95 ALI RAN KH ALAF AHLUSSUNAH WAL JAM A’AH : ASY’ARI YAH

H. 95 ALI RAN KH ALAF AHLUSSUNAH WAL JAM A’AH : ASY’ARI YAH

1. Riwayat Singkat Al-Asy’ari

Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdullah bin M usa bin Bilal bin Abi bin burdah bin Abi M usa Al-Asy’ari.menurut beberapa riwayat Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 875 M. ketika berusia lebih dari 40 tahun ia hijrah ke kota baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/ 935 M.

Menurut Ibn Asakir, Ayah Al-Asy’ari adalah seseorang yang berfaham Ahlussunnah dan Ahli Hasits. Ia wafat ketika Al-Aya’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariyah bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’ari sepeninggalan ayahnya, menikah kembali dengan seorang tokoh mu’tazillah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (wafat. 321 H/ 915 M). berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi toko

95 Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, di antaranya tentang

penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya. Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering juga disebut Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini Mu’tazillah sebagaimana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazillah. Kata Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan maturudiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazillah, menurut Harun Nasution aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300 H.

Mu’tazillah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazillah. Selain itu banyak menulis buku yang membela alirannya.

Al-Ays’ari menganut faham M u’tazillah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashroh bahwa dirinya telah meninggalkan faham

Mu’tazillah dan menunjukkan keburukan- keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham M u’tazillah asalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu denga Rosullullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, 20, dan 30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu Rosullullah memperingakannya agar meninggalkan faham Mu’tazillah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

2. Doktrin–doktrin Teologi Al-Asy’ari

Formulasi pemikiran AL-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazillah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampilkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazillah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintetis ini, menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi Kullabiah (teologi sunni yang dipelopori oleh kullab (wafat. 854 M).

Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:

a) Tuhan dan sifat -sifatnya

Perbedaaan pendapat dikalangan mutakalimin mengenai sifat -sifat Allah tak dapat dihadapkan pada dua pendangan ekstrim. Disatu pihak dia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan kelompok musabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebut dalam Al-Qur’an dan sunnah dan sifat -sifat itu harus difahami menurut arti harfiahnya. Dilain pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazillah yang berpendapat bahwa sifat -sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan harus dijelaskan secara alegoris.

Menghadapi semua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat -sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan itu tidak boleh diartikan secara harfiah, malainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat -sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat -sifat manusia yang tampak mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensia-Nya. Dengan demikian, tidak bereda dengan-Nya.

b) Kebebasan dalam berkehandak (Free-Will)

Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat ekstrim yakni, Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham paradeterminisme semata-mata dan M u’tazillah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asy’ari membedakan antara kholiq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (kholiq)

manusia sendiri yang manusia sendiri yang

c) Akal dan Wahyu dan criteria baik dan buruk

Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazillah pentingnya akal dan wahyu, tetapi mereka berbeda dalam menghadapi permasalahan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sedangkan Mu’tazillah mengutamakan akal. Dalam menentukan baik dan burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazillah berdasarkan akal.

d) Qodimnya Al-Qur’an

Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pendangan ekst rim dalam persoalkan kodimnya Al-Quran, M u’tazillah yang mengat akan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak kodim serta pandangan mazhab hanbali dan zahiriyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang kodim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qodim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri dari kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidakqodim. Nasution mengatakan bahwa Al-Quran bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan sama dengan ayat.

e) M elihat Allah

Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat dan mempercayai bahwa Allah besemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazillah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di Akhirat. Al- Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan, kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat -Nya.

f) Keadilan

Pada dasarnya Al-Asy’ari dan M u’tazillah set uju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan M u’tazillah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah Penguasa M utlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazillah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al- Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.

g) Kedudukan orang berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut M u’tazillah. Mengingat kenyataannya bahwa iman merupakan lawan dari kafir, predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya. Jika tidak mu’min, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman t idak mungkin hilang karena dosa selain kufur.