8.UPAYA MENINGKATKAN KETERSEDIAAN SAPI BALI BAKALAN MELALUI PENDEKATAN KLASTER AGRIBISNIS

(1)

ISBN: XXXXXX

i cover


(2)

ii KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas ijin dan perkenan-Nya kegiatan Seminar

Nasio al Pe erapa Il u “iste da Ko pleksitas

(

Complexity and System Science

) Dalam

Pe ge ba ga Agribis is Nasio al i i dapat kita laksa aka de ga baik. Buku i i adalah

prosiding kegiatan yang secara garis besar berisi rumusan pemikiran peserta Seminar Nasional

yang membahas kompleksitas agribisnis di Indonesia dengan menggunakan sudut pandang

kesisteman.

Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 200-an (dua ratus) orang peserta, yang berasal dari berbagai

kelembagaan terkait sistem agribisnis di Indonesia. Peserta terdiri dari perguruan tinggi di

Indonesia, instansi pemerintah pusat dan daerah, serta pelaku agribisnis skala usaha besar dan

skala usaha kecil.

Kami mengucapkan banyak terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya atas kehadiran

seluruh peserta dalam kegiatan ini. Secara khusus ucapan terima kasih kami sampaikan kepada

nara sumber dalam seminar, kepada Prof. Kuntoro Mangkusubroto (Kepala Unit Kerja Presiden

Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan/UKP4) yang telah bersedia menjadi

pembicara kunci, kepada Martin M. Widjaja (Managing Director PT. Sewu Segar

Nusantara/Sunpride), Zaldy Ilham Masita (Ketua Asosiasi Logistik Indonesia), Ir. Nono Rusono,

PG.DIP.Agr.Sci.Msi (Direktur Pangan dan Pertanian Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional/Bappenas), Prof. Dr. Utomo Sarjono Putro (SBM-ITB), Ir. Iskandar Kartabrata, ME. (Senior

Manager Agri Services PT Sucofindo), dan Harry Baskoro, SE, MSc (Bank Indonesia) yang telah

bersedia menjadi pembicara utama.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu

terlaksananya kegiatan ini, khususnya kepada Rektor Universitas Padjadjaran dan seluruh staf

Rektorat Universitas Padjadjaran. Selanjutnya kami menyampaikan terimakasih kepada Dekan

Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, serta kepada Ketua Jurusan dan seluruh staf di Jurusan

Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Padjadjaran.

Terakhir, kami berharap kegiatan ini dapat memberi kontribusi yang berarti dalam pengembangan

agribisnis di Indonesia. Melalui kerjasama yang baik antara akademisi, pengusaha dan pemerintah

diharapkan agribisnis dapat menjadi akslerator percepatan pembangunan sektor pertanian yang

berdaya saing.

Jatinangor, November 2013

Panitia Pelaksana


(3)

ISBN: XXXXXX

iii Daftar Isi

cover ... i

KATA PENGANTAR ... ii

Daftar Isi ...iii

1.Penggunaan Artificial Neural Network Untuk Pengenalan Pola: Penerimaan Dan Pendapatan Petani Tebu ... 1

2. Simulasi Kejadian Diskret Pada Perancangan Manajemen Logistik Di Unit Layanan Logistik Pertanian: Studi Kasus Di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung ... 2

3.Employing Agent-Based Simulation Approach To Understand The Behavior Of Domestic Beef-Cattle Production ... 3

4.Identifikasi Faktor Penentu Kinerja Koperasi Unit Desa (Kud) Di Daerah Istimewa Yogyakarta ... 5

5.Pentingnya Pendekatan Sistem Dalam Menganalisis Alih Fungsi Lahan Pertanian Ke Non PertanianDi Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah ... 14

6.Akses Multipihak Dalam Sistem Pengelolaan Perikanan Rajungan (Portunus Pelagicus Linn.) Di Kabupaten Barru ... 21

7.Membangun Kejayaan Perkebunan Teh Rakyat(Building The Fame Of Tea Small Plantation) ... 28

8.Upaya Meningkatkan Ketersediaan Sapi Bali Bakalan Melalui Pendekatan Klaster Agribisnis ... 35

9.Memahami Kemitraan Pada Rantai Pasok Cabai Merah Besar Dengan Pendekatan Berpikir Sistem ... 43

10.Analisis Kolaborasi Antar Pelaku Dalam Rantai Pasok Pada Klaster Cabai Merah (Capsicum Annum L.) 53 11.Model Swasembada Beras Yang Berkelanjutan: Pendekatan Sistem Dinamis... 62

12.Pengelolaan Risiko Produksi Agribisnis Cabai Merah Dengan Berpikir Sistem ... 74

13.Analisis Komposisi Kedelai Impor Dan LokalsebagaiBahan Baku Utama Tahu Sumedang ... 81

14.Strategi Pengembangan Agribisnis Singkong Di Kabupaten Trenggalek ... 89

15.Strategi Pengembangan Supply Chain Rumput Laut Di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku ... 97

16.Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mangga Terlibat Dalamsistem Informaldenganpedagang Pengumpul ... 107

17.Analisis Faktor Penentu Keikutsertaan Penjual Dan Pembelike Pasar Lelang Teh ... 109

18.Tinjauan Keselarasan Sumberdaya Manusia Sektor Pertanian Di Indonesia ... 117

19.Perilaku Petani Bawang Merah Dalam Mereduksi Risiko Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Produktivitas Usahatani ... 128


(4)

iv 21.Penguatan Home Industri Keripik Buah Melalui Perbaikan Teknologi Proses Produksi Dan Rekayasa 145

22.Analisis Finansial Sapi Sonok Di Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan ... 151

23.Analisis Keuntungan Agribisnis Jagal Sapi Berdasarkan Sistem Pengadaan Dan Penjualan... 159

24.Pemberdayaan Kelompok Tani Hutan (Kth) Melalui Pengembangan Agribisnis Kopi Arabika ... 167

25.Peran Aktor Dan Sistem Insentif Dalam Tataniaga Kopi Rakyat Di Jawa Timur... 174

26.Perbedaan Supply Chain Produk Sapi Perah Sistem Kemitraan dan Mandiri di Propinsi Sulawesi Selatan ... 182

27.Analisis Perbandingan Pendapatan Antara Tehnik Intensifikasi, Peremajaan Dan Rehabilitasi Usahatani Kakao ... 190

28.Membangun Kewirausahaan Berbasis Pemberdayaan Kelompok Wanita Tani (Kwt) Di Kabupaten Garut ... 197

29.The Roles And Contributions Of Cooperative In The Large Dairy Cow Commodity Chain In East Java, Indonesia ... 202

30.Peranan Teknologi Sistem Informasi Terhadap Perkembangan Dan Implementasi Pendidikan Pertanian Dalam Bidang Agribisnis ... 210

31.Analisis Komparasi Saluran Pasar Tradisional Dan Modern Pada Komoditas Sayuran Di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung ... 217

32.Keragaan Struktur Pasar Input, Intermediet Dan Output Pada Peternak Sapi Madura Di Kabupaten Bangkalan ... 227

34.Technical Skills Of The Dairy Farm Entrepreneurs (Case Study: Malang, East Java And Bogor, West Java) ... 240

36.The Entrepreneurial Competence And Business Performance Of Dairy Farmers ... 253

37.Pengembangan Model Pembiayaan Rantai Pasok Agribisnis Pada Sistem Produksi Komoditas Cabai Merah Dengan Orientasi Pasar Terstruktur ... 261

38.Peran Lembaga Keuangan Mikro Terhadap Penguatan Usahatani Kentang Di Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo ... 263

39.Persepsi Dan Prilaku Produsen Dan Konsumen Terhadap Label Asal Daerah (Origin Labelling) Pada Mangga Gedong Gincu (Mangifera Indica Var.Gedong) ... 272

40.Deskripsi Agribisnis Padi Organikdengan Pendekatan Soft System Methodology(Studi Kasus Di Kabupaten Tasikmalaya) ... 274

41.Model Perilaku Petani Dalam Adopsi Sistem Usahatani Padi Organik: Paradoks Sosial-Ekonomi-Lingkungan ... 285


(5)

ISBN: XXXXXX

1

1.

PENGGUNAAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK UNTUK

PENGENALAN POLA: PENERIMAAN DAN PENDAPATAN PETANI TEBU

ARTIFICIAL NEURAL NETWORK IMPLEMENTATION FOR PATTERN

RECOGNITION: REVENUE AND INCOME OF SUGARCANE FARMERS

Cungki Kusdarjito

1

dan Any Suryantini

2

Universitas Janabadra, Fakultas Pertanian, Jalan Tentara Rakyat Mataram 55-57 Yogyakarta Universitas Gadjah Mada, Fakultas Pertanian, Jl Flora, Bulaksumur, Yogyakarta

Email: ckusdarjito@janabadra.ac.id

ABSTRAK

Selama ini sebagian besar analisis dalam bidang pertanian, khususnya agribisnis dan sosial ekonomi pertanian menggunakan pendekatan ekonometrika dengan mendasarkan pada asumsi “linieritas”. Pendekatan ini memberikan keunggulan dalam analisis ekonomi, seperti elastistas, return to scales, ataupun analisis fungsi permintaan dan penawaran dapat diketahui dengan mudah. Meskipun demikian, saat ini disadari bahwa permasalahan dalam bidang pertanian tidak sesederhana yang diasumsikan. Fungsi yang dianalisis mungkin merupakan fungsi polynomial. Beberapa variabel mungkin tidak dapat didefinisikan dengan jelas (khususnya variabel sosial). Oleh karena itu, penggunaan softcomputing seperti model saraf buatan (artificialneuralnetwork), geneticalgorithm, fuzzylogic mulai banyak dipergunakan untuk memecahkan berbagai persoalan dalam bidang ilmu ekonomi, kedokteran ataupun teknik.Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini memberikan ilustrasi penggunaan model saraf buatan dalam bidang pertanian dengan mengambil kasus pada tanaman tebu. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan multilayersnetworkssebanyak empat lapis dan proses belajar menggunakan algoritma backpropagation. Proses pembelajaran dilakukan sampai terjadi overtraining untuk memetakan pola hubungan faktorpenentu penerimaan dan pendapatan petani tebu. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa biaya sewa lahan, bibit, pestisida dan tenaga kerja memiliki kontribusi yang besar dalam mempengarui penerimaan dan pendapatan petani. Biaya sewa lahan yang tinggi dengan penggunaan biaya kerja yang rendah akan menekan pendapatan petani sehingga usaha tani tebu harus diusahakan secara intensif. Selain itu, biaya modal sendiri cenderung lebih menekan pendapatan dibandingkan dengan modal pinjaman.

