M ASALAH LANDASAN H UKUM

A. M ASALAH LANDASAN H UKUM

1. Penjelasan M asalah: Sumber H ukum I slam

Mengenai dasar apa saja Sumber Hukum Islam yang dipakai dalam menentukan hukum Islam, adalah sesuai dengan firman Allah SWT:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan pat uhlan kamu kepada Rasul sert a Ulu Al-Amri diant ara kamu sekalian, kemudian jika kamu berselisih paham t ent ang sesuat u, maka kembalilah kepada Allah SW T dan Rasul-Nya, jika benar-benar kamu beriman pada hari kemudian. Yang demikian it u lebih ut ama (bagimu) dan lebih baik akibat nya.” (Q.S. An-Nisa: 59)

Berdasarkan ayat ini, ada empat dalil yang dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum, yakni Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Sebagaimana penjelasan Abdul Wahhab Khallaf dalam Ilmu Ushul Fiqh:

Artinya: “Perintah yang terdapat dalam Surat An-Nisa Ayat 59 untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, merupakan perint ah unt uk mengikut i Al-Qur’an dan Al-Hadit s. Sedangkan unt uk mengikuti Ulu Al-Amri merupakan anjuran unt uk mengikuti hukum-hukum yang t elah disepakat i (ijma) oleh para mujt ahid, sebab merekalah yang menjadi Ulu Al-Amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslimin. Dan perint ah unt uk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah SW T dan Rasul-Nya berart i perint ah mengikut i Qiyas ket ika tidak ada dalil nash (Al-Qur’an, Al-Hadit s) dan Ijma’.” (Ilmu Ushul Fiqh: 21).

Sumber Hukum Islam pertama adalah Al-Qur’an. Yang dimaksud Al-Qur’an adalah:

Artinya: “Al-Qur’an adalah lafadz yang diturunkan kepada Nabi M uhammad SAW sebagai mukjizat dengan sat u surat saja, dan merupakan ibadah apabila membacanya.” (Al-Kawkab As-Sathi’ fi Nazhm Jam’ Al-Jawami’, Juz I, Hal. 69).

Sumber Hukum Islam Kedua adalah As-Sunah. Yang dimaksud As-Sunah adalah:

Artinya: “Yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi M uhammad SAW, baik berupa perbuat an, ucapan sert a pengakuan Nabi Muhammad SAW . (Al-Manhal Al-Lathif fi Ushul Al-Hadits As-Syarif: 51).

Sumber Hukum Islam Ketiga adalah Ijma’. Yang dimaksud Ijma’ adalah:

Artinya: “Yang dimaksud dengan Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman t ent ang sat u permasalahan hukum yang t erjadi ket ika it u.” (Dalam Kitab Al- Waraqat fi Ushul Al-Fiqh: 44).

Sedanhkan dalil Ijma’ adalah firman Allah SWT Q.S. An-Nisa 115, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Tanqih Al-Fushul fi Al-Ushul:

Artinya: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikut i jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa t erhadap kesesat an yang t elah dikuasainya it u dan Kami masukkan ia dalam Jahannam, dan Jahannam it u seburuk-buruk t empat kembali.” (Q.S. An-Nisa: 115).

Sumber Hukum Islam Keempat adalah Qiyas. Yang dimaksud Qiyas adalah:

Artinya: “Ibnu Al-Hajib mengatakan, Qiyas adalah menyamakn hukum cabang (far’) kepada ashl karena ada kesamaan illat (sebab) hukumnya.” (Dinukil dari sumber utama Kitab Ushul Al-Fiqh Khudhari Bik: Hal. 289).

Dalam Kitab Tanqih Al-Fushul Fi Al-Ushul, Hal. 89. Dijelaskan bahwa dalil qiyas, sesuai dengan firman Allah SWT:

Artinya: “M aka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (Q.S. Al-Hasyr: 2).

Contoh qiyas adalah perintah untuk meninggalkan segala jenis pekerjaan pada saat adzan jum’at dikumandangkan. Hal ini disamakan dengan dengan perintah untuk meninggalkan jual-beli pada saat tersebut, yang secara langsung dinyatakan oleh Al-Qur’an, yakni firman Allah SWT:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat pada hari jum’at, maka bergegaslah kamu unt uk dzikir kepada Allah (mengerjakan shalat jum’at ) dan t inggalkanlah jual-beli.” (Q.S. Al-Jumu’ah: 9).

