124 Agama dan Demokrasi Pada saat ini tampak hubungan erat antara agama dan proses demokratisasi.

C. 124 Agama dan Demokrasi Pada saat ini tampak hubungan erat antara agama dan proses demokratisasi.

Di mana-mana gerakan agama secara aktif mendorong upaya penegakan demokrasi. Don Helder Camara, seorang uskup agung Brazil menggerakkan kekuatan rakyat untuk memperjuangkan demokrasi selama belasan tahun dengan menghadapi tuduhan bahwa ia condong kepada Komunisme. Ia bahkan dikenal sebagai dengan julukan “Uskup Merah” karena pemihakannya kepada gerakan rakyat. Terkenal ucapannya: “Kalau saya mengumpulkan makanan untuk orang kecil, saya disebut

124 Diambil dari buku Spritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, Dian Interfidei, Jogjakarta, 1994.

orang suci, tetapi kalau saya mempertanyakan sebab kemiskinan rakyat kecil itu, dengan segera saya disebut komunis”. Vinoba Bhave, orang suci Hindu yang berjalan kaki menjelajahi anak benua India di tahun-tahun 1950-an dan 1960-an tanpa alas kaki, meminta kerelaan kaum yang bertanah luas untuk secara suka rela membagikan sebagian tanah mereka kepada kaum miskin tak bertanah, dengan demikian membangun demokrasi ekonomi. Sulak Civaraksa, pemimpin kaum awam Budha di Thailand, pernah diancam hukuman mati karena memperjuangkan kebebasan berbicara termasuk mengritik dan mempertanyakan kedudukan raja. Hanya berkat camput tangan tokoh-tokoh dunia seperti Margaret Thatcher ia dapat terhindar dari eksekusi hukuman mati.

Di Indonesia pun demikian pula halnya. Para pemimpin gerakan agama silih berganti memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari penjajahan dan kemudian memperjuangkan demokrasi, ketika sistem pemerintahan semakin lama menjadi semakin otoriter. Berbagai kegiatan dikembangkan di kalangan agama untuk merintis di tingkat paling bawah, penumbuhan masyarakat yang demokratis. Dari mulai masalah kebebasan berpendapat dan berserikat hingga masalah pencemaran lingkungan secara massif, gerakan agama langsung terlibat dalam upaya penegakan demokrasi. Banyak lembaga keagamaan berkiprah untuk meneliti dan mengkaji asal- usul pemerintahan yang tidak sepenuhnya demokratik yang secara eufemistik disebut “demokrasi Pancasila”, yang menjadi pola hidup bangsa Indonesia saat ini. Tidak kurang pula banyaknya lembaga atau kelompok keagamaan yang langsung menerapkan pola-pola demokratis dalam program-program rintisan mereka di bidang pengembangan masyarakat (community development )

Dari itu semua, tampaknya hubungan antara agama dan demokrasi seolah- olah berkembang mulus, dan dengan sendirinya tampak seolah-olah agama berperan transformatif bagi kehidupan masyarakat. Dalam kenyataan, perkembangan yang terjadi tidak mendukung anggapan seperti itu. Seorang pemuka agama seperti Romo Mangunwijaya, dalam kegigihannya memperjuangkan kepentingan hakiki rakyat Kedung Ombo akan dihadapi dan dikecam oleh banyak pemuka-pemuka agama lainnya, baik yang seagama maupun tidak. Seorang pemikir yang bertolak dari sudut pandang agamanya seperti Dr. Nurcholish M adjid yang meminta persamaan derajat bagi semua agama, akan dihadapi oleh demikian banyak pemikir seagama yang justru ingin menegakkan ekslusifitas agama mereka atas agama-agama lain. Ibu Gedong Oka, yang menganut prinsip-prinsip Mahatma Gandhi dan karenanya menolak sistem kasta dalam masyarakat Hindu di Bali, tentu mendapat tantangan keras dari kemapanan agamanya sendiri. Maka demikian halnya, dinamika intern agama-agama di dunia menunjukkan perbenturan keras antara mereka yang ingin melakukan transformasi kehidupan masyarakat dari titik tolak keagamaan, dan mereka yang mempertahankan st at us quo keadaan dengan segala daya upaya. Bagi mereka, restu negara menjadi tolok ukur keberhasilan mengelola kehidupan beragama. Sangat sulit untuk mereka pahami, bahwa ada seorang Thomas Moore yang atas dasar keyakinan agamanya tidak mau melegitimasikan perceraian raja dan permaisurinya serta merest ui perkawinan barunya. Bahkan hati mereka pun tidak terget ar ketika melihat Martin Luther King Jr memimpin demonstrasi tanpa kekerasan, guna hak-hak politik orang-orang berkulit hitam di Amerika Serikat dalam tahun-tahun 1960-an. Mereka tidak mengerti, mengapa harus dilakukan tindakan “menganggu ketentraman hidup umat beragama”, apalagi sampai harus berhadapan dengan kekuasaan negara.