Kata Kunci: neural network, linearitas, polynomial

ABSTRACT

Currently, most analyses in agribusiness uses economteric approach since it excels in economics interpretation such as elasticity, return to scales, supply and demand, and so on, In econometrics, most of the analyses are assumed to be linear, yet themodelsare quite sensitive to multicolinierities. Moreover, most of the problems in agriculture are complex, mostly non linier or polynomial and sometime hazzy, especially for the social variables. Therefore, soft computing such as artificial neural network, fuzzy logic, genetic algorithm should be used. This paper investigates the impacts of input, reflectedas cost, on revenue and income of the sugarcane farmers using multilayers artificial neural networks. The learning algorithm is back propagation. The learning process is carried out 50.000 times until the model overtrained and the pattern can be derived. The results indicate that the cost for renting land, seed (ratoon and planted combined), pesticide and labour have major contribution on farmer‟s incomes and revenues. High proportion of cost for renting land with lower labour cost will reduce farmers‟ income. Meanwhile, farmers with higher„internal‟ loan have greater presure on farmers‟ income compare to those who have external loans.


(6)

2

2.

SIMULASI KEJADIAN DISKRET PADA PERANCANGAN MANAJEMEN

LOGISTIK DI UNIT LAYANAN LOGISTIK PERTANIAN: STUDI KASUS DI

KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

DISCRETE EVENT SIMULATION FOR DESIGNING OF LOGISTICS

MANAGEMENT IN AGRICULTURAL LOGISTICS SERVICES UNIT: A

CASE STUDY OF KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUN

Kusnandar1, Tomy Perdana2

1Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jalan Gatot Subroto no 10

Jakarta

2Laboratorium Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas PadjadjaranJalan Raya Jatinangor Sumedang

Email: 1kussrai0779@yahoo.co.id, 2tomyp1973@yahoo.com

ABSTRAK

Salah satu tantangan dalam manajemen logistik pertanian adalah karakteristik produk yang mudah rusak akibat proses biologis yang terus berlangsung setelah produk dipanen. Sementara itu di sisi lain, dinamika pasar terus berkembang dengan tuntutan kualitas tinggi dan pasokan yang kontinyu. Salah satu unit layanan logistik pertanian di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung berusaha untuk meningkatkan kualitas dan kontinuitas pasokan yang dihasilkan oleh petani anggotanya, dengan tujuan utama pasarnya adalah pasar terstruktur. Terdapat enam komoditi yang diusahakan denganproses penanganan pasca panen yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model simulasi manajemen logistik dari unit layanan logistik pertanian dengan tujuan memenuhi permintaan pasar, serta syarat waktu proses pengolahan dari setelah panen sampai pengriman tidak lebih dari 6 jam. Kajian mengambil studi kasus di unit layanan logistik pertanian di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Pendekatan yang digunakan adalah simulasi kejadian diskrit yang merupakansimulasi dengan perubahan status dari model simulasi terjadi pada titik-titik waktu yang diskret yang dipicu oleh kejadian.

Kata Kunci: manajemen logistik pertanian; n jenis komoditi; batas waktu penanganan;simulasi kejadian diskret.

ABSTRACT

Perishable characteristics due to biological process is one of the challenge in logistics management of the agricultural products. Meanwhile, the dynamics ofthe marketcontinues to growwiththe demands ofhighqualityandcontinuoussupply. A Logistics services unit located at Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung seeks to increase the quality and continuity of product produced by farmer members, with the main market is structured market. Sixcommoditiesthat havedifferencesin post-harvest handling are cultivated. The

aim of this research is to build a simulation model of logistics management of

agriculturallogisticsservicesunitsin order to meetthe market demand, with the termsofthe processingtime, from harvest to shipments, is no more than 6 hours. A logistics services unit at Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung was taken as case study. Discreteevent simulation,one of thesimulation methode which has characterics ofthechange instatus of the simulation modeloccurs attime pointsthatare causedby discreteevents,was used an approach for building the model.


(7)

ISBN: XXXXXX

3

3.

EMPLOYING AGENT-BASED SIMULATION APPROACH TO

UNDERSTAND THE BEHAVIOR OF DOMESTIC BEEF-CATTLE

PRODUCTION

1

Andre R Daud,

2

Utomo S Putro,

2

Dhanan S Utomo

1Fak. Peternakan Univ. Padjadjaran, 2Sekolah Bisnis&ManajemenInstitutTeknologi Bandung

ardaud@unpad.ac.id

,

utomo@sbm-itb.ac.id

,

dhanan@sbm-itb.ac.id

ABSTRAK

Kajianinibertujuanuntukmendapatkangambaranmengenaiperilakuproduksidagingsapimelaluipendekatansimula sipadadinamikapopulasisapipotongsecaraumum.Mode berbasis agen ( agent based model ) digunakan sebagai representasi dari dinamika populasi tersebut .Penggunaan model ini didasarkan atas kemampuannya dalam mengakomodasi karakteristik produksi sapi potong yang dirasakan cukup kompleks.Berdasarkan hasil simulasi ,berbasis agen dapat menggambarkan dengan baik perilaku system produksi sapi potong serta konsekuensinya pada produksi daging sapi saat ini .tulisan ini juga memaparkan beberapa implikasi dari penggunaan model dan simulasi berbasis agen bagi kajian – kajian selanjutnya.

Kata kunci: sapipotong, dinamikapopulasi, modelberbasisagen, simulasi.

ABSTRACT

The purpose of this paper is mainly to understand the behavior of domestic beef production through estimating the dynamics of domestic cattle population. Agent based model (ABM) approach and its simulation is employed in this study. The main reason to use this approach is on its capability to accommodate the complexity given existing characteristics in cattle and beef production system. Based on the findings, agent-based model approach performs well in explaining the emergent behavior for agricultural production system, especially cattle production system. Several important implications have also been drawn from this study. Therefore, this study has generated several new insights that will be advantages for further studies.

Keyword: beef cattle, population dynamics, agent based model, simulation.

Introduction

The trend of rising import rate on beef and cattle is evident in Indonesia. Facts have shown that to fulfill the domestic demand of beef, Indonesia has to rely on international supply. The quantity of import, both for cattle and beef, is high if compared to other countries in Asia. Meat and Livestock Australia (MLA) had issued a report on their cattle and beef export to Indonesia in 2011. In that period and previous year, Indonesia had imported cattle as sixty to seventy thousand heads. This level of import had been accompanied by the import of beef and beef product. MLA also recorded that in the current year, Indonesia is capable to import as seventy thousand tons of beef a year, and around twenty thousand tons of edible offal to satisfy its domestic demand. Many published data show that the rate of Indonesia‟s import of cattle and beef can be as high as six to nine percent a year in the future.

Incapability of domestic beef production is often considered as the major reason for the increasing level of importation. Thus, the current livestock policies are mainly aimed to expand the capacity to produce beef domestically. In this context, it is important to understand the implication of current cattle population for


(8)

4

beef production. As a biological process, the level and the behavior of beef production are largely determined by the characteristics of given production system. Based on this logic, any instrument that able to describe the output from current population is required to determine some appropriate livestock policies. Principally, the size and structure of cattle population is the basic information that is required to determine the level or the behavior of particular beef production. Once they are known, one can generate any estimation and prediction about the capacity of beef production in given certain period.

However, in the present time, there are limited numbers of work that address the cattle population aspect as the determinants of beef production behavior. This may be driven by the availability of population data, especially in many developed countries. If the data is readily available, production behavior does not have to be estimated, on the contrary, it is counted. The problem is aroused when for any reason there is lack of data, like mostly in the developing countries. The poor infrastructure for agricultural data collection results on the very low availability of important data. In this case, to determine the level or the behavior of beef production, one has to rely on the estimation from given cattle population and the characteristics of production system.

Therefore, the purpose of this paper is mainly to estimate the behavior of beef production from given structure of cattle population and production system. Specifically, there are two objectives that this paper needs to achieve; that is to: (i) assess the dynamics of cattle population given hypothetical population structure; and (ii) estimate the behavior of beef production from given structure of cattle population. Agent based model (ABM) approach then is exercised to generate such behavior on the beef production. The main reason to use the approach is on the model capability to accommodate the complexity given by the characteristic along the beef production. This approach is expected to generate some new insights that is able to contribute in determining the behavior of domestic beef production.


(9)

ISBN: XXXXXX

5

4

.

IDENTIFIKASI FAKTOR PENENTU KINERJA KOPERASI UNIT DESA

(KUD) DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DETERMINANT-FACTORS IDENTIFICATION OF RURAL

COOPERATIVES (KUD) AT YOGYAKARTA PROVINCE

Any Suryantini1

1Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fak. Pertanian, UGM, Jl. Flora, Kampus Bulaksumur, Yogyakarta

Email : suryantini@yahoo.com

ABSTRAK

Koperasi Unit Desa (KUD) didirikan dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan anggotanya. KUD adalah lembaga ekonomi pedesaan yang dikembangkan untuk memfasilitasi kegiatan produksi dan konsumsi masyarakat pedesaan. Adanya Inpres No. 18 Tahun 1998 merupakan penegasan oleh Pemerintah bahwa KUD bukanlah satu-satunya koperasi di pedesaan; implikasinya adalah pembinaan dan pengembangan koperasi di pedesaan tidak semata-mata untuk KUD dan terjadi persaingan bisnis antara KUD dengan koperasi lainnya yg beroperasi di pedesaan. Sejak saat itu terjadi penurunan kinerja KUD. Kinerja koperasi ditentukan oleh faktor internal, antara lain jiwa kewirausahaan pengurus dan anggotanya serta faktor eksternal yaitu perkembangan perekonomian yang mengikuti arus globalisasi. Kemampuan mengembangkan usaha dan mensejahterakan anggotanya menentukan eksistensi koperasi dalam perekonomian di Indonesia. Tulisan ini membahas tentang (1) perubahan kinerja KUD di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (2) identifikasi faktor-faktor yang menentukan kinerja KUD di Provinsi DIY; Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan alat analisis Structural Equation Model (SEM). Hasil analisis menunjukkan kinerja KUD di DIY relatif stabil; (2) Faktor internal adalah penentu kinerja KUD yang dominan disusun oleh komponen keanggotaan, anggota, frekuensi keikutsertaan dalam rapat, perputaran kas dan piutang serta pengetahuan tentang pemilihan pengurus.