Inilah empat dalil yang dijadikan sumber hukum Islam. Karena itu seorang muslim tidak diperkenankan menghukumi suatu perkara tanpa berlandaskan salah sat u dalil tersebut. sebagaimana ditegaskan oleh Imam Syafi’i R.A. dalam Ar-Risalah:

Artinya: “Selamanya seorang tidak boleh mengatakan ini halal atau ini haram, kecuali ia t elah menget ahui dalilnya. Sedangkan menget ahui dalil it u didapat dari Al - Qur’an, Al-Hadit s, Al-Ijma’ at au Al-Qiyas.” (Ar-Risalah: 39).

Keempat dalil ini harus digunakan secara hierarkis (berurutan), artinya ketika memutuskan suatu persoalan hukum, maka yang pertama kali harus dilihat adalah Al-Qur’an. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an maka meneliti hadits Nabi Muhammad SAW. Jika tidak ada, maka melihat ijma’. Dan yang terakhir adalah dengan menggunakan qiyas. Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Amidi dalam Al- Ihkam fi Ushul Al-Ahkam:

Artinya: “Yang asal dalam dalil syar’i adalah Al-Qur’an, sebab ia datang langsung dari Allah SW T sebagai musyarri (pembuat hukum). Sedangkan (urut an kedua) Sunnah, sebab ia berfungsi sebagai penjelas dari hukum dan firman Allah SW T dalam Al-Qur’an. Dan (sesudah it u adalah) Ijma, karena Ijma’ selalu berpijak pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunah. (Yang t erakhir adalah) Qiyas, sebab proses qiyas selalu berpedoman pada Nash (Al-Qur’an dan As-Sunah) dan Ijma’. Sehingga Nash dan Ijma’ merupakan asal, sedangkan Qiyas dan Ist idlal (penggunaan dalil) merupakan cabang (bagian) yang selalu ikut pada yang asal.” (Al-Ihkam fi Ushul Al- Ahkam, Juz I., Hal. 208).

2. Penjelasan M asalah: Ahlussunah Wal Jama’ah

Pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani:

Art inya : “Yang dimaksud dengan As-Sunah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliput i ucapan, perilaku sert a ket et apan beliau). Sedangkan pengert ian Al-Jama’ah adalah segala sesuat u yang t elah menjadi kesepakat an para Sahabat Nabi M uhammad SAW pada masa Khulafaurrashidin yang empat t elah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah SW T member Rahmat pada mereka semua).” (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz II., Hal. 80).

Syaikh Abi Al-Fadhl bin Abdussyukur menjelaskan pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah:

Artinya: “Yang disebut Ahlussunah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada As-Sunah Nabi M uhammad SAW dan jalan pada sahabat nya dalam masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriyah sert a akhlaq hat i.” (Al- Kawakib al-Lamma’ah, Hal. 8-9).

3. Penjelasan M asalah: H ukum Bermadzhab

Artinya: “Jika tuanku mulia, Ali Al-Kawwas, ditanya seseorang tentang mengikuti madzhab t ert ent u sekarang ini apakah wajib atau t idak? Dia menjawab: Anda harus mengikut i suatu madzhab selama anda belum menget ahui int i agama karena khawat ir t erjat uh pada kesesat an. Anda juga harus melaksanakan apa-apa yang dilaksanakan orang lain sekarang ini.” (Kitab Al-Mizan Al-Syarany).

Artinya: “Bertaqlid (mengikuti madzhab) tertentu dari imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) lebih karena madzhab mereka t elah t ersebar luas sehingga Nampak jelas pembat asan hukum yang bersifat mutlak dan pengecualian hukum yang bersifat umum, berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain.” (Kitab Al-Fatawa Al- Kubra, Juz IV).

4. Penjelasan M asalah: Seputar Taqlid

Artinya: “Kemudian manusia itu ada yang jadi mujtahid dan ada yang tidak. Bagi yang bukan mujtahid wajib bert aqlid secara mut laq baik ia seorang awam at aupun seorang yang alim. berdasarkan firman Allah SW T (Q.S Al-Ambiya: 7): Bert anyalah kamu kepada seorang yang ahli (dalam bidangnya) jika kalian t idak t ahu.” (Al- Kawkab Al-Sathi fi Nadzmi Jam’I Al-Jawami’: 429).

