ALI RAN KH ALAF AH LUSSUNAH WAL JAM A’AH : M ATURI DI YAH

I. ALI RAN KH ALAF AH LUSSUNAH WAL JAM A’AH : M ATURI DI YAH

1. Riwayat Singkat Al-M aturidi

Abu Mansur Al-Maturidi di lahirkan di Mutarid,sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang di sebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak di ketahui secara pasti, hanya dipastikan sekitar pertengehan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/ 944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al – Balakhi. Ia wafat pada tahun 28 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 H/ 847-861 M.

Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang biologi dari pada fiqih. Ini dilakukan utuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak brkrmbang dalam masysrakat Islam, yang di pandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Aq Quran M akhaz Asy Syara’i , Al-Jadl, Ushul fi Ushul Ad-Din, M aqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd Al- Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al-Ba’ad Ar- Rawafid, Dan Kit ab Radd ‘Ala Al-Qaramat ah. Selain itu ada katrangan-karanga lian yang diduga ditulis olehnya, yaitu Risalah fi Al-Aqaid Dan Syarh Fiqh Al-Akbar.

2. Pengertian Aliran M aturidiyah

Berdasarkan b uku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. 96 Di samping

itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini. 97

Selain itu, definisi dari aliran Mat uridiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.

Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas, 98 maksudnya aliran Maturidiyah

berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’. 99

Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al- Qur’an yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Mat uridi membawa ayat- ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan

97 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru Jakarta, 2003) hlm. 167 Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Jakarta:

Logos Publishing House, 1996) hlm. 207 98 99 A. Hanafi, Op. Cit., hlm. 210

Ibid., hlm. 211 Ibid., hlm. 211

selamat. 100 Jadi dalam pena’wilan Al-Qur’an, al-Maturudi sangat berhati-hati walaupun

beliau menjadikan akal suat u kewajiban dalam penafsiran suatu ayat. Penulis setuju dengan sikap al-Maturudi dalam menafsirkan ayat yang mutasyabih, yakni dengan mencari pentunjuk dari ayat yang muhkam dan dikombinasikan dengan penalaran akal pikiran yang apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan ayat tersebut, maka orang itu dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.

Maka dari bererapa pengertian di atas, kami bisa memberikan simpulan bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama pendirinya yakni al-Maturudi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.

3. Sejarah Aliran Maturidiyah

Dalam buku Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Harun Nasution, 76) menyebutkan bahwa Abu Manshur M uhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturudi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham- paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiah. 101

Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ke tiga Hijrah, di mana aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya adalah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). 102 Negeri

Samarkand pada saat itu merupakan tempat diskusi dalam ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Diskusi di bidang Fiqh berlangsung antara pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab Syafi’i. 103

Selain itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al- Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut

Imam Ibnu Hambal). 104 Pada awalnya antara kedua aliran ini (Mat uridiyah dan Asy’ariyah) dipisahkan oleh jarak: aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah)

kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di

101 Ibid., hlm. 212 Harun Nasution, Teoli Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press,

1986), hlm. 76 102

A. Hanafi, Op. Cit., hlm. 210 104 Abd. Rahman Dahlan, Op. Cit., hlm. 212

Yudian Wahyu Assmin, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hlm. 80- 81 Yudian Wahyu Assmin, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hlm. 80- 81

Imam al-Syafi’I dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah. 105 Memang aliran Asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran

Mu’tazilah. Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara M u’tazilah (aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya it u merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, aliran Maturiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.

Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al- Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka ialah

Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H). 106 Walaupun konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran al-

Maturudi, tapi terdapat pemikiran-pemikiran al-Bazdawi yang tidak sefaham dengan al-Maturudi. Antara ke dua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut -pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut -pengikut al-Bazdawi. 107

Dari paparan mengenai sejarah di atas, di sini para penulis beropini bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran dari sekt e Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang pada mulanya aliran ini berakar dari pemikiran Abu Mansur al-Maturidi. Beranjak dari pemikiran-pemikiran al-Maturidi ini lah aliran ini berkembang. Sehingga pengikut aliran ini disebut aliran Maturudiyah yang diambil dari nama pendirinya sendiri. Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yakni pemikiran- pemikiran dari pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu dari salah seorang murid al-Maturidi, al-Bazdawi memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran al- Maturidi. Sehingga banyak hal-hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang akhirnya disebut Maturidiyah

Samarkand 108 dan pengikut al-Bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara 109 .