Kata-kata kunci: KUD, Kinerja, Manajemen, Anggota

ABSTRACT

Main goal of establishing Rural Cooperatives (KUD) isincreasing the welfare of its members. KUD is a rural economic institutions thatis facilitating the production and consumption of rural communities. Issuance of Presidential Decree No. 18/1998 is an affirmation by the Government that the KUD is not theonly rural cooperatives; it implies that promotion and supporting of cooperatives in rural areas are not solely for KUD and there is competition between KUD with other cooperatives that operate in rural areas. Since then a decline in the performance of cooperatives is happened. KUD‟s performance is determined by internal and external factors. This paper discusses (1) changes in performance of KUD in Yogyakarta Province (DIY) (2) identification of the determinant factors of cooperative‟s performance in the Province of Yogyakarta; research method used is descriptive analysis with analysis tool of Structural Equation Model (SEM). The results show the performance of cooperatives in DIY relatively stable, (2) Internal factor is the determinant factor of the KUD‟s performance which is contributed by membership, frequency of participation in meetings, cash and accounts receivable turnover as well as knowledge of the committee selection.


(10)

6

PENDAHULUAN

Dalam UU RI No. 25 Tahun 1992 dinyatakan bahwa Koperasi, selain sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam tata perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Peran koperasi mengalami pasang surut dalam perkembangan perekonomian nasional.

Negara berkembang seperti Indonesia kurang siap menghadapi era globalisasi. Dari sudut pandang ekonomi, globalisasi pada dasarnya adalah peningkatan interaksi dan integrasi di dalam perekonomian baik di dalam maupun antar negara, yang meliputi aspek-aspek perdagangan, investasi, perpindahan faktor-faktor produksi dalam bentuk migrasi tenaga kerja dan penanaman modal asing, keuangan dan perbankan internasional serta arus devisa (Toha, 2002).

Era globalisasi saat ini berdampak peningkatan pengaruh sistim ekonomi global terhadap sistim ekonomi nasional, namun demikian koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia harus terus dikembangkan dalam rangka memenuhi cita-cita luhurnya. Guna tetap menjaga eksistensi dan mengembangkan koperasi, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui (1) faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung maupun (2) faktor-faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap kinerja koperasi. Hasil penelitian ini menjadi penting untuk merumuskan strategi koperasi dalam bersaing dengan usaha yang serupa namun dengan bentuk usaha lainnya.

Dalam perkembangan perekonomian nasional dewasa ini sangat dipengaruhi oleh perekonomian internasional yang saat ini sudah memasuki era globalisasi. Globalisasi menggambarkan proses percepatan interaksi yang luas dalam bidang politik, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Globalisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan multi lapis dan multi dimensi proses dan fenomena hidup yang sebagian besar didorong oleh Barat dan khususnya kapitalisme beserta nilai-nilai hidupnya dan pelaksanaannya (Makinda dalam Latief, 2000).

KOPERASI DALAM PERSPEKTIF PEMANGKU KEPENTINGAN

Koperasi termasuk Koperasi Unit Desa (KUD) adalah salah satu sokoguru perekonomian Indonesia yang terus-menerus harus diberdayakan agar kinerjanya semakin baik, sehingga mampu memberikan manfaat bagi anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hasil kajian KUD di Provinsi Bali menyatakan (1) Kinerja KUD di Provinsi Bali dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh faktor peran serta anggota, sumber daya manusia (SDM) dan aktivitas secara signifikan, sedangkan faktor manajemen, likuiditas, solvabilitas tidak berpengaruh signifikan. Faktor peran serta anggota dipengaruhi oleh lamanya pengguna jasa KUD para anggota,frekuensi mengikuti rapat-rapat KUD secara signifikan, dan tidak dipengaruhi signifikan oleh pelunasan simpanan wajib dan pokok, pengetahuan tentang kegiatan koperasi (pemilihan pengurus); Faktor SDM dipengaruhi oleh jumlah karyawan dan frekuensi pelatihan secara signifikan dan tidak dipengaruhi signifikan oleh tingkat pendidikan; Faktor aktivitas dipengaruhi oleh rasio perputaran persediaan, rasio perputaran modal kerja, dan rasio perputaran ratarata piutang; Sedangkan faktor tidak berpengaruh terhadap faktor internal yakni: faktor manajemen yang dipengaruhi oleh perencanaan, organisasi, pelaksanaan, dan pengawasan; Faktor likuiditas dipengaruhi oleh rasio cepat dan tidak dipengaruhi oleh rasio lancar dan rasio kas; Faktor solvabilitas dipengaruhi oleh rasio hutang, rasio hutang terhadap equitas, dan rasio hutang jangka panjang terhadap equitas. Faktor eksternal ditentukan oleh suku bunga dan inflasi, dan tidak dipengaruhi oleh frekuensi pembinaan. (2) Pengaruh langsung, tidak langsung dan total dari Indikator konstruk terhadap Kinerja Koperasi Unit Desa di Provinsi DIY, yaitu: (i) Faktor internal mempunyai pengaruh langsung sebesar 0,42 dan pengaruh tidak langsung sebesar 0,00. Jadi faktor internal secara total berpengaruh terhadap kinerja KUD sebesar 0,42, (ii) Faktor eksternal mempunyai pengaruh langsung sebesar 0,69 dan pengaruh tidak langsung 0,00. Jadi faktor eksternal secara total berpengaruh terhadap kinerja KUD sebesar 0,69. (Antara & Guntur, 2007) “The relationship between members‟ trust and participation in the governance of cooperatives: the role of organizational commitment” adalah naskah jurnal menjelaskanperilaku partisipatif petani sebagai anggota koperasi pertanian dalam tata kelola koperasi.Diperkenalkan dua konsep dari literatur perilaku organisasi: kepercayaan (trust) dan komitmen (commitment) organisasi. Penelitian ini menguji efek mediator variabel komitmen dalam hubungan antara


(11)

ISBN: XXXXXX

7

kepercayaan petani terhadap koperasi dan perilaku partisipatifnya dalam tata kelola koperasi. Dengan 259 sampel anggota koperasi pertanian di Perancis, hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen afektif memiliki peran mediasi dalam hubungan antara kepercayaan dan partisipasi dalam tata kelola koperasi, terlepas dari sifat kognitif atau afektif kepercayaan.(Barraud-Didiera, et al, 2012).

PERKEMBANGAN KUD DI KABUPATEN SLEMAN DAN BANTUL

KUD di Provinsi DIY tersebar di lima kabupaten dan kotamadya, namun tidak semuanya berkembang baik dan menjalankan kegiatan operasional secara aktif. Secara umum, perkembangan KUD di Kabupaten Sleman dan Bantul relatif lebih baik daripada KUD di kabupaten lainnya. Dengan alasan tersebut maka dipilih masing-masing satu KUD di kedua kabupaten tersebut yang paling menonjol kinerjanya dibanding lainnya. KUD terpilih di Kabupaten Sleman adalah KUD Godean , sedangkan di Kabupaten Bantul adalah KUD Tani Makmur. Berikut adalah Karakteristik anggota dan kinerja KUD tersebut pada tahun 2010, 2011 dan 2012. Tabel 1. Perkembangan Keorganisasian KUD di Kabupaten Sleman dan Bantul

Keorganisasian KUD

Tahun

2010 2011 2012

Jumlah Pengurus

Sleman 5 5 5

Bantul 5 5 5

Jumlah Pengawas

Sleman 3 3 3

Bantul 1 1 2

Jumlah Karyawan

Sleman 32 33 33

Bantul 28 28 28

Jumlah Anggota

Sleman 5835 5847 5864

Bantul 16844 16844 16844

Jumlah Rapat/thn

Sleman 36 36 30

Bantul 42 42 42

Sumber: analisis data primer

KUD merupakan lembaga ekonomi terdiri dari beberapa unsur, yaitu pengawas, pengurus, karyawan dan anggota. Berdasarkan Tabel 1, terlihat tidak ada perkembangan yang signifikan tentang jumlah pengawas, pengurus, dan karyawan baik KUD di Kabupaten Sleman maupun Bantul selama 3 tahun terakhir. Jumlah anggota KUD di Kabupaten Sleman mengalami peningkatan secara bertahap sementara jumlah anggota KUD di Kabupaten Bantul tidak berubah sejak tahun 2010 sampai 2012.

Aktifitas KUD dapat tercermin dari perkembangan pengelola dan anggotanya. Stabilnya jumlah pengelola dan anggota sebagai indikasi awal bahwa kegiatan KUD relatif stabil dan kurang ada pengembangan. Hal ini didukung dengan rerata frekuensi rapat adalah sekali seminggu.

Tabel 2. Karakteristik Pemangku Kepentingan (Stakeholders) KUD Karakteristik

Stakehoders

BANTUL SLEMAN

orang % Orang %

Jenis Kelamin

Laki-laki 23 46,00 44 88,00

Perempuan 27 54,00 6 12,00

Umur

0-14 tahun 0 0 0 0

15-64 tahun 46 92,00 29 58,00

>64 tahun 4 8,00 21 42,00

Pendidikan

Tidak lulus SD 0 0,00 0 0,00

Tamat SD 7 14,00 5 10,00

Tamat SMP 13 26,00 13 26,00


(12)

8

Perguruan Tinggi 13 26,00 13 26,00

Pekerjaan

Petani 12 24,00 11 22,00

PNS 1 2,00 19 38,00

Perangkat Desa 4 8,00 4 8,00

Swasta 33 66,00 16 32,00

Total 50 100 50 100

Sumber: analisis data primer

Secara demografis, pengawas, pengurus, karyawan dan anggota KUD dapat dibedakan berdasar umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Pemangku kepentingan KUD semuanya tergolong usia produktif sementara di Kabupaten Sleman didominasi oleh laki-laki sedangkan di Kabupaten Bantul relatif sebanding antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan pemangku kepentingan KUD sebagian besar adalah sekolah menengah atas. Jenis pekerjaan pemangku kepentingan KUD di Kabupaten Bantul sebagian besar adalah swasta sementara di Kabupaten Sleman relatif bervariasi.

Tabel 3. Komponen penyusun Sisa Hasil Usaha (SHU) KUD

Komponen SHU KUD

Tahun

2010 2011 2012

Partisipasi Anggota

Sleman 259,177,895 231,955,266 250,153,618

Bantul 267,408,499 269,207,472 269,207,472

Partisipasi BukanAnggota

Sleman 100,791,404 11,424,623 123,209,990

Bantul 217,152,425 212,821,182 206,294,252

Beban Usaha

Sleman 260,539,126 267,459,153 267,772,814

Bantul 393,767,687 392,193,744 402,407,788

Pendapatan & Beban Lain-lain

Sleman 88,320,511 118,054,343 92,007,700

Bantul 150,977 240,545 5,456,903

Total SHU

Sleman 94,580,962 94,363,349 94,017,705

Bantul 40,455,890 41,596,239 22,730,063

Sumber: analisis data primer

Kegiatan operasional KUD idealnya ditujukan untuk melayani anggotanya, dengan demikian kesesuaian unit usaha dengan kebutuhan anggota dapat ditunjukkan dengan tingginya partisipasi anggota pada berbagai unit usaha KUD. Pada tabel di atas terlihat bahwa partisipasi anggota KUD di Kabupaten Sleman jauh lebih tinggi daripada partisipasi bukan anggota, sementara KUD di Kabupaten Bantul cenderung berimbang antara partisipasi anggota dan bukan anggota pada berbagai unit usaha KUD.