Artinya: “Orang yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka sebagaimana orang awam, mereka wajib bert aqlid.” (Mathlab Al-Iqash fi Al-Kalam ‘Ala Syaiin min Ghurar Al-Alfadz: 87).

5. Penjelasan M asalah: Bid’ah dan H adits Bid’ah

Artinya: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah SAW .” (Qawa’id Al-Ahkam fi M ashalih Al-Anam, Juz II., Hal. 172).

Sebagian besar Ulama membagi bid’ah menjadi 5 (lima) macam:

1. Bid’ah W ajibah , yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain. Sebab hanya dengan ilmu-ilmu inilah orang-orang dapat memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits.

2. Bid’ah M uharrarah , yakni bid’ah yang bert entangan dengan syara’. Seperti madzhab jabariyah dan madzhab murjiah.

3. Bid’ah M andubah , yakni segala sesuatu yang baik, tapi tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW, misalnya shalat taraweh bermajama’ah, mendirikan madrasah dan pesantren.

4. Bid’ah Makruhah , seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.

5. Bid’ah M ubahah , seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat. (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, Juz II., Hal. 173).

Para ulama sejak dahulu telah membagi bid’ah menjadi dua bagian besar, yaitu bid’ah khasanah dan bid’ah dhalalah. Sebagaimana yang telah dijelaskan Imam Syafi’ai R.A. yang dikutip dalam Kitab Fath Al-Bari:

Artinya: “Sesuatu yang diada-adakan itu ada dua macam: (pertama) sesuatu yang baru it u menyalahi Al-Qur’an, Sunah Nabi Muhammad SAW , At sar Sahabat at au Ijma’ Ulama. Ini disebut bid’ah Dhalal (sesat ). Dan (kedua, jika) sesuat u yang baru t ersebut t ermasuk kebajikan yang t idak menyelahi sedikit pun dari (Al-Qur’an, As- Sunah dan Ijma’). M aka perbuat an t ersebut t ergolong perbuat an baru yang t idak t ercela . (Fath Al-Bari, Juz XVII, Hal. 10).

Dapat diketahui bahwa yang termasuk bid’ah khasanah adalah: bid’ah wajibah, bid’ah mndubah dan bid’ah mubahah. Dalam konteks inilah perkataan Sayyidina Umar Bin Khattab R.A.tentang jama’ah shalat tarawih yang beliau laksanakan:

Artinya: “Sebaik-baik bid’an adalah ini (yakni shalat tarawih dengan berjama’ah).” (Diambil dari Kitab Mu’tabarah Al-Muwaththa: 231).

Kalau memang bid’ah terbagi menjadi dua. lalu bagaimana dengan hadit s Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat? Inilah sebuah hadits yang dijadikan oleh aliran Islam tertentu, sebagai dalil pelarangan semua bid’ah:

Artinya: “Dari Abdullah bin M as’ud, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda; “Ingat lah, berhati-hat ilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru, (yang bert ent angan dengan ajaran syara’) karena yang paling jelek adalah membuat hal - hal yang baru dalam masalah agama. Dan set iap perbuat an yang baru dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah adalah sesat . ” (Sunan Ibn Majah: 45).

Dalam hadits diatas, Nabi Muhammad SAW menggunakan kata kullu yang secara tekstual diartikan keseluruhan atau semua. Sebenarnya kata kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, namun adakalanya berarti sebagian, sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “Dan kami jadikan segala sesuatu itu dari air.” (Q.S. Al-Ambiya: 30).

Walaupun ayat ini menggunakan kata kullu namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Buktinya adalah firman Allah SWT:

Artinya: “Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala.” (Q.S. Ar- Rahman: 15).

Contoh lain adalah firman Allah SWT:

Artinya: “Karena dihadapan mereka ada seorang Raja yang merampas tiap-tiap perahu.” (Al-Kahfi: 79).

Ayat ini menjelaskan bahwa dihadapan Nabi Musa, A.S dan Nabi Khidir A.S ada seorang Raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil, buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba itu tidak dirampas. Hal ini menunjukkan bahwa kata kullu pada ayat tersebut tidak diartikan keseluruhan, tapi berarti sebagian saja, yakni perahu yang bagus saja yang dirampas.