Kalaupun ada perubahan yang mereka kehendaki, maka hal itu haruslah dilakukan secara karitatif, yat u dengan tekanan diberikan pada kegiatan santunan yang diharapkan nantinya akan memperbaiki nasib orang kecil secara berangsur- angsur. Perubahan sistem kemasyarakatan bukanlah menjadi agenda kiprah mereka, melainkan “upaya memperbaiki sistem pemerintahan dari dalam”. Bahkan sebenarnya pendapat kedua inilah yang lebih dominan di kalangan umat beragama, dan boleh dikata pendapat yang umum berlaku. Diperlukan waktu sangat panjang bagi seorang pembaharu untuk dapat mewujudkan masyarakat yag dicita-citakannya, seperti kasus para agamawan berkulit hitam di Amerika Serikat dan sekarang Afrika Selatan, para Mulla di Iran dan Mahatma Gandhi di India.

Salah satu sebab yang menghambat kiprah demokratisasi di kalangan lembaga dan kelompok keagamaan adalah perbedaan hakekat dasar dan nilai-nilai dasar yang dianut keduanya. Sebuah agama senantiasa bertitik tolak dari pandangan normatif yang diajarkan Kitab Sucinya. Ini berarti hanya ada satu jenis kebenaran yang dapat diterima sebuah agama, yaitu kebenaran ajarannya sendiri. Apalagi kalau hal-hal normatif itu dituangkan dalam bentuk hukum agama (syari’ah) dalam Islam dan hukum kanon di kalangan gereja Katolik. Hukum agama itu bersifat abadi, karena ia dilandaskan Kitab Suci yang abadi pula. Mengubah hukum agama berarti pula membatasi keabadian Kitab Suci, dan dengan sendirinya mengusik mutlaknya kebenaran yang dibawakan agama yang bersangkutan. Bahwa kaum muslimin telah berhasil mengembangkan teori hukum agama (ushul fiqh, legal theory) dan akidah hukum agama (qawa’idul fiqh, legal maxism) tidak menutup kenyataan bahwa antara syari’ah dan demokrasi memang terdapat perbedaan yang esensial.

Demokrasi, sebaliknya dari ajaran agama, justru membuka peluang seluas- luasnya bagi perubahan nilai oleh masyarakat, dan dengan demikian justru dapat mengancam nilai-nilai abadi yang terkandung dalam agama. Masalah perceraian bagai gereja Katolik Roma dan masalah perpindahan agama ke agama lain dalam Islam adalah sesuatau yang tidak pernah dapat dipecahkan tanpa mengancam sifat abadi dari kebenaran yang dibawakan masing-masing agama itu. Perceraian merusak kesucian perkawinan yang telah diberkati oleh Tuhan dalam pandangan gereja Katolik, dan dengan sendirinya hak warga negara untuk melakukan perceraian melalui perundang-undangan negara merupakan merupakan tantangan kepada konsep yang diyakini gereja. Berpindah agama ke agama lain dalam hukum Islam berarti penolakan (riddah, apostasy) kepada kebenaran konsep Allah sebagai Zat Yang Maha Besar (konsep tauhid), karenanya tidak dapat dibenarkan dan pelakunya diancam hukuman mati. Sedangkan demokrasi dalam hal ini justru berpendapat sebaliknya. Keyakinan akan kebenaran merupakan hak individual warga masyarakat dan dengan demikian justru harus ditegakkan dengan konsekuensi adanya hak bagi warga negara untuk berpindah agama. Inilah sebabnya mengapa sarjana terkemuka Mahmud Mohammed Thaha menjalani hukuman gantung di Sudan belasan tahun lalu ketika ia menyuarakan hak berpindah agama itu, dengan menolak “keharusan” melalukan jihad bagi kaum muslimin.

