Civil Society: Rekonstruksi Gagasan Negara

B. Civil Society: Rekonstruksi Gagasan Negara

Gagasan masyarakat madani atau civil society seperti yang sedang dikembangkan di tanah air dipelopori oleh Cak Nur dkk- merupakan suatu model menmembangkan kembali khazanah doktrin agama seperti telah disebutkan di atas. Tetapi, tidak sebagaimana gagasan civil society, Civil Society diorient asikan kepada model eksperimen masyarakat Madinah pasca hijrah Nabi SAW. Dengan demikian

Civil Society tidak harus dipahami seperti civil society atau al-Mujtama' al-Madani- sebagairnana dikembangkan di Dunia Arab yang merupakan translasi dari konsep civil society seperti dikembangkan di Barat, Amerika Latin, Eropa Selatan dan Eropa Timur, yaitu sekedar sebagai masyarakat di luar negara, melainkan lebih merupakan suat u sistem yang meliputi dimensi sosial, politik, budaya, hatta pun ekonomi.

Dari sudut pandang ini, maka tugas Civil Society tidak terbatas pada bagaimana memperkuat masyarakat di depan negara, tetapi juga bagaimana membangun negara yang kuat, yaitu negara yang mendasarkan dirinya kepada kepentingan masyarakat melalui institusi hukum yang berwawasan keadilan, rnisalnya.Maka, kita sepertinya berkepentingan mengembangkan Civil Society, sebagai bentuk dari transformasi ideologis dari civil society.

Pert ama, karena alasan historis. Banyak sekaIi indikasi yang menunjukkan bahwa Islam telah membawa gagasan civil society ke Barat, salah satunya melalui Falsafah Pencerahan ala Giovanni Pico delIa Mirandola, seorang pernikir humanisme zaman Renaisance, yang mengaku belajar menghormati manusia dari sumber-sumber ajaran agama Islam. Walaupun akhimya Mirandola harus dikucilkan dari komunitasnya akibat gagasan-gagasan humanismenya, namun semangat dan pikiran rintisatmya itu telah menyebar ke seluruh Eropa dan menjadi wacana umum yang hangat. Selain Mirandola, adalah juga Thomas Jefferson, melalui prinsipprinsip "life, liberty and pursuit of happiness" yang menjadi inspirasi bangsa Amerika; atau John Locke melalui triloginya, "life, liberty and property". Namun jauh sebelum itu umat Islam telah lama berpegang teguh dan melaksanakan ajaran agama Islam tentang "al- dinn', al-amwal wa al-a'radl"; kehidupan, harta dan kehormatan, yang dengan jelas dapat ditelusuri dari kandungan ajaran yang dibawa Nabi dalam Khutbah Perpisahannya (khutbat al-wadil') di Arafat. Sangat mungkin sekali, trilogi dari Nabi tersebut—al-dinn, al-amwal wa al-a'radl—telah menetes kepada tokoh kemanusiaan semacam Mirandola, John Locke, maupun Jefferson, meskipun dengan sedikit distorsi.

Kedua, alasan sosiologis dan demografis. Islam adalah agama yang dianut oleh mayaritas penduduk dan masyarakat di tanah air. Sehingga suatu percobaan membicarakan tentang Indonesia tidak bisa dilepaskan dari membicarakan Islam di Indonesia.

Maka, ketiga, gagasan untuk mengangkat kembali khazanah dan nilai -nilai fundamental yang terkandung dalam doktrin agama sambil melihat kemungkinan apresiasi dan kontekstualisasinya dengan kerangka kehidupan modem saat ini, tidak saja menjadi hal yang sepatutnya diketengahkan, tetapi lebih dari itu layak pula mendapatkan dukungan penuh, justru dari kalangan umat Islam sendiri.Acuan kepada model masyarakat Madinah tersebut saat ini memang masih dianggap relevan, paling tidak jika dipandang dari segi-segi modernit asnya, yang menurut seorang sosiolog terkemuka saat ini, Robert N. Bellah, dapat memberikan tingkat yang tinggi dalam komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari seluruh jajaran anggota masyarakat. Secara konsepsional, hal ini meniscayakan adanya suatu rumusan tentang sejauhmana bentuk komitmen, keterlibatan dan partisipasi dari masyarakat tersebut dapat dibenarkan, terutama pada saat berhadapan dengan negara sebagai institusi politik yang mewadahi semua aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Maka sekali lagi tugas Civil Society dengan demikian tidak terbatas pada bagaimana memperkuat masyarakat di depan negara, tetapi juga bagaimana membangun negara yang kuat, yaitu negara yang mendasarkan dirinya kepada Maka sekali lagi tugas Civil Society dengan demikian tidak terbatas pada bagaimana memperkuat masyarakat di depan negara, tetapi juga bagaimana membangun negara yang kuat, yaitu negara yang mendasarkan dirinya kepada

