Sumber-sumber I lmu Kalam

E. Sumber-sumber I lmu Kalam

Sumber utama ilmu kalam ialah Al-Qur’an dan Al-Hadis yang menerangkan tentang wujudnya Allah Swt, sifat -sifat-Nya, dan persoalan akidah Islam lainnya. Ulama-ulama Islam dengan tekun dan teliti memahami nash-nash yang bertalian dengan akidah ini, menguraikan dan menganalisisnya, dan masing-masing golongan memperkuat pendapatnya dengan nash-nash tersebut.

Dalil-dalil pikiran yang dipersubur dengan filsafat Yunani dan unsur-unsur lain. Oleh karena itu, pembahasan ilmu kalam ini, selalu berdasarkan kepada dua hal, yaitu dalil naqli (Al-Qur’an dan Al-Hadis) dan dalil-dalil ‘aqli (akal pikiran).

24 Zainal Abidin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, (Medan: Firma lslamiyah, 1957 M/ 1376 H) hlm. 538-540.

Tidaklah tepat kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu merupakan ilmu ke- Islaman yang murni, karena di antara pembahasan-pembahasannya banyak yang berasal dari luar Islam, sekurang-kurangnya dalam metodenya. Tetapi juga tidak benar kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu timbul dari filsafat Yunani, sebab unsur-unsur lainnya juga ada. Yang benar ialah kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadis, yang perumusan-perumusannya didorong oleh unsur-unsur dari dalam dan dari luar. Hal ini akan penulis jelaskan pada kajian berikut.

Bahwa para ulama telah mempergunakan istilah untuk memberikan nama kewajiban-kewajiban yang menuntut adanya ilmu dengan sebutan “akidah” atau “ushuluddin”, sebagaimana para ulama menyebut kewajiban yang menghendaki amal perbuatan, mereka mempergunakan istilah “syari’ah” atau “furu”

Syaikh Mahmud Syalt ut menjelaskan: 25

25 Syaltut, Al-lslam, hlm. 56.

“Allah SW T yang menent ukan akidah t at kala jumlah hakikat -hakikat yang boleh diket ahui oleh manusia banyak sekali dan sebagian besar t idak ada hubungan dekat dengan kebahagiaan manusia yang dimaksudkan oleh Allah SW T, maka hikmat ke- Tuhan-an pun menet apkan unt uk menerangkan kepada manusia hal-hal yang wajib mereka percayai guna mendapat kan kebahagiaan t ersebut . Dan hal t ersebut dalam pelaksanaannya kembali kepada pokok-pokok dasar yang dimiliki oleh semua agama samawi, yait u beriman kepada Allah, malaikat -malaikat , kilab-kit ab, para Rasul, hari kiamat , dan set erusnya sebagaimana yang t elah kami sebut kan sebelumnya. Allah SW T t elah menet apkan masalah it u seluruhnya dan menunt ut agar manusia memercayainya. Dan keimanan it u adalah akidah yang past i sesuai dengan kenyat aan dalil. Dan jelaslah bahwasanya akidah ini t idak dapat dicapai oleh semua yang dinamakan dalil akal pikiran it u. Hanya saja iman dapat dicapai oleh dalil yang qat h’i yang t idak dicampuri oleh ke agu-raguan.”

Adapun cara penetapan akidah, dijelaskan: 26

“Para ulama telah sepakat bahwa dalil akal pikiran yang betul pendahuluan- pendahuluannya (premis-premisnya) dan bet ul dalam hukum-hukumnya (konklusi- konklusinya), berasaskan panca indra at au kepast ian, dapat menghasilkan keyakinan sert a pencipt aan keimanan yang dibut uhkan”.

