa konsumen sapi potong terkonsentrasi di Jawa Barat dan Jakarta. Meskipun kontribusi Jawa Timur cukup signifikan dalam menyediakan kebutuhan sapi potong dan daging di Indonesia, namun secara nasional permintaan daging masih belum mampu dipenuhi dari produksi dalam negeri saja. Indonesia harus mengimpor sapi potong dengan kecenderungan yang terus meningkat. Hal ini terjadi karena beberapa hal, yang salah satu diantaranya adalah struktur industri sapi potong masih didominasi oleh peternak kecil. Jumlah peternak kecil sapi potong sebesar 60 sd 80 Yusdja et al, 2006. Dalam hal skala kepemilikan ternak, masing-masing peternak kecil hanya mempunyai sapi potong sebanyak 2-4 ekor Diwyanto et al, 2007. Data direktorat jenderal peternakan menunjukkan bahwa pada tahun 2006 terdapat 4 juta peternak yang mempunyai 10.5 juta ekor sapi potong. Karakteristik peternak kecil yang lain adalah memiliki posisi tawar yang lemah, tingkat pendapatan yang rendah dan mereka masih menggunakan teknologi tradisional. Kondisi yang sama juga terjadi di Jawa Timur. Menurut Mayrowani 2006 sebagian besar peternak di Jawa Timur mempunyai skala usaha yang masih terbatas. Mereka mempunyai keterbatasan dalam mengakses sumberdaya keuanganmodal. Tingkat penguasaan teknologi informasi juga masih sangat rendah sehingga peternak tidak mempunyai akses informasi pasar yang baik seperti harga, penawaran dan permintaan. Kemampuan manajerial dan kewirausahaan juga masih sangat terbatas. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa peternak kecil menghadapi permasalahan yang kompleks. Kebijakan pemerintah yang dilakukan belum mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Peternak kecil dihadapkan pada masalah pemasaran. Tidak ada insentif ekonomi yang cukup bagi peternak baik penyedia bakalan dan penggemukan. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat produtifitas dan efisiensi usaha industri sapi potong Rahmanto, 2004. Tujuan 1. Mengetahui gambaran umum industri sapi Madura di Kabupaten Bangkalan 2. Mengukur dan menganalisis rasio konsentrasi pada masing-masing pasar di industri sapi Madura 3. Mengetahui besaran indeks gini dan menganalisis implikasinya terhadap kondisi struktur pasar 4. Menentukan jenis struktur pasar pada masing-masing tingkatan yaitu pasar input, intermediet dan output. 5. Menganalisis jenis-jenis hambatan untuk keluar dan masuk pada masing-masing pasar di atas. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah beberapa desa di Kabupaten Bangkalan yaitu Desa Banyior Kecamatan Sepuluh, Desa Kampak Kecamatan Geger dan Desa Jangkar Kecamatan Tanah Merah. Adapun pertimbangan memilih lokasi tersebut: 1 Populasi dan produksi sapi Madura di desa-desa tersebut adalah terbesar di Bangkalan, 2 Industri sapi Madura memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyediaan daging dan sapi hidup karena populasi sapi Madura mencapai 20 dari total sapi potong Jawa Timur. Data dan Metode Penarikan Sampel Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional Jatinangor, 16 November 2013 ISBN: XXXXXX 229 Data primer dan sekunder dipergunakan dalam penelitian ini. Data primer dikumpulkan dari beberapa tingkatan responden mulai dari peternak sapi bakalan, peternak penggemukan, pedagang dan prosesor atau rumah potong hewan rph melalui wawancara individual dengan menggunakan beberapa set kuesioner. Data sekunder dikumpulkan dari beberapa sumber yaitu Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Jawa Timur dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bangkalan. Dari total populasi yang ada ditarik responden secara acak sejumlah 52 peternak Yamane, 1973. Selanjutnya responden peternak bakalan, pedagang dan prosesor ditentukan berdasarkan informasi dari peternak penggemukan dengan metode penarikan secara snowball sampling. Adapun total responden adalah ditunjukkan pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Jumlah