Mengutip kekhawatiran Hegel--seperti yang sering diadvokasikan Dawam Rahardjo--bahwa civil society memiliki kecenderungan untuk menghancurkan dirinya sendiri (self-destruction) disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan-kepentingan sempit yang saling bertentangan dan memecah belah masyarakat. Teori Hegel ini, terkadang seperti membenarkan kenyataan sejarah seperti yang kita saksikan di depan mata saat ini bahwa akibat kepentingan-kepentingan sempit yang saling bertentangan yang terjadi di masyarakat kita dewasa ini, sudah mencapai titik kulminasi dari suatu ancaman yang sangat mengerikan disint egrasi, yang pada gilirannya akan menghancurkan civil society itu sendiri. Menurut Hegel, bahwa satu-satunya jalan untuk menghindarkan agar hal itu tidak terjadi adalah bahwa kepentingan- kepentingan sempit seperti itu harus diserahkan kepada negara unt uk mengelolanya. Maka, negara diharapkan tampil menjadi lembaga yang memelihara dan melestarikan kepentingankepentingan manusia yang bersifat universal.

Dalam suatu contoh, munculnya partai-partai baru sebagai representasi dari civil society sering secara tidak langsung dan t anpa disadari membawa ego dan warna masing-masing. Bahkan tidak jarang terjadi, masing-masing membawakan klaim kebenaran (claim of truth) sendiri-sendiri. Ironisnya, klaim kebenaran ini tidak saja terjadi dalam kerangka pola dan metodologi serta strategi perjuangannya dalam konteks politik saja, tetapi telah sangat jauh menyentuh aspek-aspek yang sangat mendasar, yang berkaitan dengan kaidah-kaidah dasar ajaran agama seperti tuduhan kelompok lain sebagai Sekuler. Kecenderungan melakukan "transendensi" seperti ini terhadap aktivitas politik seperti tuduhan Sekuler, yang dipandang sebagai lawan dari agama akan mempersempit ruang bagi kemungkinan adanya dialog. Maka tidaklah mengherankan, jika dalam realitas empirik, ekspresi politik umat Islam selalu menyandarkan pada apa yang dipandang sebagai otoritas sud seperti penggunaan simbolsimbol agama. Namun penggunaan simbol-simbol agama ini tetap perlu dikritisi, sebab bisa jadi tak lebih sebagai proses manipulasi dalam rangka memperluas basis konstituen parpol tertentu, terlepas apakah partai itu secara legal-formal berasaskan Islam atau tidak.

Maka, jika demikian kenyataannya, kita dengan begitu membutuhkan ketentuan-kententuan yang kita tetapkan sendiri demi menjamin tetap berlangsungnya wacana pluralisme, yaitu ketentuan-ketentuan yang mampu memaksa mereka yang disebut -misalnya-sebagai partai Sekuler, Partai Islam, Partai Liberal atau Partai Nasionalis-atau apapun namanya, agar memungkinkan terjadinya persaingan yang manusiawi dan adil. Jika tidak demikian, maka yang akan terjadi adalah konflik yang berkepanjangan, melelahkan dan pada akhirnya justru akan menghancurkan sendi-sendi bermasyarakat serta pranata sosial yang telah dengan susah payah dibangun. Dalam konteks ini, kiprah civil society yang bebas dan tanpa kendali, yaitu tanpa ketentuan yang disepakati bersama dan tanpa persetujuan tidak langsung tentang garis-garis besar batas-batas pranata politik, bukanlah gagasan yang perlu disambut hangat, melainkan suatu pikiran yang mengerikan. Sebab pada saatnya, Maka, jika demikian kenyataannya, kita dengan begitu membutuhkan ketentuan-kententuan yang kita tetapkan sendiri demi menjamin tetap berlangsungnya wacana pluralisme, yaitu ketentuan-ketentuan yang mampu memaksa mereka yang disebut -misalnya-sebagai partai Sekuler, Partai Islam, Partai Liberal atau Partai Nasionalis-atau apapun namanya, agar memungkinkan terjadinya persaingan yang manusiawi dan adil. Jika tidak demikian, maka yang akan terjadi adalah konflik yang berkepanjangan, melelahkan dan pada akhirnya justru akan menghancurkan sendi-sendi bermasyarakat serta pranata sosial yang telah dengan susah payah dibangun. Dalam konteks ini, kiprah civil society yang bebas dan tanpa kendali, yaitu tanpa ketentuan yang disepakati bersama dan tanpa persetujuan tidak langsung tentang garis-garis besar batas-batas pranata politik, bukanlah gagasan yang perlu disambut hangat, melainkan suatu pikiran yang mengerikan. Sebab pada saatnya,