Apabila dilihat dari beban usahanya, KUD di Kabupaten Bantul memiliki beban usaha yang lebih tinggi dari pada KUD di Kabupaten Sleman, namun ternyata total SHU dicapai lebih tinggi KUD di Kabupaten Sleman. Hal itu menyatakan KUD di Kabupaten Sleman lebih efisien proses operasionalnya.

FAKTOR PENENTU KINERJA KUD

Secara teoritis, kinerja usaha akan ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Pada kasus kinerja KUD, faktor internal terdiri dari kelompok pertanyaan manajemen, partisipasi anggota, likuiditas, aktivitas usaha dan sumberdaya manusia (SDM). Menurut persepsi pemangku kepentingan KUD, setiap kelompok pertanyaan yang menyusun faktor internal KUD tergolong baik, meskipun beberapa hal seperti pengetahuan pemilihan pengurus dan rasio perputaran pihutang tergolong cukup. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi pemangku kepentingan terhadap faktor internal KUD adalah baik.


(13)

ISBN: XXXXXX

9

Tabel 4. Persepsi Pemangku Kepentingan (Stakeholder) terhadap FaktorPenentu Kinerja KUD

Variabel Komponen Penyusun nilai makna Rerata Makna

INTERNAL (X2)

Manajemen (X1) Perencanaan (X1.1) 4.06 Baik

Pengorganisasian (X1.2) 4.14 Baik

Pelaksanaan (X1.3) 3.98 Baik 4.06 Baik

Partisipasi Anggota

(X2) Melunasi Simpanan Wajib &Pokok( X1.4) 3.56 Baik

frek. Mengikuti rapat-rapat koperasi

(X1.5) 3.68 Baik

pengetahuan ttg pemilihan pengurus

(X1.6) 3.26 Cukup

lamanya menjadi anggota koperasi

(X1.7) 3.49 Baik 3.5 Baik

Likuiditas (X3) Rasio Lancar (LR) (X1.8) 3.97 Baik

Rasio Cepat (RC) (X1.9) 3.86 Baik

Rasio Kas (RK) (X1.10) 3.93 Baik 3.92 Baik

Aktivitas usaha (X5)

Rasio Perputaran Persediaan (PP)

(X1.11) 3.12 Baik

Rasio Perputaran Modal Kerja (PMK)

(X1.12) 3.91 Baik

Rasio Perputaran rata-rata Piutang

(X1.13) 3.22 Cukup 3.42 Baik

SDM (X6) Jumlah Karyawan (X1.14) 4.03 Baik

Tingkat Pendidikan (X1.15) 3.86 Baik

Frekuensi Pelatihan (X1.16) 3.68 Baik 3.86 Baik

EKSTERNAL (X1) Tingkat Inflasi (X2.1) 3.69 Baik

Frekuensi Pembinaan (X2.2) 3.85 Baik 3.77 Baik

KINERJA KUD (Y) Kemajuan KUD (Y1.1) 3.72 Baik

Pelayanan Koperasi (Y1.2) 3.86 Baik

Assets (Y1.3) 3.75 Baik 3.78 Baik

Sumber: analisis data primer

Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengetahui layak (sahih) atau tidaknya instrument penelitian (kumpulan pertanyaan/kuesioner). Semua elemen pertanyaan adalah sahih dinyatakan dengan nilai-nilai CorrectedItem - Total Correlation lebih besar dari nilai r tabel dengan tingkat kesalahan () 0,05 yaitu sebesar 0,195. Hal ini bermakna semua instrumen penelitian (observed) layak digunakan sebagai indikator dari konstruk (laten variabel).

Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan utk mengetahui ketepatan dari suatu data, Berdasarkan hasil perhitungan dengan program SPSS dapat disajikan pengujian reliabilitas pada Tabel berikut ini.

Tabel 5. Hasil Pengujian Reliabilitas

Variabel Alpha Keterangan

X1 Internal 0,810 Reliabel

X2 Eksternal 0,662 Reliabel

Y1 Kinerja KUD 0,605 Reliabel

Sumber: Data primer yang diolah, 2013


(14)

10

penelitian (konstruk) yaitu variabel internal, eksternal dan kinerja adalah reliabel, atau ketepatannya tinggi sebagai variabel (konstruk) pada suatu penelitian.

Uji Ukuran Sampel, Normalitas, Goodness of Fit Ukuran sampel

Analisis Structural Equation Model(SEM)membutuhkan sampel dengan ukuran besar, minimum 100 unit atau lima observasi untuk setiap estimasi parameter. Pada penelitian digunakan 20 parameter sehingga digunakan 100 sampel.

Uji Normalitas Data

Uji normalitas univariat dan multivariat data program AMOS 18.0 menggunakan kriteria Critical Ratio (CR) yang dibandingkan dengan nilai Z kritis sebesar ± 2.58 pada tingkat kesalahan() 0.01. Jika nilai CR > nilai Z kritisnya maka data tidak normal dan sebaliknya jika nilai CR < Z kritisnya data dikatakan normal. Secara uji univariat beberapa data tidak berdistribusi normal. Secara multivariat data juga tidak berdistribusi normal karena 6,634 > 2,58. Hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena berdasarkan dalil limit pusat (central limit theorem) jumlah sampel yang besar akan mengikuti distribusi normalmeskipun populasi dari mana sampel diperoleh tidak berdistribusi normal (Widarjono 2010).Sampel yang digunakan dalam kasus ini berjumlah 100.

Uji Goodness of Fit

Confirmatory Factor Analysis adalah pengujian unidimensionalitas dari dimensi-dimensi yang menjelaskan faktor laten yang dimasukkan dalam model. Hasil pengujian menunjukkan bahwa indeks-indeks pengujian yaitu: RMSEA sebesar 0,073 (0,073≤0,08), CMIσ/DF sebesar 1,521 (1,521≤2,00), TLI sebesar 0,797 (0,797≥0,95), CFI sebesar 0,833 (0,833≥0,95), yang berarti bahwa tidak terdapat perbedaan antara matriks kovarians sampel dan matriks kovarians populasi yang diestimasi. Oleh karena itu model dapat diterima, sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat faktor internal dan faktor eksternal.

Tabel 6. Hasil Uji Goodness of Fit

Indeks Goodness of Fit Cut of Value Hasil Model Keterangan

X2 Chi Square (CMIN) Diharap kecil 261,587

Derajat bebas

RMSEA ≤ 0,08 0,073 Baik

CMIN/DF ≤ 2,00 1,521 Baik

TLI ≥ 0,95 0,797 Kurang

CFI ≥ 0,95 0,833 Kurang

Sumber: Data primer yang diolah, 2013

Catatan : RMSEA = The root mean square erros of apoximation CMIN = The minimum simple discrepancy function TLI = Tucker lewis index

CFI = comperative fit index

Atas dasar model teoiritis yang dibangun, sebuah diagram jalur dapat dihasilkan seperti yang dinyatakan dalam gambar berikut ini.


(15)

ISBN: XXXXXX

11

Gambar 1. Faktor-faktor Penentu Kinerja KUD

Evaluasi atas Regression Weight untuk Uji Kausalitas

Evaluasi atas Regression Weight untuk kausalitas menggunakan nilai CR. Hasil pengujian seperti disajikan pada tabel menunjukkan bahwa semua koefisien regresi secara signifikan tidak sama dengan nol, karena itu hipotesis nol bahwa regression weight adalah sama dengan nol ditolak, dan menerima hipotesis alternatif bahwa masing-masing indikator memiliki hubungan kausalitas dengan kinerja.


(16)

12

Tabel 7. Estimasi Parameter Regression Weights untuk Variabel Internal terhadap Kinerja KUD

Hubungan antar komponen

unstandardized estimate

standardized

estimate C.R. P

Variabel Internal terhadap Kinerja KUD 1,141 ,990 3,507 ***

Komponen Variabel Internal

Perencanaan (X1.1) 1,000 ,473

Pengorganisasian (X1.2) ,613 ,372 2,955 ,003

Pelaksanaan (X1.3) ,585 ,370 2,973 ,003

Melunasi Simpanan Wajib &Pokok( X1.4) ,752 ,315 2,634 ,008

frek. Mengikuti rapat-rapat koperasi

(X1.5) 1,556 ,631 4,165 ***

pengetahuan ttg pemilihan pengurus

(X1.6) 1,508 ,554 3,855 ***

lamanya menjadi anggota koperasi (X1.7) 1,643 ,636 4,182 ***

Rasio Lancar (LR) (X1.8) ,390 ,233 2,045 ,041

Rasio Cepat (RC) (X1.9) 1,419 ,627 4,109 ***

Rasio Kas (RK) (X1.10) ,542 ,288 2,851 ,004

Rasio Perputaran Persediaan (PP) (X1.11) ,517 ,288 2,454 ,014

Rasio Perputaran Modal Kerja (PMK)

(X1.12) ,883 ,654 4,231 ***

Rasio Perputaran rata-rata Piutang

(X1.13) 1,433 ,466 3,500 ***

Jumlah Karyawan (X1.14) ,804 ,500 3,662 ***

Tingkat Pendidikan (X1.15) ,932 ,475 3,548 ***

Frekuensi Pelatihan (X1.16) 1,472 ,518 3,901 ***

Sumber: analisis data primer Dari tabel diatas dapat dilihat

pengaruh faktor internal sangat dominan terhadap kinerja KUD, hal tersebut terlihat pada standardized estimates yang mencapai 0,990. Nilai probability (p) yang sangat kecil menyatakan bahwa faktor internal berpengaruh nyata terhadap kinerja KUD. Diantara faktor internal, yang besar kontribusinya adalah jangka waktu (lama) menjadi anggota, frekuensi keikutsertaan dalam rapat, perputaran kas dan piutang serta pengetahuan tentang pemilihan pengurus.

Tabel 8. Estimasi Parameter Regression Weights untuk Variabel Eksternal terhadap Kinerja KUD

Hubungan antar komponen

unstandardized estimate

standardized

estimate C.R. P

Variabel Ekternal terhadap Kinerja KUD ,173 ,824 ,410

Komponen Variabel Eksternal

Frekuensi Pembinaan (X2.2) 1,000 ,561

Tingkat Inflasi (X2.1) 1,876 ,801 2,576 ,010


(17)

ISBN: XXXXXX

13

Tabel di atas menyatakan bahwa variabel eksternal disusun oleh komponen tingkat inflasi dan frekuensi pembinaan KUD, namun karena nilai probabilitas (p) 0,410 yang lebih besar dari 0,05 yaitu tingkat kesalahan yang dapat ditolerir maka variabel eksternal dinyatakan tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja KUD.