Responden, Bangkalan, 2013 Sumber: Data Primer diolah, 2013 Metode Analisis Penelitian ini mempergunakan beberapa metode analisis. Analisis deskriptif dipergunakan untuk menjelaskan kondisi industri sapi Madura di Bangkalan. Untuk mengetahui tingkat konsentrasi pasar di setiap jenis pasar pasar input, intermediet dan output digunakan analisis rasio konsentrasi dengan formulasi sebagai berikut: dimana CR = concentration ratio rasio konsentrasi S i = persentase dari share pasar dari aktor ke-i r = jumlah dari aktor yang paling dominan Kohls and Uhl 1985 menyatakan bahwa apabila empat aktor terbesar mempunyai rasio konsentrasi sebesar 50 atau lebih, maka struktur industri yang terbentuk adalah oligopoli yang kuat, apabila rasionya: 33-50 menunjukkan oligopoli yang lemah dan kurang dari 33 menunjukkan industri yang tidak terkonsentrasi. Analisis selanjutnya adalah Kurva Loren dan Indkes Gini. indeks ini dihitung dengan mengunakan formula sebagai berikut Bhuyan et al, 1988 cited in Kerbaga, 2010; and Hesmati, 2004: n i F F T T G n i i i i i . . . , 3 , 2 , 1 1 1 1 1          dimana G = Gini coefficient Indeks Gini T i = Proporsi kumulatif dari aktor F i = Proporsi kumulatif dari nilai sapi potong yang diperdagangkan dalam rupiah n = Jumlah aktor Indeks Gini mempunyai nilai dari 0 yang berarti tidak terkonsetrasi perfect equality dan 1 yang mengindikasikan tingkat konsentrasi yang tinggi perfect inequality. No Jenis Responden Jumlah 1 Penyedia Pakan 52 2 Penyedia Bakalan 4 3 Pedagang 9 4 dan Jagal 8 TOTAL 73 r i S CR r i i ..., , 3 , 2 , 1 1     Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional Jatinangor, 16 November 2013 ISBN: XXXXXX 230 Pada riset ini, hambatan untuk masuk dan keluar pasar diidentifikasi menggunakan beberapa indikator yaitu: 1 Legal barriers dalam bentuk paten, francise dan aktifitas pengaturan lainnya, 2 Technical barriers yaitu ketersediaan teknologi yang spesifik dan ilmu yang spesifik Nicholson, 2002, 3 Ketersediaan dan akses terhadap sumberdaya berupa modal, akses terhadap informasi pasar, permintaan dan penawaran dan kondisi sumberdaya yang ada Stigler, 2005. PEMBAHASAN Gambaran Umum Industri Sapi Madura di Bangkalan Populasi Sapi Madura di Bangkalan Tabel 1 menunjukkan bahwa populasi sapi Madura di Jawa Timur pada periode 2007-2009 cenderung menurun dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun adalah -7. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah meningkatnya frekuensi pemotongan ternak sapi Madura untuk memenuhi permintaan daging sapi yang terus bertambah. Disisi lain, tingkat pertumbuhan sapi bakalan masih tetap rendah sehingga tidak mampu menutupi kenaikan permintaan sapi potong. Tabel 1. Populasi Sapi Madura, Bangkalan, 2007-2009 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan, 2013 Catatan: Rilis Akhir Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau 2011 Dimulai sejak tahun 2009, populasi sapi Madura kembali menunjukkan trend yang menaik. Tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 6. Program-program intensifikasi usaha sapi potong dalam rangka pencapaian program swasembada daging ikut andil terciptanya kondisi tersebut. Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi ternak telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah propinsi dan kabupatenkota. Pada 2010, aktifitas yang dilakukan diantaranya aalah penyediaan 1.273.528 paket semen untuk ternak dari target yang ditetapkan sebesar 1.450.000 paket, realisasi pertumbuhan sapi bakalan dari program inseminasi buatan sebanyak 727.248 ekor dan realisasi akseptor inseminasi buatan sebanyak 1.060.650 ekor Dinas Peternakan Jawa Timur,2010. Konsumsi Daging Jawa Timur Konsumsi produk peternakan seperti daging, telur dan susu di Jawa Timur juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun 2006-2010 Gambar 2. Rata-rata pertumbuhan