Logikanya adalah setiap chaos akan mudah menjadi dasar pembenaran tampilnya orang kuat yang hendak mengatasinya, sehingga civil society dengan kiprah yang luas dan tanpa kendali akan justru menciptakan lawannya sendiri, yait u otoritarianisme orang kuat. Begitu halnya yang terjadi di belahan Timur Tengah. Dalam suatu pengamatan sepintas saja mengenai trend kekuasaan seperti yang umumnya terjadi dalam konstalasi politik Timur Tengah dan Arab, kita akan dengan mudah mendapatkan suatu kenyataan tersebut yaitu munculnya otoritarianisme baru selalu didahului oleh kemelut dan konflik yang melelahkan dalam civil society. Hal ini berlaku tidak saja dalam konteks konflik horisontal antar warga dalam suatu negara, atau antar kekuatan-kekuatan besar di Dunia Arab, tetapi juga secara vertikal, yang sering secara tidak seimbang antar penguasa (militer) dengan civil society. Ketegangan dan konfrontasi yang ada di permukaan, baik yang diciptakan sendiri maupun akibat dari desakan faktor eksternal (Barat) dengan demikian menjadi lartdasan yang absah bagi tampilnya otoritarianisme baru. Untuk sekedar menyebut contoh adalah Krisis Teluk yang mengerikan, perang Iran-Iraq yang melelahkan, dan terakhir di Jibuti, Mouritania dan Somalia, yang dihadapkan pada konflik-konflik antar suku dan ras dibawah suatu hegemoni yang kuat.

Sementara dalam konteks perkembangan kehidupan di tanah air saat ini, civil society kelihatan semakin menguat dengan indikasi menjamumya institusi-institusi publik yang independen, kebebasan, keterbukaan, pluralisme dan lain-lain. Tetapi pada saat yang bersamaan, institusi negara, karena masih dalam masa transisi, masih belum begitu kokoh akibat desakan reformasi yang meniscayakan perubahan struktur, sarana maupun prasarana sosial, politik, budaya kita pun ekonomi. Ini memerlukan waktu. Untuk itu, kekuatan civil society yang kita rniliki sekarang ini, hendaknya dapat diorientasikan untuk mengawal proses transformasi politik dan kekuasaan negara yang sedang berlangsung saat ini, menuju peradaban baru Indonesia. Di sisi lain, kita sepatutnya mempertanyakan bagairnana mungkin negara yang belum begitu kuat karena masih dalam masa transisi akan tampil mengelola, memelihara apalagi melestarikan kepentingankepentingan universal dalam rnasyarakat? Jadi, nampaknya kita sekarang sedang dalam dilema; disat u sisi kita masih berharap memanfaatkan kekuatan civil society untuk "mengasuh" negara, tetapi pada saat yang sama, negara yang masih dalam "asuhan" civil society dit untut untuk mampu "menjinakkan" civil society.

Barangkali inilah t ugas terberat yang hams diemban oleh pemerintah Gus Dur. Dan nampaknya pemerintah Gus Dur juga kebingungan memposisikan diri dalam kondisi dilematis itu. Gus Dur nampaknya lebih suka memposisikan diri unt uk memanfaatkan kekuatan civil society guna "mengasuh" negara. Salah sat u penjelasannya adalah kesan kelambanan dan tidak eekatan pemerintahan Gus Dur dalam menangani konflik-konflik internal dalam masyarakat. Gus Dur terkesan seperti menahan laju negara menangani konflik dan pertentangan kepentingan-kepentingan sempit yang tarik menarik dalam masyarakat. Ia menyadari, bahwa karena negara masih "jabang bayi" dan masih memerlukan asuhan-maka civil society-Iah yang seharusnya dituntut mampu menyelesaikan permasalahan dalam dirinya.