KESIMPULAN

Telah ditetapkan bahwa koperasi adalah soko guru perekonomi Indonesia. Diharapkan koperasi mampu sebagai penyokong utama perekonomian di Indonesia dan mensejahterakan anggotanya. KUD sebagai lembaga koperasi wajib ditumbuh-kembangkan utamanya di wilayah pedesaan. Berdasarkan analisis di atas, dapat diketahui bahwa KUD di Kabupaten Bantul dan Sleman mengalami perkembangan yang lambat diindikasikan dengan perkembangan jumlah, partisipasi dan nilai SHU yang relatif stabil selama jangka waktu 2010-2012.

Faktor penentu utama kinerja KUD adalah faktor internal. Hal-hal yang memberikan kontribusi tinggi pada faktor internal untuk menjelaskan kinerja KUD adalah jangka waktu (lama) menjadi anggota, frekuensi keikutsertaan dalam rapat, perputaran kas dan piutang serta pengetahuan tentang pemilihan pengurus. Sosialisasi pengelola KUD tentang berbagai layanan (unit usaha) KUD terhadap anggota maupun masyarakat setempat sangat penting dilakukan agar partisipasi anggota meningkat dan ketertarikan masyarakat menjadi anggota juga meningkat. Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang mengundang seluruh anggota KUD akan meningkatkan pemahaman anggota terhadap kegiatan operasional, kapabilitas dan kinerja KUD. Pemahaman yang lebih baik akan meningkatkan partisipasi anggota dalam pencapaian kinerja KUD yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:

Antara, Made & Anderson Guntur Komenaung. Kinerja Koperasi Unit Desa di Provinsi Bali: Pendekatan Structural Equation Model. SOCA, 7 (3).

Ferdinand, Augusty. 2000. „Structural Equation Modeling Dalam Penelitian manajemen‟. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponogoro.

Latief, Dochak. 2000.Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global. Surakarta:Muhammadiyah University Press

Thoha, Mahmud. 2002. Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Penerbit Pustaka Quantum.

Sumber Jurnal:

Barraud-Didiera, Valérie, Marie-Christine Henninger dan Assâad El Akremi, 2012.The Relationship Between Members‟. Trust and Participation in the Governance of Cooperatives: The Role of Organizational Commitment, International Food and Agribusiness Management Review, 15 (1).

Mahri, A Jajang W. 2006. Pelayanan dan Manfaat Koperasi, serta Pengaruhnya terhadap Partisipasi Anggota (Suatu Kasus pada Koperasi Produsen Tahu Tempe Kabupaten Tasikmalaya). Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), 6 (6), Oktober.


(18)

14

5.

PENTINGNYA PENDEKATAN SISTEM DALAM MENGANALISIS ALIH

FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIANDI KABUPATEN

KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH

Joko Sutrisno

1

, Sugihardjo

2

dan Umi Barokah

1Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian dan Peer Group PPKwu LPPM UNS Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta 2Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian UNS Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta

3Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian UNS Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta

Email:1

jokotris_uns@yahoo.com,2giek_bb@yahoo.com,3har_umi10@yahoo.com

ABSTRAK

Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan masalah klasik di sektor pertanian. Fenomena tersebut telah terjadi sejak tahun 1980-an dan disinyalir meningkat lagi sejak awal tahun 2000-an sampai sekarang. Laju alih fungsi lahan pertanian diperkirakan mencapai 100.000 hektar per tahun. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor yang bersifat kewilayahan dan faktor individu petani sebagai pelaku alih fungsi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah, diketahui bahwa faktor wilayah yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian diantaranya adalah laju pertumbuhan penduduk, besarnya PDRB sektor non pertanian, dan jumlah industri, sedangkan faktor individu petani meliputi pendapatan petani dari usahatani dan luar usahatani, produktivitas lahan dan harga lahan. Dampak alih fungsi lahan pertanian sangat besar nilainya, hal ini karena lahan pertanian mempunyai banyak fungsi yang dikenal dengan istilah multifungsi lahan pertanian, baik fungsi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Alih fungsi lahan pertanian menyebabkan hilangnya atau berkurangnya fungsi sebagai penghasil produksi pertanian, fungsi sebagai penyedia lapangan kerja, fungsi sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2, dan fungsi-fungsi lingkungan yang lain. Melihat

kompleksitas penyebab dan dampak alih fungsi lahan pertanian maka pendekatan sistem sangat diperlukan dalam menganalisis permasalahan tersebut.

Kata-Kata Kunci : alih fungsi, lahan pertanian, multifungsi, pendekatan sistem

PENDAHULUAN

Salah satu permasalahan dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan pangan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pangan No. 18 Tahun 2012 adalah adanya alih fungsi lahan pertanian yang masih tinggi dan tidak terkendali (Rana, 2012). Kalau dirunut, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian sebenarnya merupakan masalah yang klasik di sektor pertanian. Menurut Hafsjah (2003), laju alih fungsi lahan pertanian potensial ke penggunaan non pertanian secara nasional mencapai sekitar 47.000 hektar per tahun dan sebagian besar terjadi di Pulau Jawa, yaitu sekitar 43.000 hektar per tahun. Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 mengungkapkan bahwa selama tahun 2000-2002 luas lahan sawah yang dialihfungsikan ke penggunaan non pertanian (perumahan, kawasan industri, sarana publik, dan lain-lain) rata-rata 187,7 ribu hektar per tahun. Sedangkan luas pencetakan sawah baru jauh lebih kecil, yaitu hanya 46,4 ribu hektar per tahun, sehingga luas lahan sawah rata-rata berkurang 141,3 ribu hektar per tahun (Irawan, 2008). Menurut Menteri Pertanian Suswono (2011) di Pulau Jawa saja, sudah terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 27.000 hektar per tahun. Apalagi dengan rencana pembangunan tol Trans Jawa setidaknya akan mengalihfungsikan lahan pertanian sekitar 4.500 hektar.Menurut Musa (2013) laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian tersebut mencapai 100.000-an hektar per tahun. Kenyataan semakin luasnya alih fingsi lahan pertanian ke non pertanian tentu saja dapat mengganggu tujuan untuk mempertahankan ketahanan pangan nasional.Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi wilayah, di Provinsi Jawa Tengah juga terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non


(19)

ISBN: XXXXXX

15

pertanian. Berdasarkan data Penggunaan lahan dari Badan Pusat Statistik Jawa Tengah dalam kurun waktu sepuluh tahun (2000-2010), lahan pertanian di Provinsi Jawa Tengah telah dialihfungsikan sebesar 14.916 hektar atau kurang lebih terjadi alih fungsi lahan pertanian sebesar 1.491 hektar per tahunnya (Sutrisno, dkk, 2012). Realita di lapangan jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan data tersebut, karena banyak kejadian alih fungsi lahan pertanian yang dilakukan secara illegal. Salah satu wilayah di Provinsi Jawa Tengah yang lahan pertaniannya banyak dialihfungsikan ke non pertanian adalah Kabupaten Kudus. Oleh sebab itu tulisan ini berusaha untuk mengkaji permasalahan alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Kudus.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah, dengan pertimbangan di Kabupaten Kudus banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, padahal Kabupaten Kudus merupakan salah satu daerah penghasil beras (padi) di Indonesia. Penelitian dilakukan pada tahun 2012 dan 2013, dengan menggunakan data primer dan sekunder.Data sekunder yang digunakan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kudus tahun 2000 dan 2010. Analisis data dilakukan dengan mendeskripsikan sebaran alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Kudus, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan mendeskripsikan dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap multifungsi lahan pertanian.

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS

Kabupaten Kudus dengan potensi wilayah yang terletak di jalur strategis pantai utara dengan topografi daerah relatif datar serta potensi sumber daya alam yang cukup melimpah sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat sebagai kota industri. Menurut Kuncoro (2012) dalam studinya menemukan bahwa pusat industri manufaktur Indonesia berlokasi di Pulau Jawa khusus di Jawa Tengah berlokasi di Kota Semarang, Kota Surakarta dan Kabupaten Kudus. Lebih lanjut Kasiran (1999) menyatakan bahwa kondisi dimana pergeseran struktur ekonomi dari pertanian ke industri dan jasa akan mengakibatkan banyak lahan pertanian yang dikonversi.

Berdasarkan data Kudus Dalam Angka, Kabupaten Kudus telah mengalami penurunan luas lahan pertanian sebesar 1.365 hektar selama kurun waktu 10 tahun (2000 – 2010). Jumlah yang cukup besar mengingat wilayah pantura merupakan salah satu daerah penyangga pangan nasional. Pemerintah Kabupaten Kudus telah berupaya untuk melakukan pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian melalui penyusunan beberapa kebijakan, diantaranya adalah Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kudus Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kudus yang berisi tentang tujuan pemanfaatan ruang, struktur dan pola pemanfaatan ruang, dan pola pengendalian pemanfaatan ruang. Namun pada kenyataanya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Kudus masih dikategorikan besar. Selain itu, kenyaatan menunjukkan bahwa masyarakat dalam melakukan alih fungsi lahan pertanian tidak memperhatikan arahan penggunaan lahan yang tercantum dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah. Sebaran alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kabupaten Kudus dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbedaan Luas Lahan Pertanian di Kabupaten Kudus Tahun 2000 dan 2010

No. Kecamatan Luas Lahan Pertanian (Ha)

Tahun 2000 Tahun 2010 Perbedaan

1 Kaliwangu 2318 2235 -83

2 Kota Kudus 225 223 -2

3 Jati 1312 1038 -274

4 Undaan 6005 6005 0

5 Mejobo 2336 1812 -524

6 Jekulo 5397 5367 -30

7 Bae 1425 1167 -258

8 Gebog 3366 3356 -10

9 Dawe 5560 5376 -184

Total 27944 26579 -1365


(20)

16

(-) = Luas Alih Fungsi Lahan Pertanian

Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa selama kurun waktu 10 tahun (2000 sampai 2010) di Kabupaten Kudus telah terjadi alih fungsi lahan pertanian sebesar 1.365 hektar atau sekitar 136,5 hektar setiap tahun.Alih fungsi lahan pertanian tersebut menyebar hampir di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Kudus, kecuali Kecamatan Undaan. Alih fungsi lahan pertanian yang paling luas terjadi di Kecamatan Mejobo, Jati, Bae dan Dawe. Kecamatan-kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang berada dekat dengan Kecamatan Kota Kudus, sehingga dapat disimpulkan bahwa alih fungsi lahan pertanian yang terjadi merupakan dampak dari perkembangan Kota Kudus. Di Kecamatan Kota Kudus sendiri hanya sedikit lahan pertaniannya yang beralih fungsi karena

sudah semakin sempitnya lahan pertanian di Kecamatan Kota Kudus. Perbedaan luas alih fungsi lahan pertanian di tiap kecamatan yang ada menjadi indikasi adanya pengaruh faktor wilayah terhadap alih fungsi lahan pertanian.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian sudah banyak dilakukan sejak tahun 1990-an. Secara garis besar hasilnya sebagai berikut : Witjaksono (1996) ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan. Menurut Nasoetion dan Winoto (1996) proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (i) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (ii) sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan. Menurut Winoto (1995) dalam Nasoetion dan Winoto (1996), alih fungsi lahan 59,08 persen ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada seperti halnya perubahan dalam land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. Faktor luar sistem pertanian seperti industrialisasi dan faktor-faktor perkotaan lainnya menjelaskan 32,17 persen, dan faktor demografis hanya menjelaskan 8,75 persen.Berdasarkan hal tersebut, maka faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada. Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat.

