Aswaja, NU & Wacana Social-Keagaman I ndonesia

C. Aswaja, NU & Wacana Social-Keagaman I ndonesia

Diera yang penuh dengan muskilat, Aswaja tampil sebagai faham yang mampu mengatasi pertikaian antar golongan, dan menjawab tantang keagamaan yang

dihadapkan pada multi cultural, 111 dan mult i pemikiran. Dengannya diharapkan tercipta kedamaian didunia. Secara etimologis Ahlussunnah Wal Jama‘ah terdiri dari

tiga kata, yaitu: Ahl; keluarga, kelompok, golongan, dan komunitas, al Sunnah; tradisi, jalan, kebiasaan dan perbuatan sedang al Jama‘ah; kebersamaan, kolektifitas, komunitas, mayoritas dan lain-lain. Sedangkan Arti Aswaja pada secara universal bisa difahami dari prediksi Rasul tentang umatnya yang tercantum dari disebuah Hadist yang disampaikan Rasul “Umatku akan sampai suatu masa umaatku akan terpecah, dan set erusnya”. Kemudian diteruskan dengan Hadits “umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya sat u golongan yang selamat , dan yang lain binasa, ditanya: siapakah golongan yang selalmat it u?, Rasul menjawab: ahlussunnah wal Jama‘ah , ditanya: apakah ahlussunnah wal Jama‘ah itu?, Rasul menjawab: yang mengikuti apa yang aku

lakukan, dan sahabat ku.” 112 (Isnad tidak mengandung perawi dha’if). Dari sinilah

Dalam permasalahan adanya multi cultural yang ada di Indonesia, sewajarnya jika segala sesuatu pasti dibenturkan terhadapnya, sehingga tidak semua golongan/faham mampu menempatkan eksistensi dirinya dalam kenyataan tersebut. Karena jika tidak akan terjadi persinggungan terhadap kultur setempat yang akan menimbulkan konflik internal. Belum lagi dengan adanya multi faham, dan pemikiran yang ada baik dalam agama itu sendiri maupun yang datang dari luar agama yang rawan menimbulkan pertikaian antara yang satu dengan yang lain. Pada saat inilah Aswaja tampil sebagai organisasi keagamaan yang dengan konsep-konsepnya mampu menangani problematika tersebut. Hal inilah yang merupakan yang konsep dasar adanya peranan penting, dan sumbangan terbesar Aswaja terhadap wacana-wacana publik yang dijadikan kajian utama Islam sebagai agama moderat. 112

Al-Baghdady, Al-farqu Bainal firaq, hlm. 7 Al-Baghdady, Al-farqu Bainal firaq, hlm. 7

pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma (kesepakatan) ulama". 113 Ahlussunnah Wal Jama‘ah sebagai sebuah aliran (aliran yang menganut faham

aswaja/ berkonsepkan Aswaja) muncul karena adanya sebuah respon terhadap aliran Mu‘tazilah yang terkesan terlalu rasional sampai mengenyampingkan Sunnah. 114 Dalam

hal ini aliran Ahlussunnah Wal Jama‘ah dibagi menjadi dua golongan diantaranya adalah Asy‘ariyyah yang dipelopori oleh Abu Hasan Asy‘ari, dan Maturidhiyyah yang dipimpin oleh Abu Mansur Al Maturidi. Dan yang menyebar ke Indonesia adalah aliran Asy‘ariyyah menjelma menjadi NU yang didirikan oleh Hasyim Asy‘ari.

Namun disini NU tidak hanya sebagai sekedar cabang dari asy’ariyyah, tapi NU adalah organisasi keagamaan yang sangat patuh, dan konsisten dalam menggunakan aswaja sebagai konsepnya, dan menggunkannya dengan sangat baik, sehingga NU tidak bisa dilepaskan dengan Aswaja atau boleh kita katakana ketika menyebutkan NU sama dengan menyebutkan Aswaja. Pada awalya makna Aswaja Indonesia adalah sama dengan pemahaman sebelumnya, yaitu ajaran yang sesuai dengan Hadits, dan ijma’ ulama. Namun, dalam hal ini terdapat spesifikasi yang lebih menyesuaikan dengan kultur Indonesia yang majemuk. Menurut KH Bisri Musthofa, definisi Aswaja, yaitu, paham yang menganut pola madzhab fikih yang empat, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki. Selain itu,. Dalam bidang akidah. Dalam bidang

tasawuf mengikuti Junaid al Baghdâdî dan al Ghazâlî. 115 Aswaja juga disebut paham yang mengikuti Asy‘ari, dan Maturidi.