Selanjutnya diterangkan bahwa: 27

26

27 Ibid. Ibid.

“Adapun dalil-dalil naqli, maka kebanyakan ulama berpendapat , bahwa ia tidak menghasilkan keyakinan dan t idakpula mendat angkan keimanan yang diperlukan dan t idak dapat dit et apkan adanya suat u akidah dengannya semat a-mat a kebanyakan ulama it u berpendapat bahwa ialah karena dalil-dalil naqli it u merupakan suat u gelanggang yang luas, mencakup kemungkinan-kemungkinan yang banyak sekali, yang dapat menghambat penet apan akidah t ersebut . Adapun yang berpendapat bahwa dalil naqli dapat nt enghasilkan keyakinan dan dapat pula menet apkan pemant apan akidah, mereka it u mensyarat kan bahwa dalil it u harus qot h’i dalam cara datangnya (qot h’iyyul wurud), past i pula dalam pembuktian- pembukt iannya (qot h’iyyul dilalah). Sedangkan pengert ian keadaannya past i dalam cara dat angnya (qot h’iyyul wurud), it u ialah bahwa t idak t erdapat keraguan sedikit pun keragu-raguan t ent ang “ket et apan” datangnya dari Rasulullah SAW yang demikian itu hanya pada hadis Mutawatir saja.”

Selanjutnya diterangkan pula bahwa: 28

28 Ibid., hlm. 57.

“Dan pengert ian keadaan yang past i dalam pembukt iannya (qot h’iyyul dilalah) hendaknya berupa nash-nash yang past i pengert iannya. Hal demikian bisa t erjadi dan hal yang t idak mengandung penakwilan at au penafsiran. Oleh karena it u, apabila dalil naqli berada pada posisi yang demikian, maka dapat lah ia menghasilkan keyakinan dan dapat dipergunakan unt uk menet apkan akidah. Dan cont oh-cont oh unt uk yang demikian it u ialah apa-apa yang dit erangkan oleh ayat Al-Qur’an yang membicarakan t ent ang t auhid, risalah kerasulan, hari kiamat, dan lain sebagainya yang merupakan dasar-dasar agama (ushuluddin). M aka ayat -ayat Al-Qur’an it u sebagaimana t elah datang secara qat h’i di dalam ket erangan- ket erangannya (qot h’iyyud dilalah) dan t idak mungkin diint erpret asikan lebih dari pada pengert ian yang ada.” seperti pada ayat-ayat berikut.

“M aka ket ahuilah maka sesungguhnya t idak ada Tuhan yang hak melainkan Allah.” (QS. M uhammad [47]: 19).

“Kat akanlah Dialah Allah Yang M aha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergant ung kepada-Nya segala sesuat u. Dia t idak beranak dan t idak pula diperanakkan. Dan t iada seorang pun yang set ara dengan Dia.: (QS. Al-lkhlas [112]: 1-4)

“Kat akanlah tidak demikian, demi Tuhanku, benar -benar kamu akan dibangkirkan.” (QS. At -Taghabun [64]: 7).

“Kat akanlah ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang mencipt at kan kali yang pert ama.” (QS.Yasin [36]: 79).

“Rasul t elah beriman kepada Al-Qur’an yang dit urunkan kepadanya dari Tuhannya. Demikian pula orang-orang yang beriman. Sesungguhnya berint an kepada Allah, malaikat -malaikat -Nya, kitab kit ab-Nya dan Rasul-rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 285).

“Bukanlah menghadapkan wajah ke arah t imur dan barat it u suat u kebajikan, akan t et api sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, kemudian malaikat - malaikat , kit ab-kitab, Nabi-nabi. “ (QS. Al-Baqarah [2]: 177).