Menurut pihak Badan Pertanahan Nasional yang dilaporkan oleh Suwarno (1996), upaya-upaya pengendalian konversi lahan oleh pemerintah terasa memberikan hasil yang diharapkan. Namun penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian yang dilakukan Irawan, et al. (2000) menunjukkan bahwa peraturan yang ada belum cukup efektif untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke penggunaan lain.

Penelitian Syafa‟at et al. (1995) di Jawa menemukan bahwa alasan utama petani melakukan alih fungsi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan. Pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan alih fungsi dan rasio pendapatan non pertanian terhadap pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat petani untuk melakukan konversi. Alih fungsi lahan sawah ke pertanian lain dan ke pemukiman dapat terjadi tanpa melalui transaksi. Namun kasus di Jawa menunjukkan bahwa kasus alih fungsi lahan pertanian seperti itu jauh lebih sedikit dibandingkan yang melalui transaksi. Ini menunjukkan bahwa harga lahan sawah sangat mempengaruhi alih fungsi lahan sawah (Sumaryanto et al, 1996).Hasil temuan Rusastra et al. (1997) di Kalimantan Selatan,


(21)

ISBN: XXXXXX

17

alasan utama petani melakukan alih fungsi lahan adalah karena kebutuhan dan harga lahan yang tinggi, skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan.

Penelitian Syafa‟at et al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke

pertanian dan non pertanian adalah : (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat.

Penelitian Jamal (2001), di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, harga jual lahan yang diterima petani dalam proses alih fungsi lahan secara signifikan dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di lahan tersebut, jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan peubah lain tidak berpengaruh signifikan.Secara makro, untuk wilayah Jawa dapat dilihat adanya hubungan antara rataan luas lahan sawah yang beralihfungsi setiap tahun dengan rataan pertumbuhan PDRB, khususnya PDRB total dan PDRB transportasi dan komunikasi. Artinya makin tinggi aktivitas ekonomi akan membutuhkan lahan sebagai input kegiatan produksi yang dilakukan. Keterbatasan lahan di Jawa dan keberadaan lahan sawah yang sebagian besar pada daerah yang mudah diakses, menyebabkan banyak lahan sawah yang digunakan untuk mendukung aktivitas ekonomi tersebut.

Namun hubungan konversi lahan sawah dengan PDRB industri dan PDRB perdagangan, hotel dan restoran memperlihatkan perilaku yang berbeda Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada periode krisis ekonomi kegiatan industri di Indonesia mengalami stagnan. Sebaliknya kegiatan perdagangan (khususnya impor) dan pariwisata mengalami peningkatan akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Dua kegiatan ini bersama dengan pengeluaran pemerintah dan penjualan asset berupa lahan sawah bagi sebagian masyarakat untuk menghindari tekanan ekonomi saat krisis diperkirakan yang menyebabkan banyaknya lahan yang terkonversi pada saat krisis ekonomi.

Dari uraian tersebut, pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor wilayah dan faktor individu petani.

Faktor Wilayah Yang Mempengaruhi Alih fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Kudus

Data yang dianalisis menggunakan analisis regresi linier berganda dengan menggunakan program SPSS didapatkan hasil seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Faktor – faktor Wilayah yang Mempengaruhi Alih Fungsi lahan Pertanian di Kabupaten Kudus

Uji t

Variabel Koefisien

Regresi

thitung Sig Ket

Laju Pertumbuhan Penduduk (X1) 4563,725 3,324 0,021** Sig

PDRB ADHK (X2) 0,328 6,068 0,002*** Sig

Jumlah industri (X3) 15,139 3,998 0,010*** Sig

Panjang jalan (X4) 0,003 1,628 0,164 Ns

R = 0,953 R2 = 0,90 F = 0,008***ttabel = 2,306** ; 3,355***

Ket : **) Signifikan pada tingkat kepercayaan 95% ***) Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%

Dari analisis tersebut variabel laju pertumbuhan penduduk, PDRB atas dasar harga konstan dan jumlah industri berpengaruh secara signifikan terhadap laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

Faktor Petani Yang Mempengaruhi Alih fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Kudus

Data yang dianalisis menggunakan analisis regresi linier berganda dengan menggunakan program SPSS didapatkan hasil seperti yang tercantum pada Tabel 3


(22)

18

Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Faktor–Faktor Petani yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Kudus

Uji t

Variabel Koefisien Regresi thitung Sig Ket

Umur Petani (X1) 0,055 0,083 0,935 Ns

Tanggungan Keluarga (X2) 2,196 0,354 0,727 Ns

Pendapatan UT (X3) 7,493 x10-7 1,810 0,083* Sig

Pendapatan Luar UT (X4) 4,579 x10-7 4,594 0,000*** Sig

Produktivitas Lahan (X5) 11,886 1,961 0,062* Sig

Harga Lahan (X6) 2,487 x10-8 1,898 0,070* Sig

R = 0,754 R2 = 0,56 F = 0,002***t

tabel = 2,763*** ; 1,701*

Ket : *) Signifikan pada ,tingkat kepercayaan 90% ***) Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%

Dari analisis tersebut diketahui bahwa pendapatan usahatani, pendapatan luar usahatani, produktivitas lahan dan harga lahan berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP MULTIFUNGSI LAHAN PERTANIAN

Istilah "multifungsi" pertanian mulai muncul di dunia internasional pada awal tahun 1992, di Rio Earth Summit(De Vries, 2000). Istilah "Multifungsi Pertanian" telah dengan cepat berkembang untuk digunakan dalam diskusi mengenai masalah lingkungan, pertanian dan perdagangan internasional, Pendukung multifungsi di bidang pertanian umumnya menunjukkan manfaat lain selain penghasil pangan atau serat yang bisa berasal dari pertanian, manfaat tersebut sering kurang/tidak dihargai di pasar dan jenisnya bervariasi yang sangat tergantung pada kondisi pertanian itu sendiri. Manfaat ini biasanya mencakup kontribusi terhadap kepentingan masyarakat pedesaan (melalui pemeliharaan pertanian keluarga, kesempatan kerja di pedesaan dan warisan budaya), biologis, keanekaragaman, rekreasi dan pariwisata, kesehatan air tanah, bioenergi, lansekap, pangan yang berkualitas dan aman, serta habitat bagi hewan-hewan tertentu. Pemahaman yang komprehensif terhadap multifungsi lahan pertanian sangat diperlukan agar kecenderungan "under valued" terhadap sumberdaya tersebut dapat dihindarkan (Bappenas, 2006). Fungsi utama lahan pertanian adalah untuk mendukung pengembangan produksi pangan, khususnya padi dan palawija. Namun justifikasi tentang perlunya pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian harus berbasis pada pemahaman bahwa lahan pertanian mempunyai manfaat ganda (multifungsi) (Irawan, 2005). Secara holistik, manfaat tersebut terdiri dari dua kategori: (1) nilai penggunaan (use values), dan (2) manfaat bawaan (non use values). Nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumberdaya lahan pertanian. Manfaat bawaan dapat pula disebut sebagai intrinsic values, yaitu berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan pertanian. Manfaat bawaan mencakup kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai wahana pendidikan, dan sebagainya.

Nilai penggunaan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu manfaat langsung (direct use values) dan manfaat tidak langsung (indirect use values). Manfaat langsung mencakup dua jenis manfaat, yaitu : (1) Manfaat yang nilainya dapat diukur dengan harga pasar atau marketed output, yaitu berbagai jenis barang yang nilainya dapat terukur secara empirik dan diekspresikan dalam harga output, misalnya berbagai produk yang dihasilkan dari kegiatan usahatani. Jenis manfaat ini bersifat individual, berarti manfaat yang diperoleh secara legal hanya dapat dinikmati oleh para pemilik lahan. (2) Manfaat yang nilainya tidak dapat diukur dengan harga pasar (unpriced benefit). Jenis manfaat ini tidak hanya dapat dinikmati oleh pemilik lahan tetapi dapat pula dinikmati oleh masyarakat luas, misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan (Irawan, 2005).

Manfaat tidak langsung dari keberadaan lahan pertanian umumnya terkait dengan aspek lingkungan. Yoshida (1994) dan Kenkyu (1998) dalam Irawan (2005) menguraikan bahwa keberadaan lahan pertanian dari aspek lingkungan memberikan lima jenis manfaat, yaitu : kontribusinya dalam mencegah banjir, pengendali keseimbangan tata air, mencegah terjadinya erosi, mengurangi pencemaran lingkungan yang


(23)

ISBN: XXXXXX

19

berasal dari limbah rumah tangga dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Seluruh jenis manfaat dapat dinikmati oleh masyarakat umum dengan cakupan wilayah yang lebih luas, karena masalah lingkungan yang ditimbulkan dapat bersifat lintas daerah.

Alih fungsi lahan pertanian akan mengakibatkan tidak hanya hilangnya potensi produksi pangan nasional, tetapi mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya multifungsi lahan pertanian tersebut.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dan alih fungsi lahan pertanian menimbulkan dampak yang beragam terhadap multifungsi lahan pertanian. Begitu kompleknya permasalahan alih fungsi lahan pertanian ini maka sangat penting menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis dan memecahkan persoalan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

UCAPAN TERIMA KASIH

Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian dengan judul Pengembangan Model Insentif dan Disinsentif untuk Mengurangi Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian Dalam Rangka Mempertahankan Swasembada Beras di Propinsi Jawa Tengah, yang didanai oleh Direktorat DP3M Dikti melalui Program Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Oleh sebab itu penulis ucapkan terimakasih kepada Direktorat DP3M Dikti yang telah mendanai penelitian tersebut Tahun 2012 dan 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:

- [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Direktorat Pangan dan Pertanian. Jakarta.