Pertentangan kepentingan-kepentingan sempit yang terjadi di Maluku, misaInya juga yang terjadi di Aceh, Papua, dan lain-Iain menurut Gus Dur harus dapat diselesaikan sendiri oleh masyarakat setempat. Sekedar membuka wacana publik, melakukan pendidikan politik dan mengintrodusir gagasan civil society, pemyataan dan sikap politik Gus Dur tersebut, sampai batas-batas tertentu, layak mendapatkan perhatian secukupnya. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu pereobaan membicarakan civil society tanpa negara yang tangguh, tidak akan mempunyai makna apa-apa. Sebab ketika legitimasi pemerintahan runtuh, civil society juga terancam mengalarni fragmentasi. Maka suatu ungkapan bahwa rnanakala civil society melemah, negara menjadi kuat, atau sebaliknya, manakala negara melemah, civil society menguat, sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Jadi, jika selama ini kita mempersepsikan civil society sebagai 'kekuatan' menghadapi negara, kita akan terjebak pada asumsi bahwa civil society memiliki kecenderungan untuk 'menghancurkan' negara. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu gagasan utama civil society adalah perlawanannya terhadap bentuk- bentuk otoritarianisme, diktatorisme dan pola-pola pemerintahan teokratis, namun sebagaimana Cak Nur-civil society tidaklah menumbangkan pemerintahan. Sebab pemerintahan yang jika dilanda korupsi merajalela dalam kalangannya sendiri dan kehilangan legitimasi, dengan sendirinya biasanya akan tumbang dari dalam. Oleh karenanya civil society lebih merupakan penerima manfaat (beneficiary) ketimbang sebuah kekuatan penghancur. Gagasan civil society ini, sayangnya, ketika diadopsi dan dilakukan upaya rekonstruksi terhadapnya oleh dunia ketiga (the third worlds), termasuk dunia Islam, sering dipandang sebelah mata, dan parahnya, hampir selalu tanpa reserve. Dalam suatu pengamatan dan penelitian yang agak mendalam tentang bagaimana gagasan civil society ini diterima di dunia Islam, akan dengan mudah didapati suatu kenyataan bahwa hampir tidak terdapat cukup perhatian dari para politisi dan cendekiawan muslim di dunia Islam yang mengkritisi gagasan civil society ini berkembang. Namun, pengecualian bahwa tokoh-tokoh Islam yang memerankan diri sebagai kritikus terhadap Barat, sedikit dapat merespon kenyataan di atas.

Untuk sekedar menyebut contoh sikap kritis itu, relevan untuk sekedar mengetengahkan sepintas sikap dan pandangan dua cendekiawan muslim terkemuka, dengan setting sosial dan kultur intelektual yang berbedai Hasan Hanafi di Mesir dan Nurcholish Madjid di Indonesia. Walaupun, seperti diketahui, Hanafi berbeda dengan Cak Nur hampir dapat dipastikan tidak pernah menulis tentang civil society. Namun dernikian, tidak ada suat u alasan pun yang dapat menghalangi kemungkinan mengetengahkan pandangan-pandangannya tentang civill society.