tingkat konsumsi NO JENIS TERNAK 2007 2008 2009 1 Sapi Potong 137,017 121,195 128,562 -7 2 Sapi Perah 21 21 30 -7 3 Kerbau 1,966 1,780 1,999 -10 4 Kuda 900 713 782 -12 5 Kambing 61,360 49,808 58,009 -13 6 Domba 3,935 3,673 4,065 -15 7 Ayam Buras 1,138,702 687,940 730,839 -18 8 Ayam petelur 25,263 17,768 14,984 -18 9 Ayam Pedaging 103,836 41,007 17,028 -17 10 Itik 68,517 58,296 55,329 4 11 Entok 20,147 27,897 27,575 19 Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional Jatinangor, 16 November 2013 ISBN: XXXXXX 231 produk peternakan adalah sebesar 9.4 per tahun. Tetapi pada tahun 2008, terjadi pertumbuhan negative terhadap tingkat konsumsi produk peternakan sebesar - 6.8. Salah satu faktor penyebabnya adalah penurunan konsumsi telur, susu dan daging non sapi ayam dan unggas yang disebabkan oleh ketakutan konsumen untuk mengkonsumsi produk-produk tersebut karena adalah kasus flu burung yang merebak hampir di seluruh wilayah Indonesia. Peningkatan hanya bahan bakar minyak pada tahun 2008 juga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan negatif konsumsi produk peternakan kecuali daging sapi. Sedangkan tingkat pertumbuhan konsumsi daging sapi pada tahun 2008 masih tetap positif yaitu sebesar 23.5. Pada periode 2006-2010, rata-rata pertumbuhan konsumsi daging sapi adalah sebesar 11.9. Jika pada tahun 2006 tingkat konsumsinya masih dibawah 100 ribu ton yaitu 66.782 ton pada tahun 2010 tingkat konsumsi daging sapi meningkat menjadi 103.809 ton. Peningkatan ini diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia mendorong tingkat konsumsi semua kebutuhan pokok termasuk daging sapi. Selain itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang ditandai dengan kenaikan pendapatan per kapita juga mendorong peningkatan konsumsi daging sapi. Gambar 2. Konsumsi Daging, Susu dan Telor, Jawa Timur,2006-2010 Sumber: Laporan Tahunan DInas Peternakan Jawa Timur, 2006-2010 Analisis Rasio Konsentrasi pada Pasar Input, Intermendiate dan Output Rasio konsentrasi pasar dihitung berdasarkan pada nilai sapi Madura yang diperdagangkan pada setiap sub-market. Transaksi dari empat aktor terbesar pada masing-masing aktor penyedia bakalan, peternak, pedagang dan prosesor dipertimbangkan dalam perhitungan rasio konsentrasi pasar CR4 sebagaimana diindikasikan pada Tabel 2. CR4 dari penyedia bakalan yang merepresentasikan pasar input adalah sebesar 12.99 dan nilai ini menunjukkan bahwa kondisi industri pada pasar input adalah tidak terkonsentrasi un-concentrated industry Demikian juga dengan CR4 pada peternak kecil sapi potong sebesar 11.83 menunjukkan bahwa tipe pasar yang terbentuk adalah tidak terkonsentrasi. Dapat juga dikatakan bahwa kedua jenis pasar tersebut secara umum berbentuk persaingan. Kedua actor penyedia bakalan dan peternak mempunyai posisi tawar atau kekuatan pasar yang seimbang. Tidak ada aktor yang mempunyai kekuatan pasar yang besar dominan. Salah satu yang menyebabkan posisi tawar ini adalah karena peternak masih berusaha sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi satu dengan lainnya. Tabel 2. Rasio Konsentrasi pada Pasar Input, Intermediet dan Output, Bangkalan, 2013 - 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 900,000 1,000,000 1,100,000 1,200,000 2006 2007 2008 2009 2010 ton Susu Telur Daging sapi dan non sapi Daging Sapi saja Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional Jatinangor, 16 November 2013 ISBN: XXXXXX 232 Sumber: Data primer diolah, 2013 Untuk pedagang sapi Madura di semua level desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi, nilai CR4 adalah 59.41. Hal ini berarti bahwa tipe pasar intermediet adalah oligopoli yang sangat kuat strongly oligopolistic. Pedagang mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam mempengaruhi pasar. Mereka mempunyai kekuatan besar untuk menentukan harga dibandingkan peternak. Sedangkan nilai CR4 dari prosesor adalah 55.33 yang termasuk dalam kategori pasar oligopoli. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pasar pada pasar daging sapi adalah oligopoli dimana prosesor juga mempunyai kekuatan yang besar dalam mempengaruhi mekanisme pasar. Analisis Indeks Gini dan Kurva Lorenz pada Peternak Sapi Madura Indeks Gini digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi dari masing-masing pasar pada industri sapi potong skala kecil. Nilai indeks Gini menunjukkan apakah pasar yang terbentuk bersifat terkonsentrasi atau tidak terkonsentrasi. Analisis ini juga didukung oleh Kurva Loren untuk memperjelas intepretasi yang disampaikan, Pada riset ini, nilai sapi potong yang diperdagangkan dipergunakan untuk menghitung besarnya Indeks Gini. Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai Indeks Gini untuk penyedia bakalan adalah 0.249 yang mengindikasikan bahwa distribusi yang terjadi relatif merata relatively equitable distribution. Hal ini juga menunjukkan bahwa nilai sapi bakalan yang diperdagangkan oleh setiap peternak penyedia bakalan adalah relatif sama. Tabel 3. Indeks Gini pada Peternak Sapi Madura, Bangkalan, 2013 ITEM PENYEDIA BAKALAN PETERNAK PEDAGANG PROSESOR Jumlah Aktor 4 52 9 8 Indeks Gini 0.249 0.276 0.253 0.207 Sumber: Data primer diolah, 2013 Di level peternak, nilai Indeks Gini adalah sebesar 0.276. Jika dilihat dari nilai sapi potong yang diperjualbelikan oleh masing-masing peternak menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan diantara mereka. Hal ini menghasilkan jenis pasar yang tidak terkonsentrasi. Demikian juga pada tingkat pedagang, nilai Indeks Gini adalah sebesar 0.253 yang mengindikasikan bahwa 10 pedagang menjual sapi potong dengan nilai yang relatif sama. Tidak ada satupun pedagang yang dominan dengan menjual sapi potong dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan pedagang lainnya. Indeks Gini untuk prosesor adalah 0.207. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi distribusi yang merata equitable distribution diantara 11 prosesor yang ada. Rendahnya Indeks Gini disebabkan oleh relatif meratanya nilai sapi potong yang diperdagangkan. ITEM PENYEDIA BAKALAN PETERNAK PEDAGANG PROSESOR Jumlah aktor 4 52 9 8 Nilai sapi potong yang diperdagangkan oleh empat aktor terbesar 000 Rp 138,000 208,500 806,250 1,116,043 Total nilai sapi potong yang diperdagangkan 000 Rp 1,062,375 1,762,600 1,357,100 2,017,052 CR4 12.99 11.83 59.41 55.33 Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional Jatinangor, 16 November 2013 ISBN: XXXXXX 233 Kurva Loren untuk pasar input, intermediet dan output pada industri sapi Madura di Bangkalan dapat dilihat pada gambar 3. Pada tingkat peternak, area yang terbentuk antara Kurva Loren warna biru dan garis ekui-distribusi warna merah adalah lebih luas dibandingkan pada pasar-pasar yang lain. Hal ini berarti bahwa pasar peternak mempunyai distribusi nilai yang relatif tidak merata. Dari data dasar, dapat diketahui bahwa 13 peternak mempunyai nilai jual sapi potong kurang dari 10 juta rupiah sedangkan sisanya 68 peternak mempunyai nilai jual diatas 10 juta rupiah. Bahkan 41 dari mereka mempunyai nilai jual diatas 20 juta rupiah. Gambar 3. Kurva Loren pada Pasar Input, Intermediet dan Output, Bangkalan, 2013. Sumber: Data Primer Diolah, 2013 Hambatan Masuk dan Keluar pada Pasar Input, Intermediet dan Output Terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat untuk masuk pasar sapi potong yang teknologi produksi, nilai investasi, rendahnya harga jual sapi potong, besarnya impor, permasalahan pemasaran, kompetisi yang ketat dan skala ekonomi. Masing-masing aktor mempunyai perbedaan faktor mana yang menjadi penghambat utama. Pada tingkat penyedia bakalan, faktor yang menjadi penghambat untuk masuk adalah teknologi produksi 42, nilai investasi yang tinggi 34, dan skala ekonomi yang masih