Demokrasi menyamakan derajat dan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa ibu. Sedangkan tiap agama tentu lebih dahulu cenderung untuk mencari perbedaan atas dasar hal tersebut di atas, minimal perbedaan agama dan keyakinan. Karenaya sejak lahirnya setiap agama memiliki kekhususan (unikum)nya sendiri, yang Demokrasi menyamakan derajat dan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa ibu. Sedangkan tiap agama tentu lebih dahulu cenderung untuk mencari perbedaan atas dasar hal tersebut di atas, minimal perbedaan agama dan keyakinan. Karenaya sejak lahirnya setiap agama memiliki kekhususan (unikum)nya sendiri, yang

Untuk dapat melakukan transforamsi intern itu, agama harus merumuskan kembali pandangan-pandangannya mengenai martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia di muka undang-undang dan solidaritas hakiki antara sesama umat manusia. Melalui upaya ini, tiap agama dapat berintegrasi dengan keyakinan-keyakinan lain dalam bentuk pencapaian sejumlah nilai-nilai dasar universal yang akan mendudukkan hubungan antaragama pada sebuah tataran baru. Tataran baru itu adalah tahap pelayanan agama kepada warga masyarakat tanpa pandang bulu dalam bentuknya yang paling konkrit seperti penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum dan kebebasan menyatakan pendapat. Apabila sebuah agama telah memasuki tataran itu, barulah ia berfungsi melakukan pembebasan (tahrir, liberation)

Jelaslah dari apa yang dikemukakan di atas bahwa agama dapat memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi, manakala ia sendiri berwatak membebaskan. Fungsi pembebasan agama atas kehidupan masyarakat itu tidak dapat dilakukan setengah-setengah, karena pada hakikatnya, transfornasi kehidupan haruslah bersifat tuntas. “Demokrasi” dalam praktik bernegara di Pakistan dewasa ini sepintas lalu tampak terpenuhi dengan pemberian jatah sejumlah kursi di parlemen kepada kaum Ahmadiyah. Tapi “jatah” tersebut menutup kemungkinan bagi tiap warga negara Pakistan yang menganut paham Ahmadiyah untuk mendapatkan hak yang sama dalam merebut jabatan tertinggi di negeri itu, yaitu jabatan presiden. Pengingkaran hak tersebut menjadikan klaim Pakistan sebagai negara demokrasi terasa kosong, karena ia berarti pengingkaran hak yang sama bagi semua warga negara yang berkiprah dalam pemerintahan. Pandangan yang sama tentang tiadanya hak bagi warga negara non- muslim unt uk menjadi kepala negara di negari kita saat ini, juga merupakan pelangaran terhadap undang-undang dasar kita sendiri , di samping pegingkaran terhadap demokrasi. Pandangan seperti itu berarti melebihkan kedudukan sebuah agama, dalam hal ini Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk, atas agama- agama lain dan dengan demikian melanggar prinsip demokrasi yang terkandung baik dalam pembukaan maupun pasal 29 ayat 2 UUD 1945.