Adapun salah satu konsep dari pemahaman Aswaja di sini, yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun dan amar ma'ruf nahi munkar. Yang dimaksud tawasuth (moderat ) ini, sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang), sebuah keseimbangan sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional.

Amar ma'ruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. 116 Aswaja sebagai paham keagamaan yang di dalamnya mempunyai konsep

moderat (tawasut), setidaknya harus memandang, dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Karena budaya, sebagai kreasi manusia yang t ujuannya unt uk memenuhi kebutuhan hidupnya bisa terjamin. Budaya memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun sosial. Dalam

hal ini asawaja dalam NU lebih condong bersifat substansial dari pada teknis. 117

Zamakhsyari Dhofier, Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994) hlm.148 114 115 Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986) hlm. 65 Mujamil Qomar, , NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 62 116 Masyhudi Muchtar, Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: Khalista, Cet. I., Maret 2007) hlm. 51-52 117

Abdurrahman Wahid, Tuhan Tak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, cet v, 2010) hlm.37

Dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah fikih "al muhâfazhah alâ al qadîm al shalîh wal al akhzu bil jadidî al ashlâh ", melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi budaya. Jadi tidak semuanya budaya itu jelek, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan mengandung kebaikan maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan dan layak untuk diikutinya. Ini sesuai dengan sebauh kaidah fikih, "al adah muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.

Berangkat dari paradigma Aswaja tersebut maka tampak jelas bahwa kaum Aswaja tidak mudahmengkafirkan atau mensyirikkan orang lain hanya karena dia menggunakan takwil atas teks-teks agama. Ini tentu berbeda dengan perilaku sebagian kelompok Islam garis keras di Indonesia dewasa ini. Kaum Aswaja bahkan juga tidak mudah menuduh sesat (bid’ah) terhadapmereka yang berseberangan pendapat menyangkut pengembangan tradisi masyarakat dan pemikiran keagamaan. Dalam tradisi fiqh sikap Aswaja ini dikemukakan dalam ucapan paraulama fiqh : “Ra’yuna shawab yahtamil al khata’ wa ra’yu ghairina khatha yahtamil al Shawab”(penda pat kami benar meski mungkin keliru, dan pendapat orang lain keliru tapi mungkin sajabenar). Pada sisi lain kaum Aswaja tidak sepenuhnya membiarkan berkembangnyapemahaman yang serba menghalalkan segala cara (ibahiyyah). Untuk menjembatanikesenjangan pemahaman antar umat, kaum Sunni mengemukakan prinsip “musyawarah” atau“syura” untuk mencapai kesepakakan dengan damai, tanpa kekerasan. Paradigma Aswaja di atas diyakini banyak pihak masih memiliki relevansi untuk mengatasi problem politik umat Islam Indonesia yang tengah berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Aswajalah golongan yang dapat menjawab secara telak tuduhan “ekstrimis” atau “teroris” yang dialamatkan kepada Islam. Hal ini karena Aswaja tidak pernah mengenal penggunaancara-cara radikal atau cara-cara kekerasan atas nama atau simbol agama terhadap orang lain meski mereka berbeda aliran

keagamaan bahkan terhadap mereka yang berbeda agamanya. 118 Aswaja juga tidak pernah menganjurkan pengikutnya untuk memulai perang

terhadap orang kafir/ non muslim. Perang dapat dijalankan hanya dalam rangka membela diri dari serangan mereka. Jika ada kemunkaran yang terjadi dalam masyarakat, doktrin Aswaja mengajarkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, melalui “hikmah” (ilmu pengetahuan), mau’izhah hasanah (nasehat yang santun) dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang terbaik). Cara lain adalah melalui aturan-at uran hukum yang adil dan dilaksanakan dengan konsekuen. Hukum yang adil adalah pilar utama bagi kehidupan bersama masyarakat bangsa.

Dengan demikian, terdapat terobosan merenovasi dalam berbagai bidang pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh, dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam yang membawa rahmat bagi alam semesta. Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada era modern ini adalah sebagai berikut, pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak dalam nation state. Kedua, hubungan Syariah Islam dengan hukum publik baik nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat menuju masyarakat yang musyawarah, dan terbebas dari belenggu penghambaan. Keempat, konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.

Artikel KH. Husein Muhammad, Aswaja Di Antara Dua Kutub Ekstrimitas, Jumat, 02 November 2007.