sangat kecil 15. Pada peternak, hambatan untuk masuk adalah: rendahnya harga sapi potong 38, nilai investasi yang tinggi 28 dan permasalahan pemasaran 20. Pedagang mempunyai hambatan untuk masuk sebagai berikut:nilai investasi yang tinggi 50, besarnya volume impor 20 dan tingkat kompetisi yang tinggi 10. Prosesor menghadapi hambatan yang sama dengan pedagang, hanya faktor pemasaran yang juga menjadi faktor penghambat utama dalam kegiatan prosesor. Sedangkan faktor-faktor yang menjadi penghambat untuk keluar dari industri sapi Madura skala kecil adalah: nilai investasi yang besar, peluang permintaan, ikatan kontrak, pekerjaan utama responden, sumber pendapatan dan ketersedian sumber pakan hijauan. Semua actor relative menghadapi hambatan yang Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional Jatinangor, 16 November 2013 ISBN: XXXXXX 234 serupa yaitu: 1 besarnya potensi permintaan terhadap daging sapi mengakibatkan mereka enggan untuk keluar pasar. Mereka meyakini bahwa pada masa depan permintaan akan sapi potong dan daging sapi pasti mengalami peningkatan; 2 nilai investasi yang besar. Ketiga mereka memutuskan untuk menekuni usaha sapi potong maka nilai investasi yang ditanamkan relative besar berkisar antara 20 – 60 juta. Sehingga mereka berusaha untuk terus menekuni usaha ini. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Nilai rasio konsentrasi dari penyedia bakalan dan peternak lebih kecil dibandingkan rasio konsentrasi untuk pedagang dan prosesor. Hal ini menandakan bahwa pedagang dan prosesor mempunyai tingkat konsentrasi pasar yang berimplikasinya pada kuat posisi tawar mereka. 2. Pasar input mempunyai bentuk persaingan sempurna, pasar intermediet cenderung oligopoly demikian juga dengan pasar output. 3. Hambatan utama masuk pasar adalah nilai investasi yang besar, dan permasalahan pemasaran 4. Hambatan keluar pasar adalah nilai investasi yang tinggi dan usaha ini merupakan sumber pendapatan utama. Saran Perlu upaya meningkatkan posisi tawar dari penyedia bakalan dan peternak sapi Madura melalui peningkatan kualitas SDM, pengembangan manajemen usaha serta revitalisasi kelompok peternak dan koperasi. DAFTAR PUSTAKA DINAS PETERNAKAN JAWA TIMUR, 2010. Laporan Tahunan Program Pengembangan Peternakan Jawa Timur Tahun 2010. DIWYATNO, K. 2008. Utilization of local resources and technological innovation to support of the development of beef cattle in Indonesia. Development of Agricultural Innovation, Volume 13: 173- 188. HESMATI, A. 2004. Inequalities and Their Measurement MTT Economic Research, Agrifood Research Finland No. 7. KARIYASA, K and F, KASRYNO, 2004. Dinamika Pasar dan Prospek Pengembangan Spi Potong di Indonesia. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian. KERBAGA, A.Z. 2010. Analysis of Poultry Market Chain: The Case of Dale and Alaba Special Woredas of SNNPRS, Ethiopia002E. MSc Thesis. Harramaya University. KOHLS, RICHALD L. and JOSEPH N. Uhl. 1998. Marketing of Agricultural Products. 8 th edition. Prentice-Hall, New Jersey: 560 p. MAYROWANI, H. 2006. Kinerja Agribisnis Sapi Potong di Jawa Timur: Analisis Dampak Krisis Moneter dan Implementasi Otonomi Daerah. Journal of Socio-Economic of Agriculture and Agribusiness, Volume 6 3: 20- 42. RAHMANTO, B. 2004. Analisis Usahatani Peternak Kecil. Pusat Studi Sosial Ekonomi. Departemen Pertanian,Bogor. SUBAGYO, I. 2009. Potret Usaha Sapi Potong Indonesia. Economic Review, No 217: 1-7. YAMANE, T. 1973. Statistic: an Introductory Analysis: 3 rd edition. Harper and Row, New York: 1130 p. YUSDJA, Y, R SAYUTI, S WAHYUNINGSIH, WK SEJATI, I SODIKIN, N ILHAM and YF SINURAYA. 2006. Produksi Peternakan: Kondisi Saat dan Prospek Masa Depan. Pusat Studi Sosial Ekonomi. Bogor. Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional Jatinangor, 16 November 2013 ISBN: XXXXXX 235

33. PENGARUH KARAKTERISTIK FISIK KERBAU PADA SUB SISTEM