Demikian keadaan akidah-akidah itu dan cara-cara penetapannya. Dan semestinya semua orang mengetahui akidah itu secara umum dan bukanlah dia ditentukan hanya untuk satu golongan saja, t anpa ditetapkan bagi golongan lain. Karena akidah-akidah itu adalah asas agama sehingga seseorang dikatakan beriman. Maka bagaimana mungkin dibayangkan bahwa seorang yang mengatakan beriman tetapi tidak mengetahui akidahnya? Dan sebagian daripada syarat ilmu yang umum untuk mengetahui akidah-akidah ialah bahwa tidak terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama dalam menetapkan ada atau

tidak adanya akidah itu. Selanjutnya Mahmud Syaltut menielaskan: 29

“Dengan demikian dapat lah kit a t et apkan bahwa t eori -t eori ilmiah yang t idak dapat dit erima dengan jalan qot h’i at au dapat dit erima secara qot h’i, akan t et api masih dicampuri oleh adanya kemungkinan-kemungkinan dalam pembukt iannya yang akhirnya menimbulkan perselisihan di ant ara para ulama, bukanlah merupakan akidah yang diwajibkan oleh agama kepada kit a unt uk menganut nya, bahkan ia merupakan bat as pemisah di antara orang-orang yang beriman dan orong-orang yang t idak beriman.”

29 Ibid., hlm. 57-58.

Sesungguhnya akan dijumpai banyak sekali persoalan yang demikian itu di dalam kitab-kitab tauhid, di samping kepercayaan yang telah diwajibkan oleh Altah SWT kepada kita untuk meng-imani-nya. Maka kitab-kitab tauhid yang demikian itu di samping membicarakan tentang wujudnya Allah SWT serta ke- Esaan-Nya, keimanan pada Rasul dan hari kemudian, kitab-kitab itu pun menyebutkan persoalan-persoalan melihat Allah SWT di akhirat nanti (rukyatullah), tentang sifat dan dzat -Nya, persoalan orang yang mengerjakan dosa besar, munculnya Imam Al-Mahdi, Dajjal, binatang-binatang melata serta azab di

akhir zaman, kembali turunnya Nabi Isa al-Masih dan lain-lain. Diterangkan: 30

“Sejarah it u penget ahuan yang menunjukkan bat as masalah-masalah t ersebut dalam persoalan akidah t elah menarik pembahasan ket ika t imbulnya banyak golongan sert a simpang siurnya pendapat -pendapat dan firqoh-firqoh kalam. M aka persoalan akidah merupakan golongan ijt ihad para ulama, yang set iap orang dari mereka mengeluarkan pendapat nya masing-masing dan menampilkan hujjahnya berdasarkan apa yang dipandangnya benar, dengan harapan dapat mencapai pada suat u anggapan akidahnya disepakat i kebenarannya.” (HR. Bukhari, M uslim)

Dapatlah disimpulkan bahwa Al-Qur’an dari segi turun (datang) nya adalah qot h’iyyul wurud

Yaitu diyakini bahwa ia pasti benar-benar datang dari Allah SWT. Sedangkan isinya, sebagian ada yang qoth’i al-dilalah dan sebagiannya lagi zhonni al-dilalah . Artinya bahwa sebagian isi Al-Qur’an itu jelas, tidak mungkin diinterpretasikan lebih dari satu pemahaman. Dan sebagian lagi, isinya ada yang interpretatif, yang terdapat pada ayat-ayat mut asyabihat , majaz, isti’arah, musyt arak, gharib, mu’arrab , dan lainnya.

Adapun sabda-sabda Nabi SAW hadis terbagi menjadi dua macam, yaitu pertama hadis M utawatir, termasuk qoth’i al-wurild, dari segi ia sebagai sabda Nabi SAW dan isinya ada yang tergolong qoth’i al-dilalah, dan zhonni al-dilalah. Kedua hadis Ahad dengan semua kategorinya, hadis shohih, hasan, dan dha’if, adalah dzonni al-wurud dan sekaligus dzonni al-dilalah. Tentang akidah, maka hanya dalil yang qoth’i al-dilalah saja yang dapat menjadi dasar penetapannya. Sedangkan dalil-dalil dzonni al-dilalah, dan dzonni al-wurud tidak menghasilkan keyakinan, sehingga menjadi sumber perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin.

30 Ibid., hlm. 58.