- [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Sensus Pertanian (ST) 2003. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta.

- [BPS] Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah. 2000. Luas Penggunaan Lahan di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2000. Semarang.

_________________________. 2010. Luas Penggunaan Lahan di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2010. Semarang.

Sumber prosiding seminar:

- Hafsjah, J. 2003. Deptan menahan laju konversi lahan pertanian. Makalah pada Seminar Pengelolaan Sumberdaya Pertanian Dalam Rangka Menunjang Agropolitan. Surakarta. 28 Mei 2003.

- Irawan, B., Purwoto A., Saleh C., Supriatna A. dan Kirom, N.A. 2000. Pengembangan Model Kelembagaan Reservasi Lahan Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

- Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 23 (1) : 1 – 18.

- Irawan, B. 2008. Meningkatkan Efektifitas Kebijakan Konversi Lahan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 26 (2) : 116 – 131.

- [KKBP] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) Indonesia. Jakarta.

- Kuncoro, M. 2012. Perencanaan Daerah, Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota dan Kawasan?. Salemba Empat. Jakarta.

- Kustiwan, I. 1997. Konversi lahan pertanian di pantai utara Jawa. Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial Prisma 26 (1) : 15 – 31.

- Musa, A.M. 2013. Ancaman Krisis Pangan 2014. Makalah pada Seminar Nasional Peningkatan Produksi Pangan dan Cadangan Pangan Masyarakat untuk Menjaga Ketahanan Pangan Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

- Nasoetion, L.I. dan Winoto, J. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya “Persaingan Dalam Pemanfaatan


(24)

20

Sumberdaya Lahan dan Air : Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras. Hal 64-82. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

- Rana, G.K. 2012. Swasembada Pangan Guna Mewujudkan Kemandirian Pangan dan Kesejahteraan Petani. Makalah pada Seminar Nasional Penguatan Agribisnis Perberasan Guna Mewujudkan Kemandirian dan Kesejahteraan Petani. Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta.

- Simatupang, P. dan Irawan, B. 2003. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian : Tinjauan Ulang Kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal 67 – 83

- Sutrisno, J, Sugihardjo dan Umi Barokah. 2012. Sebaran Alih Fungsi Lahan Pertanian Sawah dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Propinsi Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Penguatan Agribisnis Perberasan Guna Mewujudkan Kemandirian dan Kesejahteraan Petani. Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta.

- Suwarno, P.S. 1996. Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Langkah-Langkah Penanggulangannya. Dalam Prosiding Lokakarya “Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air : Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras : 121-134. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

- Syafa‟at, σ., Saliem, H.P. dan Saktyanu, K.D. 1995. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Sawah di Tingkat Petani. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian “Profil Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian, dan Prospek Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Buku 1: 42 – 56. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

- Syafa‟at, σ., Sudana, W., Ilham, N., Supriyadi dan Hendayana, R. 2001. Kajian Penyebab Penurunan Produksi Padi Tahun 2001 di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

- Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan: Suatu Tinjauan Sosiologis. Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras. Hal. 113 - 120. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Sumber internet:

- De Vries, B. 2000. Multifunctional Agriculture in the International Context : A Review.

http://www.landstewardshipproject.org/mba/MFAReview.pdf (30 April 2011).

- Suswono, 2011. Perlu Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan dengan Pendekatan Sosial Ekonomi.

http://www.sinartani.com/index.php?option=com_content&view=article&id=537&catid=293:sorotan&Itemid =584 (30 Juni 2011).

Sumber jurnal:

- , E. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Harga Lahan Sawah pada Proses Alih Fungsi Lahan ke Penggunaan Non Pertanian: Studi Kasus di Beberapa Desa, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi, 19 (1) : 45-63. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

- Kasiran. 1999. Konversi Lahan Sawah di Jawa. Jurnal Air, Lahan, Lingkungan, dan Mitigasi Bencana, 4 (1) : 62 – 66.

- Rusastra, I.W. dan Budhi, G.S. 1997. Konversi Lahan Pertanian dan Strategi Antisipatif dalam Penanggulangannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XVI (4) : 107–113. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.


(25)

ISBN: XXXXXX

21

6.

AKSES MULTIPIHAK DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN

RAJUNGAN (

PORTUNUS PELAGICUS

LINN.) DI KABUPATEN BARRU

Letty Fudjaja

1)

, Didi Rukmana

2)

, Radi A. Gany

3)

, Jamaluddin Jompa

4)

, Heliawaty

5)

1) 2) 3) 5)Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar 4) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar

E-mail: letty_fdj@yahoo.com

ABSTRAK.

Penelitian ini bertujuan untukmenganalisis pengguna akses, kontrol aksesdan pemeliharaan aksesmultipihak terhadap rajungan dalam sistem pengelolaan perikanan rajungan di Kabupaten Barru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan analisis stakeholder untuk mengidentifikasi dan memetakan para aktor serta analisis akses terhadap sumberdaya rajungan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rajunganataublue swimming crab terancam keberlanjutannya, karena dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab oleh berbagai pihak. Ada tiga pihak utama yang berperan penting dalam pengelolaan rajungan Kabupaten Barru yaitu pihak pemerintah, swasta/pengusaha, dan masyarakat nelayan. Ketiga kelompok aktor ini melakukan hubungan-hubungan yang kompleks dalam suatu sistem pengelolaan perikanan rajungan dan saling berkompetisi dalam hal akses terhadap sumberdaya rajungan. Terdapat ketimpangan dalam akses sumberdaya antara pengguna akses, kontrol akses dan pemeliharaan akses multipihak terhadap rajungan di Kabupaten Barru, dimana kontrol dan pemeliharaan akses lebih menjadi tanggungjawab pihak pemerintah, sementara pengguna akses didominasi pihak swasta dan masyarakat nelayan. Kebijakan pengelolaan rajungan tidak efektif. Penegakan kebijakan pengelolaan rajungan yang lemah memperparah kondisi keberlanjutan rajungan di Kabupaten Barru.

Kata kunci: Rajungan (Blue Swimming Crab), multipihak, pengelolaan, akses, kebijakan

PENDAHULUAN

Rajungana atauBlueswimming crabmerupakansalahsatukomoditasekspor yang prospektifdansemakin

Diminati oleh pasar dunia, karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi . Komoditi ini diekspor terutama Amerika dan seperti China, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Malaysia dan sejumlah negara eropa lainnya. Permintaan akan rajungan yang tinggi semakin mendongkrak harga rajungan di pasaran. Data KementerianKelautandanPerikananIndonesia,mencatatsetiaptahunnyanilaieksporkepitingdanrajunganmengala mipeningkatan.Padatahun 2007,total volume ekspor kepitingsejumlah 21.510 ton dengannilai$ 170.000.000 (USD) dan pada tahun 2011, total volume ekspor kepiting mencapai 23.000 ton senilai $ 262.000.000 (USD). Rajungan menyumbang 8 persen dari total nilai ekspor hasil perikanan di tahun 2011, dan menempati urutan keempat terbesar setelah udang (38%), ikan lain (32%), dan tuna (15%) (Fishery Improvement Project (FIP), 2013). Salah satu sentra rajungan adalah Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.Sayangnya, seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia dan tekanan terhadap lingkungan sumberdaya hayati laut, ketersediaanrajungan di Indonesia terusturun 20–30 persensetiaptahun (Anonim, 2012). Saat ini, populasi alami rajungan sudah dalam kondisi overfishing karena eksploitasi berlebih terhadap rajungan tanpa diimbangi upaya-upaya serius untuk pemulihannya. Sulistiono, dkk. (2009) melaporkan tingkatpenangkapanyangdilakukandi perairan utara Jawa (Panimbang, Labuhan, Serang, Cirebon, Rembang), barat Sulawesi (Barru, Maros), Nusa Tenggara Barat (Teluk Bima) telahmelampauibatas optimal yaitu sekitar 113,68 persen , padahal seharusya tingkat optimasi pemanfaatan sumber daya kepiting rajungan di perairan ini adalah sebesar 43, 10 %.


(1)

ISBN: XXXXXX

281

3.2.4.3 Root Definition

Luas lahan bersertifikat di tahun sertifikasi IMO meningkat untuk memenuhi permintaan dari importir jejaring PT. Bloom Agro. Sertifikasi lahan untuk tujuan ekspor harus menjamin dipenuhinya asas transparansi dan keadilan. Berbagai sikap dan budaya petani yang dapat menjadi kendala budidaya organik dikontrol dengan aktivitas yang dilaksanakan oleh ICS.

3.2.5. Modeling Relevant System

3.2.5.1. Formulasi “5 E”

Evaluasi terhadap rencana implementasi atas aktivitas manusia untuk mewujudkan transformasi dikontrol dengan pendekatan analisis logis yang dikenal dengan “5E”. Dengan demikian rencana aktivitas dapat sepenuhnya mencapai transformasi yang diinginkan.

Tabel 2. Formulasi “5E”

No Aspek Formulasi

1 Efficacy transparansi dan kolaborasi dalam seluruh proses agribisnis padi organik

2 Efficiency sumber daya yang digunakan sesuai dengan prinsip organik budidaya SRI

3 Effectiveness persiapan sertifikasi dilaksanakan optimal untuk menjamin tercapainya persyaratan sertifikasi

4 Ethicality proses sertifikasi organik tidak mengurangi hak petani untuk menentukan usaha taninya sendiri

5 Elegance seluruh proses sertifikasi dilakukan dengan mempertimbangkan asas keberlanjutan untuk mewujudkan transformasi

3.2.5.2 Human Activity System

Dalam kajian ini Human activity system (HAS) menunjukkan keterkaitan aktivitas pelaku rantai pasok beras organik yang diperlukan untuk mewujudkan transformasi, yaitu mempertahankan dan meningkatkan lahan bersertifikasi di tahun sertifikasi IMO selanjutnya, dengan menjunjung asas transparansi dan keadilan.

1. Transparansi Harga pada Seluruh

Pelaku Pengusahaan Padi

Organik

3. Kontrol Aktivitas Proses Produksi

Padi Organik 2. Reassessment

dan Evaluasi Penerapan Fair

Trade

5. Sharing dan Diseminasi Informasi terkait

Padi Organik 4. Mendesak

Keterpaduan Regulasi Pemerintah pada

Seluruh Level

Monitor dan Sesuaikan

dengan “5E”


(2)

ISBN: XXXXXX

282

3.2.6. Perbandingan Model dengan Dunia Nyata

Pemangku kepentingan membandingkan model konseptual (Human Activity System) dengan dunia nyata melalui sejumlah pertanyaan berikut:

Tabel 3. Perbandingan Model dengan Dunia Nyata Aktivitas pada

Model

Ada/ Tidak?