Pandangan atau kecenderungan melebihkan kedudukan sebuah agama atas agama-agama lain seperti dicontohkan di atas, sebenarnya merupakan bagian dari pandangan bahwa agama tersebut haruslah menjadi dasar negara. Karena kita semua sudah sepakat pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945 yang berarti menjadikan negeri ini bukan sebuah negara Islam, dengan sendirinya pandangan di atas tidak selayaknya diberlakukan terus. Kalau kita memang benar-benar jujur kepada Pancasila dan UUD 1945, maka sebagai konsekuensinya hal-hal yang melebihkan sebuah agama atas agama-agama yang lain harus dihilangkan dalam pengelolaan kehidupan bernegara kita. Kenyataan bahwa pandangan di atas masih diikuti oleh mayoritas lembaga dan kelompok Islam di negeri Pandangan atau kecenderungan melebihkan kedudukan sebuah agama atas agama-agama lain seperti dicontohkan di atas, sebenarnya merupakan bagian dari pandangan bahwa agama tersebut haruslah menjadi dasar negara. Karena kita semua sudah sepakat pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945 yang berarti menjadikan negeri ini bukan sebuah negara Islam, dengan sendirinya pandangan di atas tidak selayaknya diberlakukan terus. Kalau kita memang benar-benar jujur kepada Pancasila dan UUD 1945, maka sebagai konsekuensinya hal-hal yang melebihkan sebuah agama atas agama-agama yang lain harus dihilangkan dalam pengelolaan kehidupan bernegara kita. Kenyataan bahwa pandangan di atas masih diikuti oleh mayoritas lembaga dan kelompok Islam di negeri

Apabila prinsip tidak melebihkan kedudukan sebuah agama atas agama- agama lain itu diterima, dengan sendirinya harus ditolak pula kecenderungan legal- formalisme di kalangan para penganut agama maupun dalam kehidupan bernegara. Anggapan bahwa hukum Islam dan hukum gereja harus diberlakukan oleh negara melalui pengundangan (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap semangat dan bunyi UUD kita. Ia merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua. Dalam keadaan demikian, persamaan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang tidak tercapai. Pada titik ini kita akan memasuki tahap yang rumit dalam pemikiran kita yaitu menyangkut hukum perkawinan dan pengaturan keluarga (al-Ahwal al-Syakhsiyah, personal law).

Saat ini kita memiliki dua buah undang-undang yang mengatur hal itu, yaitu Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Pengadilan Agama. Masih dapatkah Indonesia menjadi masyrakat demokratis dengan membiarkan kedua unadng-undang tersebut berfungsi?Jawabnya ternyata tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan semula. Di satu pihak, memang harus dilakukan pilihan, antara penyelenggaraan perkawinan secara Islam atau secara Barat (dengan demikian secara Judeo-Kristiani karena pada hakikatnya tidak ada “aturan universal” dalam hal ini) bagi kaum muslimin di negeri ini. Namun di pihak lain terjadi perbedaan terhadap sesama warga negara, yang pada hakikatnya berarti pengingkaran terhadap persamaan kedudukan bagi semua warga negara di muka undang-undang yang menjadi esensi demokrasi. Apalagi kalau pelaksanaan Undang-undang Perkawinan itu dilakukan oleh sebuah pengadilan terpisah, seperti pengadilan agama yang berarti perlakuan berlebih kapada kaum muslimin. Di sini kita lalu terjebak dalam sebuah dilema yang tidak mudah untuk dijawab. Bila diandaikan Undang-undang Perkawinan memeliki keabsahan mutlak masih harus dipertanyakan absahnya lembaga peradilan yang menanganinya. Di India, perkawinan, perceraian dan pembagian waris dilakukan menurut agama penggugat dalam hal ini hukum agama mazhab Hanafi bagi kaum muslim Sunni dan teks fatawa Alamgiri bagi kaum muslim Syi’i, namun pelaksanaannya dilakukan oleh pengadilan negeri dengan hakim yang dapat berbeda agamanya dari agama yang dipeluk penggugat. Demikian pula, perkawinan antara para pemeluk agama yang saling berbeda juga diat ur atas dasar persamaan kedudukan di muka undang-undang itu.

Jelaslah dengan demikian, bahwa hubungan antara agama dan demokrasi tidak sesederhana yang kita duga semula, karena di dalamnya masih ada hal-hal dilematik yang menjadi daerah kelabu yang tidak jelas hitam putihnya. Kenyataan ini mengharuskan kita untuk melakukan telaah lebih jauh, guna memperoleh gambaran lebih rinci tentang hubungan antara agama dan demokrasi itu sendiri.[]