Hanafi menolak civil society karena ia merupakan produk Barat, "Kalimatu haqq yurodu biha batil". Tidak sebagaimana idealisme yang dibawakannya, dengan civil society Barat menginginkan negera menjadi Iemah dan kehilangan wibawa serta legitimasinya. Dalam perspektif Hanafi, civil society adalah kekuatan masyarakat di luar negara, seperti nampak dari tumbuhnya institusi-institusi non governmental (NGO's, Non Governmental Organizations). Jadi, menguatnya civil society melalui institusi-institusi di luar negara, adalah untuk mengukuhkan dirinya sendiri (civil society) di hadapan negara, alih-alih ikut memperkuat negara. Proposisi seperti ini, sering didukung oleh data-data empirik tentang apa yang terjadi di banyak kawasan. Di Timur Tengah, misaInya, yang wacana politiknya. Dipenuhi dengan konflik dan peperangan, tumbuh dan berkembangnya civil society selalu mengambil kesempatan Hanafi menolak civil society karena ia merupakan produk Barat, "Kalimatu haqq yurodu biha batil". Tidak sebagaimana idealisme yang dibawakannya, dengan civil society Barat menginginkan negera menjadi Iemah dan kehilangan wibawa serta legitimasinya. Dalam perspektif Hanafi, civil society adalah kekuatan masyarakat di luar negara, seperti nampak dari tumbuhnya institusi-institusi non governmental (NGO's, Non Governmental Organizations). Jadi, menguatnya civil society melalui institusi-institusi di luar negara, adalah untuk mengukuhkan dirinya sendiri (civil society) di hadapan negara, alih-alih ikut memperkuat negara. Proposisi seperti ini, sering didukung oleh data-data empirik tentang apa yang terjadi di banyak kawasan. Di Timur Tengah, misaInya, yang wacana politiknya. Dipenuhi dengan konflik dan peperangan, tumbuh dan berkembangnya civil society selalu mengambil kesempatan

Yaitu bahwa agama yang benar disamping wajib punya tulisan petunjuk juga harus memiliki pedang penolong. Hal ini berarti bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang sangat esensial. Dengan demikian poIitik atau negara hanyalah sebagai alat bagi (kepentingan) agarna itu sendiri. Atau seperti ditunjukkan oleh Fazlur Rahman bahwa tujuan penciptaan suatu negara (Islam) adalah untuk memelihara keamanan dan integritas nasional, menjaga hukum dan ketertiban dan untuk memajukan negeri hingga tiap individu dalam negeri it u dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua. Pandangan seperti ini sejalan dengan penegasan Al-Qur'an. Dalam suatu kesimpulan umum, sikap dan pandangan Hanafi dalam batas-batas tertentu sejalan dengan gagasan Civil Society seperti yang dikembangkan Cak Nur dan kawan-kawannya. Tetapi berbeda dengan Hanafi, masyarakat rnadani dimaksudkan Cak Nur sebagai katakanlah suatu bentuk 'antitesa' dari gagasan civil society seperti yang dikembangkan Barat. Catatan Hanafi terhadap civil society maupun Civil Society, sarna-sarna bertemu dalam suatu noktah penting; bahwa keduanya sama-sama menginginkan, tidak saja masyarakat yang kuat, tetapi juga berdirinya negara yang kokoh. Berbeda dengan Hanafi, melalui gagasan Civil Societynya, dalam berhadapan dengan gagasan-gagasan yang dikembangkan Barat, Cak Nur tampil dengan suat u performa yang lebih 'lunak'. Cak Nur tidak mengambil posisi berkonfrontasi langsung dengan ide-ide dari Barat, melainkan dengan suatu upaya merebut inisiatif, yaitu dengan melakukan hegemoni makna atas ide, jargon dan gagasan dari Barat, dengan bersumberkan pada tradisi dan khazanah doktrin agama yang kuat mengakar.

Di tangan Cak Nur, civil society mengalami transfomlasi makna hasil dari suatu hegemoni makna atas civil society-rnenjadi Civil Society. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Civil Society bukanIah civil society atau Al-Mujtama' Al- Madani. Civil Society adalah Civil Society. Civil society adalah civil society. Penting diperhatikan juga bahwa dalam Civil Society tidak ada pemisahan antara agama dan negara, tidak sebagaimana yang terjadi dalam lingkungan dan tradisi keagamaan Kristen, dirnana civil society lahir dan berkembang di sana. Selain Islam adalah agarna yang meliputi seluruh dimensi dan aspek-aspek hukum, ia juga tidak mengenaI sistem Di tangan Cak Nur, civil society mengalami transfomlasi makna hasil dari suatu hegemoni makna atas civil society-rnenjadi Civil Society. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Civil Society bukanIah civil society atau Al-Mujtama' Al- Madani. Civil Society adalah Civil Society. Civil society adalah civil society. Penting diperhatikan juga bahwa dalam Civil Society tidak ada pemisahan antara agama dan negara, tidak sebagaimana yang terjadi dalam lingkungan dan tradisi keagamaan Kristen, dirnana civil society lahir dan berkembang di sana. Selain Islam adalah agarna yang meliputi seluruh dimensi dan aspek-aspek hukum, ia juga tidak mengenaI sistem