Bagaimana? Siapa? Baik/

Buruk? Alternatif Transparansi Harga pada Seluruh Pelaku Pengusahaan Padi Organik

Tidak Ada revisi harga setiap tahun, namun Gapoktan tidak pernah tahu harga jual oleh eksportir

Eksportir, Gapoktan, Kelompok tani, Petani

Baik Harga transparan sejak dari harga ekportir hingga petani untuk menjaga keadilan dan keberlanjutan Reassessment dan Evaluasi Penerapan Fair Trade

Tidak Evaluasi terhadap 4 prinsip fair trade: lingkungan, pekerja, ekonomi, sosial

Petani, ICS, eksportir

Baik Pengajuan kembali penilaian skema fair trade yang telah habis masa berlakunya Kontrol Aktivitas

Proses Produksi Padi Organik

Ada ICS memastikan proses produksi memenuhi persyaratan budidaya organik

Kelompok tani, ICS

Baik -

Mendesak Keterpaduan Regulasi

Pemerintah pada Seluruh Level

Tidak Regulasi pemerintah pada seluruh tingkatan harus memastikan dukungan yang sejalan dengan pengembangan padi organic

Gapoktan, Pemerintah (daerah)

Baik -

Sharing dan Diseminasi Informasi terkait Padi Organik

Ada Terdapat pertemuan rutin kelompok dan penggunaan teknologi (telpon genggam misalnya) Petani, kelompok tani, ICS

Baik Bertukar petani-petani berprestasi untuk menyampaikan informasi di lokasi luar kecamatannya

Sumber: Model diadaptasi dari Lulu (2013) 3.2.7. Perumusan Perubahan

Sebagai hasil dari tahap HAS yang dibandingkan dengan keadaan dunia nyata, pemangku kepentingan kemudian merumuskan perubahan yang diinginkan secara sistematis dan secara kultural layak, relevan, bermakna, dan memenuhi kebutuhan serta keinginan pemangku kepentingan (Checkland 1990 dalam Lulu 2013). Rumusan perubahan tersebut disusun dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada tabel berikut:

Tabel 4. Rumusan Perubahan Proses SSM Kegiatan Diperlukan? Dapat

Dilakukan?

Kemungkinan Aksi Nyata Transparansi Harga

pada Seluruh Pelaku Pengusahaan Padi Organik

Ya Dapat Kolaborasi antara eksportir, Gapoktan dan petani dioptimalkan, meminta eksportir untuk membuka nilai harga jualnya (transparent margin) untuk menjaga keadilan dan keberlanjutan

Reassessment dan Evaluasi Penerapan Fair Trade

Ya Dapat Optimalisasi peran ICS, meningkatkan insentif ICS, menentukan dan melaksanakan indikator nyata yang terukur terhadap pencapaian 4 aspek fair trade Kontrol Aktivitas Ya Dapat Melibatkan petani dan kelompok tani secara lebih


(3)

ISBN: XXXXXX

283

Kegiatan Diperlukan? Dapat Dilakukan?

Kemungkinan Aksi Nyata Proses Produksi Padi

Organik

aktif, mengangkat anggota kelompok tani sebagai mitra ICS, mengoptimalkan peran ICS

Mendesak

Keterpaduan Regulasi Pemerintah pada Seluruh Level

Ya Dapat Konsultasi dan audiensi berkala dari Gapoktan kepada pemerintah (daerah) terkait perkembangan usaha tani padi organik dan menyampaikan

kebutuhan dari sisi kebijakan.Sebaliknya, pemerintah juga diharapkan berperan secara proaktif

Sharing dan

Diseminasi Informasi terkait Padi Organik

Ya Dapat Optimalisasi pertemuan berkala Gapoktan dengan kelompok tani, serta kelompok tani dengan petani. Meminta sejumlah petani berprestasi untuk melakukan diseminasi berkeliling kepada seluruh kelompok tani di seluruh kecamatan di Tasikmalaya 3.2.8. PengambilanTindakan

Pengambilan tindakan dilakukan pada tahap terakhir setelah melaksanakan analisis: 1) rich picture, 2) analisis budaya dari para pemangku keputusan, 3) definisi sistem relevan/ CATWOE, 4) sistem pemodelan relevan menggunakan konsep Human Activity System (HAS), 5) perbandingan model konseptual dengan dunia nyata, dan 6) perumusan perbaikan. Tahap terakhir pengambilan tindakan sepenuhnya diserahkan kepada para pemangku kepentingan sebagai pelaku rantai pasok beras organik. Perbaikan tindakan direkomendasikan untuk dilaksanakan sebelum sertifikasi organik, agar terdapat waktu yang memadai untuk melakukan implementasi konsep perbaikan yang direkomendasikan.

IV. Kesimpulan dan Saran

Pengembangan padi organik di Tasikmalaya sudah dilakukan dengan berorientasi pada pengembangan rantai pasok yang berorientasi ekspor, didasarkan pada berbagai standar yang berlaku di sejumlah negara seperti Amerika Serikat (USDA-NOP), Jepang (JAS) dan Uni Eropa (EU-Regulation 2092/91). Ditemukan bahwa, meskipun telah dijamin oleh sertifikasi IMO dan fair trade, transparansi harga pada seluruh rantai pasok belum terjadi. Jika hal ini tidak diperbaiki, dapat mengganggu terpenuhinya asas keadilan dan keberlanjutan usaha.

Dari temuan di atas, Gapoktan Simpatik disarankan menerapkan sejumlah langkah perbaikan yang muncul dari hasil kajian SSM ini. Eksportir harus mempertimbangkan keberlanjutan usaha sehingga asas keadilan dan transparansi harus dilaksanakan. Perhatian terhadap petani yang tidak lagi membudidayakan padi secara organik juga harus dilakukan. Kajian terhadap kondisi sosial budaya masyarakatnya dapat dijadikan penelitian lebih lanjut.

Daftar Pustaka

Alamsyah, Purnama dan Iin Surminah. 2011. Ilustrasi Penggunaan Soft System Methodology dalam Memahami Kemitraan antara Lembaga Litbang Pemerintah dengan Industri. Warta Kebijakan Iptek dan Manajemen Litbang. LIPI. Jakarta

Balogun, Julia and Veronica Hope Hailey. Exploring Strategic Change. 1999. Prentice Hall Europe. London Biocert. 2008. Potret Perkembangan Pertanian Organik Asia. Newsletter Trust in Organic Edisi 9/Th.2 (Jan -

Mar 2008).

Goenadi dan Isroi. 2003. Aplikasi Bioteknologi dalam Upaya Efisiensi Agribisnis yang Berkelanjutan. http:/www.ipard.com/art perkebun/dhg l.asp.

Lika Lulu. 2013. Manajemen Rantai Pasok Ramah Lingkungan pada Beras Organik Standar IMO (Studi Kasus Gapoktan Simpatik, Kabupaten Tasikmalaya). Skripsi Program Studi Agribisnis Universitas Padjadjaran


(4)

ISBN: XXXXXX

284

Maqsood, Tayyab., Finegan, Andrew D., & Walker, Derek H. 2001. Five case studies applying soft system methodology to knowledge management. In conference‟s name unknown. http://eprints.qut.edu.au/27456.

Reijntjes, C., Bartus, H., dan Water-Bayer. 1992. Pertanian Masa Depan. Kanisius, Yogyakarta

Simbolon, HB. 2003. Peranan Pertanian Organik dalam Pertanian Berkelanjutan dan Peluang Penerapannya di Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(5)

ISBN: XXXXXX

285

41.

MODEL PERILAKU PETANI DALAM ADOPSI SISTEM USAHATANI

PADI ORGANIK: PARADOKS SOSIAL-EKONOMI-LINGKUNGAN

Mahra Arari Heryanto, Yayat Sukayat, dan Dika Supyandi

1)

1) Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian

Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran E-mail: mahra.arari@unpad.ac.id; yayatsukayat@yahoo.com; dika_supyandi@yahoo.com ABSTRAK

Usahatani padi dengan sistem organik bukan merupakan hal baru dalam komoditas padi. Pasca Revolusi Hijau yang akhir-akhir ini dirasakan dampak negatifnya, telah banyak menggugah kesadaran petani akan pentingnya sistem pertanian organik yang lebih ramah lingkungan. Namun demikian, peralihan dari sistem usahatani padi yang konvensional menuju ke sistem usahatani padi organik tidak dengan mudah diterima petani. Isu kerusakan ekosistem sawah tidak begitu saja mengubah perilaku petani untuk beralih ke sistem usahatani organik. Minimnya pengetahuan petani akan sistem usahatani padi organik, memperlambat laju peralihan dari usahatani padi konvensional ke usahatani padi oganik. Tantangan menjadi semakin berat tanpa adanya insentif yang berarti bagi para petani padi organik karena perbedaan harga yang diterima petani antara padi organik dan kovensional hanya berbeda sedikit. Alih-alih menambah jumlah petani dan luas lahan sawah yang ditanamai padi dengan sistem organik, petani yang telah menggunakan sistem organik setelah berhitung secara ekonomi banyak yang kembali beralih ke sistem konvensional. Berbagai paradoks persoalan usahatani padi organik ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan berpikir sistem (system thinking) dalam suatu struktur diagram kausalitas. Masih diperlukan upaya yang lebih keras dan masif untuk meningkatkan produksi organik dari aspek luas lahan dan petaninya terutama pada aspek sosial dan ekonomi yang secara langsung dialami oleh para petani.

Kata Kunci: padi organik, berpikir sistem, manajemen pengetahuan petani, lingkungan ABSTRACT

Organic rice farming system is not a new thing anymore in paddy commodity. Now a day, negative impact of Green Revolution have already construct the awareness of farmers about the importance of organic agricultural system with more environmentally friendly. Nevertheless, the changing from conventional farming system to organic farming system was not easily accepted by the farmers. The decay of rice field ecosystem is not directly change the farming system to organic. The lack of farmers‟ knowledge in organic farming system, make slow the changing rate down from conventional to organic farming. The challenge more difficult since there was no significant incentive for the farmers because of price that was received by the farmers between organic rice and conventional rice were slightly different only. Instead of develop the number of farmers and organic cultivation area, many farmers that have already applied the organic farming system, after make an economic calculation switch return back to the conventional farming system. These many paradoxal farming problems were analyzed using system thingking perspective in a structured causal diagram. It needs greater and massive effort to improve production of organic rice in land cultivation and farmers, ecspecially social and economy aspec that experienced by the farmers directly.


(6)

ISBN: XXXXXX

286