106 Ibid., hlm. 81 107 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 77 108 Ibid., hlm. 78

Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya

4. Doktrin-doktrin Teologi Al-M aturidi

a) Akal dan Wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Mauridi, mengetahui Tuhan dan Kewajiban Mengetahui Tuhan dapat diketahuia dengan akal. Kemampuan akal dalam kedua hal tersebut sesuai dengan ayat -ayat Al- Quran yang memerintahkan agar mamerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam uasha memperoleh pengetahuan dan keimananya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan- Nya. Kalau akal tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untk memperolah iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpedapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada suatu nitu sendiri, sedang perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijalankan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi kaitan suatu suatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:

1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan suatu itu.

2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan suatu itu.

3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan suatu itu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.

Tentangmengetahui kebaikan atau keburukan suatu dengan akal, Al- Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja kalau Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah bahwa melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada akal, Al-Maturidi mengatakan bahya kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan wahyu saja. Dalam persoalan ini Al- Maturidi , berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari , baik atau buruk itu tidak terdapat pada suatu it u sendiri. Suatu itu dipandang baik karena perintah syara dan dipandang buruk karena dilarang syara. Jadi yang baik itubaik karana di perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini Al-Maturidi berada pada posisi tengandari Mu’tazilah dan Al-Asy’ari.

b) Perbuatan manusia

mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu 109

Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al- Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan kedilan kehendak Tuhan mengharuskan menusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban - kewajiban yang di bebankan kepanya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrad Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut di ciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Denagan demikian tidak ada pertentangan antara qudrad Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya ciptaan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari megatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pul dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya maunusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.

Dalam masalah pemakaian daya ini, membawa faham Abu , yait u adanya M asyiah (kehendak)dan ridho (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetapi ia dapat tetap memilihyang diridho-Nya atau tidak diridho-Nya. Manusia beerbuat baiak Al-Maturidi atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas ehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian berarti manusia dalam faham Al-Maturidi tidaksebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.

c) Kekuasaan dan Kehendak M utlak Tuhan

Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuat u dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan bertindak sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata. Hal ini qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah diteapkan-Nya sendiri.

d) Sifat Tuhan

Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-M aturidi dan Al-Asy’ari . keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempinyai sifat-sifat, seperti sama, bashar dan sebagainya. Walaupun begit u pengertian Al-M aturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al- Asy’ari mengetikan sifat Tuhan sebagai sesuat u yang buan dzat, melainkan yang melekat pada dzatitu sendiri, sedangkan Al-M aturidi berpendapat bahwa sifat itu sendiri tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi- Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca : inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain ad-dzan wa la hiya ghairuhu ). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian anthropomorphisme karena sifat berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangya sifat tidak akan membawa kepada berbilangya yang qidam (taaddun al-qudama).

Tampaknya faham Al-M aturidi tentang makna sifat Tuhancenderung mendekati faham M u’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al- M at uridi tentang adanya sifat-sifat Tuhan sedangkan M u’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

e) M elihat Tuhan

Al-M at uridi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Quran, antara lain oleh firman Alah dalam surat Al- Qiyamah ayat 22 dan 23. Al-M aturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dangan mata, karena Tuhan mempunyai sifat wujud walaupun Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat berdeda dengan keadaan di dunia.

f) Kalam Tuhan

Al-M at uridi membedakan antara kalam (baca : sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist ). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan satu perantara.

Menurut Al-M aturidi , M u’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun dari hurufhuruf dan katakat a, sedang Al-Asy’ari memandang dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut M u’tazilah bukan merupakan sifatnya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-Quran sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadist sebagai pengganti makhluk untuk sebutan AlQuran. Dalam konteks ini pendapat Al-Asy’ari juga memiliki persamaan dengan M u’tazilah, karena yang dimaksud dengansabda Al-Asy’ari adlah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.

g) Perbuatan M unusia

Menurut Al-M aturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas keendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan,kecuali ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu Tuhan tidak wajib berbuat ash- shalah wa al-shalah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:

1. Tuhan tidak membedakan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.

2. Hukum atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetpkan-Nya.

h) Pengutusan Rasul

Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari sifat ang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al- M at uridi , akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetaui kewajiban- kewajiban tersebut. Jadi pengutusan rasul berfungsi sebagai sember Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari sifat ang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al- M at uridi , akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetaui kewajiban- kewajiban tersebut. Jadi pengutusan rasul berfungsi sebagai sember

Pandangan Al-M aturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bawa pengutusan rasul ketengah-tengah umarnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupanya.

i) Pelaku Dosa Besar (M urtakib Al-Kabir)

Al-M at uridi berpendapat bahwa orang yang berdosar besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatanya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untik orang berbuat dosa syirik. Dengan demikian. Berbuat dosa selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekaldi dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah mejadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-M at uridi , iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau mengurangi sifatnya saja.[]